Oleh : Ade Komaruddin
(Anggota DPR RI Fraksi Partai Golkar / Alumni HMI Cabang Ciputat)
Dalam Buku "Membingkai Perkaderan Intelektual; 50 Tahun HMI Cabang Ciputat"
Ibarat insan, sebuah
organisasi harus senantiasa melakukan refleksi diri dan berdialog dengan
zamannya agar tidak kehilangan eksistensi dan relevansi dengan lingkungan
eksternalnya. Dengan refleksi dan dialog secara berkelanjutan, pemahaman akan
zaman dan kemampuan untuk menjawab kebutuhan zamannya akan tumbuh, sehingga
mampu memberikan manfaat baik secara internal maupun sosial sesuai alasan
lahirnya organisasi tersebut. Hal ini juga berlaku untuk Himpunan Mahasiswa
Islam (HMI) yang merayakan miladnya ke 64 tahun 2011 ini, sebuah perjalanan
panjang seiring dengan perjalanan bangsa yang penuh dengan dinamika. Sebagai
anak ummat dan anak bangsa, HMI dituntut untuk mampu memberikan kontribusi
terbaiknya di tengah tantangan kehidupan kontemporer yang semakin kompleks.
Himpunan
Mahasiswa Islam dituntut untuk mampu membaca zamannya dan senantiasa melakukan
refleksi agar mampu memberi kontribusi positif terhadap situasi yang ada saat
ini. Hanya dengan mampu membaca tanda-tanda zaman, HMI dapat mempertahankan
eksistensinya di tengah perubahan multidimensional yang terjadi saat ini.
Tulisan ini mencoba untuk melakukan refleksi kesejarahan HMI, mengurai
kompleksitas perubahan yang terjadi saat ini untuk kemudian mencoba menawarkan
agenda HMI saat ini.
Empat Fase Perjuangan
HMI
Napak
tilas sejarah HMI akan selalu bersinggungan dengan sejarah perjuangan bangsa.
Bukan hanya karena HMI merupakan bagian dari Bangsa Indonesia, tapi lebih dari
itu, fakta sejarah ini menunjukkan bagaimana HMI terlibat aktif dalam persoalan
kebangsaan baik secara fisik maupun wacana. Fakta ini dapat kita telusuri sejak
pendirian HMI sampai saat ini yang menunjukkan intensitas pergulatan pemikiran
dan gerakan di HMI yang tidak dapat dilepaskan dari situasi kehidupan bangsa
dan negara. Tanpa bermaksud bernostalgia, HMI selalu tampil bersama kekuatan
Nasional lain dalam setiap fase perjuangan bangsa. Dimulai dari Fase Perjuangan
Fisik (1947-1949), Fase Perjuangan Ideologi (1949-1966), Fase Pembangunan (1966-1998),
dan Fase Reformasi (1998-sekarang).
Kelahiran
HMI pada tahun 1947 tidak dapat dilepaskan dari perjuangan fisik bangsa untuk
mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari ancaman penjajahan. Perjuangan
kemerdekaan yang diproklamirkan pada 17 Agustus 1945 berada dalam fase kritis
ketika berakhirnya Perang Dunia II dan keinginan dari negara kolonialis untuk
mempertahankan negara jajahannya. Perang Dunia II yang menyebar ke Asia pasifik
setelah penyerangan Pearl Harbour oleh Jepang menyebabkan terjadinya
konflik terbuka antara negara kolonialis di Asia Pasifik yang kemudian
dimanfaatkan secara cerdas oleh beberapa negara jajahan untuk memproklamirkan
kemerdekaannya.
Fase
pasca Perang Dunia II yang dimenangkan oleh Sekutu menjadi awal konsolidasi
bagi negara-negara kolonialis, khususnya yang telah memenangkan perang untuk
menata ulang daerah-daerah jajahannya. Karena itu kalau Perang Dunia II adalah
perang antara sesama negara kolonialis, maka masa setelah Perang Dunia II
adalah pertarungan kembali antara negara kolonialis dengan negara bekas jajahannya.
Tentu saja dengan formasi perang yang memiliki perbedaan dengan fase
sebelumnya, yaitu dengan semakin menguatnya Nasionalisme di negara jajahan
sebagai dampak dari komodifikasi kekuatan negara bangsa untuk melawan gempuran
musuhnya pada saat Perang Dunia II, baik oleh kekuatan kolonialis lama (Sekutu)
maupun kolonialis baru seperti Jepang untuk kasus Indonesia.
Di
samping pengaruh eksternal yang mendorong semakin menguatnya sentimen
Nasionalisme di negara jajahan, kebangkitan kekuatan domestik yang telah
diproklamirkan juga menjadi salah satu pendorong kebangkitan Nasionalisme di
negara jajahan. HMI adalah salah satu organisasi yang lahir di tengah gegap
gempita Nasionalisme untuk menjaga eksistensi bangsa yang telah diproklamirkan.
Orientasi awal berdirinya HMI tidak dapat dilepaskan dari keinginan untuk
menyatukan tekad di antara sesama mahasiswa Islam untuk terlibat aktif dalam
revolusi fisik menjaga kemerdekaan nasional. Pada fase ini, di awal
kelahirannya, HMI langsung berhadapan dengan fase perjuangan pertama, yaitu
perjuangan fisik mempertahankan kemerdekaan nasional yang berakhir setelah
pengakuan kemerdekaan Indonesia melalui Konferensi Meja Bundar.
Pengakuan
kemerdekaan Indonesia menjadi penanda berakhirnya fase revolusi fisik untuk
kemudian masuk ke fase kedua perjuangan bangsa, yaitu perjuangan ideologi.
Salah satu pertanyaan penting setelah pengakuan kemerdekaan Indonesia adalah;
bagaimana bangunan negara bangsa Indonesia modern. Pancasila dan UUD 1945 yang
menjadi dasar kehidupan berbangsa dan bernegara diperhadapkan dengan beragam
tantangan berikut pertanyaan lanjutannya tentang bagaimana pengelolaan bangsa
setelah kemerdekaan? Ideologi, sistem politik, dan sistem ekonomi apa yang akan
dianut oleh Bangsa Indonesia setelah merdeka?
Pertanyaan
menyangkut ideologi negara adalah sesuatu yang sangat lumrah bagi negara yang
telah merdeka, di tengah beragamnya spektrum kekuatan Nasional yang ada saat
itu. Kesatuan tekad di masa penajahan untuk bersama-sama mengusir penjajah
mengalami tantangan ketika musuh bersama telah hilang, sementara beragam
kekuatan ideologi dan politik tumbuh bermekaran. Apalagi situasi eksternal saat
itu yang diwarnai oleh pertarungan ideologi antara negara kapitalis yang
dimotori oleh Amerika dan negara Eropa Barat dan ideologi komunis yang dimotori
oleh Uni Soviet dan Eropa Timur. Negara bekas jajahan yang baru merdeka menjadi
perebutan pengaruh ideologi dari dua kutub dunia sehingga muncullah istilah Non
Blok dan Negara Dunia Ketiga.
Kombinasi
antara kekuatan domestik dengan pengaruh eksternal memunculkan tiga blok
kekuatan politik yaitu Nasionalis, Islam dan Komunis yang dirangkum oleh
Presiden Soekarno saat itu dengan adagium Nasakom; yaitu Nasionalis, Agama dan
Komunis. Hal ini sebenarnya masih dapat diperdebatkan mengngat salah satu
aliran ideologi yaitu sosial demokrat yang tidak terwakili dari spektrum yang dirangkum oleh Presiden
Soekarno saat itu mengingat perbedaan ideologi antara komunis dan sosial
demokrat walaupun berasal dari ibu kandung yang sama yaitu sosialisme-marxisme.
Pertarungan ideologi yang terjadi saat itu dimediasi dengan sistem politik yang
lebih terbuka dan demokratis sehingga Pemilu tahun 1955 menjadi salah satu
tonggak penting sekaligus landasan historis demokratisasi di Indonesia. Beragam
kekuatan politik berkompetisi dalam sebuah sistem politik yang masih baru
sehingga fase ini ditandai dengan jatuh bangunnya pemerintahan Indonesia yang
membuka ruang lahirnya otoritarianisme Orde Lama dengan wujud demokrasi
terpimpin.
Pertarungan
ideologi tidak hanya terjadi di ranah politik praktis tapi juga merembes ke
seluruh dimensi kehidupan termasuk dalam kehidupan kemahasiswaan. Beragam
organisasi dan kekuatan kemahasiswaan juga mengalami pertarungan ideologi yang
tidak terlalu jauh dari spektrum politik yang ada saat itu, Nasionalis, Komunis
dan Agama. HMI yang berlandaskan Islam juga ikut dalam pusaran konflik ideologi
tersebut. Literatur sejarah menunjukkan betapa konflik Ideologi terjadi dalam
kampus-kampus sehingga tidak jarang pelarangan organisasi tertentu di sebuah
kampus terjadi.
Kekuatan
sosialis-komunis yang banyak mendapatkan tempat pada masa pemerintahan Soekarno
menjadi kekuatan dominan yang memberangus Ideologi lain yang tidak sepaham. Tak
heran kemudian apabila sepanjang masa pemerintahan Presiden Soekarno,
pembubaran organisasi yang tidak progresif banyak dilakukan seperti pembubaran
kelompok kesenian yang berlawanan dengan Lekra (Lembaga Kesenian Rakyat).
Kekuatan Islam menjadi kekuatan yang terpinggirkan saat itu mengingat posisi diametral
antara Islam dengan Komunisme, dimana Komunisme memiliki hak monopoli wacana
saat itu akibat kedekatannya dengan kekuasaan.
Hal ini
juga dialami oleh HMI yang berlandaskan Islam sehingga mendorong HMI terlibat
aktif dalam perlawanan terhadap rezim Orde Lama bersama kelompok-kelompok Islam lainnya. Karena itu, perlawanan
terhadap rezim Orde Lama melahirkan tiga hijau yang kemudian berhasil
menjatuhkan Presiden Soekarno yaitu Hijau Islam, Hijau Tentara dan Hijau
Mahasiswa dan Pemuda. Fase kejatuhan Presiden Soekarno menjadi penanda
berakhirnya Rezim Orde Lama dan lahirnya Rezim Orde Baru dengan tantangan yang
berbeda. Fase ini kemudian mengantarkan HMI pada perjuangan berikutnya yaitu
perjuangan di Era Orde Pembangunan.
HMI di Era Orde Baru
dan Era Reformasi
Terpilihnya
Presiden Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia sebagai tonggak lahirnya
Orde Baru mengantarkan Indonesia dalam sebuah situasi berbeda dengan Orde
Llama. Kalau sebelumnya politik yang menjadi panglima, pada fase Orde Baru, ekonomi
yang menjadi panglima. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari beratnya masalah
ekonomi nasional ditandai dengan hyper inflasi, kemiskinan dan
pengangguran yang tinggi, yang menjadi salah satu penyebab hilangnya legitimasi
pemerintahan Orde Lama. Pilihan terhadap prioritas ekonomi juga tidak dapat
dilepaskan dari kedekatan Orde Baru dengan blok kapitalis yang juga menempatkan
kekuatan ekonomi pasar sebagai motor pembangunan. Hal ini terlihat dari
pembuatan UU Penanaman Modal tahun 1967 dan beragam kebijakan liberalisasi
lainnya pada masa tersebut.
Pada
fase ini, ummat Islam ditandai oleh sebuah pertanyaan besar, bagaimana untuk
terlibat aktif dalam pembangunan tapi dengan tetap memeluk agama Islam. Sebuah
pertanyaan sepele untuk saat ini tapi saat itu menjadi sebuah persoalan
fundamental bagi keyakinan ummat saat itu. Di tengah pertarungan ideologi yang
sangat kental saat itu dan masih kuatnya agenda Islam politik untuk mendirikan
negara Islam, pertanyaan tersebut memerlukan jawaban paradigmatik dan praktis.
HMI
dengan dokrin Islam Nasionalis yang secara akademik lebih dikenal dengan
sebutan kelompok Islam Kultural menawarkan sebuah solusi bagi masalah
kebangsaan dan masalah keummatan. Peran dari almarhum Nurcholis Madjid mantan
Ketua Umum PB HMI sangat sentral pada masa ini karena dari tangan beliaulah
gagasan Islam Nasionalis memiliki landasan paradigmatik dan praktis. Beliau
mengenalkan gagasan Islam Indonesia, yang pada saat itu membedakan dengan tegas
antara Islam Politik dan Islam Kultural. Islam politik lebih bertendensi untuk
memperjuangkan akomodasi aspek simbolik dan formalisme Islam dalam kehidupan
bernegara seperti negara Islam dan pelembagaan syariat Islam dalam
ketatanegaraan. Sementara gerakan Islam kultural lebih bertendensi untuk
menerapkan nilai-nilai keislaman dalam kehidupan berbangsa dan bernegara tanpa
perlu melembagakannya menjadi negara Islam.
HMI
memilih untuk menjadi pelopor Islam Kultural, sebuah model keber-Islam-an yang
tetap konsisten menjalankan ritual Islam secara privat tapi mendorong aspek
substansi Islam dalam ranah sosial, memberi sebuah jalan keluar ditengah
benturan antara Nasionalisme dan Islamisme, sekaligus sebuah penegasan bahwa
Indonesia bukanlah negara Agama tapi juga bukan negara sekuler, sebuah bangsa
dengan nilai-nilai KeAgamaan yang mendasarinya, di tengah fakta pluralitas
Indonesia. Hal ini lebih berkesesuaian dengan sila pertama Pancasila, Ketuhanan
Yang Maha Esa. Pada fase ini pulalah Nilai Dasar Pengkaderan (NDP) yang menjadi
panduan dan orientasi bagi kaderisasi HMI diterbitkan untuk pertama kalinya.
Artinya, sebelum era Almarhum Cak Nur, HMI belum memiliki panduan yang tersusun
secara sistematis dan tertulis lengkap.
Doktrin
pengkaderan ini yang kemudian menjadi dasar bagi HMI untuk terlibat secara
aktif dalam proses pembangunan Indonesia di era Orde Baru sehingga kader-kader
HMI tersalurkan di pemerintahan sebagai teknokrat dan sebagai politisi di ranah
politik. Dalam perkembangan berikutnya, pemaksaan ideologi tunggal Pancasila
menyebabkan perpecahan HMI menjadi dua; yaitu HMI yang berdasarkan Pancasila
dan HMI MPO yang tetap berlandaskan Islam. Menurut hemat penulis, hal ini
bukanlah perpecahan, tetapi lebih merupakan strategi dan taktik HMI dalam
berhadapan dengan situasi zamannya saat itu, agar pada satu sisi
keberlangsungan HMI sebagai organisasi dan Islam sebagai landasan organisasi
tetap terjaga.
Krisis
ekonomi pada tahun 1998 menjadi pemicu jatuhnya kekuasaan Orde Baru dan
mengantarkan bangsa Indonesia masuk ke Era Reformasi. Reformasi yang terjadi
mengantarkan Indonesia dalam sebuah situasi yang belum pernah terjadi sepanjang
sejarah Indonesia, yaitu terjadinya transisi sistemik. Transisi sistemik ini
terjadi secara multidimensional, yaitu transisi politik dari otoritarianisme
menuju demokrasi, transisi ekonomi dari sistem ekonomi patron client ke
sistem ekonomi yang lebih berbasis hukum dan transisi pemerintahan dari
sentralistik ke desentralisasi. Transisi ini terjadi secara bersamaan sehingga
dampaknya sangat dalam dan luas sehingga perubahan besar-besaran terjadi di
Indonesia sejak reformasi 1998 sampai saat ini. Diakui atau tidak, HMI beserta
organisasi kemahasiswaan lainnya mengalami kegamangan dalam merespon era
reformasi yang ada saat ini. Perubahan yang terjadi sangat cepat dan luas
sehingga kembali ke preposisi awal tulisan ini, ini saatnya bagi setiap insan
dan setiap organisasi untuk melakukan refleksi dan dialog dengan zamannya untuk
menentukan posisinya di tengah perubahan yang terjadi.
Perubahan Lingkungan
Sosial Akibat Globalisasi dan Transisi Sistemik Indonesia
Perkembangan
teknologi informasi dan sarana transportasi canggih saat ini menyebabkan
semakin menurunnya biaya komunikasi dan transportasi sehingga menghilangkan
batas-batas fisik dan kultural yang menjadi penghalang selama ini. Kondisi ini
menyebabkan dunia menjadi datar (the world is flat), dan kita seakan
hidup dalam satu desa global (global village) tanpa sekat dan tanpa
batas (borderless society). Ini yang kemudian disebut dengan
globalisasi, yang sebenarnya sudah berlangsung lama, tapi mengalami peningkatan
intensitas sehingga semakin meluas dan semakin dalam saat ini.
Perubahan-perubahan yang terjadi di belahan bumi lain akan memiliki implikasi
terhadap belahan bumi lainnya walaupun jaraknya terentang jauh. Hal ini dapat
menjelaskan mengapa kenaikan harga pangan dan energi dunia menyebabkan
kejatuhan rezim di Tunisia, Mesir dan gejolak sosial di beberapa negara
lainnya. Tidak ada lagi negara yang dapat menutup diri terhadap perkembangan
yang terjadi di dunia, termasuk Indonesia.
Globalisasi
ini perlu ditekankan karena dengan adanya globalisasi, sebuah bangsa akan
semakin terpengaruh dengan gejolak global. Globalisasi disetujui atau tidak,
sudah tidak mungkin lagi kita tolak karena kita tidak mungkin hidup dengan
mengisolasi diri dari pergaulan dunia. Bangsa Indonesia tidak dapat lagi
menutup dirinya terhadap pengaruh dari luar, baik pengaruh ideologi dan budaya,
termasuk juga pengaruh ekonomi dan politik. Globalisasi di bidang ekonomi
menyebabkan semakin bebasnya arus modal dan perdagangan dunia sehingga
negara-negara yang tidak siap akan dirugikan dengan globalisasi. Globalisasi
ibarat pisau bermata dua, dapat menguntungkan tapi dapat juga merugikan, dapat
menjadi ancaman tapi juga dapat menjadi peluang, tergantung seberapa mampu kita
memahami dan memanfaatkannya.
Sayangnya,
fakta yang ada saat ini, Indonesia masih sering dirugikan oleh globalisasi
terbukti dari semakin berkurangnya kedaulatan negara terhadap sumber daya
nasional terutama di bidang energi, pangan dan keuangan. Hampir semua sektor
vital dan penting untuk hajat hidup orang banyak sudah dikuasai oleh asing
sehingga pemanfaatannya tidak dapat dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat. Saat ini kita adalah importir minyak, sementara gas dan batu bara
sebagai bahan bakar alternatif lebih banyak diekspor untuk memenuhi kebutuhan
industri luar negeri. Kenaikan harga minyak dunia membuat keuangan negara kita
dikuras untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri mengingat masih
tingginya subsidi BBM. Di bidang pangan, kedaulatan pangan kita terancam
sehingga terpaksa kita harus mengimpor beras, kedelai, terigu, gula, bahkan
garam sekalipun kita impor untuk memnuhi kebutuhan domestik. Akibatnya,
kenaikan harga pangan dunia menyebabkan inflasi yang begitu tinggi pada saat
ini sehingga angka kemiskinan dan pengangguran semakin membengkak. Di bidang
keuangan, perbankan kita saat ini sudah mayoritas dikuasai pihak asing sehingga
sulit untuk mendorongnya untuk lebih berpihak pada rakyat kecil, dan yang
paling parah bahwa bangsa kita menjadi tempat singgah sementara bagi para
investor untuk menanamkan uangnya di pasar keuangan baik saham dan obligasi,
SBI dan SUN untuk mendapatkan keuntungan yang bersumber dari uang rakyat kita.
Betapa menyedihkan bangsa kita.
Bangsa
yang dulunya adalah bangsa besar yang menjadi salah satu macan Asia, ternyata
saat ini menjadi negara yang terbelakang di Asia Tenggara. Di saat bangsa lain
sudah mengekspor barang dan jasa dengan kualitas dan kandungan teknologi
tinggi, bangsa Indonesia masih mengekspor bahan mentah untuk menyubsidi bahan
baku industri negara lain. Angka pertumbuhan yang dibangga-banggakan saat ini
hanya dinikmati oleh segelintir orang karena bertumbuh dari sektor padat modal,
bukan dari keringat rakyat kita yang sebagian besar masih hidup di sektor
pertanian dan industri. Karena itu, angka penangguran dan kemiskinan kita masih
tinggi hingga saat ini. Ada yang salah dengan negeri ini yang apabila tidak
dibenahi secara serius dan cepat, kita akan semakin tertinggal dari bangsa-bangsa
lain, digilas oleh laju globalisasi yang semakin kompetitif dan semakin cepat.
Sayangnya
pada saat yang bersamaan, Bangsa Indonesia masih menjalani transisi sistemik.
Demokratisasi yang sedang berlangsung saat ini masih pada tahapan prosedural
belum sampai pada makna terdalamnya, yaitu bagaimana kedaulatan di tangan
pemilih sehingga seluruh kebijakan ditujukan untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat. Demokrasi kita belum menghasilkan kesejahteraan sosial. Sistem ekonomi
Indonesia masih belum menghasilkan kelembagaan yang kuat dan efisien dengan
sektor ekonomi rakyat khususnya di desa, sebagai penyangganya. Masih kelompok
asing dan konglomerat besar yang mendapatkan manfaat terbesar dari ekonomi yang
bertumbuh. Sistem pemerintahan kita yang terdesentralisasi belum menemukan
formulasi yang tepat, masih diwarnai dengan tarik menarik antara pusat dan
daerah, diwarnai oleh kesenjangan antarwilayah dan yang lebih parah lagi bahwa
sistem otonomi daerah saat ini menjadi cara dan mekanisme baru bagi para elit
lokal untuk melanggengkan kekuasaannya ditambah dengan persoalan korupsi di
setiap jenjang pemerintahan.
Saat
ini, bangsa Indonesia menghadapi dua ancaman sekaligus, yaitu secara eksternal
berupa globalisasi dunia yang semakin cepat dan kompetitif dan secara internal,
transisi sistemik kita di bidang politik, ekonomi, dan pemerintahan belum
terkonsolidasi dengan baik. Kita harus menemukan jalan keluar terbaik untuk
dapat selamat dari kedua ancaman tersebut apabila kita masih ingin hidup
sebagai warga negara Republik Indonesia yang bersatu dan berdaulat. Dengan
fakta seperti ini, HMI diharapkan dapat memberikan sumbangsih terbaiknya bagi
bangsa Indonesia, HMI di tengah globalisasi yang semakin cepat dan transisi
sistemik Indonesia yang belum selesai. Bagaimana HMI menjawabnya agar dapat
memberikan kontribusi terbaiknya bagi bangsa yang sedang terancam ini?
HMI Kembali ke Kampus
Ada
sebuah tesis tentang pergerakan mahasiswa yang menyebutkan bahwa di sebuah
negara yang masih dibawah rezim non demokratis, mahasiswa dituntut untuk
terlibat penuh sebagai kekuatan pendobrak rezim bersama kekuatan pro demokrasi
lainnya mengingat masih belum efektifnya pilar demokrasi lainnya seperti
parlemen, media massa, dan NGO. Tetapi ketika demokrasi sudah matang, mahasiswa
harus kembali ke kampus untuk melanjutkan pendidikan dan penelitiannya untuk
kepentingan pengembangan ilmu pengetahuannya.
Pendapat
tersebut ada benarnya, dengan demokratisasi yang sedang berkembang di
Indonesia, kekuatan politik lainnya perlahan-lahan meneguhkan dirinya sebagai
pilar demokrasi. Partai politik dan parlemen relatif memiliki otonomi terhadap
pemerintah apabila dibandingkan pada fase Orde Baru sebelumnya, lembaga
independen lainnya perlahan-lahan juga menunjukkan otonominya terhadap
kekuasaan, pers juga telah bebas, begitupun kekuatan masyarakat sipil lainnya
perlahan-lahan sudah mulai meneguhkan eksistensinya. Kalau pada masa Orde Baru,
hak menyatakan pendapat, kebebasan berserikat dan berkumpul tidak dijamin tapi
saat ini, pengakuan akan hak konstitusional warga negara telah dipenuhi
walaupun tentu saja masih banyak kekurangan yang perlu kita tata lebih lanjut.
Pengakuan tersebut menyebabkan kekuatan masyarakat sipil sudah dapat
mengadvokasi sendiri hak-haknya yang dirugikan oleh negara. Setiap hari kita dapat
melihat bagaimana kekuatan masyarakat sipil seperti kelompok petani, kelompok
buruh, para kepala desa, tenaga honorer dll, silih berganti memanfaatkan ruang
publik untuk menyampaikan tuntutannya. Kelompok tersebut semakin berdaya dalam
menyampaikan aspirasinya didampingi oleh tenaga profesional seperti ahli hukum
dan dengan kemampuan mengorganisir diri yang baik. Pertanyaannya kemudian
adalah dengan situasi masyarakat sipil yang semakin berdaya? Dimana letak
perjuangan mahasiswa khususnya HMI pada era ini?
Kalau
membandingkan dengan beberapa fase sebelumnya, perjuangan HMI sebatas
perlawanan terhadap rezim, entah itu rezim kolonialis secara fisik, rezim
ideologi dan rezim pembangunanisme atau secara umum perlawanan terhadap negara,
saat ini perjuangan HMI lebih kompleks. Dari tantangan kekuatan asing dalam
bentuk globalisasi yang semakin cepat dan kompetitif dan juga ancaman domestik
seperti belum terselesaikannya agenda demokratisasi ekonomi politik di tingkat
pusat terutama di daerah seiring dengan desentralisasi. Tantangan semakin berat
sementara ruang sosial telah diisi oleh kekuatan masyarakat sipil lainnya yang
sudah berdaya, sehingga perjuangan HMI dituntut lebih cerdas dan lebih kreatif.
Inilah saatnya untuk HMI kembali ke kampus, mengembangkan perjuangan dari
kampus dengan berbasis intelektualitas sesuai dengan basis keilmuan yang
digelutinya.
Disadari
atau tidak, salah satu letak kelemahan Indonesia di era globalisasi saat ini
adalah kurangnya Sumber Daya Manusia (SDM) yang profesional dan memiliki
komitmen nasionalisme dan religiusitas (keagamaan) yang kuat. Tanpa SDM yang
profesional di bidangnya masing-masing, sulit untuk mengembangkan kehidupan
masyarakat di wilayah tersebut. Begitu banyak pengangguran terdidik dari alumni
perguruan tinggi yang menunjukkan rendahnya kualitas pembelajaran yang
menyebabkan peserta didiknya tidak memiliki keterampilan teknis, inovatif dan
kreatifitas. Motor-motor dari globalisasi saat ini adalah individu yang kreatif
dan inovatif yang memiliki kecerdasan berdasarkan disiplin keilmuan yang
digelutinya semasa kuliah. Selama ini peran kampus belum dioptimalkan, baik
untuk menghasilkan alumni yang profesional dan kreatif berdasarkan disiplin
ilmunya masing-masing, terlebih peran kampus dalam pengabdian sosialnya untuk
memberdayakan masyarakat di sekitarnya. Hal ini menyebabkan masyarakat kita
tidak mampu berkembang dengan baik, karena mereka beraktifitas tanpa dukungan
ilmu pengetahuan, informasi dan teknologi dari kampus. Tanpa dukungan kebijakan
yang prorakyat dari pemerintah dan dukungan pembiayaan dari sektor perbankan
serta pendampingan dari jaringan pengusaha nasional..
Para
petani kita dilepaskan untuk bersaing langsung dilapangan dengan perusahaan
pangan asing yang telah menggurita, yang telah menguasai pasar input dan
jaringan serta modal yang kuat. Akibatnya petani kita tidak mampu meningkatkan
pendapatannya mengingat keterbatasan sumber daya sehingga harus menyerahkan
dirinya untuk diperas secara halus oleh perusahaan besar. Para nelayan kita
dengan kapasitas pengetahuan terbatas, ditengah ketiadaan modal dan dukungan
perahu kecil untuk melaut, dilepaskan untuk bersaing secara bebas dengan
kapal-kapal modern milik perusahaan besar dan juga nelayan asing. Petani dan
nelayan kita dilepaskan berkompetisi tanpa dukungan kebijakan dari pemerintah,
dukungan keuangan dari perbankan dan tanpa dukungan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang harusnya dipenuhi dari kampus.
Pengusaha
kita yang tanpa komitmen nasionalis mengekspor bahan mentah ke luar negeri
untuk memenuhi kebutuhan bahan baku perusahaan asing tanpa berpikir terhadap
nilai tambah apabila barang tersebut diolah di dalam negeri berikut penyerapan
tenaga kerja yang dihasilkannya. Sebagian besar pengangguran di Indonesia
terdiri dari kaum terdidik yang disamping tidak memiliki akses terhadap sumber
daya juga kurang memiliki pengetahuan praktis berikut daya inovasi dan
kreatifitas yang harusnya diperoleh di bangku kuliah sesuai bidang keilmuan
yang digelutinya. Banyak tenaga profesional kita yang lebih memilih untuk
tinggal di luar negeri mengingat fasilitas dan penghargaan yang diterimanya
lebih bagus ketimbang di negeri ini. Sementara tenaga-tenaga profesional
lainnya di dalam negeri sebagian besar diisi oleh tenaga kerja asing.
Semua
fakta tersebut menunjukkan lemahnya kampus dan mahasiwanya, bukan hanya
terhadap penyerapan ilmu pengetahuan dan teknologi tapi terutama pada penerapan
keilmuan dalam kehidupan sosial. Untuk membangun bangsa Indonesia, kampus
menjadi salah satu pemicunya. Dengan ilmu pengetahuan yang lebih berkembang,
kampus bukan hanya akan mampu meningkatkan pemahaman dan pengembangan iptek dan
kreatifitas terhadap mahasiswanya tapi juga dapat semakin memperluas
pengabdiannya pada masyarakat. Di beberapa negara lain, kampus menjadi mata air
yang mendorong masyarakat sekitarnya untuk dapat lebih maju dan mengembangkan
usahanya. Sektor pertanian Indonesia akan lebih maju apabila dukungan kampus
berupa ilmu pengetahuan dan teknologi dalam keseluruhan proses produksi dan
distribusinya dapat dioptimalkan. Begitupun sektor industri kita akan lebih
maju dengan memanfaatkan sumber daya alam yang melimpah dan bahan baku dari
sektor pertanian dengan menggunakan perangkat ilmu pengetahuan dan tekhnologi
tepat guna disertai dengan pendampingan kampus secara memadai. Tentu saja
kampus saja tidak cukup, dibutuhkan kerja sama dengan pemerintah, perbankan,
wirausahawan dan stake holder lainnya, tapi setidaknya peran kampus
sangat strategis di sini.
Dengan
sektor pertanian yang lebih berkembang dan efisien, sektor industri yang lebih
tersebar, disertai dengan dukungan dan pendampingan kampus beserta ilmu
pengetahuan dan teknologinya, bangsa Indonesia akan semakin besar. Hal ini juga
akan mengurangi kesenjangan sosial dengan memperbanyak wirausahawan dan
meningkatkan pendapatan rakyat. Hal ini bukan saja untuk kampus dengan jurusan
ilmu pasti (exacta), jurusan humaniora juga sangat dibutuhkan
oleh masyarakat, mulai dari aplikasi ekonomi terapan seperti akuntansi, analisa
pasar, sampai pada riset perilaku yang dapat dikembangkan oleh jurusan
humaniora. Semua disiplin keilmuan apapun namanya pasti memiliki relevansi
dengan dunia sosial tempatnya didirikan, tinggal bagaimana membangun
keterkaitan dan kemitraan antara dunia kampus dengan masyarakat sebagai wujud
komitmen pengabdian sosialnya kepada masyarakat.
Dengan
sumber daya manusia yang lebih profesional di bidangnya masing-masing, diiringi
dengan komitmen kebangsaan dan keber-Islam-an yang kuat, bangsa ini akan
semakin besar dan akan mampu menghadapi globalisasi secara lebih terhormat.
Peran kampus adalah mengembangkan ilmu pengetahuan secara serius untuk
melahirkan alumni terbaik yang profesional dan mengembangkan pengabdian
masyarakat secara lebih serius dengan mengaitkan aktifitas masyarakat dengan
kampus. HMI sebagai bagian dari masyarakat kampus dituntut untuk menjadi
lokomotif dari gerakan ini. Kader-kader HMI harus didorong untuk memahami
secara paripurna bidang keilmuan yang digelutinya sehingga kader bukan hanya
akan memiliki prestasi kuliah yang baik tapi juga akan mampu memiliki
kecerdasan teknis yang menjadi modalnya untuk hidup bermasyarakat.
Pertanyaannya adalah seberapa mampu HMI menjadikan kampus sebagai basis
pergerakannya? HMI harus kembali ke kampus, sebagai wahana rekruitmen kadernya
yang semakin berkurang dan sebagai wahana perjuangan di fase perjuangan saat
ini.
Kembali
ke tesis tentang pergerakan mahasiswa, apakah mahasiwa sepenuhnya hanya
berkutat pada pengembangan ilmu pengetahuan, lepas dari upaya pengisian
ruang-ruang publik mengingat semakin menggeliatnya kekuatan masyarakat sipil
lainnya untuk meneguhkan eksistensi dan kepentingannya? Mengingat situasi
bangsa yang saat ini masih dalam fase transisional, mahasiswa semakin
dibutuhkan di ruang publik. Tapi tentu saja dengan model gerakan mahasiswa yang
lebih cerdas dan lebih kreatif dari para pendahulunya mengingat semakin
kompleksnya permasalahan yang ada. Dengan kesadaran situasi bangsa yang sedang
transisi, tentu saja banyak ranah kehidupan yang perlu ditata lebih lanjut agar
lebih sesuai dengan semangat zamannya.
Diperlukan
penataan kelembagaan dan sistem ekonomi, politik dan pemerintahan yang lebih
menjadikan peningkatan kesejahteraan rakyat sebagai muaranya. Dengan kebutuhan
penataan kelembagaan seperti itu, tentu saja banyak peraturan dan praktik lama
yang harus dihilangkan, diganti dengan peraturan dan praktik baru yang lebih
berorientasi pada peningkatan kesejahteraan rakyat dan kedaulatan bangsa.
Undang-undang di bidang pangan, energi, dan keuangan sebagai sektor vital yang
menguasai hajat hidup orang banyak perlu diubah agar lebih pro rakyat dan pro
kedaulatan negara. Untuk itu, peran mahasiwa dan kampus sangat dibutuhkan untuk
memberi alternatif terhadap Undang-Undang dan praktik lama yang ternyata tidak
memperkuat rakyat dan kedaulatan bangsa. Gerakan mahasiwa, masih dibutuhkan
baik untuk pengembangan ilmu pengetahuan maupun pengabdiannya terhadap
masyarakat secara lebih kreatif dan lebih cerdas. Harapan kami sebagai alumni
HMI, semoga HMI menjadi garda terdepan untuk mewujudkan agenda-agenda tersebut.
Pada
akhirnya, saya ingin menyampaikan sebuah kutipan dari pidato dari seorang
pejuang aktivis mahasiswa, Frederick Douglass, pada saat West Indian
Emancipation Speech yaitu:
“The
whole history of the progress of human liberty shows that all concessions yet
made to her august claims have been born of earnest struggle. … If there is no
struggle there is no progress. Those who profess to favor freedom and yet
deprecate agitation are men who want crops without plowing up the ground; they
want rain without thunder and lightning. They want the ocean without the awful
roar of its many waters.
Teruslah berjuang dimana pun berada sebagai
baktimu untuk negeri, teruslah berkarya untuk kesejahteraan rakyat Indonesia.
Segala tantangan dan hambatan pasti ada tapi yakinlah suatu saat bangsa ini
akan sampai pada tujuannya yang termaktub di dalam pembukaan UUD 1945. Dan pada
saat itu catatan sejarah akan menulis bahwa peranan dan sumbangsih HMI akan
kemajuan bangsa tertoreh dengan tinta emas pada setiap generasi. Jayalah HMI,
Yakin Usaha Sampai.