Selasa, 17 Januari 2012

HMI; Back to Campus


 Oleh : Ade Komaruddin
(Anggota DPR RI Fraksi Partai Golkar / Alumni HMI Cabang Ciputat)
Dalam Buku "Membingkai Perkaderan Intelektual; 50 Tahun HMI Cabang Ciputat"

     Ibarat insan, sebuah organisasi harus senantiasa melakukan refleksi diri dan berdialog dengan zamannya agar tidak kehilangan eksistensi dan relevansi dengan lingkungan eksternalnya. Dengan refleksi dan dialog secara berkelanjutan, pemahaman akan zaman dan kemampuan untuk menjawab kebutuhan zamannya akan tumbuh, sehingga mampu memberikan manfaat baik secara internal maupun sosial sesuai alasan lahirnya organisasi tersebut. Hal ini juga berlaku untuk Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang merayakan miladnya ke 64 tahun 2011 ini, sebuah perjalanan panjang seiring dengan perjalanan bangsa yang penuh dengan dinamika. Sebagai anak ummat dan anak bangsa, HMI dituntut untuk mampu memberikan kontribusi terbaiknya di tengah tantangan kehidupan kontemporer yang semakin kompleks.
Himpunan Mahasiswa Islam dituntut untuk mampu membaca zamannya dan senantiasa melakukan refleksi agar mampu memberi kontribusi positif terhadap situasi yang ada saat ini. Hanya dengan mampu membaca tanda-tanda zaman, HMI dapat mempertahankan eksistensinya di tengah perubahan multidimensional yang terjadi saat ini. Tulisan ini mencoba untuk melakukan refleksi kesejarahan HMI, mengurai kompleksitas perubahan yang terjadi saat ini untuk kemudian mencoba menawarkan agenda HMI saat ini.

Empat Fase Perjuangan HMI
Napak tilas sejarah HMI akan selalu bersinggungan dengan sejarah perjuangan bangsa. Bukan hanya karena HMI merupakan bagian dari Bangsa Indonesia, tapi lebih dari itu, fakta sejarah ini menunjukkan bagaimana HMI terlibat aktif dalam persoalan kebangsaan baik secara fisik maupun wacana. Fakta ini dapat kita telusuri sejak pendirian HMI sampai saat ini yang menunjukkan intensitas pergulatan pemikiran dan gerakan di HMI yang tidak dapat dilepaskan dari situasi kehidupan bangsa dan negara. Tanpa bermaksud bernostalgia, HMI selalu tampil bersama kekuatan Nasional lain dalam setiap fase perjuangan bangsa. Dimulai dari Fase Perjuangan Fisik (1947-1949), Fase Perjuangan Ideologi (1949-1966), Fase Pembangunan (1966-1998), dan Fase Reformasi (1998-sekarang).
Kelahiran HMI pada tahun 1947 tidak dapat dilepaskan dari perjuangan fisik bangsa untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari ancaman penjajahan. Perjuangan kemerdekaan yang diproklamirkan pada 17 Agustus 1945 berada dalam fase kritis ketika berakhirnya Perang Dunia II dan keinginan dari negara kolonialis untuk mempertahankan negara jajahannya. Perang Dunia II yang menyebar ke Asia pasifik setelah penyerangan Pearl Harbour oleh Jepang menyebabkan terjadinya konflik terbuka antara negara kolonialis di Asia Pasifik yang kemudian dimanfaatkan secara cerdas oleh beberapa negara jajahan untuk memproklamirkan kemerdekaannya.
Fase pasca Perang Dunia II yang dimenangkan oleh Sekutu menjadi awal konsolidasi bagi negara-negara kolonialis, khususnya yang telah memenangkan perang untuk menata ulang daerah-daerah jajahannya. Karena itu kalau Perang Dunia II adalah perang antara sesama negara kolonialis, maka masa setelah Perang Dunia II adalah pertarungan kembali antara negara kolonialis dengan negara bekas jajahannya. Tentu saja dengan formasi perang yang memiliki perbedaan dengan fase sebelumnya, yaitu dengan semakin menguatnya Nasionalisme di negara jajahan sebagai dampak dari komodifikasi kekuatan negara bangsa untuk melawan gempuran musuhnya pada saat Perang Dunia II, baik oleh kekuatan kolonialis lama (Sekutu) maupun kolonialis baru seperti Jepang untuk kasus Indonesia.
Di samping pengaruh eksternal yang mendorong semakin menguatnya sentimen Nasionalisme di negara jajahan, kebangkitan kekuatan domestik yang telah diproklamirkan juga menjadi salah satu pendorong kebangkitan Nasionalisme di negara jajahan. HMI adalah salah satu organisasi yang lahir di tengah gegap gempita Nasionalisme untuk menjaga eksistensi bangsa yang telah diproklamirkan. Orientasi awal berdirinya HMI tidak dapat dilepaskan dari keinginan untuk menyatukan tekad di antara sesama mahasiswa Islam untuk terlibat aktif dalam revolusi fisik menjaga kemerdekaan nasional. Pada fase ini, di awal kelahirannya, HMI langsung berhadapan dengan fase perjuangan pertama, yaitu perjuangan fisik mempertahankan kemerdekaan nasional yang berakhir setelah pengakuan kemerdekaan Indonesia melalui Konferensi Meja Bundar.
Pengakuan kemerdekaan Indonesia menjadi penanda berakhirnya fase revolusi fisik untuk kemudian masuk ke fase kedua perjuangan bangsa, yaitu perjuangan ideologi. Salah satu pertanyaan penting setelah pengakuan kemerdekaan Indonesia adalah; bagaimana bangunan negara bangsa Indonesia modern. Pancasila dan UUD 1945 yang menjadi dasar kehidupan berbangsa dan bernegara diperhadapkan dengan beragam tantangan berikut pertanyaan lanjutannya tentang bagaimana pengelolaan bangsa setelah kemerdekaan? Ideologi, sistem politik, dan sistem ekonomi apa yang akan dianut oleh Bangsa Indonesia setelah merdeka?
Pertanyaan menyangkut ideologi negara adalah sesuatu yang sangat lumrah bagi negara yang telah merdeka, di tengah beragamnya spektrum kekuatan Nasional yang ada saat itu. Kesatuan tekad di masa penajahan untuk bersama-sama mengusir penjajah mengalami tantangan ketika musuh bersama telah hilang, sementara beragam kekuatan ideologi dan politik tumbuh bermekaran. Apalagi situasi eksternal saat itu yang diwarnai oleh pertarungan ideologi antara negara kapitalis yang dimotori oleh Amerika dan negara Eropa Barat dan ideologi komunis yang dimotori oleh Uni Soviet dan Eropa Timur. Negara bekas jajahan yang baru merdeka menjadi perebutan pengaruh ideologi dari dua kutub dunia sehingga muncullah istilah Non Blok dan Negara Dunia Ketiga.
Kombinasi antara kekuatan domestik dengan pengaruh eksternal memunculkan tiga blok kekuatan politik yaitu Nasionalis, Islam dan Komunis yang dirangkum oleh Presiden Soekarno saat itu dengan adagium Nasakom; yaitu Nasionalis, Agama dan Komunis. Hal ini sebenarnya masih dapat diperdebatkan mengngat salah satu aliran ideologi yaitu sosial demokrat yang tidak terwakili dari  spektrum yang dirangkum oleh Presiden Soekarno saat itu mengingat perbedaan ideologi antara komunis dan sosial demokrat walaupun berasal dari ibu kandung yang sama yaitu sosialisme-marxisme. Pertarungan ideologi yang terjadi saat itu dimediasi dengan sistem politik yang lebih terbuka dan demokratis sehingga Pemilu tahun 1955 menjadi salah satu tonggak penting sekaligus landasan historis demokratisasi di Indonesia. Beragam kekuatan politik berkompetisi dalam sebuah sistem politik yang masih baru sehingga fase ini ditandai dengan jatuh bangunnya pemerintahan Indonesia yang membuka ruang lahirnya otoritarianisme Orde Lama dengan wujud demokrasi terpimpin.
Pertarungan ideologi tidak hanya terjadi di ranah politik praktis tapi juga merembes ke seluruh dimensi kehidupan termasuk dalam kehidupan kemahasiswaan. Beragam organisasi dan kekuatan kemahasiswaan juga mengalami pertarungan ideologi yang tidak terlalu jauh dari spektrum politik yang ada saat itu, Nasionalis, Komunis dan Agama. HMI yang berlandaskan Islam juga ikut dalam pusaran konflik ideologi tersebut. Literatur sejarah menunjukkan betapa konflik Ideologi terjadi dalam kampus-kampus sehingga tidak jarang pelarangan organisasi tertentu di sebuah kampus terjadi.
Kekuatan sosialis-komunis yang banyak mendapatkan tempat pada masa pemerintahan Soekarno menjadi kekuatan dominan yang memberangus Ideologi lain yang tidak sepaham. Tak heran kemudian apabila sepanjang masa pemerintahan Presiden Soekarno, pembubaran organisasi yang tidak progresif banyak dilakukan seperti pembubaran kelompok kesenian yang berlawanan dengan Lekra (Lembaga Kesenian Rakyat). Kekuatan Islam menjadi kekuatan yang terpinggirkan saat itu mengingat posisi diametral antara Islam dengan Komunisme, dimana Komunisme memiliki hak monopoli wacana saat itu akibat kedekatannya dengan kekuasaan.
Hal ini juga dialami oleh HMI yang berlandaskan Islam sehingga mendorong HMI terlibat aktif dalam perlawanan terhadap rezim Orde Lama bersama kelompok-kelompok  Islam lainnya. Karena itu, perlawanan terhadap rezim Orde Lama melahirkan tiga hijau yang kemudian berhasil menjatuhkan Presiden Soekarno yaitu Hijau Islam, Hijau Tentara dan Hijau Mahasiswa dan Pemuda. Fase kejatuhan Presiden Soekarno menjadi penanda berakhirnya Rezim Orde Lama dan lahirnya Rezim Orde Baru dengan tantangan yang berbeda. Fase ini kemudian mengantarkan HMI pada perjuangan berikutnya yaitu perjuangan di Era Orde Pembangunan. 

HMI di Era Orde Baru dan Era Reformasi
Terpilihnya Presiden Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia sebagai tonggak lahirnya Orde Baru mengantarkan Indonesia dalam sebuah situasi berbeda dengan Orde Llama. Kalau sebelumnya politik yang menjadi panglima, pada fase Orde Baru, ekonomi yang menjadi panglima. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari beratnya masalah ekonomi nasional ditandai dengan hyper inflasi, kemiskinan dan pengangguran yang tinggi, yang menjadi salah satu penyebab hilangnya legitimasi pemerintahan Orde Lama. Pilihan terhadap prioritas ekonomi juga tidak dapat dilepaskan dari kedekatan Orde Baru dengan blok kapitalis yang juga menempatkan kekuatan ekonomi pasar sebagai motor pembangunan. Hal ini terlihat dari pembuatan UU Penanaman Modal tahun 1967 dan beragam kebijakan liberalisasi lainnya pada masa tersebut.
Pada fase ini, ummat Islam ditandai oleh sebuah pertanyaan besar, bagaimana untuk terlibat aktif dalam pembangunan tapi dengan tetap memeluk agama Islam. Sebuah pertanyaan sepele untuk saat ini tapi saat itu menjadi sebuah persoalan fundamental bagi keyakinan ummat saat itu. Di tengah pertarungan ideologi yang sangat kental saat itu dan masih kuatnya agenda Islam politik untuk mendirikan negara Islam, pertanyaan tersebut memerlukan jawaban paradigmatik dan praktis.
HMI dengan dokrin Islam Nasionalis yang secara akademik lebih dikenal dengan sebutan kelompok Islam Kultural menawarkan sebuah solusi bagi masalah kebangsaan dan masalah keummatan. Peran dari almarhum Nurcholis Madjid mantan Ketua Umum PB HMI sangat sentral pada masa ini karena dari tangan beliaulah gagasan Islam Nasionalis memiliki landasan paradigmatik dan praktis. Beliau mengenalkan gagasan Islam Indonesia, yang pada saat itu membedakan dengan tegas antara Islam Politik dan Islam Kultural. Islam politik lebih bertendensi untuk memperjuangkan akomodasi aspek simbolik dan formalisme Islam dalam kehidupan bernegara seperti negara Islam dan pelembagaan syariat Islam dalam ketatanegaraan. Sementara gerakan Islam kultural lebih bertendensi untuk menerapkan nilai-nilai keislaman dalam kehidupan berbangsa dan bernegara tanpa perlu melembagakannya menjadi negara Islam.
HMI memilih untuk menjadi pelopor Islam Kultural, sebuah model keber-Islam-an yang tetap konsisten menjalankan ritual Islam secara privat tapi mendorong aspek substansi Islam dalam ranah sosial, memberi sebuah jalan keluar ditengah benturan antara Nasionalisme dan Islamisme, sekaligus sebuah penegasan bahwa Indonesia bukanlah negara Agama tapi juga bukan negara sekuler, sebuah bangsa dengan nilai-nilai KeAgamaan yang mendasarinya, di tengah fakta pluralitas Indonesia. Hal ini lebih berkesesuaian dengan sila pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa. Pada fase ini pulalah Nilai Dasar Pengkaderan (NDP) yang menjadi panduan dan orientasi bagi kaderisasi HMI diterbitkan untuk pertama kalinya. Artinya, sebelum era Almarhum Cak Nur, HMI belum memiliki panduan yang tersusun secara sistematis dan tertulis lengkap.
Doktrin pengkaderan ini yang kemudian menjadi dasar bagi HMI untuk terlibat secara aktif dalam proses pembangunan Indonesia di era Orde Baru sehingga kader-kader HMI tersalurkan di pemerintahan sebagai teknokrat dan sebagai politisi di ranah politik. Dalam perkembangan berikutnya, pemaksaan ideologi tunggal Pancasila menyebabkan perpecahan HMI menjadi dua; yaitu HMI yang berdasarkan Pancasila dan HMI MPO yang tetap berlandaskan Islam. Menurut hemat penulis, hal ini bukanlah perpecahan, tetapi lebih merupakan strategi dan taktik HMI dalam berhadapan dengan situasi zamannya saat itu, agar pada satu sisi keberlangsungan HMI sebagai organisasi dan Islam sebagai landasan organisasi tetap terjaga.
Krisis ekonomi pada tahun 1998 menjadi pemicu jatuhnya kekuasaan Orde Baru dan mengantarkan bangsa Indonesia masuk ke Era Reformasi. Reformasi yang terjadi mengantarkan Indonesia dalam sebuah situasi yang belum pernah terjadi sepanjang sejarah Indonesia, yaitu terjadinya transisi sistemik. Transisi sistemik ini terjadi secara multidimensional, yaitu transisi politik dari otoritarianisme menuju demokrasi, transisi ekonomi dari sistem ekonomi patron client ke sistem ekonomi yang lebih berbasis hukum dan transisi pemerintahan dari sentralistik ke desentralisasi. Transisi ini terjadi secara bersamaan sehingga dampaknya sangat dalam dan luas sehingga perubahan besar-besaran terjadi di Indonesia sejak reformasi 1998 sampai saat ini. Diakui atau tidak, HMI beserta organisasi kemahasiswaan lainnya mengalami kegamangan dalam merespon era reformasi yang ada saat ini. Perubahan yang terjadi sangat cepat dan luas sehingga kembali ke preposisi awal tulisan ini, ini saatnya bagi setiap insan dan setiap organisasi untuk melakukan refleksi dan dialog dengan zamannya untuk menentukan posisinya di tengah perubahan yang terjadi.

Perubahan Lingkungan Sosial Akibat Globalisasi dan Transisi Sistemik Indonesia
Perkembangan teknologi informasi dan sarana transportasi canggih saat ini menyebabkan semakin menurunnya biaya komunikasi dan transportasi sehingga menghilangkan batas-batas fisik dan kultural yang menjadi penghalang selama ini. Kondisi ini menyebabkan dunia menjadi datar (the world is flat), dan kita seakan hidup dalam satu desa global (global village) tanpa sekat dan tanpa batas (borderless society). Ini yang kemudian disebut dengan globalisasi, yang sebenarnya sudah berlangsung lama, tapi mengalami peningkatan intensitas sehingga semakin meluas dan semakin dalam saat ini. Perubahan-perubahan yang terjadi di belahan bumi lain akan memiliki implikasi terhadap belahan bumi lainnya walaupun jaraknya terentang jauh. Hal ini dapat menjelaskan mengapa kenaikan harga pangan dan energi dunia menyebabkan kejatuhan rezim di Tunisia, Mesir dan gejolak sosial di beberapa negara lainnya. Tidak ada lagi negara yang dapat menutup diri terhadap perkembangan yang terjadi di dunia, termasuk Indonesia.
Globalisasi ini perlu ditekankan karena dengan adanya globalisasi, sebuah bangsa akan semakin terpengaruh dengan gejolak global. Globalisasi disetujui atau tidak, sudah tidak mungkin lagi kita tolak karena kita tidak mungkin hidup dengan mengisolasi diri dari pergaulan dunia. Bangsa Indonesia tidak dapat lagi menutup dirinya terhadap pengaruh dari luar, baik pengaruh ideologi dan budaya, termasuk juga pengaruh ekonomi dan politik. Globalisasi di bidang ekonomi menyebabkan semakin bebasnya arus modal dan perdagangan dunia sehingga negara-negara yang tidak siap akan dirugikan dengan globalisasi. Globalisasi ibarat pisau bermata dua, dapat menguntungkan tapi dapat juga merugikan, dapat menjadi ancaman tapi juga dapat menjadi peluang, tergantung seberapa mampu kita memahami dan memanfaatkannya.
Sayangnya, fakta yang ada saat ini, Indonesia masih sering dirugikan oleh globalisasi terbukti dari semakin berkurangnya kedaulatan negara terhadap sumber daya nasional terutama di bidang energi, pangan dan keuangan. Hampir semua sektor vital dan penting untuk hajat hidup orang banyak sudah dikuasai oleh asing sehingga pemanfaatannya tidak dapat dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Saat ini kita adalah importir minyak, sementara gas dan batu bara sebagai bahan bakar alternatif lebih banyak diekspor untuk memenuhi kebutuhan industri luar negeri. Kenaikan harga minyak dunia membuat keuangan negara kita dikuras untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri mengingat masih tingginya subsidi BBM. Di bidang pangan, kedaulatan pangan kita terancam sehingga terpaksa kita harus mengimpor beras, kedelai, terigu, gula, bahkan garam sekalipun kita impor untuk memnuhi kebutuhan domestik. Akibatnya, kenaikan harga pangan dunia menyebabkan inflasi yang begitu tinggi pada saat ini sehingga angka kemiskinan dan pengangguran semakin membengkak. Di bidang keuangan, perbankan kita saat ini sudah mayoritas dikuasai pihak asing sehingga sulit untuk mendorongnya untuk lebih berpihak pada rakyat kecil, dan yang paling parah bahwa bangsa kita menjadi tempat singgah sementara bagi para investor untuk menanamkan uangnya di pasar keuangan baik saham dan obligasi, SBI dan SUN untuk mendapatkan keuntungan yang bersumber dari uang rakyat kita. Betapa menyedihkan bangsa kita.
Bangsa yang dulunya adalah bangsa besar yang menjadi salah satu macan Asia, ternyata saat ini menjadi negara yang terbelakang di Asia Tenggara. Di saat bangsa lain sudah mengekspor barang dan jasa dengan kualitas dan kandungan teknologi tinggi, bangsa Indonesia masih mengekspor bahan mentah untuk menyubsidi bahan baku industri negara lain. Angka pertumbuhan yang dibangga-banggakan saat ini hanya dinikmati oleh segelintir orang karena bertumbuh dari sektor padat modal, bukan dari keringat rakyat kita yang sebagian besar masih hidup di sektor pertanian dan industri. Karena itu, angka penangguran dan kemiskinan kita masih tinggi hingga saat ini. Ada yang salah dengan negeri ini yang apabila tidak dibenahi secara serius dan cepat, kita akan semakin tertinggal dari bangsa-bangsa lain, digilas oleh laju globalisasi yang semakin kompetitif dan semakin cepat.
Sayangnya pada saat yang bersamaan, Bangsa Indonesia masih menjalani transisi sistemik. Demokratisasi yang sedang berlangsung saat ini masih pada tahapan prosedural belum sampai pada makna terdalamnya, yaitu bagaimana kedaulatan di tangan pemilih sehingga seluruh kebijakan ditujukan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Demokrasi kita belum menghasilkan kesejahteraan sosial. Sistem ekonomi Indonesia masih belum menghasilkan kelembagaan yang kuat dan efisien dengan sektor ekonomi rakyat khususnya di desa, sebagai penyangganya. Masih kelompok asing dan konglomerat besar yang mendapatkan manfaat terbesar dari ekonomi yang bertumbuh. Sistem pemerintahan kita yang terdesentralisasi belum menemukan formulasi yang tepat, masih diwarnai dengan tarik menarik antara pusat dan daerah, diwarnai oleh kesenjangan antarwilayah dan yang lebih parah lagi bahwa sistem otonomi daerah saat ini menjadi cara dan mekanisme baru bagi para elit lokal untuk melanggengkan kekuasaannya ditambah dengan persoalan korupsi di setiap jenjang pemerintahan.
Saat ini, bangsa Indonesia menghadapi dua ancaman sekaligus, yaitu secara eksternal berupa globalisasi dunia yang semakin cepat dan kompetitif dan secara internal, transisi sistemik kita di bidang politik, ekonomi, dan pemerintahan belum terkonsolidasi dengan baik. Kita harus menemukan jalan keluar terbaik untuk dapat selamat dari kedua ancaman tersebut apabila kita masih ingin hidup sebagai warga negara Republik Indonesia yang bersatu dan berdaulat. Dengan fakta seperti ini, HMI diharapkan dapat memberikan sumbangsih terbaiknya bagi bangsa Indonesia, HMI di tengah globalisasi yang semakin cepat dan transisi sistemik Indonesia yang belum selesai. Bagaimana HMI menjawabnya agar dapat memberikan kontribusi terbaiknya bagi bangsa yang sedang terancam ini?

HMI Kembali ke Kampus
Ada sebuah tesis tentang pergerakan mahasiswa yang menyebutkan bahwa di sebuah negara yang masih dibawah rezim non demokratis, mahasiswa dituntut untuk terlibat penuh sebagai kekuatan pendobrak rezim bersama kekuatan pro demokrasi lainnya mengingat masih belum efektifnya pilar demokrasi lainnya seperti parlemen, media massa, dan NGO. Tetapi ketika demokrasi sudah matang, mahasiswa harus kembali ke kampus untuk melanjutkan pendidikan dan penelitiannya untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuannya.
Pendapat tersebut ada benarnya, dengan demokratisasi yang sedang berkembang di Indonesia, kekuatan politik lainnya perlahan-lahan meneguhkan dirinya sebagai pilar demokrasi. Partai politik dan parlemen relatif memiliki otonomi terhadap pemerintah apabila dibandingkan pada fase Orde Baru sebelumnya, lembaga independen lainnya perlahan-lahan juga menunjukkan otonominya terhadap kekuasaan, pers juga telah bebas, begitupun kekuatan masyarakat sipil lainnya perlahan-lahan sudah mulai meneguhkan eksistensinya. Kalau pada masa Orde Baru, hak menyatakan pendapat, kebebasan berserikat dan berkumpul tidak dijamin tapi saat ini, pengakuan akan hak konstitusional warga negara telah dipenuhi walaupun tentu saja masih banyak kekurangan yang perlu kita tata lebih lanjut. Pengakuan tersebut menyebabkan kekuatan masyarakat sipil sudah dapat mengadvokasi sendiri hak-haknya yang dirugikan oleh negara. Setiap hari kita dapat melihat bagaimana kekuatan masyarakat sipil seperti kelompok petani, kelompok buruh, para kepala desa, tenaga honorer dll, silih berganti memanfaatkan ruang publik untuk menyampaikan tuntutannya. Kelompok tersebut semakin berdaya dalam menyampaikan aspirasinya didampingi oleh tenaga profesional seperti ahli hukum dan dengan kemampuan mengorganisir diri yang baik. Pertanyaannya kemudian adalah dengan situasi masyarakat sipil yang semakin berdaya? Dimana letak perjuangan mahasiswa khususnya HMI pada era ini?
Kalau membandingkan dengan beberapa fase sebelumnya, perjuangan HMI sebatas perlawanan terhadap rezim, entah itu rezim kolonialis secara fisik, rezim ideologi dan rezim pembangunanisme atau secara umum perlawanan terhadap negara, saat ini perjuangan HMI lebih kompleks. Dari tantangan kekuatan asing dalam bentuk globalisasi yang semakin cepat dan kompetitif dan juga ancaman domestik seperti belum terselesaikannya agenda demokratisasi ekonomi politik di tingkat pusat terutama di daerah seiring dengan desentralisasi. Tantangan semakin berat sementara ruang sosial telah diisi oleh kekuatan masyarakat sipil lainnya yang sudah berdaya, sehingga perjuangan HMI dituntut lebih cerdas dan lebih kreatif. Inilah saatnya untuk HMI kembali ke kampus, mengembangkan perjuangan dari kampus dengan berbasis intelektualitas sesuai dengan basis keilmuan yang digelutinya.
Disadari atau tidak, salah satu letak kelemahan Indonesia di era globalisasi saat ini adalah kurangnya Sumber Daya Manusia (SDM) yang profesional dan memiliki komitmen nasionalisme dan religiusitas (keagamaan) yang kuat. Tanpa SDM yang profesional di bidangnya masing-masing, sulit untuk mengembangkan kehidupan masyarakat di wilayah tersebut. Begitu banyak pengangguran terdidik dari alumni perguruan tinggi yang menunjukkan rendahnya kualitas pembelajaran yang menyebabkan peserta didiknya tidak memiliki keterampilan teknis, inovatif dan kreatifitas. Motor-motor dari globalisasi saat ini adalah individu yang kreatif dan inovatif yang memiliki kecerdasan berdasarkan disiplin keilmuan yang digelutinya semasa kuliah. Selama ini peran kampus belum dioptimalkan, baik untuk menghasilkan alumni yang profesional dan kreatif berdasarkan disiplin ilmunya masing-masing, terlebih peran kampus dalam pengabdian sosialnya untuk memberdayakan masyarakat di sekitarnya. Hal ini menyebabkan masyarakat kita tidak mampu berkembang dengan baik, karena mereka beraktifitas tanpa dukungan ilmu pengetahuan, informasi dan teknologi dari kampus. Tanpa dukungan kebijakan yang prorakyat dari pemerintah dan dukungan pembiayaan dari sektor perbankan serta pendampingan dari jaringan pengusaha nasional..  
Para petani kita dilepaskan untuk bersaing langsung dilapangan dengan perusahaan pangan asing yang telah menggurita, yang telah menguasai pasar input dan jaringan serta modal yang kuat. Akibatnya petani kita tidak mampu meningkatkan pendapatannya mengingat keterbatasan sumber daya sehingga harus menyerahkan dirinya untuk diperas secara halus oleh perusahaan besar. Para nelayan kita dengan kapasitas pengetahuan terbatas, ditengah ketiadaan modal dan dukungan perahu kecil untuk melaut, dilepaskan untuk bersaing secara bebas dengan kapal-kapal modern milik perusahaan besar dan juga nelayan asing. Petani dan nelayan kita dilepaskan berkompetisi tanpa dukungan kebijakan dari pemerintah, dukungan keuangan dari perbankan dan tanpa dukungan ilmu pengetahuan dan teknologi yang harusnya dipenuhi dari kampus.
Pengusaha kita yang tanpa komitmen nasionalis mengekspor bahan mentah ke luar negeri untuk memenuhi kebutuhan bahan baku perusahaan asing tanpa berpikir terhadap nilai tambah apabila barang tersebut diolah di dalam negeri berikut penyerapan tenaga kerja yang dihasilkannya. Sebagian besar pengangguran di Indonesia terdiri dari kaum terdidik yang disamping tidak memiliki akses terhadap sumber daya juga kurang memiliki pengetahuan praktis berikut daya inovasi dan kreatifitas yang harusnya diperoleh di bangku kuliah sesuai bidang keilmuan yang digelutinya. Banyak tenaga profesional kita yang lebih memilih untuk tinggal di luar negeri mengingat fasilitas dan penghargaan yang diterimanya lebih bagus ketimbang di negeri ini. Sementara tenaga-tenaga profesional lainnya di dalam negeri sebagian besar diisi oleh tenaga kerja asing.
Semua fakta tersebut menunjukkan lemahnya kampus dan mahasiwanya, bukan hanya terhadap penyerapan ilmu pengetahuan dan teknologi tapi terutama pada penerapan keilmuan dalam kehidupan sosial. Untuk membangun bangsa Indonesia, kampus menjadi salah satu pemicunya. Dengan ilmu pengetahuan yang lebih berkembang, kampus bukan hanya akan mampu meningkatkan pemahaman dan pengembangan iptek dan kreatifitas terhadap mahasiswanya tapi juga dapat semakin memperluas pengabdiannya pada masyarakat. Di beberapa negara lain, kampus menjadi mata air yang mendorong masyarakat sekitarnya untuk dapat lebih maju dan mengembangkan usahanya. Sektor pertanian Indonesia akan lebih maju apabila dukungan kampus berupa ilmu pengetahuan dan teknologi dalam keseluruhan proses produksi dan distribusinya dapat dioptimalkan. Begitupun sektor industri kita akan lebih maju dengan memanfaatkan sumber daya alam yang melimpah dan bahan baku dari sektor pertanian dengan menggunakan perangkat ilmu pengetahuan dan tekhnologi tepat guna disertai dengan pendampingan kampus secara memadai. Tentu saja kampus saja tidak cukup, dibutuhkan kerja sama dengan pemerintah, perbankan, wirausahawan dan stake holder lainnya, tapi setidaknya peran kampus sangat strategis di sini.
Dengan sektor pertanian yang lebih berkembang dan efisien, sektor industri yang lebih tersebar, disertai dengan dukungan dan pendampingan kampus beserta ilmu pengetahuan dan teknologinya, bangsa Indonesia akan semakin besar. Hal ini juga akan mengurangi kesenjangan sosial dengan memperbanyak wirausahawan dan meningkatkan pendapatan rakyat. Hal ini bukan saja untuk kampus dengan jurusan ilmu pasti (exacta), jurusan humaniora juga sangat dibutuhkan oleh masyarakat, mulai dari aplikasi ekonomi terapan seperti akuntansi, analisa pasar, sampai pada riset perilaku yang dapat dikembangkan oleh jurusan humaniora. Semua disiplin keilmuan apapun namanya pasti memiliki relevansi dengan dunia sosial tempatnya didirikan, tinggal bagaimana membangun keterkaitan dan kemitraan antara dunia kampus dengan masyarakat sebagai wujud komitmen pengabdian sosialnya kepada masyarakat.
Dengan sumber daya manusia yang lebih profesional di bidangnya masing-masing, diiringi dengan komitmen kebangsaan dan keber-Islam-an yang kuat, bangsa ini akan semakin besar dan akan mampu menghadapi globalisasi secara lebih terhormat. Peran kampus adalah mengembangkan ilmu pengetahuan secara serius untuk melahirkan alumni terbaik yang profesional dan mengembangkan pengabdian masyarakat secara lebih serius dengan mengaitkan aktifitas masyarakat dengan kampus. HMI sebagai bagian dari masyarakat kampus dituntut untuk menjadi lokomotif dari gerakan ini. Kader-kader HMI harus didorong untuk memahami secara paripurna bidang keilmuan yang digelutinya sehingga kader bukan hanya akan memiliki prestasi kuliah yang baik tapi juga akan mampu memiliki kecerdasan teknis yang menjadi modalnya untuk hidup bermasyarakat. Pertanyaannya adalah seberapa mampu HMI menjadikan kampus sebagai basis pergerakannya? HMI harus kembali ke kampus, sebagai wahana rekruitmen kadernya yang semakin berkurang dan sebagai wahana perjuangan di fase perjuangan saat ini.
Kembali ke tesis tentang pergerakan mahasiswa, apakah mahasiwa sepenuhnya hanya berkutat pada pengembangan ilmu pengetahuan, lepas dari upaya pengisian ruang-ruang publik mengingat semakin menggeliatnya kekuatan masyarakat sipil lainnya untuk meneguhkan eksistensi dan kepentingannya? Mengingat situasi bangsa yang saat ini masih dalam fase transisional, mahasiswa semakin dibutuhkan di ruang publik. Tapi tentu saja dengan model gerakan mahasiswa yang lebih cerdas dan lebih kreatif dari para pendahulunya mengingat semakin kompleksnya permasalahan yang ada. Dengan kesadaran situasi bangsa yang sedang transisi, tentu saja banyak ranah kehidupan yang perlu ditata lebih lanjut agar lebih sesuai dengan semangat zamannya.
Diperlukan penataan kelembagaan dan sistem ekonomi, politik dan pemerintahan yang lebih menjadikan peningkatan kesejahteraan rakyat sebagai muaranya. Dengan kebutuhan penataan kelembagaan seperti itu, tentu saja banyak peraturan dan praktik lama yang harus dihilangkan, diganti dengan peraturan dan praktik baru yang lebih berorientasi pada peningkatan kesejahteraan rakyat dan kedaulatan bangsa. Undang-undang di bidang pangan, energi, dan keuangan sebagai sektor vital yang menguasai hajat hidup orang banyak perlu diubah agar lebih pro rakyat dan pro kedaulatan negara. Untuk itu, peran mahasiwa dan kampus sangat dibutuhkan untuk memberi alternatif terhadap Undang-Undang dan praktik lama yang ternyata tidak memperkuat rakyat dan kedaulatan bangsa. Gerakan mahasiwa, masih dibutuhkan baik untuk pengembangan ilmu pengetahuan maupun pengabdiannya terhadap masyarakat secara lebih kreatif dan lebih cerdas. Harapan kami sebagai alumni HMI, semoga HMI menjadi garda terdepan untuk mewujudkan agenda-agenda tersebut.
Pada akhirnya, saya ingin menyampaikan sebuah kutipan dari pidato dari seorang pejuang aktivis mahasiswa, Frederick Douglass, pada saat West Indian Emancipation Speech yaitu:
 The whole history of the progress of human liberty shows that all concessions yet made to her august claims have been born of earnest struggle. … If there is no struggle there is no progress. Those who profess to favor freedom and yet deprecate agitation are men who want crops without plowing up the ground; they want rain without thunder and lightning. They want the ocean without the awful roar of its many waters.
Teruslah berjuang dimana pun berada sebagai baktimu untuk negeri, teruslah berkarya untuk kesejahteraan rakyat Indonesia. Segala tantangan dan hambatan pasti ada tapi yakinlah suatu saat bangsa ini akan sampai pada tujuannya yang termaktub di dalam pembukaan UUD 1945. Dan pada saat itu catatan sejarah akan menulis bahwa peranan dan sumbangsih HMI akan kemajuan bangsa tertoreh dengan tinta emas pada setiap generasi. Jayalah HMI, Yakin Usaha Sampai.

Setengah Abad (50 Tahun) HMI Cabang Ciputat


 Oleh : Agusalim Sitompul
(Sejarawan HMI)
Dalam Buku "Membingkai Perkaderan Intelektual; 50 Tahun HMI Cabang Ciputat"

      Sebagai cikal bakal IAIN Syarif Hidayatullah (sekarang UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) adalah Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA), yang didirikan di Jakarta dengan Ketetapan Menteri Agama No. 1 Tahun 1957, tanggal 1 Januari 1957. Sebelumnya di Yogyakarta, Pemerintah mengambil alih Fakultas Agama UII, kemudian dinegerikan menjadi Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri dengan Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 1950, tanggal 14 Agustus 1950. Dengan keputusan bersama Menteri Agama dan Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan RI Nomor : K/1/14641/Tahun 1951 (Agama) dan Nomor : 28665/KB Tahun 1951 (Pendidikan) tanggal 20 Seprember 1951, pelaksanaan penyelenggaraan PTAIN diatur bersama oleh Menteri Agama dan Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan.
Tahun 1950-1963, adalah masa pertumbuhan dan perkembangan HMI yang sangat pesat. Hampir di mana ada Perguruan Tinggi, Akademi, Universitas, Sekolah Tinggi di situ pasti ada HMI, yang tergabung dalam Komisariat. Dibentuknya Komisariat HMI tersebut karena HMI berbasis di Perguruan Tinggi, sebagai ujung tombak perjuangan HMI. Pembentukan Komisariat di HMI terjadi pada tahun 1952. Sebelumnya pengelompokan anggota HMI masih berbentuk kelompok gabungan. Melihat pertumbuhan dan perkembangan HMI yang sangat pesat ketika itu, termasuk di HMI Cabang Yogyakarta, tampaknya HMI di Komisariat ADIA sudah dibentuk. Hal ini perlu ditelusuri oleh Pengurus HMI Cabang Ciputat, agar dapat dipastikan secara akurat, apakah HMI Komisariat ADIA sudah terbentuk, sebelum kampus IAIN pindah ke Ciputat, sebagai cikal bakal HMI Cabang Ciputat yang ada pada saat ini.
Karena baik ADIA Jakarta, maupun PTAIN Yogyakarta tidak lagi memenuhi kebutuhan ummat Islam akan urgensi Perguruan Tinggi, maka berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 11 Tahun 1960, tanggal 9 Mei 1960, maka PTAIN Yogyakarta dan ADIA Jakarta digabung menjadi satu dan diberi nama Institut Agama Islam Negeri (IAIN), yang intinya adalah PTAIN Yogyakarta. PTAIN berpusat di Yogyakarta. Sebagai penjelmaan PTAIN di Yogyakarta, dibentuk 3 Fakultas, yaitu Ushuluddin, Syariah, dan Tarbiyah.  Sebagai penjelmaan ADIA Jakarta, dibentuk Fakultas Adab dan Fakultas Tarbiyah. IAIN Al Jamiah Al Islamiyah Al Hukumiyah diresmikan di Yogyakarta tanggal 24 Agustus 1960, oleh Presiden Soekarno.
Perkembangan IAIN Al Jamiah sangat pesat. Akhirnya IAIN yang berpusat di Yogyakarta perlu dikembangkan lagi. Maka pada tanggal 18 Maret 1963, IAIN Cabang Jakarta menjadi IAIN pusat berkedudukan di Jakarta. Dengan demikian IAIN menjadi 2 pusat. IAIN yang berpusat di Yogyakarta, membawahi fakultas-fakultas yang ada di bagian Timur (Jawa Tengah, Kalimatan, Sulawesi, dan lain-lain), sedangkan IAIN yang berpusat di Jakarta membawahi fakultas-fakultas yang ada di bagian barat (Jawa Barat dan Sumatera). Sampai 1 November 1973, jumlah IAIN seluruh Indonesia ada 14 buah, yaitu dengan diresmikannya IAIN Sumatera Utara di Medan
Setelah ADIA Jakarta dan PTAIN Yogyakarta digabung menjadi IAIN, tahun 1961, kampus IAIN Jakarta, yang semula berada di Jakarta, dipindahkan ke Ciputat yang berada di Propinsi Jawa Barat. Sudah barang tentu pindahnya kampus IAIN dari Jakarta ke Ciputat, dan HMI dengan sendirinya ikut pindah. Setelah kampus IAIN Jakarta pindah ke Ciputat, maka HMI ditingkatkan menjadi Cabang. Sewaktu kampus IAIN masih di Jakarta, masih berstatus Komisariat dari Cabang Jakarta.
Maka saat ini dalam rangka Dies Natalis ke-50 HMI Cabang Ciputat, HMI perlu menelusuri dan meneliti kapan dibentuknya HMI Komisariat ADIA. Jika tanggal itu dapat ditemukan, maka itulah sebenarnya sebagai cikal bakal terbentuknya HMI Cabang Ciputat. Karena HMI Komisariat ADIA (IAIN Jakarta) adalah cikal bakal HMI Cabang Ciputat yang ada pada saat ini.
HMI di Komisariat PTAIN Yogyakarta, dibentuk setelah setahun PTAIN berdiri, tepatnya 24 September 1952. Setelah terbentuk IAIN tahun 1960, menjadi Komisariat IAIN. Selanjutnya pada rapat anggota HMI Komisariat IAIN tanggal 27 Mei 1962 memutuskan HMI Komisariat IAIN dipecah menjadi 4 Komisariat, sesuai dengan jumlah Fakultas yang ada di IAIN Yogyakarta. Pelantikan pengurus Komisariat bersama pengurus Koordinator Komisariat (belum disebut KORKOM) dilaksanakan di Masjid Syuhada tanggal 7 Oktober 1962. Sedang Koordinator Komisariat (KORKOM), secara nasional baru ada tahun 1966.
HMI di PTAIN/IAIN/UIN Yogyakarta, tidak pernah menjadi Cabang, selamanya berada di bawah HMI Cabang Yogyakarta. Sebenarnya kalau HMI PTAIN/ IAIN/ UIN ditingkatkan menjadi Cabang (umpamanya disebut Cabang Sleman) sangat memungkian sekali sebab Sleman adalah Kabupaten dan di Sleman terdapat Perguruan Tinggi favorit seperti UGM, UII, UIN, UNY, UPN, dan lain-lain.

Makna Dies    
Kini HMI Cabang Ciputat genap berusia 50 tahun, suatu angka yang apabila dijadikan notasi usia, cukup sudah disebut dewasa bagi yang memilikinya, bahkan dapat dikatakan telah memasuki tahap pendewasaan bagi mereka yang lambat dan terlambat. Buat suatu organisasi, usia 50 tahun tidak ayal lagi adalah suatu bukti eksistensi yang telah teruji waktu, situasi, dan kondisi. Namun, masih terus diuji lagi berulang kali, tiada berhenti sejenak pun, justru untuk kelangsungan hidup atau eksistensi. Seseorang itu baru akan meningkat dan besar setelah diuji dan berhasil lulus dalam ujian itu. Dies Natalis atau Ulang Tahun. Saat untuk merenung, memikirkan, dan menanyakan kembali tentang diri kita, tentang kehidupan lingkungan, kehidupan Nasional bangsa kita dengan mengajak teman-teman, simpatisan-simpatisan kita, dan siapa saja yang berjuang untuk cita-cita bangsa.
Berjalan terus. Memang. Itulah kehendak kita tanpa tendensi-tendensi interes pribadi atau sesuatu pihak. Non-aliansi yang tertuang dalam Independensi HMI bukannya netral, menyendiri, atau mengisolasi diri. Independensi berarti tetap komitmen kepada nilai dasar perjuangan, yakni Islam sebagai suatu kebenaran mutlak, yang menjadi dasar organisasi HMI. Hanya kepada itulah komitmen HMI. Bukannya kepada perorangan, golongan, atau kekuatan sosial politik mana pun juga. Berjalan bersama dan bekerja sama. Tentu dengan siapa saja yang dalam jalan Pancasila, Undang-undang Dasar 1945, dan Amanat Penderitaan Rakyat, menyukseskan dan meratakan pembangunan di segala bidang.
Sementara kita berjalan  terus, perlulah kita perhatikan kata-kata: Lihatlah dirimu, tengoklah ke belakang dan pandanglah jauh ke depan. Dengan terikatnya kehendak dan kepentingan bersama yang didasari oleh napas idealisme, perjalanan HMI, dimulai dengan didirikannya di Yogyakarta oleh Lafran Pane, dan 14 orang mahasiswa STI lainnya, tanggal 14 Rabiul awal 1366 H bertepatan tanggal 5 Februari 1947, atau 64 tahun silam. Dan dalam keberlangsungan napas idealisme tersebut, kini dengan memperingati Dies Natalis, maka nostalgia yang timbul mempunyai arti dan nilai-nilai tersendiri. Tidak kurang arti yang timbul. Bukannya kita hanya akan melihat raihan-raihan sukses, tetapi justru tantangan, kegagalan, kesalahan, dan kenegatifan yang lainlah yang akan kita formulasi guna tidak menduakalikan hal yang sama.
Lima puluh tahun usia suatu organisasi, memang belum waktunya untuk menikmati secara keseluruhan hasil-hasil dari apa saja yang telah diperbuat selama waktu tersebut. Sebagai organisasi perjuangan, maka kita harus selalu berpandangan bahwa perjuangan kita masih jauh, dan kita harus meningkatkan amal dan pengabdian kita untuk tercapainya tujuan. Karena pada hakikatnya, hidup ini adalah suatu perjuangan. Dan perjuangan itu adalah suatu proses panjang yang harus dilakukan pada setiap saat. Lima puluh tahun adalah usia yang singkat kalau diukur dengan sejarah perjuangan bangsa Indonesia, apa lagi kalau diukur dengan sejarah kemanusiaan. Namun, usia 50 tahun bagi HMI, sudah cukup untuk melakukan penilaian diri, yakni menilai sampai sejauh mana kita dapat berbuat dalam mengemban suatu amanah. Sebenarnya kita hidup di dunia ini dibebani dengan suatu amanah, yakni amanah untuk berbuat kebajikan, melakukan amal-amal pengabdian sebagaimana yang dituntunkan ajaran Islam. Dan dalam kita hidup ber-Himpun atau berorganisasi dalam HMI, juga adalah dalam rangka menunaikan sebagian dari amanah tersebut. Saat ini, kita mencoba menyimak kembali sejarah perjuangan HMI, untuk menarik manfaat darinya, dan lebih jauh dari itu, sebagaimana dikatakan Thomas Carlyle: dengan sejarah, kita belajar lebih bijaksana.


Kebangkitan Intelektual
      Salah satu kontribusi HMI Cabang Ciputat adalah membangun dan mengembangkan “tradisi intelektual” di kalangan HMI Cabang Ciputat khususnya dan di lingkungan almamaternya, IAIN/ UIN Syarif Hidayatullah pada umumnya. Dengan pembangunan dan pengembangan “tradisi intelektual” itu, HMI Cabang Ciputat telah berhasil mencetak tokoh – tokoh nasional seperti Drs. Hafidz Dasuki, Prof. Dr. H. Nurcholish Madjid, Drs. Fachry Ali, Prof. Dr. Azyumardi Azra, Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, Prof. Dr. Bachtiar Effendy, dan Drs. Ahmad Zacky Siradj. Pembangunan dan pengembangan tradisi intelektual itu berdampak sangat luas dan dalam, baik kepada HMI khususnya dan IAIN/ UIN Syarif Hidayatullah, maupun terhadap ummat Islam Indonesia.
Lebih jauh dengan pembangunan dan pengembangan “tradisi intelektual” tersebut, menyebabkan terjadinya “ kebangkitan intelektual” di kalangan ummat Islam, yang selama ini jauh ketinggalan dengan piihak-pihak lain. Kebangkitan intelektual ini sebagaimana pernah terjadi pada Zaman Klasik, di masa Daulah Abbasiyah di Baghdad, walaupun sifatnya lebih luas dan dalam, melingkupi berbagai ilmu pengetahuan. “Kebangkitan intelektual” itu merupakan pemikiran-pemikiran Islam dengan tujuan agar agama Islam selalu dinamis dalam memberikan solusi serta jawaban terhadap berbagai masalah yang muncul di tengah-tengah masyarakat, sehingga agama Islam itu tetap sesuai dengan waktu dan jaman yang selalu berubah. Pemikiran-pemikiran keislaman yang dicapai itu termuat dalam buku-buku yang ditulis para tokoh yang disebut di atas, yang jumlahnya banyak sekali. Kejumudan yang melanda ummat Islam yang terjadi sebelumnya, karena agama Islam seolah-olah tidak dapat memberikan solusi yang terbaik terhadap persoalan-persoalan yang timbul dalam masyarakat.
Persoalannya sekarang, sanggupkah HMI Cabang Ciputat dapat mempertahankan pembangunan dan pengembangan “tradisi intelektual” tersebut secara terus menerus walaupun seandainya tokoh-tokoh yang disebut di atas dipanggil Allah SWT lebih dahulu. Hal ini pasti terjadi, seperti telah meninggalnya Prof. Dr. H. Nurcholish Madjid beberapa waktu yang lalu.

Prospek HMI
Kini HMI Cabang Ciputat memasuki usia 50 tahun. Bagaimana masa depan HMI Cabang Ciputat. Seperti diketahui secara nasional, saat ini HMI sedang mengalami kemunduran sejak tahun 1980, seperti yang saya tulis dalam buku 44 Indikator Kemunduran HMI Suatu Kritik dan Koreksi untuk Kebangkitan Kembali HMI. Kemunduran itu tidak terkecuali juga dialami HMI Cabang Ciputat. Kemungkinan  yang akan dialami HMI Cabang Ciputat, adalah HMI dalam keadaan status quo, bahkan bisa bubar, kecuali ada perubahan yang sagnat signifikan yang harus segera dilakukan sehingga HMI Cabang Ciputat tetap eksis sebagaimana dikehendaki oleh segenap anggota dan alumni HMI.
Oleh karena itu ke depan, agar HMI Cabang Ciputat tetap eksis harus melakukan langkah – langkah yang sangat mendasar dengan kunci pokok:
1.       Segenap anggota, aktivis, kader, dan pengurus HMI wajib mengetahui, memahami, menghayati, dan mengamalkan ajaran agama Islam secara utuh dan benar, sehingga setiap langkah, sikap, perbuatan dan perkatan, dapat mencerminkan sebagai Muslim Sejati,
2.       Segenap anggota, aktivis, kader, dan perngurus HMI dapat menjadi Uswatun Hasanah, serta dapat menjadi panutttan kapan dan di manapun berada.
3.       Memiliki pengurus yang kuat. Kuat akidahnya, kuat ibadahnya, kuat ilmunya, kuat sikap dan pendiriannya, kuat berpikir, kuat konsep dan pemikiran, kuat idealisme-nya, dan kuat memegang amanah.
4.       HMI Cabang Ciputat dalam kondisi dan situasi apapun harus selalu dalam keadaan solid.
5.       Melaksanakan pendidikan atau perkaderan yang dapat melahirkan kader – kader HMI yang berkualitas. Karena para kader – kader inilah yang kelak akan menjadi Pengurus HMI secara berkesinambungan, serta menjadi calon pemimpin bangsa di masa mendatang.
6.       Segenap anggota, aktivis, kader, dan pengurus HMI harus memiliki integritas  pribadi yang utuh.
7.       Segenap anggota, aktivis, kader, dan pengurus HMI adalah pribadi yang cinta ilmu pengetahuan sebagai ciri kader HMI. Buku adalah setitik ilmu, buku adalah sumber pengetahuan dan sumber infiomasi, maka segenap anggota, aktivis, kader, dan pengurus HMI, yang juga sebagai mahasiswa adalah orang yang rajin membaca buku dan menulis
8.       HMI sebagai organisasi, yang berfungsi sebagai organisasi perjuangan, wajib memiliki media, sebagai alat penghubung antara pengurus dan anggota maupun dengan masyakat luas, serta sebagai alat, untuk melatih anggota-anggota HMI menulis, guna menyampaikan berbagai pemikiran dan gagasannya
9.       HMI harus menjalin hubungan kerja sama, dengan semua pihak yang setuju dan mendukung tujuan dan missi HMI dalam rangka mencapai tujuan HMI.
10.   HMI harus memiliki dana serta sarana dan prasarana yang cukup


Khatimah
Demikianlah kata sambutan yang disampaikan, semoga dapat disimak dengan seksama serta bermanfaat dan berdayaguna bagi HMI. Dirgahayu HMI. Bahagia HMI selalu untuk menggapai cita-citanya. Sekali terjung ke gelanggang pantang mundur sebelum menang. Yakin Usaha Sampai – YAKUSA.