Sabtu, 12 Mei 2012

Hari-Hari Dimana HMI Ciputat Tanpa Senyuman


Oleh :
Marwan Saridjo
 
Dalam Buku :
"Membingkai Perkaderan Intelektual; Setengah Abad HMI Cabng Caputat"
 
 
S
uatu hari di bulan April tahun 1988, di ruang Tata Usaha Menteri Agama, Mas Tom panggilan akrab Dr. Sulastomo, mantan Ketua Umum HMI di masa prolog dan epilog  Gestapu/PKI, memperlihatkan bukunya berjudul: Hari-Hari Yang Panjang (tahun 2000 telah mengalami cetakan keempat, Kompas) sembari bertanya: Apakah Anda sudah membaca buku ini? Saya jawab, sudah. Mas Tom, lalu bertanya lagi. Bagaimana kesan dan penilaian Anda? Isinya baik, dan cara menulis Mas Tom menarik. Tetapi kata saya, cuma satu yang kurang saya setujui, yaitu pendapat Mas Tom bahwa di IAIN seharusnya tidak perlu dibentuk organisasi HMI. Toh mahasiswa IAIN semua sudah pintar agama. Memang masuk HMI hanya untuk pintar ngaji, jawab saya.
Pandangan Mas Tom dalam bukunya  Hari-Hari Yang Panjang, didasarkan atas kenyataan bahwa pada beberapa IAIN, di antara sesama organisasi ekstra seperti HMI, PMII dan IMM, hubungannya sering tidak harmonis. Berbeda dengan keadaan di lingkungan universitas di luar IAIN, hubungan ketiga organisasi mahasiswa Islam itu, harmonis dan solid. Boleh jadi pula dalam kasus Ciputat, Mas Tom berfikir pembentukan HMI di Ciputat sebagai “kurang memenuhi syarat” karena di Ciputat waktu itu hanya terdapat satu perguruan tinggi, yaitu IAIN.
Peristiwa bulan Oktober 1963 di IAIN Yogyakarta dan IAIN Jakarta, agaknya menyisakan rasa traumatis bagi Mas Tom. Pada tanggal 10 Oktober 1963 saat dilangsungkan acara pelantikan Rektor IAIN Sunan Kalijaga terjadi unjuk rasa yang dilakukan oleh sekelompok mahasiswa yang sebagian besar terdiri dari anggota HMI dan didukung oleh dosen-dosen muda yang diidentifikasi sebagai pendukung HMI. Menyusul peristiwa di IAIN Yogyakarta beberapa hari kemudian terjadi unjuk rasa yang sama di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang digerakkan dari unsur organisasi mahasiswa yang sama (HMI).
Sebagai akibat dari unjuk rasa itu, para pelaku dan dosen-dosen muda yang dianggap mendukung gerakan itu ditangkap pihak berwajib dan dijebloskan dalam penjara.      
Dr. Sulastomo, yang waktu itu menjabat Ketua Umum PB HMI, menyebut peristiwa unjuk rasa tahun 1963 itu sebagai aksi perlawanan sekelompok mahasiswa dan dosen waktu itu sesungguhnya dialamatkan kepada Menteri Agama, KH Saifuddin Zuhri. Itu  artinya Nahdlatul Ulama. Menurut Dr. Sulastomo, kalangan Umat Islam di luar NU, ada semacam prasangka bahwa dalam mengendalikan Kementerian Agama dirasakan adanya ketidak-adilan,  sebagaimana yang dirasakan oleh teman-teman yang bergerak di IAIN Yogyakarta dan Ciputat.
Banyak masalah dipersoalkan, misalnya penempatan pejabat-pejabat di kalangan Kementerian Agama. Seolah-olah apabila tidak mempunyai kartu anggota NU tidak mungkin menjabat di Kementerian Agama.
Dalam memandang peristiwa 10 Oktober 1963 seperti terbaca dalam bukunya Hari-Hari Yang Panjang, Dr. Sulastomo tidak membela HMI, bahkan terkesan menyalahkan HMI.
Agaknya Dr.Sulastomo ingin berbagi rasa dengan Menteri Agama KH. Saifuddin Zuhri, Ia tahu bahwa salah seorang yang meyakinkan Presiden Soekarno, agar HMI tidak dibubarkan  adalah KH. Saifuddin  Zuhri.
Dalam bukunya Berangkat Dari Pesantren, KH.Saefuddin Zuhri menuturkan bahwa suatu pagi ia selaku Menteri Agama dipanggil Presiden Soekarno untuk “coffe morning” di Istana Merdeka. Pada kesempatn itu, Presiden Soekarno memberitahu bahwa ia berniat membubarkan HMI.
Kemudian terjadi dialog antara Bung Karno (BK) dengan KH.Saefuddin Zuhri (SZ), antara lain :
BK
:
Saya memberitahu saudara selaku Menteri Agama, bahwa saya akan membubarkan HMI
SZ
:
Apa alasannya Pak?
BK
:
Berbagai laporan disampaikan kepada saya bahwa di mana-mana HMI melakukan tindakan anti revolusi dan bersikap radikalisme
SZ
:
Kadar anti revolusinya maupun keradikalisme sampai di mana Pak?
BK
:
Yaah, misalnya selalu bersikap aneh, bersikap liberal, seolah-olah hendak mengembalikkan adat kebarat-baratan dan lain-lain.
SZ
:
Apakah sudah dipanggil untuk dinasehati ?
BK
:
Secara umum dan terbuka saya sudah berulang-ulang memperingatkan lewat pidato-pidato saya
SZ
:
Mohon dipertimbangkan sekali lagi. HMI itu anak-anak muda. Mereka itu kader-kader bangsa. Kalau HMI dibubarkan mereka frustasi dan kita semua rugi
BK
:
Mereka anak-anak Masyumi. Sikap mereka tentu seperti Bapaknya; Reaksioner. Kalau HMI bubar, kan NU beruntung dan PMII makin besar
SZ
:
Bukan masalah untung rugi. Sulit bagi saya selagi masih Menteri Agama ada organisasi Islam dibubarkan tanpa alasan kuat.
BK
:
Waah, tidak saya sangka kalau saudara membela HMI
SZ
:
Bukan membela HMI Pak. Itu tugas kami para pembantu Presiden
BK
:
Bukan berlebihan. Tetapi saya berbuat menurut gemeten saya, perasaan hati saya
SZ
:
Kalau Bapak tetap hendak membubarkan HMI artinya pertimbangan saya bertentangan dengan gemeten Bapak, saya sebagai pembantu Bapak hanya sampai di sini
BK
:
Oooo, jangan berkata begitu. Saya tetap memerlukan saudara
SZ
:
Akhirnya, sambil menyalami tangan saya Bung Karno berkata: Baiklah HMI tidak saya bubarkan!
Menurut KH.Saefuddin Zuhri, dialognya dengan Presiden Soekarno tentang HMI di Istana Merdeka itu, disaksikan oleh pengusaha nasional H.Hasjim Ning
Kembali ke peristiwa Oktober 1963. Menurut saya kalau saja peristiwa di IAIN Yogyakarta dan IAIN Jakarta itu,  tidak di-blow up oleh pihak PKI/CGMI,  tidak berimplikasi luas secara politis.
Sahabat saya, kakak kelas di PGA Atas Makassar, yang waktu terjadi peristiwa unjuk rasa di tahun 1963 itu menjadi mahasiswa Fakultas Tarbiyah Malang, dan Ketua Senat PMII Malang (kemudian menjadi Ketua Umum PB PMII), Drs. M. Abduh Paddare dalam tulisannya menyambut 70 tahun H. Kafrawi Ridwan menulis; “Saya anggap gerakan unjuk rasa teman-teman mahasiswa itu sebagai koreksi islah terhadap managemen, administrasi buruknya di IAIN, khusunya di Kementerian Agama yang semerawut”.


02

Pada tahun 1966, saya masuk IAIN Ciputat, dan bergabung dengan HMI. Sebagai seorang yang pernah aktif dalam organisasi PII wilayah Makassar, dan sudah sering  berinteraksi dengan teman-teman yang menjadi anggota HMI, sedikit banyak saya sudah mengenal HMI.
Dan di mata pengurus HMI Ciputat waktu itu, walau baru masuk kuliah dan masuk HMI, saya dipandang anggota yang “senior”­ –setidaknya dari segi usia dan pengalaman. Sebelum masuk kuliah di Ciputat, saya sudah lama menjadi guru (mengajar di kampung saya di Bima), sudah berkeluarga. Sementara para pengurus HMI Ciputat sebagian masih “single” seperti kak Mustoha, Hamdi Ayusa, Hifni Syadzali dan beberapa lagi yang lebih muda.
Ketika akan diselenggarakan Konpercab HMI –kalau tidak salah sebelum setahun masuk HMI– saya ditunjuk menjadi Ketua Panitia. Senior HMI yang selalu mendampingi panitia, waktu itu Hifni Syadzali. Waktu peristiwa Oktober 1963, ia sudah ada di Ciputat. Dalam agenda panitia, selain akan beraudiensi dengan para senior HMI di Ciputat, juga dengan PB HMI, dengan harapan Cak Nur (Nurcholish Madjid, yang sudah menjadi Ketua Umum PB HMI menggantikan Dr. Sulastomo, kalau bisa diharapkan dapat memberikan pengarahan dalam Konpercap.  Selain rencana audiensi dengan kalangan intern HMI, juga diagendakan untuk audiensi dan sekaligus melapor kepada Rektor IAIN Prof. Sunardjo.
Dengan diantar (dipimpin Kak Hifni Syadzali) sekitar tujuh orang panitia, diterima di ruang kerja Rektor lantai I gedung Rektorat sekarang.
Belum selesai Hifni Syadzali memperkenalkan nama-nama anggota yang hadir, tanpa sempat mengutarakan keinginan dan harapan panitia –tiba-tiba Rektor berkata denga nada setengah gusar; “Kenapa saya didemo, apa salah saya, Saya jadi Rektor tidak membawa misi siapa-siapa. Saya tidak tahu hal-hal yang berkaitan dengan NU. Saya masuk NU karena kebetulan saja dalam kabinet memerlukan representasi dari partai, lalu saya diplot menjadi  representasi NU (Prof. Sunardjo pernah menjadi Menteri Perdagangan).
Karena sikap Prof. Soenardjo yang terus menyesalkan peristiwa dan unjuk rasa yang dialamatkan pada dirinya tahun 1963, tidak memungkinkan adanya dialog. Semua panitia diam dan bingug, lebih-lebih yang tidak mengetahui peristiwa Oktober 1963. Hifni Syadzali memberi isyarat agar panitia tidak usah bicara dan memberi respons. Dan akhirnya tanpa dialog, tanpa basa-basi, anggota panitia keluar meninggalkan ruang Rektor. Sesampai  di Kantor HMI, Hifni Syadzali  memberikan briefing dan menuturkan peristiwa tahun 1963, khususnya di IAIN Ciputat

03

Pada tahun-tahun pertama berada di Ciputat –meski saya tidak tinggal di komplek IAIN– suasana kehidupan  di lingkungan kampus nampak serba kaku, bahkan mencekam.  Interaksi antara sesama mahasiswa yang berbeda organisasi ekstra, hampir tidak ada tegur sapa kecuali dalam kasus tertentu: misalnya dalam hal belajar bersama menghadapi tentamen, ada keluarga yang kena musibah, dan pacaran. Sebaliknya dalam forum-forum intern masing-masing organisasi para fungsionaris dari organisasi mahasiswa berbicara dengan nada tinggi.
Setidaknya selama 4 tahun, yaitu antara tahun 1963 sampai tahun 1966, HMI Ciputat berada dalam tekanan berat PKI/CGMI hampir dalam semua lini dan aspek kehidupan. Segala macam stigma diberikan kepada HMI, antara lain seperti yang tercermin dari ucapan Bung Karno dalam dialognya dengan Menteri Agama yang dikutip di atas.
HMI Ciputat selain menjadi sasaran tembak kaum komunis seperti yang dialami HMI lain di seluruh tanah air, mengalami situasi yang lebih spesifik: Peristiwa unjuk rasa Oktober 1963 telah memberikan stigma kepada HMI Ciputat. Walaupun peristiwa 10 Oktober 1963 dimulai dari IAIN Yogya, dan pelaku unjuk rasa mahasiswa dan pendukungnya banyak dari HMI, tetapi dampaknya dan tekanan psikologisnya tidak langsung dapat dirasakan. Hal itu karena HMI Cabang Yogyakarta berada di luar IAIN. Sedang HMI Ciputat, ia berada dalam lingkungan IAIN. Karena kawasannya hanya dalam lingkungan yang sangat terbatas, jika ada seorang anggota atau sekelompok HMI yang kena stigma, dengan sendirinya HMI cabangpun ikut kena stigma dengan label-label seperti : pemberontak, Subversif, dan lain-lain. Stigmatisasi itu, tentu tidak membuat anggota HMI merasa berkecil hati dan kurang militan. Kalau pada hari-hari menjelang prolog G30S hingga di masa epilog G30S/PKI, anggota HMI Ciputat tampil tanpa senyum bersifat “combat ready”, adalah sebagai cerminan sikap militan dan kewaspadaan mereka yang siap konfrontasi dengan siapa saja – utamanya dengan PKI/CGMI dan para kolaboratornya. Saya ingat saudara Syamsudin Simon (di mana dia sekarang) bila malam-malam berkeliling di komplek perumahan IAIN selalu di pinggangnya berselip sebuah kampak ukuran sedang, dan bila seseorang berpapasan dengan dia, bukan anggota HMI, pasti orang tersebut membuang muka.

04
Ketika diselenggarakan musyawarah Dewan Mahasiswa IAIN Ciputat, dalam rangka pemilihan pengurus, masing-masing organisasi ekstra melakukan kampanye untuk memenangkan pemilihan. Walau di sana-sini terjadi intrik dan “tipu muslihat”, alhamdulillah penyelenggaraan  musyawarah berjalan lancar dan tidak ada sesuatu  yang tidak diharapkan.
Perimbangan suara dari ketiga Ormas Mahasiswa, PMII, HMI, dan IMM cukup proporsional. Dari HMI terpilih Mustoha, Marwan Saridjo, Nuryanis, Nur Iman Nasir dan Chozin Arief. Dari PMII Ahmad Sukardja, Zainal Abidin, Matdjali, dari IMM terpilih Sabuki dan lain-lain (maaf saya lupa nama-nama yang lainnya)
Keadaan menjadi krusial ketika menentukan siapa yang menjadi Ketua DEMA. Masing-masing menginginkan menjadi Ketua. Begitu alotnya pemilihan Ketua itu, sampai hampir setahun baru bisa ditetapkan (terpilih) suatu “presidium” atau Ketua-bergilir yaitu; Ahmad Soekardja dari PMII, Mustoha dari HMI dan Sabuki dari IMM.
Setelah terpilih tiga tokoh mahasiswa menjadi Ketua bergilir, DEMA IAIN yang kebetulan sama-sama berasal dari Priangan Timur, seingat saya sejak itu suasana kehidupan dan interaksi di atara sesama mahasiswa IAIN di Ciputat mulai mencair dan membawa “angin baru”. Mulai muncul kesadaran, bahwa baik PMII, HMI, dan IMM, semuannya mahasiswa IAIN, dan tidak ada siapa mendominasi siapa.
Ketika suatu hari (saya lupa waktu persisnya) anggota DEMA IAIN Jakarta menghadap Menteri Agama KH. Moch. Dahlan, saudara Nur Iman Nasir dari Fakultas Ushuludin anggota Dema IAIN mewakili HMI secara ceplas-ceplos dengan gaya Betawi bertanya kepada Menteri Agama; Pak Menteri, di kalangan IAIN dan sebagian masyarakat, masih ada anggapan, bahwa IAIN itu  milik NU. Mendengar ucapan saudara Nur Iman spontan memancing reaksi KH. Moch. Dahlan. “Siapa bilang IAIN milik satu golongan, catat ucapan saya; IAIN bukan milik satu golongan, IAIN bukan milik NU, IAIN adalah milik umat Islam Indonesia.”
Keluar dari ruang Menteri Agama, di jalan Husni Thamrin saya ke Jl. Kebon Sirih, menemui Mulyadi Abdullah (Mahasiswa Fakultas Adab IAIN Ciputat yang sudah agak absen kuliah setelah sarjana muda/BA) yang menjadi anggota  redaksi harian Operasi yang dipimpin Bachtiar Djamily. Setelah mengetik hasil audiensi dengan Menteri Agama KH. Moch. Dahlan, saya serahkan hasil ketikan itu kepada Mulyadi Abdullah.
Besoknya, di headline halaman depan harian Operasi muncul berita  dengan huruf agak menyolok: “Menteri Agama KH.Moh Dahlan : “IAIN bukan milik satu golongan, - bukan milik NU saja - tetapi milik semua Umat Islam Indonesia”.

Dirgahayu HMI !
Pesantren Al-Manar, Ciseeng Bogor, 10 Februari 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar