Sabtu, 12 Mei 2012

Perkaderan HMI Mencari Orientasi Etis


Oleh :
Sudirman Tebba
 
Dalam Buku :
"Membingkai Perkaderan Intelektual; Setengah Abad HMI Cabang Ciputat"
 
 
S
elama ini perkaderan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) selalu dalam keadaan tarik menarik antara keislaman dan keindonesiaan. Orientasi keislaman dalam perkaderan HMI ditandai dengan materi keislaman atau materi yang menyangkut ajaran Islam dalam setiap jenjang perkaderannya, sedang orientasi keindonesiaan ditandai dengan materi yang berkaitan dengan masalah-masalah yang dihadapi oleh Indonesia dalam segala bidang kehidupannya, seperti di bidang politik, sosial, budaya, agama, ekonomi, dan sebagainya.
Adakalanya materi perkaderan HMI lebih berat kepada keislaman dari pada keindonesiaan, dan pada waktu yang lain materi perkaderan lebih berat kepada orientasi kendonesiaan dari pada keislaman. Tarik menarik ini dapat ditelusuri dari  awal lahirnya organisasi ini pada tahun 1947. Waktu itu organisasi ini lahir antara lain untuk menjembatani kesenjangan wawasan mahasiswa Islam yang belajar di perguruan tinggi Islam dengan mahasiswa yang belajar di perguruan tinggi sekular.
Waktu itu perguruan tinggi Islam lebih banyak mengajarkan mata kuliah Islam kepada mahasiswanya, sedang perguruan tinggi sekular lebih banyak memberikan mata kuliah umum sesuai dengan fakultas dan jurusannya.  Akibatnya wawasan mahasiswa Islam mengalami kesenjangan antara pengetahuan agama dengan pengetahuan umum. 
Kemudian HMI lahir antara lain untuk menjembatani kesenjangan wawasan mahasiswa Islam itu dengan cara memberi materi perkaderan yang lebih banyak tentang keindonesiaan kepada anggota HMI dari kalangan mahasiswa perguruan tinggi Islam, dan memberi materi keislaman yang lebih banyak kepada anggota dari kalangan mahasiswa dari perguruan tinggi sekular.
Perkaderan semacam itu boleh dikata berhasil, karena tidak dirasakan lagi kesenjangan yang besar antara keislaman dan keindonesiaan dalam wawasan mahasiswa yang menjajadi anggota organisasi ini.   Tetapi masalahnya apakah setelah  berlangsung puluhan tahun atau beberapa dekade pendekatan semacam itu dalam perkaderan masih relevan, terutama kalau dilihat dari kepentingan bangsa Indonesia dan umat Islam saat ini?
Satu hal yang perlu diperhatikan bahwa perkaderan semacam itu, walaupun kadang lebih berat kepada orientasi keislaman dan kadang lebih berat kepada keindonesiaan, tetapi sebenarnya pendekatan dalam perkaderan itu menggunakan pola yang sama, yaitu pola rasional, artinya lebih menonjolkan rasionalitas, sehingga orang luar ada yang menganggap akidah organisasi ini mengikuti Mu’tazilah.
Di satu sisi pendekatan rasional sangat ampuh untuk mengatasi dan menyelesaikan setiap perbedaan, bahkan pertentangan pendapat di kalangan pemimpin umat dan bangsa yang majemuk ini. Setiap ada perbedaan dan pertentangan pendapat di antara pemimpin umat dan bangsa selama masih menggunakana cara rasional atau akal sehat biasanya selesai, kecuali kalau ada kepentingan yang tidak dapat dikompromikan. .
Soalnya sekarang apakah pendekatan itu masih relevan?. Ada satu hal menarik yang perlu diamati dalam hal ini, yaitu ketika Cak Nur yang banyak memberi kontribusi pada pemikiran Islam yang berkembang di HMI pulang dari menyelesaikan studinya di Amerika Serikat pada tahun 1985 banyak orang mengatakan bahwa Cak Nur telah berubah dibanding dengan ide-ide pembaharuannya yang dilancarkan sebelum berangkat belajar di AS.
Tetapi Cak Nur membantah kalau dikatakan pikirannya telah berubah, malah menurutnya tetap konsisten dengan ide-idenya yang dulu karena sudah didukung oleh bacaan yang lebih banyak. Sebenarnya Cak Nur betul demikian, tetapi pengamatan orang lain juga tidak terlalu salah, yaitu bahwa substansi pemikiran Cak Nur tidak berubah, tetapi pendekatannya berubah.
Kalau dulu waktu melancarkan  ide-ide pembaharuan Cak Nur menggunakan pendekatan rasional, misalnya ada tulisan Cak Nur waktu itu yang berjudul: “Modernisasi adalah rasionalisasi bukan westernisasi”, sehingga ada pengamat dari Malaysia, yaitu Kamal Hasan menganggap pemikiran Islam waktu itu merupakan respon terhadap modernisasi dan pembangunan yang dilancarkan oleh pemerintah Orde Baru.
Tetapi setelah kembali dari AS Cak Nur lebih banyak lebih banyak menggunakan pendekatan intuitif, yaitu bicara hati nurani, akhlak, etika dan moral. Buktinya Cak Nur banyak sekali bicara atau menulis tentang hal-hal itu. Sebenarnya pendekatan intuitif juga rasional, tetapi ada sisi yang lebih dari sekedar rasional, yaitu menjelaskan soal baik dan buruk, benar dan salah, pantas dan tindak pantas, layak dan tidak dilakukan, dan itu ukurannya bukan hanya akal, tetapi juga hati nurani.
Misalnya tidak lama setelah kembali dari AS Cak Nur diundang bicara dalam diskusi di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, lalu ada seorang peserta berkata kepada Cak Nur: “Pikirannya Anda terlalu tinggi, sehingga umat tidak paham”. Kemudian Cak Nur menjawab: “Kalau seorang bakul (tukang jual di pasar) kalau dia mengerjakan pekerjaannya dengan ikhlas, maka dia telah mengerjakan apa saya yang maksud”.
Soal keikhlasan adalah masalah intuisi dan orang yang sederhana atau rendah pikirannya seperti tukang jual di pasar bisa memahaminya. Jadi kalau dikatakan pikiran Cak Nur terlalu tinggi atau elitis tergantung dari mana melihatnya. Kalau dilihat dari sisi intuisi pemikiran setinggi apapun bisa mudah dipahami.
Dilihat dari sisi kepentingan bangsa dan umat Islam saat ini kelihatannya pendekatan intuitiflah yang lebih relevan, dan seharusnya pendekatan inilah yang dipakai dalam perkaderan HMI. Untuk menjelaskan ini saya mau cerita waktu kuliah dulu di Fakultas Syariah IAIN (sekarang Fakultas Syariah dan Hukum UIN).
Waktu itu ada mata kuliah yang namanya “Sejarah Pembaharuan Pemikiran Islam (SPPI)” yang diajar oleh Harun Nasution. Dalam kuliah ini antara lain dibicarakan teologi Islam   sebagai keahlian Pak Harun. Seperti biasanya Pak Harun bicara bahwa teologi Islam terbagi dua, yaitu teologi rasional contohnya Mu’tazilah dan teologi tradisional contohnya Asy’ariyah.
Waktu itu saya sempat bertanya, apakah kalau bicara teologi Islam harus selalu merujuk kepada masa lalu, yaitu Mu’tazilah dan Asy’ariyah dan mazhab yang lain: Pak Harun menjawab: “Memang begitu, apa lagi?” Pertanyaan saya didorong oleh fakta sejarah bahwa dulu teologi Islam muncul karena persoalan yang dihadapi umat Islam, yaitu terjadi perdebatan di kalangan umat, yaitu apakah perang sesama muslim yang menyebabkan mereka bunuh-bunuhan itu dosa besar atau bukan?
Saya waktu itu berpikir bahwa kalau persoalan umat yang dulu bisa menimbulkan persoalan.teologi mengapa persoalan yang kita hadapi sekarang yang jauh lebih berat, seperti kemskinan, keterbelakangan, krisis lingkungan hidup, krisis energi, krisis ekonomi tidak menimbulkan persoalan teologi yang baru?
Waktu itu saya tidak bertanya lagi. Tetapi beberapa tahun kemudian tampaknya saya ada benarnya, yaitu ketika Pak Harun diundang ke Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) untuk diskusi tentang teologi Islam. LIPI mau tahu apakah teologi Islam termasuk ilmu atau bukan?. Salah satu syarat suatu pengetahuan disebut ilmu ialah pengetahuan itu berorientasi kepada masa depan, yaitu memberi respon kepada masalah saat ini untuk ditangani menuju masa depan.
Sedang Pak Harun menjelaskan teologi Islam selalu berorientasi ke belakang atau masa lalu, yaitu bicara mazhab-mazhab teologi yang pernah muncul di masa lalu, seperti Mu’tazilah itu rasional dan Asy’ariyah itu tradisonal. Akhirnya LIPI menyimpulkan bahwa teologi Islam bukan ilmu, karena tidak berorintasi ke masa depan.
Kemudian ada diskusi di aula IAIN (sekarang UIN Jakarta)  pembicara antara lain Cak Nur topiknya bukan teologi, tetapi tiba-tiba Cak Nur berkata bahwa teologi bukan hanya rasional  dan tradisional, tetapi sekarang ada yang namanya teologi etis (ethical theology). Kelihatannya Cak Nur menanggapi Pak Harun, tetapi tidak sebut nama.
Setahu saya Cak Nur tidak menjelaskan apa itu teologi etis, tetapi dia banyak sekali bicara dan menulis soal akhlak, etika dan moral, sehingga kita bisa mengatakan bahwa teologi etis termasuk di sana, dan kalau ada teologi etis itu bisa menjawab masalah besar yang sangat merusak bangsa ini, yaitu kasus korupsi yang telah merajalela di mana-mana, bahkan  beberapa kasusus (ada kemungkinan) termasuk di UIN Jakarta.
Kasus korupsi adalah bukti kelemahan pendekatan rasional dalam perkaderan, sehingga perlu orientasi baru, yaitu orientasi etis dengan menggunakan pendekatan intuitif yang mengingatkan pentingnya akhlak, etika dan moral dalam hidup ini. Dalam orientasi intuitif orientasi keislaman dan keindonesiaan tetap ada, tetapi hal itu dilihat dari perspektif akhlak, etika dan moral. Ke sanalah sebaiknya orientasi perkaderan HMI Cabang Ciputat dikembangkan menuju masa depan. Selamat Hari Ulang Tahun HMI Cabang Ciputat yang ke-50, semoga tetap jaya. Amien!       .   

Warisan Rezim Orde Baru
Praktik korupsi merupakan warisan rezim Orde Baru. Di masa Orde Baru praktik korupsi juga kolusi dan nepotisme yang biasa disebut KKN merajalela di masa Orde Baru, karena rezim itu otoriter sehingga melemahkan kontrol dari bawah. Kontrol dari bawah atau rakyat atau luar pemerintahan boleh di kata kurang berjalan, sehingga para pejabat dengan tenang dan aman  dapat melakukan KKN.
Pada masa itu setiap kali muncul kritik terhadap praktik KKN dianggap sebagai kritik kepada pemerintah secara keseluruhan, sehingga diredam seminimal mungkin. Partai politik dan pers tidak dapat berbuat banyak untuk mengembangkan kritik kepada pemerintah, karena eksistensinya terancam.
Dalam situasi seperti itu saya menjadi mahasiswa IAIN (sekarang UIN) Jakarta pada tahun 1978. Tahun itu biasa disebut puncak gerakan mahasiswa Indonesia, karena pada tahun itu boleh dikata semua kampus di Indonesia mahasiswanya melakukan demonstrasi atau turun ke jalan. Untuk mengenang gerakan itu sekarang ada sekelompok orang yang menyebut dirinya Kelompok 77/ 78.
Setelah itu tidak ada lagi demonstrasi mahasiswa secara besar-besaran sampai akhirnya muncul gerakan reformasi pada tahun 1998. Ketidakberanian mahasiswa turun ke jalan antara lain karena pemerintah mengancam bertindak keras  kepada siapapun yang turun ke jalan, dan juga pemeritah mengubah sistem perkuliahan dari sistem lama yang terdiri atas sarjana muda dan sarjana lengkap yang biasanya memakan waktu 6 – 7 tahun menjadi sistem S1 yang hanya memerlukan waktu 4 tahun.
Dengan sistem baru itu kuliah dipadatkan agar mahasiswa menjadi sibuk dan tidak banyak waktu untuk melakukan kegiatan di luar kampus, terutama turun  ke jalan.  Cara ini kelihatannya cukup efektif mengurangi demontrasi mahasiswa.
Saya menjadi mahasiswa pada waktu sistem lama masih berlaku, tetapi keberanian mahasiswa untuk turun ke jalan sudah sangat berkurang. Kemudian mahasiswa senior banyak yang mengingatkan bahwa kalau kita kritik pemerintah lalu pemerintah diganti tentu yang menggantikan adalah orang-orang yang dekat dengan pemerintah.
Jadi, yang pasti yang menggantikan orang-orang itu bukan mahasiswa, karena mereka harus terlebih dahulu menyelesaikan kuliah.  Karena itu, selesaikan kuliah dan perbanyak ilmu agar siap masuk pemerintahan untuk menggantikan orang-orang yang berkelakuan buruk itu.
Cara berpikir itu mendorong mahasiswa untuk lebih suka membaca buku dan berdiskusi dari pada turun ke jalan. Untuk itu kita sering mengundang pakar-pakar dari Universitas Indonesia yang tinggal di Komplek Perumahan UI di Ciputat, seperti psikolog Sarlito Wirawan Sarwono dan ahli hubungan interrnasional Juwono Sudarsono untuk berdiskusi di kantor HMI Cabang Ciputat.
Dari situ banyak teman yang mengembangkan kemampuan menulis artikel di koran-koran dan majalah-majalah. Juga banyak mahasiswa yang aktif di Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)   yang waktu itu sedang marak berkembang. Di LSM teman-teman aktif berdiskusi, melakukan penelitian dan kegiatan program pengembangan masyarakat secara langsung. 
Semua kegiatan itu berdampak positif dalam mengambangkan diri masing-masing sampai hari ini, karena apapun pekerjaan kita diperlukan kebiasaan membaca dan menganalisis keadaan agar dapat berkembang secara baik.
Ketika terjadi reformasi tahun 1998 yang menumbangkan rezim Soeharto orang-orang pemerintahan berganti, tetapi kelakuan orang tidak berubah, misalnya praktik korupsi tetap merajelala. Ini berarti bahwa tidak cukup hanya mengganti orang, tetapi harus disertai dengan perubahan cara berpikir atau reorientasi. Kita mengerti hal ini kalau biasa membaca dan menganalisis keadaan masyarakat.
Reorientasi berpikir itu juga dipahami oleh Cak Nur, sehingga ketika kembali ke Indonesia tahun 1985 dia mengubah cara berpikirnya dalam memandang Islam dan umat, sehingga banyak bicara masalah moral, akhlak, dan etika. 
Tetapi hal itu tidak berarti bahwa turun ke jalan itu buruk. Buktinya ketika rezim Orde Baru melemah mahasiswa kembali turun ke jalan dan krisis monoter yang membuat dolar Amerika ketika waktu normal hanya Rp 2.200 per dolar lalu tiba-tiba naik sampai Rp 17.000 per dolar, akibatnya  harga barang melambung tinggi, sementara pemerintah Soeharto tidak dapat mengendalikan keadaan, maka dia pun jatuh.
Dari situ kelihatan bahwa kejatuhan nilai rupiah sangat dalam jauh lebih dalam dibanding dengan kejatuhan nilai mata uang negara-negara tetangga, seperti Malaysia, Thailand dan Filipina yang rata-rata hanya jatuh 100 persen.  Ini karena praktik korupsi di negeri ini jauh lebih marak dibanding korupsi di negara-negara tetangga itu.
Hal ini seharusnya menyadarkan kita bahwa setiap pemerintah yang korup akan jatuh dan karena itu kita harus melakukan reorientasi berpikir dan bertindak, termasuk dalam perkaderan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar