Oleh :
Sudirman Tebba
Dalam Buku :
"Membingkai Perkaderan Intelektual; Setengah Abad HMI Cabang Ciputat"
S
|
elama ini perkaderan Himpunan
Mahasiswa Islam (HMI) selalu dalam keadaan tarik menarik antara keislaman dan
keindonesiaan. Orientasi keislaman dalam perkaderan HMI ditandai dengan materi
keislaman atau materi yang menyangkut ajaran Islam dalam setiap jenjang
perkaderannya, sedang orientasi keindonesiaan ditandai dengan materi yang
berkaitan dengan masalah-masalah yang dihadapi oleh Indonesia dalam segala
bidang kehidupannya, seperti di bidang politik, sosial, budaya, agama, ekonomi,
dan sebagainya.
Adakalanya materi
perkaderan HMI lebih berat kepada keislaman dari pada keindonesiaan, dan pada
waktu yang lain materi perkaderan lebih berat kepada orientasi kendonesiaan
dari pada keislaman. Tarik menarik ini dapat ditelusuri dari awal lahirnya organisasi ini pada tahun 1947.
Waktu itu organisasi ini lahir antara lain untuk menjembatani kesenjangan wawasan
mahasiswa Islam yang belajar di perguruan tinggi Islam dengan mahasiswa yang
belajar di perguruan tinggi sekular.
Waktu itu
perguruan tinggi Islam lebih banyak mengajarkan mata kuliah Islam kepada
mahasiswanya, sedang perguruan tinggi sekular lebih banyak memberikan mata
kuliah umum sesuai dengan fakultas dan jurusannya. Akibatnya wawasan mahasiswa Islam mengalami
kesenjangan antara pengetahuan agama dengan pengetahuan umum.
Kemudian HMI lahir
antara lain untuk menjembatani kesenjangan wawasan mahasiswa Islam itu dengan
cara memberi materi perkaderan yang lebih banyak tentang keindonesiaan kepada
anggota HMI dari kalangan mahasiswa perguruan tinggi Islam, dan memberi materi
keislaman yang lebih banyak kepada anggota dari kalangan mahasiswa dari
perguruan tinggi sekular.
Perkaderan semacam
itu boleh dikata berhasil, karena tidak dirasakan lagi kesenjangan yang besar
antara keislaman dan keindonesiaan dalam wawasan mahasiswa yang menjajadi
anggota organisasi ini. Tetapi
masalahnya apakah setelah berlangsung
puluhan tahun atau beberapa dekade pendekatan semacam itu dalam perkaderan
masih relevan, terutama kalau dilihat dari kepentingan bangsa Indonesia dan
umat Islam saat ini?
Satu hal yang
perlu diperhatikan bahwa perkaderan semacam itu, walaupun kadang lebih berat
kepada orientasi keislaman dan kadang lebih berat kepada keindonesiaan, tetapi
sebenarnya pendekatan dalam perkaderan itu menggunakan pola yang sama, yaitu
pola rasional, artinya lebih menonjolkan rasionalitas, sehingga orang luar ada
yang menganggap akidah organisasi ini mengikuti Mu’tazilah.
Di satu sisi
pendekatan rasional sangat ampuh untuk mengatasi dan menyelesaikan setiap
perbedaan, bahkan pertentangan pendapat di kalangan pemimpin umat dan bangsa
yang majemuk ini. Setiap ada perbedaan dan pertentangan pendapat di antara pemimpin
umat dan bangsa selama masih menggunakana cara rasional atau akal sehat
biasanya selesai, kecuali kalau ada kepentingan yang tidak dapat dikompromikan.
.
Soalnya sekarang
apakah pendekatan itu masih relevan?. Ada satu hal menarik yang perlu diamati dalam
hal ini, yaitu ketika Cak Nur yang banyak memberi kontribusi pada pemikiran
Islam yang berkembang di HMI pulang dari menyelesaikan studinya di Amerika
Serikat pada tahun 1985 banyak orang mengatakan bahwa Cak Nur telah berubah
dibanding dengan ide-ide pembaharuannya yang dilancarkan sebelum berangkat
belajar di AS.
Tetapi Cak Nur
membantah kalau dikatakan pikirannya telah berubah, malah menurutnya tetap
konsisten dengan ide-idenya yang dulu karena sudah didukung oleh bacaan yang
lebih banyak. Sebenarnya Cak Nur betul demikian, tetapi pengamatan orang lain
juga tidak terlalu salah, yaitu bahwa substansi pemikiran Cak Nur tidak
berubah, tetapi pendekatannya berubah.
Kalau dulu waktu
melancarkan ide-ide pembaharuan Cak Nur
menggunakan pendekatan rasional, misalnya ada tulisan Cak Nur waktu itu yang
berjudul: “Modernisasi adalah rasionalisasi bukan westernisasi”, sehingga ada
pengamat dari Malaysia, yaitu Kamal Hasan menganggap pemikiran Islam waktu itu
merupakan respon terhadap modernisasi dan pembangunan yang dilancarkan oleh
pemerintah Orde Baru.
Tetapi setelah
kembali dari AS Cak Nur lebih banyak lebih banyak menggunakan pendekatan
intuitif, yaitu bicara hati nurani, akhlak, etika dan moral. Buktinya Cak Nur
banyak sekali bicara atau menulis tentang hal-hal itu. Sebenarnya pendekatan
intuitif juga rasional, tetapi ada sisi yang lebih dari sekedar rasional, yaitu
menjelaskan soal baik dan buruk, benar dan salah, pantas dan tindak pantas,
layak dan tidak dilakukan, dan itu ukurannya bukan hanya akal, tetapi juga hati
nurani.
Misalnya tidak
lama setelah kembali dari AS Cak Nur diundang bicara dalam diskusi di Sekolah
Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, lalu ada seorang peserta berkata kepada Cak
Nur: “Pikirannya Anda terlalu tinggi, sehingga umat tidak paham”. Kemudian Cak
Nur menjawab: “Kalau seorang bakul (tukang jual di pasar) kalau dia mengerjakan
pekerjaannya dengan ikhlas, maka dia telah mengerjakan apa saya yang maksud”.
Soal keikhlasan
adalah masalah intuisi dan orang yang sederhana atau rendah pikirannya seperti
tukang jual di pasar bisa memahaminya. Jadi kalau dikatakan pikiran Cak Nur
terlalu tinggi atau elitis tergantung dari mana melihatnya. Kalau dilihat dari
sisi intuisi pemikiran setinggi apapun bisa mudah dipahami.
Dilihat dari sisi
kepentingan bangsa dan umat Islam saat ini kelihatannya pendekatan intuitiflah
yang lebih relevan, dan seharusnya pendekatan inilah yang dipakai dalam
perkaderan HMI. Untuk menjelaskan ini saya mau cerita waktu kuliah dulu di
Fakultas Syariah IAIN (sekarang Fakultas Syariah dan Hukum UIN).
Waktu itu ada mata
kuliah yang namanya “Sejarah Pembaharuan Pemikiran Islam (SPPI)” yang diajar
oleh Harun Nasution. Dalam kuliah ini antara lain dibicarakan teologi
Islam sebagai keahlian Pak Harun. Seperti
biasanya Pak Harun bicara bahwa teologi Islam terbagi dua, yaitu teologi
rasional contohnya Mu’tazilah dan teologi tradisional contohnya Asy’ariyah.
Waktu itu saya
sempat bertanya, apakah kalau bicara teologi Islam harus selalu merujuk kepada
masa lalu, yaitu Mu’tazilah dan Asy’ariyah dan mazhab yang lain: Pak Harun
menjawab: “Memang begitu, apa lagi?” Pertanyaan saya didorong oleh fakta
sejarah bahwa dulu teologi Islam muncul karena persoalan yang dihadapi umat
Islam, yaitu terjadi perdebatan di kalangan umat, yaitu apakah perang sesama
muslim yang menyebabkan mereka bunuh-bunuhan itu dosa besar atau bukan?
Saya waktu itu
berpikir bahwa kalau persoalan umat yang dulu bisa menimbulkan
persoalan.teologi mengapa persoalan yang kita hadapi sekarang yang jauh lebih
berat, seperti kemskinan, keterbelakangan, krisis lingkungan hidup, krisis
energi, krisis ekonomi tidak menimbulkan persoalan teologi yang baru?
Waktu itu saya
tidak bertanya lagi. Tetapi beberapa tahun kemudian tampaknya saya ada
benarnya, yaitu ketika Pak Harun diundang ke Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
(LIPI) untuk diskusi tentang teologi Islam. LIPI mau tahu apakah teologi Islam
termasuk ilmu atau bukan?. Salah satu syarat suatu pengetahuan disebut ilmu
ialah pengetahuan itu berorientasi kepada masa depan, yaitu memberi respon
kepada masalah saat ini untuk ditangani menuju masa depan.
Sedang Pak Harun
menjelaskan teologi Islam selalu berorientasi ke belakang atau masa lalu, yaitu
bicara mazhab-mazhab teologi yang pernah muncul di masa lalu, seperti
Mu’tazilah itu rasional dan Asy’ariyah itu tradisonal. Akhirnya LIPI
menyimpulkan bahwa teologi Islam bukan ilmu, karena tidak berorintasi ke masa
depan.
Kemudian ada
diskusi di aula IAIN (sekarang UIN Jakarta)
pembicara antara lain Cak Nur topiknya bukan teologi, tetapi tiba-tiba Cak
Nur berkata bahwa teologi bukan hanya rasional
dan tradisional, tetapi sekarang ada yang namanya teologi etis (ethical
theology). Kelihatannya Cak Nur menanggapi Pak Harun, tetapi tidak sebut
nama.
Setahu saya Cak
Nur tidak menjelaskan apa itu teologi etis, tetapi dia banyak sekali bicara dan
menulis soal akhlak, etika dan moral, sehingga kita bisa mengatakan bahwa
teologi etis termasuk di sana, dan kalau ada teologi etis itu bisa menjawab
masalah besar yang sangat merusak bangsa ini, yaitu kasus korupsi yang telah
merajalela di mana-mana, bahkan beberapa
kasusus (ada kemungkinan) termasuk di UIN Jakarta.
Kasus korupsi
adalah bukti kelemahan pendekatan rasional dalam perkaderan, sehingga perlu
orientasi baru, yaitu orientasi etis dengan menggunakan pendekatan intuitif
yang mengingatkan pentingnya akhlak, etika dan moral dalam hidup ini. Dalam
orientasi intuitif orientasi keislaman dan keindonesiaan tetap ada, tetapi hal
itu dilihat dari perspektif akhlak, etika dan moral. Ke sanalah sebaiknya
orientasi perkaderan HMI Cabang Ciputat dikembangkan menuju masa depan. Selamat
Hari Ulang Tahun HMI Cabang Ciputat yang ke-50, semoga tetap jaya. Amien! .
Warisan Rezim Orde Baru
Praktik korupsi
merupakan warisan rezim Orde Baru. Di masa Orde Baru praktik korupsi juga
kolusi dan nepotisme yang biasa disebut KKN merajalela di masa Orde Baru,
karena rezim itu otoriter sehingga melemahkan kontrol dari bawah. Kontrol dari
bawah atau rakyat atau luar pemerintahan boleh di kata kurang berjalan,
sehingga para pejabat dengan tenang dan aman
dapat melakukan KKN.
Pada masa itu
setiap kali muncul kritik terhadap praktik KKN dianggap sebagai kritik kepada
pemerintah secara keseluruhan, sehingga diredam seminimal mungkin. Partai politik
dan pers tidak dapat berbuat banyak untuk mengembangkan kritik kepada
pemerintah, karena eksistensinya terancam.
Dalam situasi
seperti itu saya menjadi mahasiswa IAIN (sekarang UIN) Jakarta pada tahun 1978.
Tahun itu biasa disebut puncak gerakan mahasiswa Indonesia, karena pada tahun
itu boleh dikata semua kampus di Indonesia mahasiswanya melakukan demonstrasi
atau turun ke jalan. Untuk mengenang gerakan itu sekarang ada sekelompok orang
yang menyebut dirinya Kelompok 77/ 78.
Setelah itu tidak
ada lagi demonstrasi mahasiswa secara besar-besaran sampai akhirnya muncul
gerakan reformasi pada tahun 1998. Ketidakberanian mahasiswa turun ke jalan
antara lain karena pemerintah mengancam bertindak keras kepada siapapun yang turun ke jalan, dan juga
pemeritah mengubah sistem perkuliahan dari sistem lama yang terdiri atas
sarjana muda dan sarjana lengkap yang biasanya memakan waktu 6 – 7 tahun
menjadi sistem S1 yang hanya memerlukan waktu 4 tahun.
Dengan sistem baru
itu kuliah dipadatkan agar mahasiswa menjadi sibuk dan tidak banyak waktu untuk
melakukan kegiatan di luar kampus, terutama turun ke jalan.
Cara ini kelihatannya cukup efektif mengurangi demontrasi mahasiswa.
Saya menjadi
mahasiswa pada waktu sistem lama masih berlaku, tetapi keberanian mahasiswa untuk
turun ke jalan sudah sangat berkurang. Kemudian mahasiswa senior banyak yang
mengingatkan bahwa kalau kita kritik pemerintah lalu pemerintah diganti tentu
yang menggantikan adalah orang-orang yang dekat dengan pemerintah.
Jadi, yang pasti
yang menggantikan orang-orang itu bukan mahasiswa, karena mereka harus terlebih
dahulu menyelesaikan kuliah. Karena itu,
selesaikan kuliah dan perbanyak ilmu agar siap masuk pemerintahan untuk
menggantikan orang-orang yang berkelakuan buruk itu.
Cara berpikir itu
mendorong mahasiswa untuk lebih suka membaca buku dan berdiskusi dari pada
turun ke jalan. Untuk itu kita sering mengundang pakar-pakar dari Universitas
Indonesia yang tinggal di Komplek Perumahan UI di Ciputat, seperti psikolog
Sarlito Wirawan Sarwono dan ahli hubungan interrnasional Juwono Sudarsono untuk
berdiskusi di kantor HMI Cabang Ciputat.
Dari situ banyak
teman yang mengembangkan kemampuan menulis artikel di koran-koran dan
majalah-majalah. Juga banyak mahasiswa yang aktif di Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM) yang waktu itu sedang marak
berkembang. Di LSM teman-teman aktif berdiskusi, melakukan penelitian dan
kegiatan program pengembangan masyarakat secara langsung.
Semua kegiatan itu
berdampak positif dalam mengambangkan diri masing-masing sampai hari ini,
karena apapun pekerjaan kita diperlukan kebiasaan membaca dan menganalisis
keadaan agar dapat berkembang secara baik.
Ketika terjadi
reformasi tahun 1998 yang menumbangkan rezim Soeharto orang-orang pemerintahan
berganti, tetapi kelakuan orang tidak berubah, misalnya praktik korupsi tetap
merajelala. Ini berarti bahwa tidak cukup hanya mengganti orang, tetapi harus
disertai dengan perubahan cara berpikir atau reorientasi. Kita mengerti hal ini
kalau biasa membaca dan menganalisis keadaan masyarakat.
Reorientasi
berpikir itu juga dipahami oleh Cak Nur, sehingga ketika kembali ke Indonesia
tahun 1985 dia mengubah cara berpikirnya dalam memandang Islam dan umat,
sehingga banyak bicara masalah moral, akhlak, dan etika.
Tetapi hal itu
tidak berarti bahwa turun ke jalan itu buruk. Buktinya ketika rezim Orde Baru
melemah mahasiswa kembali turun ke jalan dan krisis monoter yang membuat dolar
Amerika ketika waktu normal hanya Rp 2.200 per dolar lalu tiba-tiba naik sampai
Rp 17.000 per dolar, akibatnya harga
barang melambung tinggi, sementara pemerintah Soeharto tidak dapat
mengendalikan keadaan, maka dia pun jatuh.
Dari situ
kelihatan bahwa kejatuhan nilai rupiah sangat dalam jauh lebih dalam dibanding
dengan kejatuhan nilai mata uang negara-negara tetangga, seperti Malaysia,
Thailand dan Filipina yang rata-rata hanya jatuh 100 persen. Ini karena praktik korupsi di negeri ini jauh
lebih marak dibanding korupsi di negara-negara tetangga itu.
Hal
ini seharusnya menyadarkan kita bahwa setiap pemerintah yang korup akan jatuh
dan karena itu kita harus melakukan reorientasi berpikir dan bertindak,
termasuk dalam perkaderan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar