Oleh : Komaruddin Hidayat
(Cendekiawan Muslim / Rektor UIN Jakarta)
Dalam Buku "Membingkai Perkaderan Intelektual; 50 Tahun HMI Cabang Ciputat"
Masih
terekam kuat di benak saya, suatu saat Cak Nur (alm.Nurcholish Madjid) memberi
ceramah di forum HMI Ciputat. Katanya, anda semua itu ahli waris Indonesia yang
paling representatif.
Kader-kader HMI itu memiliki komitmen keislaman, keindonesiaan dan
komoderenan. Dan itulah realitas sosial
bangsa Indonesia sebagai bangsa dengan mayoritas penduduknya beragama Islam
yang sekarang tengah bergerak maju. Secara sosiologis, jika setiap tahun
terdapat wisuda sarjana di seluruh kampus Indonesia, sekitar 75% pasti sarjana HMI, yaitu
mereka sarjana muslim yang mencintai bangsa dan negaranya. Itulah cita-cita dan
spirit perjuangan HMI, sekalipun mereka secara organisatoris tidak terdaftar
sebagai anggota HMI, yaitu memperjuangkan nilai-nilai keislaman untuk
keindonesiaan, kemoderenan dan kemanusiaan.
Hemat saya, statemen Cak Nur
itu masih dan sangat relevan untuk selalu dijaga di lingkungan HMI sebagai
organisasi yang inklusif yang ditandai dengan cinta ilmu dan peradaban. Karena
sifatnya yang inklusif, maka kader-kader HMI mesti bersikap terbuka untuk
menerima kritik serta kebenaran dari manapun datangnya, sebagaimana yang pernah
disabdakan Rasulullah Muhammad SAW. Kader-kader HMI mestilah militan dalam
memperjuangkan cita-citanya, tetapi bukan ekslusif. Tidak merasa dirinya paling
benar lalu menutup diri serta merasa unggul dan merendahkan yang lain.
Keterbukaan, sikap egaliter dan cinta ilmu inilah yang dulu saya rasakan ketika
aktif di HMI Ciputat. Ada suasana dimana aktivisme dan intelektualisme berjalan
seimbang di HMI Ciputat di saat saya aktif dulu.
Revitalisasi Insan Cita HMI
Terdapat lima kualitas atau
ciri insan cita HMI yang masih sangat aktual yang akhir-akhir ini terasa redup
sehingga mesti dilakukan revitalisasi dan rejuvinasi.Yaitu terbinanya insan
akademik, pencipta, pengabdi, bertanggungjawab atas terwujudnya masyarakat adil
dan makmur yang diridhoi Allah. Kelimanya itu secara eksplisit tertulis dalam
Anggaran Dasar HMI yang mesti dijadikan acuan, referensi, dan tolok ukur setiap
sepak terjang organisasi dan para
aktivis serta alumninya.
Dengan memperhatikan secara seksama
tujuan HMI di atas, maka semestinya setiap aktivis HMI bagus prestasi
akademiknya, kreatif, dedikatif dan pikiran serta perilakunya Islami, serta
memiliki komitmen tinggi untuk mensejahterakan rakyat Indonesia. Adil dan
sejahtera merupakan cita-cita luhur Republik Indonesia yang juga menjadi
komitmen para pendiri HMI dan sejalan dengan nilai-nilai Islam. Sedemikian
mulia, aktual dan kontekstual nilai-nilai yang diperjuangkan HMI sehingga semua
itu hendaknya menjadi living values dan kultur organisasi.
Buku yang ada di tangan rekan-rekan ini merupakan catatan
pengalaman dan kesaksian sebagian kecil saja dari aktivis HMI Ciputat. Di situ
terdapat benang hijau yang merangkai dan mempertemukan pengalaman mereka, bahwa
HMI telah memberikan wadah dan pendidikan kader untuk tumbuh sebagai
intelektual dan kader umat serta bangsa. Hasil akhirnya akan ditentukan sesuai
dengan minat serta kesungguhan masing-masing individu dalam memanfaatkan
peluang ini. Saya sendiri merasa sangat beruntung karena melalui HMI inilah
saya dibukakan jalan untuk bertemu dengan tokoh-tokoh nasional lintas golongan,
etnis dan kampus dan bahkan mengkondisikan saya untuk terjun ke dunia
jurnalistik sebagai jembatan merintis karir intelektual. Sejak dulu HMI Ciputat
dikenal sebagai ”produsen” wartawan dan penulis, semoga tradisi ini akan tetap
terjaga.
Buku ini sesungguhnya juga
merupakan catatan pencarian jati diri mahasiswa IAIN/UIN Syarif Hidayatullah,
yang tentu saja tumbuh bersama dengan aktivis PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam
Indonesia) yang berafiliasi dengan NU dan IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah).
Dalam tubuh HMI sendiri mayoritas datang dari lingkungan keluarga NU dan Muhammadiyah sehingga setelah
menjadi alumni banyak yang aktif
mengabdikan ilmu dan pengalamanya pada kedua ormas di atas.
Sebagai organisasi yang
independen, maksudnya tidak berafiliasi pada ormas manapun, para aktivis HMI
Ciputat yang saya alami dan rasakan kala itu umumnya lebih kritis terhadap
perkembangan politik dan juga sepak terjang parpol Islam sendiri. Mungkin
karena terkondisikan oleh sifat HMI yang independen, kami merasa memiliki
kebebasan untuk mengkritik siapapun yang mengkhianati prinsip Islam dan spirit
keindonesiaan, namun selalu ditekankan agar dengan cara yang santun dan
intelek.
Membaca Ulang Peta Sosial
Para alumni sebuah
organisasi mahasiswa semacam HMI, PMII dan IMM sangat besar pengaruhnya
terhadap yuniornya, antara lain dalam hal sumber dana, pemikiran maupun
profesi. Namun hal ini bersifat sangat kondisional dan memiliki plus-minus. Di
samping memberikan bantuan dana untuk operasional kegiatan, tidak dapat
diingkari para alumni juga mengambil manfaat dari para yuniornya dan bahkan
organisasinya untuk kepentingan politik praktis. Ini juga mudah dilihat dalam
lingkungan HMI. Posisi HMI semasa orde baru dan setelahnya telah mengalami
perubahan iklim yang sangat menonjol sehingga perlu dikaji ulang dampaknya bagi
sistim perkaderan yang ada.
Semasa orde baru KAHMI (Korps
Alumni HMI) dikenal sebagai gudang aktivis -teknokrat yang memang dibutuhkan
oleh Presiden Soeharto sehingga hampir di semua depertemen pemerintahan
terdapat alumni HMI. Waktu itu karir politik dan jabatan lebih berdasarkan
keahlian dan professionalisme, bukan karena representasi atau jatah parpol
seperti yang terjadi saat ini. Banyak alumni HMI yang karena keahliannya
memiliki jabatan strategis di posisi puncak
maupun eselon satu baik di lingkungan BUMN maupun birokrasi
pemerintahan. Pemerintah tidak merasa terancam oleh kiprah HMI karena memiliki
spirit keindonesiaan yang kental dan mengandalkan kemampuan teknokratik.
Tetapi sejak reformasi
bergulir, proses jenjang karir politik mengalami perubahan signifikan. Kini
kekuatan legislatif yang berakar pada parpol sangat kuat, sampai-sampai muncul
komentar pemerintahan saat ini dikuasai oleh oligarki partai politik dengan
mengurbankan prinsip professionalisme.
Tanpa dukungan massa dan parpol seseorang sulit masuk dan berkiprah
dalam jajaran elite pemerintahan dan politik. Kemampuan individu tergeser oleh
kekuatan massa dan uang. Ini mudah sekali dibaca pada setiap terjadi pilkada,
uang bisa mengalahkan iman dan keahlian.
Mengingat HMI tidak berada
dibawah kekuatan parpol ataupun kelompok tertentu, melainkan independen,
mahasiswa yang bergabung ke HMI mestilah yang memiliki visi jauh ke depan, memiliki integritas serta komitmen untuk jadi
ilmuwan dan kader bangsa. Dengan integritas dan kecintaannya pada ilmu serta
sikapnya yang independen kader-kader HMI mestilah bersikap optimis-positif
dalam menghadapi berbagai persoalan bangsa. Sebuah bangsa akan tumbuh menjadi
pintar dan kuat oleh tantangan dan ujian. Insinyur sipil Jepang dikenal sangat
maju membangun gedung-gedung dari ancaman gempa, karena mereka belajar dan
matang dari peristiwa gempa yang selalu datang. Sikap semacam ini mesti
dihayati dan dimiliki oleh kader-kader HMI sehingga berbagai perubahan sosial
politik dan dunia kampus diharapkan akan semakin mendorong mereka untuk mendewasakan diri.
Terdapat kecenderungan yang
menguat di tengah masyarakat untuk memilih parpol nasionalis-religius,
sementara itu parpol yang lebih mengedepankan retorika dan simbol agama
menurun. Situasi ini semakin membenarkan khittah HMI sebagaimana yang tercantum
dalam lima insan cita HMI bahwa keislaman dan keimanan mesti dibarengi dengan
kemampuan akademis dan semangat keindonesiaan, karena simbol keagamaan saja
tidak cukup tanpa kualitas ilmiah dan teknokratik. Semangat keagamaan yang
diwujudkan dengan pawai dan demonstrasi tanpa diimbangi kemampuan
teknokratik-ilmiah untuk memecahkan persoalan masyarakat dan bangsa ujungnya
hanya menimbulkan sinisme masyarakat.
HMI dan UIN
Bagaimana menjelaskan hubungan
antara HMI dan UIN ataupun dengan perguruan tinggi pada umumnya? HMI sebagai
kategori akademis-sosiologis sesungguhnya mencakup mahasiswa muslim Indonesia
yang mencintai ilmu pengetahuan,
bernafaskan Islam dan cinta bangsa, sebagaimana tersurat dalam lima
insan cita HMI. Oleh karena itu sikap kader HMI mesti inklusif, koperatif dan
supportif terhadap ormas kemahasiswaan lain. Dalam konteks Ciputat, mitra
tradisional terdekatnya adalah PMII dan IMM.
Dalam hal itu tergambar jelas
dalam buku ini yang berisi catatan eks aktivis HMI Ciputat yang adalah juga
alumni IAIN/UIN Syarif Hidayatullah. Secara formal IAIN/UIN memberikan status kemahasiswaaan
dan khazanah keilmuan, namun dalam hal pengembangan diri mereka menemukan
tempatnya di lingkungan HMI. Teori dan praktek kepemimpinan, ketrampilan
komunikasi lisan maupun tulisan mereka dapatkan dan ciptakan lewat forum HMI
Ciputat. Yang juga paling dirasakan oleh aktivis HMI Ciputat adalah terbukanya
peluang untuk menjalin relasi dengan aktivis mahasiswa di luar IAIN/UIN dan
tokoh-tokoh nasional.
Di tingkat nasional, HMI
Ciputat dikenal memiliki tradisi pengembangan intelektual yang kuat, prestasi
ini mesti dipertahankan. Aktivisme dan intelektualisme dijaga keseimbangannya
sehingga ketika merintis karir tidak hanya mengandalkan perkoncoan sesama warga
Himpunan, melainkan lebih menyandarkan dirinya pada kualitas pribadi. Hal ini
sangat penting digarisbawahi mengingat salah satu penyebab merebaknya korupsi
dan busuknya birokrasi kepartaian maupun pemerintahan diakibatkan oleh kolusi
yang berakar pada perkoncoan sealmamater, seangkatan maupun seorganisasi.
Berdasarkan pengalaman saya
bergaul dengan kalangan professional dan eksekutif, persaingan karir semakin
tajam dan membutuhkan skill tinggi. Ikatan mereka tidak cukup hanya
mengandalkan teman sesama almamater ataupun ormas kemahasiswaan, melainkan
sudah ditambah lagi dengan pengalaman internasional. Ketika mengadakan reuni,
yang menjadi induk almamaternya tidak lagi sebatas perguruan tinggi dalam
negeri, melainkan juga universitas luar negeri. Misalnya saja reuni alumni
Australia, Amerika Utara, Canada, Inggris, Perancis, Jerman, Jepang dan seterusnya.
Jadi, peta dan jejaring sosial
kemahasiswaan hari ini sudah mengalami perubahan dan perkembangan signifikan.
Bahkan yang berhak menyandang predikat sebagai mahasiswa tidak lagi didominasi
oleh mahasiswa strata satu, tetapi juga ada strata dua dan strata tiga, dengan
problem dan kualitas akademik yang berbeda. Gerakan mahasiswa yang dahulu
menggunakan senjata pamungkasnya berupa demonstrasi massal di jalan raya,
sekarang tidak lagi populer. Forum media publik, terutama televisi, dianggap salah satu media
paling efektif untuk menyampaikan kritik karena akan didengar oleh masyarakat
luas dan juga oleh pemerintah. Ramai-ramai turun ke jalan raya hanya akan
mengundang sinisme masyarakat dan pengguna jalan karena akan semakin menambah
kemacetan.
Sebagai universitas pendatang
baru, berdasarkan survei Kompas, UIN Jakarta masuk ke dalam rumpun tujuh
besar perguruan tinggi negeri yang diminati calon mahasiswa. Tentu ini sebuah
prestasi dan sekaligus tantangan untuk memenuhi harapan masyarakat. Dalam
kaitan ini para aktivis mahasiswa mestinya memberikan contoh, baik dalam
prestasi akademis, moral maupun kepemimpinan. HMI, PMII dan IMM haruslah lebih terpanggil untuk membantu para
anggotanya agar menjadi sarjana yang berkualitas untuk menjunjung tinggi nama
baik almamaternya. Kampus merupakan civitas academica, bukan civitas
politica. Mahasiswa belajar politik bukan untuk kepentingan praktis jangka pendek, tetapi sebagai bagian
dari kajian akademik, moral dan proses pembentukan pribadi.
Organisasi kemahasiswaan di
kampus UIN Jakarta saat ini masih terasa kental imbas psikologis dari euphoria
reformasi yang bergulir setelah turunnya Presiden Soeharto. Bermunculanlah
Partai Mahasiswa dengan nama jabatan Presiden serta Menteri, layaknya sebuah
negara. Suasana bising dan manuver politik praktis di luar telah merembes ke
kampus, termasuk manuver radikalisme-terorisme. Semua ini tidak sehat dan mesti
difilter dan ditertibkan. Mahasiswa perlu belajar berdemokrasi secara sehat dan
konseptual, bukan perpanjangan emosional dan pragmatis dari kekuatan politik di
luar kampus. Aktivis HMI seyogyanya memiliki komitmen kuat ikut serta menjaga
etos civitas acdemica ini. Ke
depan, entah berapa puluh tahun lagi, posisi dan eksistensi UIN Jakarta
diharapkan memiliki wibawa moral-intelektual
di atas partai politik dan birokrasi pemerintahan, bukan sebaliknya.
Jendela Indonesia
UIN Syarif Hidayatullah yang
berlokasi di Ciputat, pinggiran Jakarta, memiliki peran dan makna strategis
yang sangat potensial menjadi jendela Indonesia bagi dunia luar yang ingin
mengetahui perkembangan Islam di nusantara ini. Sebagai ”the largest muslim country
in the world”, yaitu kantong umat Islam terbesar dalam sebuah negara, sudah
seharusnya Indonesia memiliki lembaga perguruan tinggi Islam yang bertaraf
internasional (World Class University-WCU). Dari sekian
potensi universitas yang ada, salah satunya adalah UIN Jakarta.
Tetapi sangat disayangkan
sampai hari ini pemerintah tidak memiliki kebijakan politik dan anggaran untuk
menjadikan UIN Jakarta sebagai WCU. Pada hal sejauh ini berbagai tamu asing,
terutama kalangan diplomat, selalu
datang ke kampus ini untuk berdiskusi tentang berbagai topik menyangkut
perkembangan sosial-politik yang semuanya mesti melibatkan sikap umat Islam.
Sulit untuk mengesampingkan sikap dan pandangan umat Islam terhadap berbagai
perkembangan sosial-politik di Indonesia. Untuk mengetahui lebih dalam dan
akurat bagaimana respons dan sikap umat Islam terhadap perkembangan
kontemporer, maka perlu dilakukan penelitian ilmiah. Dan UIN adalah institusi
yang paling tepat sebagai mintra pemerintah dan masyarakat sipil untuk melakukan
kajian guna membuat kebijakan strategis,
karena di sini berkumpul pakar-pakar agama dan ilmu sosial.
Kalau saja UIN Jakarta didisain
sebagai WCU, misalnya, dengan lebih banyak mendatangkan professor dari berbagai
negara sahabat, maka beayanya akan jauh lebih murah ketimbang pemerintah
mengeluarkan anggaran beasiswa untuk studi di luar negeri. Lebih dari itu UIN
Jakarta akan menjadi universitas pembina (resource university) bagi UIN, IAIN
dan STAIN yang tersebar di seluruh Indonesia. Untuk langkah ini maka
pengembangan SDM, perluasan kampus dan penambahan fasilitas riset mesti
dikembangkan. Dalam hal ini sangat diperlukan visi dan keputusan politik
pemerintah via Kementerian Agama atau Kementerian Pendidikan Nasional.
Sekali lagi, Indonesia dengan mayoritas
penduduknya memeluk Islam mestinya terpanggil untuk memiliki universitas
unggulan yang jadi simbol dan kebanggaan bangsa dan menjadi penghubung serta
mitra perkembangan ilmu pengetahuan dengan dunia luar. Semoga suatu saat UIN
Syarif Hidayatullah akan sampai ke maqam itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar