Selasa, 17 Januari 2012

Mencari Format Baru Perkaderan HMI

Oleh : Komaruddin Hidayat
(Cendekiawan Muslim / Rektor UIN Jakarta)
Dalam Buku "Membingkai Perkaderan Intelektual; 50 Tahun HMI Cabang Ciputat"
Masih terekam kuat di benak saya, suatu saat Cak Nur (alm.Nurcholish Madjid) memberi ceramah di forum HMI Ciputat. Katanya, anda semua itu ahli waris Indonesia yang paling representatif. Kader-kader HMI itu memiliki komitmen keislaman, keindonesiaan dan komoderenan.  Dan itulah realitas sosial bangsa Indonesia sebagai bangsa dengan mayoritas penduduknya beragama Islam yang sekarang tengah bergerak maju. Secara sosiologis, jika setiap tahun terdapat wisuda sarjana di seluruh kampus Indonesia,  sekitar 75% pasti sarjana HMI, yaitu mereka sarjana muslim yang mencintai bangsa dan negaranya. Itulah cita-cita dan spirit perjuangan HMI, sekalipun mereka secara organisatoris tidak terdaftar sebagai anggota HMI, yaitu memperjuangkan nilai-nilai keislaman untuk keindonesiaan, kemoderenan dan kemanusiaan.
Hemat saya, statemen Cak Nur itu masih dan sangat relevan untuk selalu dijaga di lingkungan HMI sebagai organisasi yang inklusif yang ditandai dengan cinta ilmu dan peradaban. Karena sifatnya yang inklusif, maka kader-kader HMI mesti bersikap terbuka untuk menerima kritik serta kebenaran dari manapun datangnya, sebagaimana yang pernah disabdakan Rasulullah Muhammad SAW. Kader-kader HMI mestilah militan dalam memperjuangkan cita-citanya, tetapi bukan ekslusif. Tidak merasa dirinya paling benar lalu menutup diri serta merasa unggul dan merendahkan yang lain. Keterbukaan, sikap egaliter dan cinta ilmu inilah yang dulu saya rasakan ketika aktif di HMI Ciputat. Ada suasana dimana aktivisme dan intelektualisme berjalan seimbang di HMI Ciputat di saat saya aktif dulu.

Revitalisasi Insan Cita HMI
Terdapat lima kualitas atau ciri insan cita HMI yang masih sangat aktual yang akhir-akhir ini terasa redup sehingga mesti dilakukan revitalisasi dan rejuvinasi.Yaitu terbinanya insan akademik, pencipta, pengabdi, bertanggungjawab atas terwujudnya masyarakat adil dan makmur yang diridhoi Allah. Kelimanya itu secara eksplisit tertulis dalam Anggaran Dasar HMI yang mesti dijadikan acuan, referensi, dan tolok ukur setiap sepak terjang  organisasi dan para aktivis serta alumninya.
Dengan memperhatikan secara seksama tujuan HMI di atas, maka semestinya setiap aktivis HMI bagus prestasi akademiknya, kreatif, dedikatif dan pikiran serta perilakunya Islami, serta memiliki komitmen tinggi untuk mensejahterakan rakyat Indonesia. Adil dan sejahtera merupakan cita-cita luhur Republik Indonesia yang juga menjadi komitmen para pendiri HMI dan sejalan dengan nilai-nilai Islam. Sedemikian mulia, aktual dan kontekstual nilai-nilai yang diperjuangkan HMI sehingga semua itu hendaknya menjadi living values dan kultur organisasi.
Buku yang ada di tangan rekan-rekan ini merupakan catatan pengalaman dan kesaksian sebagian kecil saja dari aktivis HMI Ciputat. Di situ terdapat benang hijau yang merangkai dan mempertemukan pengalaman mereka, bahwa HMI telah memberikan wadah dan pendidikan kader untuk tumbuh sebagai intelektual dan kader umat serta bangsa. Hasil akhirnya akan ditentukan sesuai dengan minat serta kesungguhan masing-masing individu dalam memanfaatkan peluang ini. Saya sendiri merasa sangat beruntung karena melalui HMI inilah saya dibukakan jalan untuk bertemu dengan tokoh-tokoh nasional lintas golongan, etnis dan kampus dan bahkan mengkondisikan saya untuk terjun ke dunia jurnalistik sebagai jembatan merintis karir intelektual. Sejak dulu HMI Ciputat dikenal sebagai ”produsen” wartawan dan penulis, semoga tradisi ini akan tetap terjaga.
Buku ini sesungguhnya juga merupakan catatan pencarian jati diri mahasiswa IAIN/UIN Syarif Hidayatullah, yang tentu saja tumbuh bersama dengan aktivis PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia) yang berafiliasi dengan NU dan IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah). Dalam tubuh HMI sendiri mayoritas datang dari lingkungan  keluarga NU dan Muhammadiyah sehingga setelah menjadi alumni banyak yang aktif  mengabdikan ilmu dan pengalamanya pada kedua ormas di atas.
Sebagai organisasi yang independen, maksudnya tidak berafiliasi pada ormas manapun, para aktivis HMI Ciputat yang saya alami dan rasakan kala itu umumnya lebih kritis terhadap perkembangan politik dan juga sepak terjang parpol Islam sendiri. Mungkin karena terkondisikan oleh sifat HMI yang independen, kami merasa memiliki kebebasan untuk mengkritik siapapun yang mengkhianati prinsip Islam dan spirit keindonesiaan, namun selalu ditekankan agar dengan cara yang santun dan intelek.

Membaca Ulang Peta Sosial  
Para alumni sebuah organisasi mahasiswa semacam HMI, PMII dan IMM sangat besar pengaruhnya terhadap yuniornya, antara lain dalam hal sumber dana, pemikiran maupun profesi. Namun hal ini bersifat sangat kondisional dan memiliki plus-minus. Di samping memberikan bantuan dana untuk operasional kegiatan, tidak dapat diingkari para alumni juga mengambil manfaat dari para yuniornya dan bahkan organisasinya untuk kepentingan politik praktis. Ini juga mudah dilihat dalam lingkungan HMI. Posisi HMI semasa orde baru dan setelahnya telah mengalami perubahan iklim yang sangat menonjol sehingga perlu dikaji ulang dampaknya bagi sistim perkaderan yang ada.
Semasa orde baru KAHMI (Korps Alumni HMI) dikenal sebagai gudang aktivis -teknokrat yang memang dibutuhkan oleh Presiden Soeharto sehingga hampir di semua depertemen pemerintahan terdapat alumni HMI. Waktu itu karir politik dan jabatan lebih berdasarkan keahlian dan professionalisme, bukan karena representasi atau jatah parpol seperti yang terjadi saat ini. Banyak alumni HMI yang karena keahliannya memiliki jabatan strategis di posisi puncak  maupun eselon satu baik di lingkungan BUMN maupun birokrasi pemerintahan. Pemerintah tidak merasa terancam oleh kiprah HMI karena memiliki spirit keindonesiaan yang kental dan mengandalkan kemampuan teknokratik.
Tetapi sejak reformasi bergulir, proses jenjang karir politik mengalami perubahan signifikan. Kini kekuatan legislatif yang berakar pada parpol sangat kuat, sampai-sampai muncul komentar pemerintahan saat ini dikuasai oleh oligarki partai politik dengan mengurbankan prinsip professionalisme.  Tanpa dukungan massa dan parpol seseorang sulit masuk dan berkiprah dalam jajaran elite pemerintahan dan politik. Kemampuan individu tergeser oleh kekuatan massa dan uang. Ini mudah sekali dibaca pada setiap terjadi pilkada, uang bisa mengalahkan iman dan keahlian.
Mengingat HMI tidak berada dibawah kekuatan parpol ataupun kelompok tertentu, melainkan independen, mahasiswa yang bergabung ke HMI mestilah yang memiliki visi jauh ke depan,  memiliki integritas serta komitmen untuk jadi ilmuwan dan kader bangsa. Dengan integritas dan kecintaannya pada ilmu serta sikapnya yang independen kader-kader HMI mestilah bersikap optimis-positif dalam menghadapi berbagai persoalan bangsa. Sebuah bangsa akan tumbuh menjadi pintar dan kuat oleh tantangan dan ujian. Insinyur sipil Jepang dikenal sangat maju membangun gedung-gedung dari ancaman gempa, karena mereka belajar dan matang dari peristiwa gempa yang selalu datang. Sikap semacam ini mesti dihayati dan dimiliki oleh kader-kader HMI sehingga berbagai perubahan sosial politik dan dunia kampus diharapkan akan semakin mendorong mereka untuk  mendewasakan diri.  
Terdapat kecenderungan yang menguat di tengah masyarakat untuk memilih parpol nasionalis-religius, sementara itu parpol yang lebih mengedepankan retorika dan simbol agama menurun. Situasi ini semakin membenarkan khittah HMI sebagaimana yang tercantum dalam lima insan cita HMI bahwa keislaman dan keimanan mesti dibarengi dengan kemampuan akademis dan semangat keindonesiaan, karena simbol keagamaan saja tidak cukup tanpa kualitas ilmiah dan teknokratik. Semangat keagamaan yang diwujudkan dengan pawai dan demonstrasi tanpa diimbangi kemampuan teknokratik-ilmiah untuk memecahkan persoalan masyarakat dan bangsa ujungnya hanya menimbulkan sinisme masyarakat.

HMI dan UIN
Bagaimana menjelaskan hubungan antara HMI dan UIN ataupun dengan perguruan tinggi pada umumnya? HMI sebagai kategori akademis-sosiologis sesungguhnya mencakup mahasiswa muslim Indonesia yang mencintai ilmu pengetahuan,  bernafaskan Islam dan cinta bangsa, sebagaimana tersurat dalam lima insan cita HMI. Oleh karena itu sikap kader HMI mesti inklusif, koperatif dan supportif terhadap ormas kemahasiswaan lain. Dalam konteks Ciputat, mitra tradisional terdekatnya adalah PMII dan IMM.
Dalam hal itu tergambar jelas dalam buku ini yang berisi catatan eks aktivis HMI Ciputat yang adalah juga alumni IAIN/UIN Syarif Hidayatullah. Secara formal IAIN/UIN memberikan status kemahasiswaaan dan khazanah keilmuan, namun dalam hal pengembangan diri mereka menemukan tempatnya di lingkungan HMI. Teori dan praktek kepemimpinan, ketrampilan komunikasi lisan maupun tulisan mereka dapatkan dan ciptakan lewat forum HMI Ciputat. Yang juga paling dirasakan oleh aktivis HMI Ciputat adalah terbukanya peluang untuk menjalin relasi dengan aktivis mahasiswa di luar IAIN/UIN dan tokoh-tokoh nasional.
Di tingkat nasional, HMI Ciputat dikenal memiliki tradisi pengembangan intelektual yang kuat, prestasi ini mesti dipertahankan. Aktivisme dan intelektualisme dijaga keseimbangannya sehingga ketika merintis karir tidak hanya mengandalkan perkoncoan sesama warga Himpunan, melainkan lebih menyandarkan dirinya pada kualitas pribadi. Hal ini sangat penting digarisbawahi mengingat salah satu penyebab merebaknya korupsi dan busuknya birokrasi kepartaian maupun pemerintahan diakibatkan oleh kolusi yang berakar pada perkoncoan sealmamater, seangkatan maupun seorganisasi.
Berdasarkan pengalaman saya bergaul dengan kalangan professional dan eksekutif, persaingan karir semakin tajam dan membutuhkan skill tinggi. Ikatan mereka tidak cukup hanya mengandalkan teman sesama almamater ataupun ormas kemahasiswaan, melainkan sudah ditambah lagi dengan pengalaman internasional. Ketika mengadakan reuni, yang menjadi induk almamaternya tidak lagi sebatas perguruan tinggi dalam negeri, melainkan juga universitas luar negeri. Misalnya saja reuni alumni Australia, Amerika Utara, Canada, Inggris, Perancis, Jerman, Jepang dan seterusnya.
Jadi, peta dan jejaring sosial kemahasiswaan hari ini sudah mengalami perubahan dan perkembangan signifikan. Bahkan yang berhak menyandang predikat sebagai mahasiswa tidak lagi didominasi oleh mahasiswa strata satu, tetapi juga ada strata dua dan strata tiga, dengan problem dan kualitas akademik yang berbeda. Gerakan mahasiswa yang dahulu menggunakan senjata pamungkasnya berupa demonstrasi massal di jalan raya, sekarang tidak lagi populer. Forum media publik,  terutama televisi, dianggap salah satu media paling efektif untuk menyampaikan kritik karena akan didengar oleh masyarakat luas dan juga oleh pemerintah. Ramai-ramai turun ke jalan raya hanya akan mengundang sinisme masyarakat dan pengguna jalan karena akan semakin menambah kemacetan.
Sebagai universitas pendatang baru, berdasarkan survei Kompas, UIN Jakarta masuk ke dalam rumpun tujuh besar perguruan tinggi negeri yang diminati calon mahasiswa. Tentu ini sebuah prestasi dan sekaligus tantangan untuk memenuhi harapan masyarakat. Dalam kaitan ini para aktivis mahasiswa mestinya memberikan contoh, baik dalam prestasi akademis, moral maupun kepemimpinan. HMI, PMII dan IMM haruslah  lebih terpanggil untuk membantu para anggotanya agar menjadi sarjana yang berkualitas untuk menjunjung tinggi nama baik almamaternya. Kampus merupakan civitas academica, bukan civitas politica. Mahasiswa belajar politik bukan untuk kepentingan  praktis jangka pendek, tetapi sebagai bagian dari kajian akademik, moral dan proses pembentukan pribadi. 
Organisasi kemahasiswaan di kampus UIN Jakarta saat ini masih terasa kental imbas psikologis dari euphoria reformasi yang bergulir setelah turunnya Presiden Soeharto. Bermunculanlah Partai Mahasiswa dengan nama jabatan Presiden serta Menteri, layaknya sebuah negara. Suasana bising dan manuver politik praktis di luar telah merembes ke kampus, termasuk manuver radikalisme-terorisme. Semua ini tidak sehat dan mesti difilter dan ditertibkan. Mahasiswa perlu belajar berdemokrasi secara sehat dan konseptual, bukan perpanjangan emosional dan pragmatis dari kekuatan politik di luar kampus. Aktivis HMI seyogyanya memiliki komitmen kuat ikut serta menjaga etos civitas acdemica ini.   Ke depan, entah berapa puluh tahun lagi, posisi dan eksistensi UIN Jakarta diharapkan  memiliki wibawa moral-intelektual di atas partai politik dan birokrasi pemerintahan, bukan sebaliknya.

Jendela Indonesia
UIN Syarif Hidayatullah yang berlokasi di Ciputat, pinggiran Jakarta, memiliki peran dan makna strategis yang sangat potensial menjadi jendela Indonesia bagi dunia luar yang ingin mengetahui perkembangan Islam di nusantara ini. Sebagai ”the largest muslim country in the world”, yaitu kantong umat Islam terbesar dalam sebuah negara, sudah seharusnya Indonesia memiliki lembaga perguruan tinggi Islam yang bertaraf internasional (World Class University-WCU). Dari sekian potensi universitas yang ada, salah satunya adalah UIN Jakarta.
Tetapi sangat disayangkan sampai hari ini pemerintah tidak memiliki kebijakan politik dan anggaran untuk menjadikan UIN Jakarta sebagai WCU. Pada hal sejauh ini berbagai tamu asing, terutama  kalangan diplomat, selalu datang ke kampus ini untuk berdiskusi tentang berbagai topik menyangkut perkembangan sosial-politik yang semuanya mesti melibatkan sikap umat Islam. Sulit untuk mengesampingkan sikap dan pandangan umat Islam terhadap berbagai perkembangan sosial-politik di Indonesia. Untuk mengetahui lebih dalam dan akurat bagaimana respons dan sikap umat Islam terhadap perkembangan kontemporer, maka perlu dilakukan penelitian ilmiah. Dan UIN adalah institusi yang paling tepat sebagai mintra pemerintah dan masyarakat sipil untuk melakukan kajian guna membuat kebijakan strategis,  karena di sini berkumpul pakar-pakar agama dan ilmu sosial.     
Kalau saja UIN Jakarta didisain sebagai WCU, misalnya, dengan lebih banyak mendatangkan professor dari berbagai negara sahabat, maka beayanya akan jauh lebih murah ketimbang pemerintah mengeluarkan anggaran beasiswa untuk studi di luar negeri. Lebih dari itu UIN Jakarta akan menjadi universitas pembina (resource university) bagi UIN, IAIN dan STAIN yang tersebar di seluruh Indonesia. Untuk langkah ini maka pengembangan SDM, perluasan kampus dan penambahan fasilitas riset mesti dikembangkan. Dalam hal ini sangat diperlukan visi dan keputusan politik pemerintah via Kementerian Agama atau Kementerian Pendidikan Nasional.
Sekali lagi, Indonesia dengan mayoritas penduduknya memeluk Islam mestinya terpanggil untuk memiliki universitas unggulan yang jadi simbol dan kebanggaan bangsa dan menjadi penghubung serta mitra perkembangan ilmu pengetahuan dengan dunia luar. Semoga suatu saat UIN Syarif Hidayatullah akan sampai ke maqam itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar