oleh
M.
Wahyuni Nafis
Tampak terasa semakin
penting untuk mengetahui peran orang-orang HMI Cabang Ciputat. Kepentingan
mengetahuinya sama sekali tidak didasarkan atas sikap arogansi yang cenderung menonjol-nonjolkan kejayaan masa lalu.
Tidak juga sebagai pembusungan dada bahwa HMI-lah (Cabang Ciputat) satu-satunya
wadah yang telah (pernah?) mengukir sejarah berwarna emas.
Niat menghadirkan tulisan semacam ini setidaknya didasari tiga gagasan. Pertama, kalau memang HMI Cabang Ciputat dikatakan oleh sebagian alumni-alumninya pernah memiliki kejayaan, dengan berbagai data dan fakta, maka mungkin saja hal semacam ini bisa menjadi stimulus bagi para kader di hari ini. Kedua, seandainya statemen “HMI Cabang Ciputat pernah memiliki kejayaan” sementara diterima, maka kita bisa menelaah strategi dan perangkat apa saja yang membuat para kader di masa itu berhasil. Ketiga, kita kembali mempertanyakan, apakah benar para kader HMI di masa tertentu di Ciputat pernah mengalami keberhasilan? Betulkah mereka berhasil menjadi seorang intelektual, pemikir, pemimpin, dan lain sebagainya, didapatkan dari aktivitas yang dilakukan di HMI?
Tiga persoalan itulah yang mendasari dihadirkannya tulisan ini. Dengan kemungkinan besar, kesalahan interpretasi dan kekeliruan penilaian atas realitas yang sebenarnya telah terjadi di masyarakat HMI Cabang Ciputat, akan terjadi dalam tulisan ini. Karenanya, paling tidak tulisan ini menjadi tawaran awal bagi para peminat yang ingin mengetahui keadaan HMI Cabang Ciputat lebih mendalam.
Niat menghadirkan tulisan semacam ini setidaknya didasari tiga gagasan. Pertama, kalau memang HMI Cabang Ciputat dikatakan oleh sebagian alumni-alumninya pernah memiliki kejayaan, dengan berbagai data dan fakta, maka mungkin saja hal semacam ini bisa menjadi stimulus bagi para kader di hari ini. Kedua, seandainya statemen “HMI Cabang Ciputat pernah memiliki kejayaan” sementara diterima, maka kita bisa menelaah strategi dan perangkat apa saja yang membuat para kader di masa itu berhasil. Ketiga, kita kembali mempertanyakan, apakah benar para kader HMI di masa tertentu di Ciputat pernah mengalami keberhasilan? Betulkah mereka berhasil menjadi seorang intelektual, pemikir, pemimpin, dan lain sebagainya, didapatkan dari aktivitas yang dilakukan di HMI?
Tiga persoalan itulah yang mendasari dihadirkannya tulisan ini. Dengan kemungkinan besar, kesalahan interpretasi dan kekeliruan penilaian atas realitas yang sebenarnya telah terjadi di masyarakat HMI Cabang Ciputat, akan terjadi dalam tulisan ini. Karenanya, paling tidak tulisan ini menjadi tawaran awal bagi para peminat yang ingin mengetahui keadaan HMI Cabang Ciputat lebih mendalam.
Awal-Mula
HMI Cabang Ciputat
HMI Cabang Ciputat berdiri pada tahun 1960, bermula dari sebuah komisariat, yang kemudian pada tahun berikutnya 1961, dijadikan sebuah Cabang. Abu Bakar yang ditugasi menjadi Ketua Umum Komisariat pada tahun itu, pada tahun berikutnya dipercaya juga sebagai Ketua Umum HMI Cabang Ciputat.
Cabang Ciputat tampaknya agak ganjil, lain dari yang lain. Pasalnya, Ciputat hanya merupakan sebuah wilayah tingkat kecamatan. Alasan para pendahulu HMI Cabang Ciputat adalah bahwa cabang ini memiliki ciri khas tersendiri, yang membedakannya dengan Cabang-Cabang lain (Cabang Jakarta, misalnya). Karenanya, ciri khas keciputatan ini hendaknya tetap dipertahankan bahkan urgen untuk trus dihidupkan dan dikembangkan.
HMI Cabang Ciputat kini memiliki 15 komisariat: Komisariat Fakultas Tarbiyah (Komtar), Komisariat Fakultas Syariah (Komfaksy), Komisariat Fakultas Ushuluddin dan Filsafat (Komfuf), Komisariat Fakultas Adab dan Humaniora (Kofah), Komisariat Fakultas Dakwah (Komfakda), Komisariat Ekonomi dan Ilmu Sosial (Kafeis), Komisariat Sains dan Teknologi (Kompastek), Komisariat Fakultas Dirasat Islamiyah (Komfakdisa), Komisariat Fakultas Psikologi (Kompsi), Komisariat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (Komfakdik), yang berada di lingkungan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta; Komisariat Cirendeu (Komici) yang berbasis di Universitas Muhammadiyah Yakarta; Komisariat Ahmad Dahlan (Komad) yang berbasis di Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Ahmad Dahlan (STIE-AD); Komisariat Bintaro (Kotaro) yang berbasis di Sekolah Tinggi Administrasi Negara (STAN); dan Komisariat (Komperpam) yang berbasis di Universitas Pamulang dan Komisariat Persiapan Fakultas FISIP UIN Jakarta.
Sejumlah tokoh yang ditugasi memimpin HMI Cabang Ciputat bisa kita sebut mulai dari Abu Bakar (alm), Muhammad Salim Umar, Syarifuddin Harahap (Careteker dari PB HMI), Nurcholish Madjid, Mustoha, A. Syatibi, A. Hafidz Dasuki, M.E. Sya’roni, A. Syarifuddin, Mursyid Ali, I.Z. Efwan Asfa, Irchami, Maman Hilman, M. Bunyamin, Y. Surur, A. Zacky Siradj, Harry Zamharir, Kurniawan Zulkarnaen, Pipip Ahmad Rifa’I, Azyumardi Azra, Ahmad Sanusi, Dasrizal, Didin Syafruddin, Endang Hamdan, Ruhyaman R.Z., Safrida Yusuf, Aries Budiono, Novianto, Muhamad Wahyuni Nafis, [kemudian] Syukran Kamil, Akbar Zainuddin, J.M. Muslimin, Dudu Abdush-Shomad, Muhtadi, Yudi Ali Akbar, Teuku Ikbal Syah, Saifuddin Asrori, Asep Sopyan, Saiful Rijal Al-Fikri, Kuntum Khairu Basya, Elban Faqih Esa, Hariyadi, dan kini M. Fathul Arif.
HMI Cabang Ciputat [Periode 1992-1993, ed.] memiliki delapan komisariat: Komisariat Fakultas Syariah, Komisariat Fakultas Tarbiyah, Komisariat Fakultas Ushuluddin, Komisariat Fakultas Adab, Komisariat Fakultas Dakwah, Komisariat ITI (Institut Teknologi Indonesia), Komisariat Unis (Univesitas Islam Syekh Yusuf, Tangerang) dan Komisariat Iqra. Lima komisariat pertama berada di lingkungan IAIN Jakarta –sekarang UIN Jakarta– dan satu komisariat terakhir merupakan kumpulan dari perguruan tinggi selain yang disebut di atas yang para mahasiswanya berdomisili di Ciputat.
HMI Cabang Ciputat kini memiliki 15 komisariat: Komisariat Fakultas Tarbiyah (Komtar), Komisariat Fakultas Syariah (Komfaksy), Komisariat Fakultas Ushuluddin dan Filsafat (Komfuf), Komisariat Fakultas Adab dan Humaniora (Kofah), Komisariat Fakultas Dakwah (Komfakda), Komisariat Ekonomi dan Ilmu Sosial (Kafeis), Komisariat Sains dan Teknologi (Kompastek), Komisariat Fakultas Dirasat Islamiyah (Komfakdisa), Komisariat Fakultas Psikologi (Kompsi), Komisariat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (Komfakdik), yang berada di lingkungan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta; Komisariat Cirendeu (Komici) yang berbasis di Universitas Muhammadiyah Yakarta; Komisariat Ahmad Dahlan (Komad) yang berbasis di Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Ahmad Dahlan (STIE-AD); Komisariat Bintaro (Kotaro) yang berbasis di Sekolah Tinggi Administrasi Negara (STAN); dan Komisariat (Komperpam) yang berbasis di Universitas Pamulang dan Komisariat Persiapan Fakultas FISIP UIN Jakarta.
HMI Cabang Ciputat berdiri pada tahun 1960, bermula dari sebuah komisariat, yang kemudian pada tahun berikutnya 1961, dijadikan sebuah Cabang. Abu Bakar yang ditugasi menjadi Ketua Umum Komisariat pada tahun itu, pada tahun berikutnya dipercaya juga sebagai Ketua Umum HMI Cabang Ciputat.
Cabang Ciputat tampaknya agak ganjil, lain dari yang lain. Pasalnya, Ciputat hanya merupakan sebuah wilayah tingkat kecamatan. Alasan para pendahulu HMI Cabang Ciputat adalah bahwa cabang ini memiliki ciri khas tersendiri, yang membedakannya dengan Cabang-Cabang lain (Cabang Jakarta, misalnya). Karenanya, ciri khas keciputatan ini hendaknya tetap dipertahankan bahkan urgen untuk trus dihidupkan dan dikembangkan.
HMI Cabang Ciputat kini memiliki 15 komisariat: Komisariat Fakultas Tarbiyah (Komtar), Komisariat Fakultas Syariah (Komfaksy), Komisariat Fakultas Ushuluddin dan Filsafat (Komfuf), Komisariat Fakultas Adab dan Humaniora (Kofah), Komisariat Fakultas Dakwah (Komfakda), Komisariat Ekonomi dan Ilmu Sosial (Kafeis), Komisariat Sains dan Teknologi (Kompastek), Komisariat Fakultas Dirasat Islamiyah (Komfakdisa), Komisariat Fakultas Psikologi (Kompsi), Komisariat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (Komfakdik), yang berada di lingkungan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta; Komisariat Cirendeu (Komici) yang berbasis di Universitas Muhammadiyah Yakarta; Komisariat Ahmad Dahlan (Komad) yang berbasis di Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Ahmad Dahlan (STIE-AD); Komisariat Bintaro (Kotaro) yang berbasis di Sekolah Tinggi Administrasi Negara (STAN); dan Komisariat (Komperpam) yang berbasis di Universitas Pamulang dan Komisariat Persiapan Fakultas FISIP UIN Jakarta.
Sejumlah tokoh yang ditugasi memimpin HMI Cabang Ciputat bisa kita sebut mulai dari Abu Bakar (alm), Muhammad Salim Umar, Syarifuddin Harahap (Careteker dari PB HMI), Nurcholish Madjid, Mustoha, A. Syatibi, A. Hafidz Dasuki, M.E. Sya’roni, A. Syarifuddin, Mursyid Ali, I.Z. Efwan Asfa, Irchami, Maman Hilman, M. Bunyamin, Y. Surur, A. Zacky Siradj, Harry Zamharir, Kurniawan Zulkarnaen, Pipip Ahmad Rifa’I, Azyumardi Azra, Ahmad Sanusi, Dasrizal, Didin Syafruddin, Endang Hamdan, Ruhyaman R.Z., Safrida Yusuf, Aries Budiono, Novianto, Muhamad Wahyuni Nafis, [kemudian] Syukran Kamil, Akbar Zainuddin, J.M. Muslimin, Dudu Abdush-Shomad, Muhtadi, Yudi Ali Akbar, Teuku Ikbal Syah, Saifuddin Asrori, Asep Sopyan, Saiful Rijal Al-Fikri, Kuntum Khairu Basya, Elban Faqih Esa, Hariyadi, dan kini M. Fathul Arif.
HMI Cabang Ciputat [Periode 1992-1993, ed.] memiliki delapan komisariat: Komisariat Fakultas Syariah, Komisariat Fakultas Tarbiyah, Komisariat Fakultas Ushuluddin, Komisariat Fakultas Adab, Komisariat Fakultas Dakwah, Komisariat ITI (Institut Teknologi Indonesia), Komisariat Unis (Univesitas Islam Syekh Yusuf, Tangerang) dan Komisariat Iqra. Lima komisariat pertama berada di lingkungan IAIN Jakarta –sekarang UIN Jakarta– dan satu komisariat terakhir merupakan kumpulan dari perguruan tinggi selain yang disebut di atas yang para mahasiswanya berdomisili di Ciputat.
HMI Cabang Ciputat kini memiliki 15 komisariat: Komisariat Fakultas Tarbiyah (Komtar), Komisariat Fakultas Syariah (Komfaksy), Komisariat Fakultas Ushuluddin dan Filsafat (Komfuf), Komisariat Fakultas Adab dan Humaniora (Kofah), Komisariat Fakultas Dakwah (Komfakda), Komisariat Ekonomi dan Ilmu Sosial (Kafeis), Komisariat Sains dan Teknologi (Kompastek), Komisariat Fakultas Dirasat Islamiyah (Komfakdisa), Komisariat Fakultas Psikologi (Kompsi), Komisariat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (Komfakdik), yang berada di lingkungan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta; Komisariat Cirendeu (Komici) yang berbasis di Universitas Muhammadiyah Yakarta; Komisariat Ahmad Dahlan (Komad) yang berbasis di Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Ahmad Dahlan (STIE-AD); Komisariat Bintaro (Kotaro) yang berbasis di Sekolah Tinggi Administrasi Negara (STAN); dan Komisariat (Komperpam) yang berbasis di Universitas Pamulang dan Komisariat Persiapan Fakultas FISIP UIN Jakarta.
HMI
Cabang Ciputat dan Gerakan Intelektual
Pada dasawarsa pertama (1960-1970), para kader HMI Cabang Ciputat dikenal tidak saja sebagai aktivis yang aktif menjalankan acara rutinitasnya, melainkan juga dikenal sebagai kader-kader yang memiliki bobot, baik intelektual maupun politik. Terbukti bahwa sejumlah mantan aktivis HMI Cabang Ciputat banyak yang menjalankan pengabdiannya di bidang birokrasi dan politik, selain ada yang menjadi nara sumber intelektual. Di bidang politik, bisa kita sebut Andi Muhammad Fatwa, yang terakhir dikenal sebagai penandatangan petisi 50 bersama Ali Sadikin, yang baru saja dibebaskan dari Lembaga Pemasyarakatan. Di bidang intelektual, bisa kita sebut Nurcholish Madjid. Yang terakhir ini, ternyata tidak saja menjadi tokoh nasional, melainkan juga bahkan internasional.
Beberapa pemikiran Cak Nur—panggilan akrab Nurcholish Madjid—bagi para kader HMI, terutama di Ciputat, sangat tidak asing lagi. Terlepas dari pro dan kontra. Dalam kesempatan ini sedikit saya singgung mengenai kiprahnya di bidang intelektual. Yaitu terutama ketika Cak Nur menjadi Ketua Umum PB HMI (terpilih dua kali: 1967-1969 dan 1969-1971). Kader HMI Cabang Ciputat yang juga pernah menjadi Ketua Umum PB HMI adalah A. Zacky Siradj.
Waktu Cak Nur menjadi ketua umum PB HMI isu-isu modernisasi mulai mengemuka di kalangan masyarakat dan para aktivis HMI di seluruh Indonesia. Banyak tulisan di koran-koran membicarakan soal modernisasi tersebut. Terkesan saat itu umat Islam bukan hanya tidak terlibat dalam upaya melakukan modernisasi, melainkan bahkan seolah menolak modernisasi. Banyak di kalangan umat Islam kurang tepat—untuk tidak mengatakan salah—mengartikan makna modernisasi. Kondisi semacam inilah yang kemudian menginspirasikan Cak Nur pada tahun 1968 untuk membuat makalah cukup panjang berjudul “Modernisasi ialah Rasionalisasi, bukan Westernisasi”, yang dimuat di Mimbar Demokrasi pimpinan Adi Sasono. Saat itu Adi Sasono menjabat sebagai Ketua Dewan Mahasiswa ITB dan Ketua Umum HMI Cabang Bandung. Makalah tersebut merupakan bagian jawaban yang dicicil oleh Cak Nur untuk mencairkan “gunung es” kejumudan dan memecahkan sikap isolatif kaum Muslim terhadap modernisasi yang saat itu mulai ramai diperdebatkan. Melaui artikel itu, Cak Nur antara lain memberikan pengetahuan kepada umat Islam Indonesia bahwa pengertian dan sikap menerima modernisasi itu adalah tidak hanya boleh, melainkan bahkan merupakan perintah ajaran Islam yang termaktub dalam al-Qur’an. Sikap ini dianutnya karena Cak Nur mengartikan modern sebagai bersifat rasional, ilmiah, dan bersesuain dengan hukum-hukum yang berlaku dalam alam. Karena itu, seorang Muslim yang meyakini kebenaran Islam sebagai way of life-nya, ia mesti meyakini bahwa modernisasi adalah suatu keharusan, melahan kewajiban yang mutlak. Bahkan lebih kuat lagi, Cak Nur menegaskan “Modernisasi merupakan pelaksanaan perintah dan ajaran Tuhan Yang Maha Esa (Nurcholish Madjid, Mizan: 2008: 181)
Disamping dua orang yang disebutkan di atas, sejumlah kader HMI Cabang Ciputat juga banyak yang ulet, baik di bidang politik, budaya, maupun lebih khusus lagi, intelektual. Yang menjadi birokrat di depag dan lebih khusus lagi di IAIN, yang mengabdi di jalur Pemda, baik di DKI maupun Tangerang, atau di tempat-tempat asalnya, juga tak terhitung. Yang perlu dicatat di sini mungkin adalah bahwa di bidang politik diakui bahwa para kader HMI Cabang Ciputat belum ada yang menjadi number one, misalnya sebagai menteri atau yang semisal.
Pada dasawarsa kedua, (1970-1980) iklim yang ada hampir tidak jauh beda. Mereka dengan bercermin pada para pendahulunya, melanjutkan tradisi, terutama di bidang intelektual. Namun tradisi semacam ini memang cukup lama untuk dilihat keberhasilannya. Pada periode selanjutnya (1980-1990), sejumlah kader yang berhasil meraih tingkat kesarjanaan, baik yang telah berhasil meraih gelar doktor maupun yang sedang menjalani pendidikannya, cukup banyak. Selain Dr. Nurcholish Madjid, beberapa doktor dan pemikir generasi setelahnya bisa kita sebut, misalnya Dr. Atho Mudzhar, Fachry Ali, Komaruddin Hidayat, Azyumardi Azra, Mulyadhi Kartanagara, Bachtiar Effendy, dan lain-lain yang kini bermunculan sangat banyak dan beragam.
Dari mereka meskipun keseluruhannya berasal dari IAIN, tetapi tidak dengan sendirinya mereka hanya mampu menyuarakan bidang keislaman saja. Mereka juga cukup berkompeten di bidang filsafat, sosiologi, politik, dan budaya, bahkan ada juga di bidang manajemen.
Aktualisasi peran intelektual mereka menyebar di berbagai mass media, sebuah bidang yang sebenarnya tidak dimiliki oleh kurikulum IAIN. Karenanya tidak aneh kalau sebagian dari akhtivis HMI Cabang Ciputat cukup terbiasa menuangkan pikiran-pikiran dalam sebuah tulisan.
Keberhasilan mereka ketika itu, sebagaimana diakui oleh Cak Nur dalam salah satu pidatonya, adalah didapat dari berbagai aktivitas dan interaksi dengan para kader HMI Cabang Ciputat. Di HMI inilah mereka berkumpul dan berdiskusi dalam segala hal, saling mentrasformasikan hasil bacaan dan pemahamannya yang didapat dari buku-buku dan informasi lain.
Ketepatan strategi pada kader dalam merubah iklim tradisi di Ciputat juga cukup bisa dibanggakan. Misalnya pada periode 1980-an, ketika para kader nyaris mengorientasikan aktivitasnya hanya dalam bidang politik (yang sementara dan lokal), yang karenanya selalu dilanda konflik kecil-kecilan tetapi berpengaruh besar, sebagian kecil kader HMI Cabang Ciputat mencari alternatif melalui didirikannya berbagai kelompok studi. Pada masa itu, tercatat kelompok studi semisal Prasasti, Dialektika, Formaci, Respondeo, Flamboyan, dan lain-lain yang tidak terdeteksi.
Tampaknya orientasi politik di kalangan kader HMI Cabang Ciputat cukup tinggi. Sehingga terkesan pada sebagian kecil kader mempolitisasi kelompok studi. Tapi kenyataan semacam ini lebih baik tinimbang mempolitisasikan yang lainnya, misalnya kelompok primordialnya, baik dari almamater sekolahnya dulu sebelum di IAIN (perguruan tinggi apa saja), maupun asal daerah.
Pada dasawarsa pertama (1960-1970), para kader HMI Cabang Ciputat dikenal tidak saja sebagai aktivis yang aktif menjalankan acara rutinitasnya, melainkan juga dikenal sebagai kader-kader yang memiliki bobot, baik intelektual maupun politik. Terbukti bahwa sejumlah mantan aktivis HMI Cabang Ciputat banyak yang menjalankan pengabdiannya di bidang birokrasi dan politik, selain ada yang menjadi nara sumber intelektual. Di bidang politik, bisa kita sebut Andi Muhammad Fatwa, yang terakhir dikenal sebagai penandatangan petisi 50 bersama Ali Sadikin, yang baru saja dibebaskan dari Lembaga Pemasyarakatan. Di bidang intelektual, bisa kita sebut Nurcholish Madjid. Yang terakhir ini, ternyata tidak saja menjadi tokoh nasional, melainkan juga bahkan internasional.
Beberapa pemikiran Cak Nur—panggilan akrab Nurcholish Madjid—bagi para kader HMI, terutama di Ciputat, sangat tidak asing lagi. Terlepas dari pro dan kontra. Dalam kesempatan ini sedikit saya singgung mengenai kiprahnya di bidang intelektual. Yaitu terutama ketika Cak Nur menjadi Ketua Umum PB HMI (terpilih dua kali: 1967-1969 dan 1969-1971). Kader HMI Cabang Ciputat yang juga pernah menjadi Ketua Umum PB HMI adalah A. Zacky Siradj.
Waktu Cak Nur menjadi ketua umum PB HMI isu-isu modernisasi mulai mengemuka di kalangan masyarakat dan para aktivis HMI di seluruh Indonesia. Banyak tulisan di koran-koran membicarakan soal modernisasi tersebut. Terkesan saat itu umat Islam bukan hanya tidak terlibat dalam upaya melakukan modernisasi, melainkan bahkan seolah menolak modernisasi. Banyak di kalangan umat Islam kurang tepat—untuk tidak mengatakan salah—mengartikan makna modernisasi. Kondisi semacam inilah yang kemudian menginspirasikan Cak Nur pada tahun 1968 untuk membuat makalah cukup panjang berjudul “Modernisasi ialah Rasionalisasi, bukan Westernisasi”, yang dimuat di Mimbar Demokrasi pimpinan Adi Sasono. Saat itu Adi Sasono menjabat sebagai Ketua Dewan Mahasiswa ITB dan Ketua Umum HMI Cabang Bandung. Makalah tersebut merupakan bagian jawaban yang dicicil oleh Cak Nur untuk mencairkan “gunung es” kejumudan dan memecahkan sikap isolatif kaum Muslim terhadap modernisasi yang saat itu mulai ramai diperdebatkan. Melaui artikel itu, Cak Nur antara lain memberikan pengetahuan kepada umat Islam Indonesia bahwa pengertian dan sikap menerima modernisasi itu adalah tidak hanya boleh, melainkan bahkan merupakan perintah ajaran Islam yang termaktub dalam al-Qur’an. Sikap ini dianutnya karena Cak Nur mengartikan modern sebagai bersifat rasional, ilmiah, dan bersesuain dengan hukum-hukum yang berlaku dalam alam. Karena itu, seorang Muslim yang meyakini kebenaran Islam sebagai way of life-nya, ia mesti meyakini bahwa modernisasi adalah suatu keharusan, melahan kewajiban yang mutlak. Bahkan lebih kuat lagi, Cak Nur menegaskan “Modernisasi merupakan pelaksanaan perintah dan ajaran Tuhan Yang Maha Esa (Nurcholish Madjid, Mizan: 2008: 181)
Disamping dua orang yang disebutkan di atas, sejumlah kader HMI Cabang Ciputat juga banyak yang ulet, baik di bidang politik, budaya, maupun lebih khusus lagi, intelektual. Yang menjadi birokrat di depag dan lebih khusus lagi di IAIN, yang mengabdi di jalur Pemda, baik di DKI maupun Tangerang, atau di tempat-tempat asalnya, juga tak terhitung. Yang perlu dicatat di sini mungkin adalah bahwa di bidang politik diakui bahwa para kader HMI Cabang Ciputat belum ada yang menjadi number one, misalnya sebagai menteri atau yang semisal.
Pada dasawarsa kedua, (1970-1980) iklim yang ada hampir tidak jauh beda. Mereka dengan bercermin pada para pendahulunya, melanjutkan tradisi, terutama di bidang intelektual. Namun tradisi semacam ini memang cukup lama untuk dilihat keberhasilannya. Pada periode selanjutnya (1980-1990), sejumlah kader yang berhasil meraih tingkat kesarjanaan, baik yang telah berhasil meraih gelar doktor maupun yang sedang menjalani pendidikannya, cukup banyak. Selain Dr. Nurcholish Madjid, beberapa doktor dan pemikir generasi setelahnya bisa kita sebut, misalnya Dr. Atho Mudzhar, Fachry Ali, Komaruddin Hidayat, Azyumardi Azra, Mulyadhi Kartanagara, Bachtiar Effendy, dan lain-lain yang kini bermunculan sangat banyak dan beragam.
Dari mereka meskipun keseluruhannya berasal dari IAIN, tetapi tidak dengan sendirinya mereka hanya mampu menyuarakan bidang keislaman saja. Mereka juga cukup berkompeten di bidang filsafat, sosiologi, politik, dan budaya, bahkan ada juga di bidang manajemen.
Aktualisasi peran intelektual mereka menyebar di berbagai mass media, sebuah bidang yang sebenarnya tidak dimiliki oleh kurikulum IAIN. Karenanya tidak aneh kalau sebagian dari akhtivis HMI Cabang Ciputat cukup terbiasa menuangkan pikiran-pikiran dalam sebuah tulisan.
Keberhasilan mereka ketika itu, sebagaimana diakui oleh Cak Nur dalam salah satu pidatonya, adalah didapat dari berbagai aktivitas dan interaksi dengan para kader HMI Cabang Ciputat. Di HMI inilah mereka berkumpul dan berdiskusi dalam segala hal, saling mentrasformasikan hasil bacaan dan pemahamannya yang didapat dari buku-buku dan informasi lain.
Ketepatan strategi pada kader dalam merubah iklim tradisi di Ciputat juga cukup bisa dibanggakan. Misalnya pada periode 1980-an, ketika para kader nyaris mengorientasikan aktivitasnya hanya dalam bidang politik (yang sementara dan lokal), yang karenanya selalu dilanda konflik kecil-kecilan tetapi berpengaruh besar, sebagian kecil kader HMI Cabang Ciputat mencari alternatif melalui didirikannya berbagai kelompok studi. Pada masa itu, tercatat kelompok studi semisal Prasasti, Dialektika, Formaci, Respondeo, Flamboyan, dan lain-lain yang tidak terdeteksi.
Tampaknya orientasi politik di kalangan kader HMI Cabang Ciputat cukup tinggi. Sehingga terkesan pada sebagian kecil kader mempolitisasi kelompok studi. Tapi kenyataan semacam ini lebih baik tinimbang mempolitisasikan yang lainnya, misalnya kelompok primordialnya, baik dari almamater sekolahnya dulu sebelum di IAIN (perguruan tinggi apa saja), maupun asal daerah.
HMI Cabang Ciputat Periode 1990: Sebuah Refleksi
Banyak para alumni atau malah para kader HMI sendiri, berpandangan HMI Cabang Ciputat kini mengalami masa decline, masa stagnasi, atau masa-masa sejenisnya. Pandangan ini secara keseluruhannya selalu tidak lepas dari perbandingan masa-masa sebelumnya. Perjuangan HMI Cabang Ciputat kini tidak lagi mencerminkan sibghoh-nya yang dulu pernah berjaya.
Biarlah berbagai pernyataan itu berlalu. Namun satu hal penting yang menyeruak ke permukaan kini tampaknya cukup menggembirakan yaitu bahwa konflik ideologi dengan sesama organisasi se-iman –PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam) dan IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah)– kini tidak lagi terasa mendominasi. Semboyan untuk kembali kepada gerakan kultural, semakin disadari oleh, baik para mahasiswa IAIN yang baru maupun yang lama. Dan iklim ini memang sudah selayaknya diberi pupuk dan diperjuangkan. Dan untuk memulai gerakan ini tidak harus menunggu orang lain. ”Kita mulai dari kita!”
Tampaknya semakin serius adanya sebuah upaya kembali ke gerakan kultural yang sejak awalnya diemban oleh HMI. Gerakan kultural dimaksud adalah sebagai gerakan yang selalu mengorientasikan segala aktivitasnya demi kebenaran, yang di dalamnya berarti juga demi keadilan dan kemanusiaan. Strategi dan taktik gerakan kultural keseluruhannya diarahkan untuk kemenangan kemanusiaan. Karenanya, kalau HMI orientasinya pada gerakan kultural, maka kemenangan HMI adalah juga kemenangan kemanusiaan. Itu berarti juga harus disertai dengan kesadaran bahwa kemenangan pihak lain yang kriterianya sesuai dengan keadilan dan kemanuasiaan, adalah juga merupakan kemenangan bagi HMI. Jadi tujuannya bukan HMI itu sendiri. Bahkan, kalau terjadi hal yang sebaliknya, yaitu tiadanya kriteria keadilan dan kemanusiaan pada sebagian kecil kelompok HMI, HMI harus menyelamatkannya. Kendati itu kader HMI.
Kesadaran kultural ini diperlukan bukan karena ia mampu membawa umat manusia ke arah yang berperadaban, melainkan juga demi kelangsungan hidup umat ini. Dalam hal ini demi kelangsungan hidup HMI itu sendiri. Kiranya zaman ini semakin kritis, siapa yang tidak tepat membaca tanda-tandanya, zaman ini sedikit demi sedikit akan menendangnya menjadi marginal dan akhirnya terkulai termakan hukum-hukum sejarah.
Iklim yang semakin fenomenal yang sifanya lain dari tradisi biasanya juga akhir-akhir ini muncul. Misalnya bahwa sebagian kecil kader HMI Cabang Ciputat kini sudah mulai tertarik pada persoalan-persoalan gerakan aksi. Gerakan aksi yang menentang ketidakadilan terhadap tindakan para penguasa, baik dari sudut politik maupun ekonomi. Fenomena ini semakin menemukan urgensinya ketika zaman dengan penuh kesadaran kita orientasikan pada kehidupan yang berkeadilan dan berperikemanusiaan. Sebab makna konsepsi keadilan terletak pada tindaakan, bukan pada kata-kata.
Banyak para alumni atau malah para kader HMI sendiri, berpandangan HMI Cabang Ciputat kini mengalami masa decline, masa stagnasi, atau masa-masa sejenisnya. Pandangan ini secara keseluruhannya selalu tidak lepas dari perbandingan masa-masa sebelumnya. Perjuangan HMI Cabang Ciputat kini tidak lagi mencerminkan sibghoh-nya yang dulu pernah berjaya.
Biarlah berbagai pernyataan itu berlalu. Namun satu hal penting yang menyeruak ke permukaan kini tampaknya cukup menggembirakan yaitu bahwa konflik ideologi dengan sesama organisasi se-iman –PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam) dan IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah)– kini tidak lagi terasa mendominasi. Semboyan untuk kembali kepada gerakan kultural, semakin disadari oleh, baik para mahasiswa IAIN yang baru maupun yang lama. Dan iklim ini memang sudah selayaknya diberi pupuk dan diperjuangkan. Dan untuk memulai gerakan ini tidak harus menunggu orang lain. ”Kita mulai dari kita!”
Tampaknya semakin serius adanya sebuah upaya kembali ke gerakan kultural yang sejak awalnya diemban oleh HMI. Gerakan kultural dimaksud adalah sebagai gerakan yang selalu mengorientasikan segala aktivitasnya demi kebenaran, yang di dalamnya berarti juga demi keadilan dan kemanusiaan. Strategi dan taktik gerakan kultural keseluruhannya diarahkan untuk kemenangan kemanusiaan. Karenanya, kalau HMI orientasinya pada gerakan kultural, maka kemenangan HMI adalah juga kemenangan kemanusiaan. Itu berarti juga harus disertai dengan kesadaran bahwa kemenangan pihak lain yang kriterianya sesuai dengan keadilan dan kemanuasiaan, adalah juga merupakan kemenangan bagi HMI. Jadi tujuannya bukan HMI itu sendiri. Bahkan, kalau terjadi hal yang sebaliknya, yaitu tiadanya kriteria keadilan dan kemanusiaan pada sebagian kecil kelompok HMI, HMI harus menyelamatkannya. Kendati itu kader HMI.
Kesadaran kultural ini diperlukan bukan karena ia mampu membawa umat manusia ke arah yang berperadaban, melainkan juga demi kelangsungan hidup umat ini. Dalam hal ini demi kelangsungan hidup HMI itu sendiri. Kiranya zaman ini semakin kritis, siapa yang tidak tepat membaca tanda-tandanya, zaman ini sedikit demi sedikit akan menendangnya menjadi marginal dan akhirnya terkulai termakan hukum-hukum sejarah.
Iklim yang semakin fenomenal yang sifanya lain dari tradisi biasanya juga akhir-akhir ini muncul. Misalnya bahwa sebagian kecil kader HMI Cabang Ciputat kini sudah mulai tertarik pada persoalan-persoalan gerakan aksi. Gerakan aksi yang menentang ketidakadilan terhadap tindakan para penguasa, baik dari sudut politik maupun ekonomi. Fenomena ini semakin menemukan urgensinya ketika zaman dengan penuh kesadaran kita orientasikan pada kehidupan yang berkeadilan dan berperikemanusiaan. Sebab makna konsepsi keadilan terletak pada tindaakan, bukan pada kata-kata.
Hasil
revisi dari tulisan yang dimuat dalam Modul
LatihanKader (LK I) Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Ciputat Periode
1992-1993, (Ciputat: HMI Cabang Ciputat, tt.).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar