Selasa, 28 Februari 2012

Memelihara Tradisi Intelektual


oleh:
Ahmad Zacky Siradj
T
entu saja sebagai yang pernah mengikuti pembinaan di PII (Pelajar Islam Indonesia) kendati dalam waktu yang relatif pendek maka aktif di HMI sepertinya naik kelas, waktu yang cukup singkat sekali pengalaman di PII itu ternyata dapat menjadi bekal untuk mengikuti perkaderan dan secara aktif mengikuti kegiatan-kegiatan di HMI. Pergaulan dengan teman-teman di HMI dikatakan berpengaruh betul juga tidak, tapi selama pergaulan itu banyak hal yang kemudian ikut membentuk sikap pribadi yang lama kelamaan sepertinya tidak mau pisah dari HMI. Jika ada yang bilang bahwa HMI itu sebagai universitas kedua mungkin salah satunya adalah saya. Dalam kuliah memang mendapat pengetahuan tentang Islam selain pengetahuan umum yang terkait dengan pendidikan karena kuliah di Fakultas Tarbiyah Jurusan Ilmu Pendidikan Agama. Tapi bila perubahan cara pandang tentang Islam juga tentang ke-Indonesiaan diperoleh di kampus kedua ini yakni di HMI. Malah agak terkaget-kaget maklum yang tadinya pemahaman Islam di kampung itu hanya melaksanakan ubudiah, walaupun sedikit-sedikit mengenal tentang ijtihad para imam empat madzhab yang masyhur yakni Maliki, Syafi’i, Hanafi dan Hambali yang semua ini dikenal dengan madzhab “Aswaja” (Ahli Sunnah wal Jama’ah) lalu di kuliahan di kenal pula ada Mu’tazilah dan Wahabiyah. Tapi di kampus kedua ini dikenal dengan “Islam Madzhab Ciputat”, jadi ada madzhab ‘baru” yang doktrinnya kemudian dianut oleh banyak teman-teman juga, sebagai faham keagamaan yang relatif mencerahkan. Model madzhab baru inilah yang mewarnai gairah perkaderan ketika itu, hingga pada awal-awal belajar menjadi instruktur pada berbagai jenjang training dengan menyampaikan materi NDP (Nilai Dasar Perjuangan) disamping materi-materi lainnya. Ada memang beberapa senior yang katakanlah relatif dekat dan menjadi teman diskusi terutama dalam kaitannya dengan dinamika perkaderan ini sekedar untuk menyebut beberapa senior yang tentunya lebih banyak dari ini seperti Maman Hilman (almarhum), Irchamni, Kamil Amrullah, Iwan Nazar, Bunyamin Surur, Rifqiyati dan banyak lagi.
Bersyukur pula pada saat saya memimpin HMI Cabang Ciputat 1976-1977 yang dalam waktu bersamaan juga diminta menjadi fungsionaris PB HMI sebagai Wakil Sekjen pada kepemimpinan Chumaidi Syarif Romas tapi dinon aktifkan dulu sebelum selesai memimpin Cabang. Dalam kepengurusan Cabang banyak kader pemikir sebagai fungsionaris Cabang yang sangat berpengaruh pada dinamika kepengurusan Cabang dan dinamika perkaderan HMI Cabang Ciputat pada umumnya, antara lain Didin Hafiduddin, Fachry Ali, Komaruddin Hidayat, Kurniawan, Nabhan Husein (alm), Hari Zamharir, Ahmad Rivai Hasan, Azyumardi Azra dan banyak lagi.
Mengikuti perekembangan HMI belakangan ini katakanlah periode-periode pasca 80-an, mendengar berita bahwa HMI sebagai organisasi perkaderan telah mengalami degradasi nilai. Katakanlah yang sebelumnya penuh pengabdian tetapi karena interaksi dengan lingkungan yang tak mendukung kelanjutan misi “propetik”-nya ditambah pula dengan rentannya para kader, sepertinya kemudian HMI sebagai organisasi kader pun ikut “tercemar”, hingga Cak Nur (panggilan akrab Nurcholish Madjid) berpendapat untuk “membubarkan HMI”. Dari apa yang dikemukakan Cak Nur ini jelas HMI hendaknya melakukan perubahan yang mendasar, terutama pada sikap mental para kadernya agar senantiasa menjunjung nilai moral dan idealismenya yang tinggi dan mulia. Demikian pula tentunya bagi HMI Cabang Ciputat harus mampu menjaga integritasnya sebagai basis intelektual yang mempunyai moralitas dan integritasnya yang tinggi. Sungguh akan menjadi kebanggaan bagi negara bangsa bila putera-putera terbaik masyarakat bangsa ini lahir dari “kawah candradimuka”-nya Ciputat. Untuk itu HMI Ciputat harus tetap dapat memelihara tradisi intelektualnya dengan melakukan diskusi-diskusi dan kajian-kajian untuk membekali diri sebagai anak bangsa yang pada zamannya ikut memberikan pencerahan sebagai guru kehidupan. Semoga!

Sejarah HMI Cabang Ciputat; Sebuah Pengantar


oleh
M. Wahyuni Nafis

Tampak terasa semakin penting untuk mengetahui peran orang-orang HMI Cabang Ciputat. Kepentingan mengetahuinya sama sekali tidak didasarkan atas sikap arogansi yang cenderung menonjol-nonjolkan kejayaan masa lalu. Tidak juga sebagai pembusungan dada bahwa HMI-lah (Cabang Ciputat) satu-satunya wadah yang telah (pernah?) mengukir sejarah berwarna emas.

Niat menghadirkan tulisan semacam ini setidaknya didasari tiga gagasan. Pertama, kalau memang HMI Cabang Ciputat dikatakan oleh sebagian alumni-alumninya pernah memiliki kejayaan, dengan berbagai data dan fakta, maka mungkin saja hal semacam ini bisa menjadi stimulus bagi para kader di hari ini. Kedua, seandainya statemen “HMI Cabang Ciputat pernah memiliki kejayaan” sementara diterima, maka kita bisa menelaah strategi dan perangkat apa saja yang membuat para  kader di masa itu berhasil. Ketiga, kita kembali mempertanyakan, apakah benar para kader HMI di masa tertentu di Ciputat pernah mengalami keberhasilan? Betulkah mereka berhasil menjadi seorang intelektual, pemikir, pemimpin, dan lain sebagainya, didapatkan dari aktivitas yang dilakukan di HMI?

Tiga persoalan itulah yang mendasari dihadirkannya tulisan ini. Dengan kemungkinan besar, kesalahan interpretasi dan kekeliruan penilaian atas realitas yang sebenarnya telah terjadi di masyarakat HMI Cabang Ciputat, akan terjadi dalam tulisan ini. Karenanya, paling tidak tulisan ini menjadi tawaran awal bagi para peminat yang ingin mengetahui keadaan HMI Cabang Ciputat lebih mendalam.

Awal-Mula HMI Cabang Ciputat 

HMI Cabang Ciputat berdiri pada tahun 1960, bermula dari sebuah komisariat, yang kemudian pada tahun berikutnya 1961, dijadikan sebuah Cabang. Abu Bakar yang ditugasi menjadi Ketua Umum Komisariat pada tahun itu, pada tahun berikutnya dipercaya juga sebagai Ketua Umum HMI Cabang Ciputat.

Cabang Ciputat tampaknya agak ganjil, lain dari yang lain. Pasalnya, Ciputat hanya merupakan sebuah wilayah tingkat kecamatan. Alasan para pendahulu HMI Cabang Ciputat adalah bahwa cabang ini memiliki ciri khas tersendiri, yang membedakannya dengan Cabang-Cabang lain (Cabang Jakarta, misalnya). Karenanya, ciri khas keciputatan ini hendaknya tetap dipertahankan bahkan urgen untuk trus dihidupkan dan dikembangkan.

HMI Cabang Ciputat kini memiliki 15 komisariat: Komisariat Fakultas Tarbiyah (Komtar), Komisariat Fakultas Syariah (Komfaksy), Komisariat Fakultas Ushuluddin dan Filsafat (Komfuf), Komisariat Fakultas Adab dan Humaniora (Kofah), Komisariat Fakultas Dakwah (Komfakda), Komisariat Ekonomi dan Ilmu Sosial (Kafeis), Komisariat Sains dan Teknologi (Kompastek), Komisariat Fakultas Dirasat Islamiyah (Komfakdisa), Komisariat Fakultas Psikologi (Kompsi), Komisariat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (Komfakdik), yang berada di lingkungan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta; Komisariat Cirendeu (Komici) yang berbasis di Universitas Muhammadiyah Yakarta; Komisariat Ahmad Dahlan (Komad) yang berbasis di Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Ahmad Dahlan (STIE-AD); Komisariat Bintaro (Kotaro) yang berbasis di Sekolah Tinggi Administrasi Negara (STAN); dan Komisariat (Komperpam) yang berbasis di Universitas Pamulang dan Komisariat Persiapan Fakultas FISIP UIN Jakarta.

Sejumlah tokoh yang ditugasi memimpin HMI Cabang Ciputat bisa kita sebut mulai dari Abu Bakar (alm), Muhammad Salim Umar, Syarifuddin Harahap (Careteker dari PB HMI), Nurcholish Madjid, Mustoha, A. Syatibi, A. Hafidz Dasuki, M.E. Sya’roni, A. Syarifuddin, Mursyid Ali, I.Z. Efwan Asfa, Irchami, Maman Hilman, M. Bunyamin, Y. Surur, A. Zacky Siradj, Harry Zamharir, Kurniawan Zulkarnaen, Pipip Ahmad Rifa’I, Azyumardi Azra, Ahmad Sanusi, Dasrizal, Didin Syafruddin, Endang Hamdan, Ruhyaman R.Z., Safrida Yusuf, Aries Budiono, Novianto, Muhamad Wahyuni Nafis, [kemudian] Syukran Kamil, Akbar Zainuddin, J.M. Muslimin, Dudu Abdush-Shomad, Muhtadi, Yudi Ali Akbar, Teuku Ikbal Syah, Saifuddin Asrori, Asep Sopyan, Saiful Rijal Al-Fikri, Kuntum Khairu Basya, Elban Faqih Esa, Hariyadi, dan kini M. Fathul Arif.

HMI Cabang Ciputat [Periode 1992-1993, ed.] memiliki delapan komisariat: Komisariat Fakultas Syariah, Komisariat Fakultas Tarbiyah, Komisariat Fakultas Ushuluddin, Komisariat Fakultas Adab, Komisariat Fakultas Dakwah, Komisariat ITI (Institut Teknologi Indonesia), Komisariat Unis (Univesitas Islam Syekh Yusuf, Tangerang) dan Komisariat Iqra. Lima komisariat pertama berada di lingkungan IAIN Jakarta –sekarang UIN Jakarta– dan satu komisariat terakhir merupakan kumpulan dari perguruan tinggi selain yang disebut di atas yang para mahasiswanya berdomisili di Ciputat.

HMI Cabang Ciputat kini memiliki 15 komisariat: Komisariat Fakultas Tarbiyah (Komtar), Komisariat Fakultas Syariah (Komfaksy), Komisariat Fakultas Ushuluddin dan Filsafat (Komfuf), Komisariat Fakultas Adab dan Humaniora (Kofah), Komisariat Fakultas Dakwah (Komfakda), Komisariat Ekonomi dan Ilmu Sosial (Kafeis), Komisariat Sains dan Teknologi (Kompastek), Komisariat Fakultas Dirasat Islamiyah (Komfakdisa), Komisariat Fakultas Psikologi (Kompsi), Komisariat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (Komfakdik), yang berada di lingkungan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta; Komisariat Cirendeu (Komici) yang berbasis di Universitas Muhammadiyah Yakarta; Komisariat Ahmad Dahlan (Komad) yang berbasis di Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Ahmad Dahlan (STIE-AD); Komisariat Bintaro (Kotaro) yang berbasis di Sekolah Tinggi Administrasi Negara (STAN); dan Komisariat (Komperpam) yang berbasis di Universitas Pamulang dan Komisariat Persiapan Fakultas FISIP UIN Jakarta. 

HMI Cabang Ciputat dan Gerakan Intelektual 

Pada dasawarsa pertama (1960-1970), para kader HMI Cabang Ciputat dikenal tidak saja sebagai aktivis yang aktif menjalankan acara rutinitasnya, melainkan juga dikenal sebagai kader-kader yang memiliki bobot, baik intelektual maupun politik. Terbukti bahwa sejumlah mantan aktivis HMI Cabang Ciputat banyak yang menjalankan pengabdiannya di bidang birokrasi dan politik, selain ada yang menjadi nara sumber intelektual. Di bidang politik, bisa kita sebut Andi Muhammad Fatwa, yang terakhir dikenal sebagai penandatangan petisi 50 bersama Ali Sadikin, yang baru saja dibebaskan dari Lembaga Pemasyarakatan. Di bidang intelektual, bisa kita sebut Nurcholish Madjid. Yang terakhir ini, ternyata tidak saja menjadi tokoh nasional, melainkan juga bahkan internasional.

Beberapa pemikiran Cak Nur—panggilan akrab Nurcholish Madjid—bagi para kader HMI, terutama di Ciputat, sangat tidak asing lagi. Terlepas dari pro dan kontra. Dalam kesempatan ini sedikit saya singgung mengenai kiprahnya di bidang intelektual. Yaitu terutama ketika Cak Nur menjadi Ketua Umum PB HMI (terpilih dua kali: 1967-1969 dan 1969-1971). Kader HMI Cabang Ciputat yang juga pernah menjadi Ketua Umum PB HMI adalah A. Zacky Siradj. 

Waktu Cak Nur menjadi ketua umum PB HMI isu-isu modernisasi mulai mengemuka di kalangan masyarakat dan para aktivis HMI di seluruh Indonesia. Banyak tulisan di koran-koran membicarakan soal modernisasi tersebut. Terkesan saat itu umat Islam bukan hanya tidak terlibat dalam upaya melakukan modernisasi, melainkan bahkan seolah menolak modernisasi. Banyak di kalangan umat Islam kurang tepat—untuk tidak mengatakan salah—mengartikan makna modernisasi. Kondisi semacam inilah yang kemudian menginspirasikan Cak Nur pada tahun 1968 untuk membuat makalah cukup panjang berjudul “Modernisasi ialah Rasionalisasi, bukan Westernisasi”, yang dimuat di Mimbar Demokrasi pimpinan Adi Sasono. Saat itu Adi Sasono menjabat sebagai Ketua Dewan Mahasiswa ITB dan Ketua Umum HMI Cabang Bandung. Makalah tersebut merupakan bagian jawaban yang dicicil oleh Cak Nur untuk mencairkan “gunung es” kejumudan dan memecahkan sikap isolatif kaum Muslim terhadap modernisasi yang saat itu mulai ramai diperdebatkan. Melaui artikel itu, Cak Nur antara lain memberikan pengetahuan kepada umat Islam Indonesia bahwa pengertian dan sikap menerima modernisasi itu adalah tidak hanya boleh, melainkan bahkan merupakan perintah ajaran Islam yang termaktub dalam al-Qur’an. Sikap ini dianutnya karena Cak Nur mengartikan modern sebagai bersifat rasional, ilmiah, dan bersesuain dengan hukum-hukum yang berlaku dalam alam. Karena itu, seorang Muslim yang meyakini kebenaran Islam sebagai way of life-nya, ia mesti meyakini bahwa modernisasi adalah suatu keharusan, melahan kewajiban yang mutlak. Bahkan lebih kuat lagi, Cak Nur menegaskan “Modernisasi merupakan pelaksanaan perintah dan ajaran Tuhan Yang Maha Esa (Nurcholish Madjid, Mizan: 2008: 181) 

Disamping dua orang yang disebutkan di atas, sejumlah kader HMI Cabang Ciputat juga banyak yang ulet, baik di bidang politik, budaya, maupun lebih khusus lagi, intelektual. Yang menjadi birokrat di depag dan lebih khusus lagi di IAIN, yang mengabdi di jalur Pemda, baik di DKI maupun Tangerang, atau di tempat-tempat asalnya, juga tak terhitung. Yang perlu dicatat di sini mungkin adalah bahwa di bidang politik diakui bahwa para kader HMI Cabang Ciputat belum ada yang menjadi number one, misalnya sebagai menteri atau yang semisal.

Pada dasawarsa kedua, (1970-1980) iklim yang ada hampir tidak jauh beda. Mereka dengan bercermin pada para pendahulunya, melanjutkan tradisi, terutama di bidang intelektual. Namun tradisi semacam ini memang cukup lama untuk dilihat keberhasilannya. Pada periode selanjutnya (1980-1990), sejumlah kader yang berhasil meraih tingkat kesarjanaan, baik yang telah berhasil meraih gelar doktor maupun yang sedang menjalani pendidikannya, cukup banyak. Selain Dr. Nurcholish Madjid, beberapa doktor dan pemikir generasi setelahnya bisa kita sebut, misalnya Dr. Atho Mudzhar, Fachry Ali, Komaruddin Hidayat, Azyumardi Azra, Mulyadhi Kartanagara, Bachtiar Effendy, dan lain-lain yang kini bermunculan sangat banyak dan beragam.

Dari mereka meskipun keseluruhannya berasal dari IAIN, tetapi tidak dengan sendirinya mereka hanya mampu menyuarakan bidang keislaman saja. Mereka juga cukup berkompeten di bidang filsafat, sosiologi, politik, dan budaya, bahkan ada juga di bidang manajemen.

Aktualisasi peran intelektual mereka menyebar di berbagai mass media, sebuah bidang yang sebenarnya tidak dimiliki oleh kurikulum IAIN. Karenanya tidak aneh kalau sebagian dari akhtivis HMI Cabang Ciputat cukup terbiasa menuangkan pikiran-pikiran dalam sebuah tulisan.

Keberhasilan mereka ketika itu, sebagaimana diakui oleh Cak Nur dalam salah satu pidatonya, adalah didapat dari berbagai aktivitas dan interaksi dengan para kader HMI Cabang Ciputat. Di HMI inilah mereka berkumpul dan berdiskusi dalam segala hal, saling mentrasformasikan hasil bacaan dan pemahamannya yang didapat dari buku-buku dan informasi lain.

Ketepatan strategi pada kader dalam merubah iklim tradisi di Ciputat juga cukup bisa dibanggakan. Misalnya pada periode 1980-an, ketika para kader nyaris mengorientasikan aktivitasnya hanya dalam bidang politik (yang sementara dan lokal), yang karenanya selalu dilanda konflik kecil-kecilan tetapi berpengaruh besar, sebagian kecil kader HMI Cabang Ciputat mencari alternatif melalui didirikannya berbagai kelompok studi. Pada masa itu, tercatat kelompok studi semisal Prasasti, Dialektika, Formaci, Respondeo, Flamboyan, dan lain-lain yang tidak terdeteksi.

Tampaknya orientasi politik di kalangan kader HMI Cabang Ciputat cukup tinggi. Sehingga terkesan pada sebagian kecil kader mempolitisasi kelompok studi. Tapi kenyataan semacam ini lebih baik tinimbang mempolitisasikan yang lainnya, misalnya kelompok primordialnya, baik dari almamater sekolahnya dulu sebelum di IAIN (perguruan tinggi apa saja), maupun asal daerah.

HMI Cabang Ciputat Periode 1990: Sebuah Refleksi 

Banyak para alumni atau malah para kader HMI sendiri, berpandangan HMI Cabang Ciputat kini mengalami masa decline, masa stagnasi, atau masa-masa sejenisnya. Pandangan ini secara keseluruhannya selalu tidak lepas dari perbandingan masa-masa sebelumnya. Perjuangan HMI Cabang Ciputat kini tidak lagi mencerminkan sibghoh-nya yang dulu pernah berjaya.

Biarlah berbagai pernyataan itu berlalu. Namun satu hal penting yang menyeruak ke permukaan kini tampaknya cukup menggembirakan yaitu bahwa konflik ideologi dengan sesama organisasi se-iman –PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam) dan IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah)– kini tidak lagi terasa mendominasi. Semboyan untuk kembali kepada gerakan kultural, semakin disadari oleh, baik para mahasiswa IAIN yang baru maupun yang lama. Dan iklim ini memang sudah selayaknya diberi pupuk dan diperjuangkan. Dan untuk memulai gerakan ini tidak harus menunggu orang lain. ”Kita mulai dari kita!

Tampaknya semakin serius adanya sebuah upaya kembali ke gerakan kultural yang sejak awalnya diemban oleh HMI. Gerakan kultural dimaksud adalah sebagai gerakan yang selalu mengorientasikan segala aktivitasnya demi kebenaran, yang di dalamnya berarti juga demi keadilan dan kemanusiaan. Strategi dan taktik gerakan kultural keseluruhannya diarahkan untuk kemenangan kemanusiaan. Karenanya, kalau HMI orientasinya pada gerakan kultural, maka kemenangan HMI adalah juga kemenangan kemanusiaan. Itu berarti juga harus disertai dengan kesadaran bahwa kemenangan pihak lain yang kriterianya sesuai dengan keadilan dan kemanuasiaan, adalah juga merupakan kemenangan bagi HMI. Jadi tujuannya bukan HMI itu sendiri. Bahkan, kalau terjadi hal yang sebaliknya, yaitu tiadanya kriteria keadilan dan kemanusiaan pada sebagian kecil kelompok HMI, HMI harus menyelamatkannya. Kendati itu kader HMI.

Kesadaran kultural ini diperlukan bukan karena ia mampu membawa umat manusia ke arah yang berperadaban, melainkan juga demi kelangsungan hidup umat ini. Dalam hal ini demi kelangsungan hidup HMI itu sendiri. Kiranya zaman ini semakin kritis, siapa yang tidak tepat membaca tanda-tandanya, zaman ini sedikit demi sedikit akan menendangnya menjadi marginal dan akhirnya terkulai termakan hukum-hukum sejarah.

Iklim yang semakin fenomenal yang sifanya lain dari tradisi biasanya juga akhir-akhir ini muncul. Misalnya bahwa sebagian kecil kader HMI Cabang Ciputat kini sudah mulai tertarik pada persoalan-persoalan gerakan aksi. Gerakan aksi yang menentang ketidakadilan terhadap tindakan para penguasa, baik dari sudut politik maupun ekonomi. Fenomena ini semakin menemukan urgensinya ketika zaman dengan penuh kesadaran kita orientasikan pada kehidupan yang berkeadilan dan berperikemanusiaan. Sebab makna konsepsi keadilan terletak pada tindaakan, bukan pada kata-kata.

Hasil revisi dari tulisan yang dimuat dalam Modul LatihanKader (LK I) Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Ciputat Periode 1992-1993, (Ciputat: HMI Cabang Ciputat, tt.).

Sabtu, 18 Februari 2012

Wasiat Sang Begawan; Pesan-pesan Nurcholish Madjid

Yang dikemukakan dalam buku ini cukup menarik. Prof. Dr. Nurcholish Madjid dibayangkan sebagai Begawan Abiyasa. Abiyasa adalaha Begawan terkemuka yang bermukim di padepokan Retawu digunung Saptaarga. Sebelum menjadi Begawan, Abiyasa adalah raja Hastina, kakek Pandawa dan Kurawa menurut epos Mahabarata. Abiyasa pertaba sakti, arif bijaksana, dan mejadi gru wangsa Barata. Begitu pula Cak Nur adalah cendekiawan muslim yang menjadi guru bangsa Indonesia.

Cak Nur sudah wafat pada tahun 2005, tetapi Solichi membayangkan beliau tetap hidup di bumi Indonesiamkarena pemikirannya atau ilmu yang ditinggalkan masih ada dan bermanfaat bagi umat Islam, bangsa, dan negara Indonesia. Karya pikir Cak Nur tentang berbagai hal itu adalah warisan yang tak ternilai harganya sehingga harus kita rawat dengan sebaik-baiknya. Buku Wasiat Sang Begawan ini juga bermaksud untuk melestarikan dan memanfaatkan warisan itu. Dengan gaya pewayangan dikemukakan wasiat atau pesan Cak Nur tentang NDP untuk HMI, Iptek untuk umat Islam, dan Platform membangun Indonesia, waiat untuk bangsa Indonesia. Tiga tema tersebut memang menjadi sangat penting bagi upaya membangun peradaban bangsa Indonesia. Prof. Dr. Nurcholish Madjid sangat besar perhatiannya terhadap peradaban manusia. Peradaban yang unggul dan bermanfaat adalah cita-cita Sang Begawan yang diperjuangkan semasa hidupnya.......

Dalam rangka mengenang kembali Cak Nur, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat Fakultas Ekonomi dan Bisnis (KAFEIS) Cabang Ciputat mengadakan acara "TRIBUTE TO CAK NUR"
Bedah Buku "Wasiat Sang Begawan; Pesan-pesan Nurcholish Madjid" karya Solichin.
Senin, 20 Februari 2012 pukul 09.00 - 13.00 WIB bertempat di Ruang Teater Lantai 2 Fakultas Ekonomi dan Bisnis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Pembicara : Solichin (penulis). Ahmad Zacky Siradj (Mantan Ketua Umum PB HMI), Muhamad Wahyuni Nafis (Ketua Nurcholish Madjid Society), Omi Komaria Madjid (Istri alm. Nurcholish Madjid) dengan Moderator : Arif Rahman Hakim.



Salam Hangat, Pengurus HMI KAFEIS
Chairul Irfani, Ketua Umum