oleh:
Ahmad Zacky Siradj
T
|
entu saja
sebagai yang pernah mengikuti pembinaan di PII (Pelajar Islam Indonesia)
kendati dalam waktu yang relatif pendek maka aktif di HMI sepertinya naik
kelas, waktu yang cukup singkat sekali pengalaman di PII itu ternyata dapat
menjadi bekal untuk mengikuti perkaderan dan secara aktif mengikuti
kegiatan-kegiatan di HMI. Pergaulan dengan teman-teman di HMI dikatakan
berpengaruh betul juga tidak, tapi selama pergaulan itu banyak hal yang
kemudian ikut membentuk sikap pribadi yang lama kelamaan sepertinya tidak mau
pisah dari HMI. Jika ada yang bilang bahwa HMI itu sebagai universitas kedua
mungkin salah satunya adalah saya. Dalam kuliah memang mendapat pengetahuan
tentang Islam selain pengetahuan umum yang terkait dengan pendidikan karena
kuliah di Fakultas Tarbiyah Jurusan Ilmu Pendidikan Agama. Tapi bila perubahan
cara pandang tentang Islam juga tentang ke-Indonesiaan diperoleh di kampus
kedua ini yakni di HMI. Malah agak terkaget-kaget maklum yang tadinya pemahaman
Islam di kampung itu hanya melaksanakan ubudiah,
walaupun sedikit-sedikit mengenal tentang ijtihad para imam empat madzhab yang
masyhur yakni Maliki, Syafi’i, Hanafi
dan Hambali yang semua ini dikenal dengan madzhab “Aswaja” (Ahli Sunnah wal
Jama’ah) lalu di kuliahan di kenal pula ada Mu’tazilah dan Wahabiyah. Tapi di
kampus kedua ini dikenal dengan “Islam Madzhab Ciputat”, jadi ada madzhab
‘baru” yang doktrinnya kemudian dianut oleh banyak teman-teman juga, sebagai
faham keagamaan yang relatif mencerahkan. Model madzhab baru inilah yang mewarnai
gairah perkaderan ketika itu, hingga pada awal-awal belajar menjadi instruktur
pada berbagai jenjang training dengan menyampaikan materi NDP (Nilai Dasar
Perjuangan) disamping materi-materi lainnya. Ada memang beberapa senior yang
katakanlah relatif dekat dan menjadi teman diskusi terutama dalam kaitannya
dengan dinamika perkaderan ini sekedar untuk menyebut beberapa senior yang
tentunya lebih banyak dari ini seperti Maman Hilman (almarhum), Irchamni,
Kamil Amrullah, Iwan Nazar, Bunyamin Surur, Rifqiyati dan banyak lagi.
Bersyukur pula pada saat saya memimpin HMI Cabang Ciputat 1976-1977 yang
dalam waktu bersamaan juga diminta menjadi fungsionaris PB HMI sebagai Wakil
Sekjen pada kepemimpinan Chumaidi Syarif Romas tapi dinon aktifkan dulu sebelum
selesai memimpin Cabang. Dalam kepengurusan Cabang banyak kader pemikir sebagai
fungsionaris Cabang yang sangat berpengaruh pada dinamika kepengurusan Cabang
dan dinamika perkaderan HMI Cabang Ciputat pada umumnya, antara lain Didin
Hafiduddin, Fachry Ali, Komaruddin Hidayat, Kurniawan, Nabhan Husein (alm),
Hari Zamharir, Ahmad Rivai Hasan, Azyumardi Azra dan banyak lagi.
Mengikuti perekembangan HMI belakangan ini katakanlah periode-periode pasca
80-an, mendengar berita bahwa HMI sebagai organisasi perkaderan telah mengalami
degradasi nilai. Katakanlah yang sebelumnya penuh pengabdian tetapi karena
interaksi dengan lingkungan yang tak mendukung kelanjutan misi “propetik”-nya
ditambah pula dengan rentannya para kader, sepertinya kemudian HMI sebagai
organisasi kader pun ikut “tercemar”, hingga Cak Nur (panggilan akrab
Nurcholish Madjid) berpendapat untuk “membubarkan HMI”. Dari apa yang
dikemukakan Cak Nur ini jelas HMI hendaknya melakukan perubahan yang mendasar,
terutama pada sikap mental para kadernya agar senantiasa menjunjung nilai moral
dan idealismenya yang tinggi dan mulia. Demikian pula tentunya bagi HMI Cabang
Ciputat harus mampu menjaga integritasnya sebagai basis intelektual yang
mempunyai moralitas dan integritasnya yang tinggi. Sungguh akan menjadi
kebanggaan bagi negara bangsa bila putera-putera terbaik masyarakat bangsa ini
lahir dari “kawah candradimuka”-nya Ciputat. Untuk itu HMI Ciputat harus tetap
dapat memelihara tradisi intelektualnya dengan melakukan diskusi-diskusi dan
kajian-kajian untuk membekali diri sebagai anak bangsa yang pada zamannya ikut
memberikan pencerahan sebagai guru kehidupan. Semoga!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar