Bahtiar Effendy
S
|
udah sekian lama.
Lewat pidato-pidato lepas, audiensi dan press release, dr. Abdul
Ghafur dalam kapasitasnya sebagai Menteri Negara Pemuda dan Olahraga, mencoba
mengetuk hati para pucuk pimpinan organisasi-organisasi massa agar berkenan
menggunakan Pancasila sebagai asas organisasi. Usaha ini tidak hanya berhenti
sampai di situ, tetapi ditindaklanjuti oleh berbagai kesempatan dialog dengan
berbagai pendukung organisasi massa tersebut. Apa yang ditekankan adalah bahwa
GBHN betapapun yang dimaksudkan adalah Parpol dan Golkar telah memberikan
isyarat bahwa nantinya Pancasila haruslah merupakan satu-satunya asas bagi
organisasi massa yang tumbuh di Indonesia. sosialisasi ide penunggalan asas
dari atas ini terasa pincang dan kurang human, sebab pendekatan-pendekatan yang
dilakukan oleh kelompok pensosialiasi ide tersebut, sering kali mengesankan dan
terasakan sebagai pemaksaan. Sosialisasi yang lepas dari persfektif nilai-nilai
sosiologis dan historis ini pada akhirnya mewujudkan suatu kritalisasi
kekecewaan yang sesungguhnya, pada taraf-taraf tertentu, akan berbalik menjadi
bumerang bagi dirinya sendiri.
Pada
ujung proses sosialisasi yang tidak jelas ini membuahkan suatu kompilasi
berbagai kekecewaan yang menghujam pada diri setiap pendukung organisasi massa.
Sebab dirinya, organisasi yang didukungnya, identitas yang selama ini dianggapnya
sebagai kebenaran yang seharusnya dipertahankan dihadapkan pada suatu kekuatan
lain. Kekuatan mana diyakini secara kuat akan membahayakan dan bahkan
menghapuskan identitas yang selama ini dipegangnya. Pada taraf semacam inilah
letupan-letupan emosional mendapatkan proporsi yang sewajarnya, namun
seringkali lewat batas dan secara dingin kepala terkontrol lagi.
Dalam
situasi semacam ini, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) melangsungkan Kongres ke-15
di Medan pada tanggal 21-31 Mei 1983. Sebagai organisasi mahasiswa tertua dan
terbesar, maka setiap bentuk perilaku dan aktifitas HMI tak dari sorotan
berbagai pihak, tak luput pula dalam kongres yang baru lalu ini. betapa tidak,
sebelum, ketika dan setelah kongres berlangsung masih terasa banyak mata nanar
melihat, ingin tahu dan mengharapkan sesuatu atas hasil apa (lebih tepat
pikiran-pikiran besar, sikap dan pendirian istiqomah HMI) yang ditelorkan oleh
kongres tersebut. Terlebih lagi ketika kongres ini baru berlangsung, banyak
pihak yang secara individual maupun kelompok mengarahpandangkan mata hatinya
dalam jangka waktu dua tahun ke depan. Namun sesungguhnya harapan mereka satu,
agar HMI dapat secara lebih tenang, jernih, cerdas, dan dewasa dalam melihat
kondisi yang melingkupi dirirnya. Tetap mempertahankan suatu keunikan yang
selama ini merupakan ciri khas dan trademark HMI, yaitu membudayakan
dirinya untuk selalu bersikap terbuka, dialogis, tidak ekstrim, dan tidak pula
eksklusif serta dilengkapi oleh kemampuan mengantisipasi ke depan tehadap
berbagai persoalan bangsa dan negara.
Higlights Materi Kongres
Kongres
HMI yang diadakan di daerah yang pernah dikuasai oleh Kesultanan Maimun ini
sedianya akan dibuka oleh Wapres Umar Wirahadikumah. Begitu pula sederet
Menteri dan pejabat tinggi negara dijadwalkan hadir untuk memberikan
masukan-masukan yang secara signifikan akrab dengan persoalan-persoalan bangsa,
di mana HMI merupakan sub sistem yang hidup di dalamnya. Namun toh suatu
kenyataan yang memang harus diterima secara arif dan budiman, bahwa
beliau-beliau ini tetap tidak bisa hadir, kecuali Menpora yang memang secara
struktural kenegaraan terlibat oleh masalah-masalah kepemudaan, di mana
variabel ini nampak dengan pada diri HMI. Sesungguhnya sikap arif dan budiman
tehadap fenomena nasional sesungguhnya ada suatu masalah, realitas
permasalahan, terlepas masalah itu pahit atau manis, menyusahkan atau malah
menggembirakan yang dihadapkan pada HMI. Untuk itu menjadi tugasnya lah dalam
menyahuti realitas permasalahan yang ada, dengan menggunakan etika budaya
pemecahan masalah yang ada selama ini dikembangkan oleh HMI, yaitu dengan
mendialogkan masalah tersebut secara cerdas dan dewasa dengan wawasan
antisipasi ke depan yang prima dan limau.
Namun,
sejalan dengan arus pembaharuan budaya semacam itu tidak dapat lagi
dipertahankan oleh HMI, paling tidak oleh Kongres ke-15, sebagai suatu forum
tertinggi dalam menentukan sikap terjang, wawasan dan penjabaran program kerja
HMI. Konstalasi tersebut di atas nampak dengan jelas jika mau menyimak dengan
lugas tanpa ada pretensi subyektif untuk kepentingan interest-interest
tertentu.
Bahkan
sejak awal pembukaan kongres pun, budaya dialogis yang ada di HMI serta sikap
keteladanan dan kebijakan yang baik (al-hikmah wa al-mau’idhah
al-khasanah) yang selama ini merupakan ciri yang menonjol sudah
tidak nampak lagi. Budaya tersebut sudah tergadaikan dengan sikap yang
eksplosif dan istiqamah yang tidak lambari nilai-nilai etis yang
berperan sebagai platfrom kebenaran yang manusiawi. Kejelasan dari memudahnya
budaya dialogis ini setidak-tidaknya tercermin oleh makna yang terkonotasikan
dalam ungkapan-ungkapan yang ekplosif seperti kongres perjuangan yang penuh
tantangan dari luar dan dalam yang memakai kerudung HMI sendiri. Dalam suasana
semacam ini, maka materi-materi kongres mengalami suatu proses diverisifikasi
pintas di mana pertimbangan-pertimbangan rasional relatif terabaikan dan
cenderung untuk memberikan prioritas utama terhadap materi-materi yang secara
emosional mudah dipertentangkan dengan kondisi ekstern yang dihadapkan kepada
HMI.
Maka
urutan prioritas materi yang digandrungi oleh sebagian peserta kongres adalaah
tipe-tipe materi yang mempunyai potensi untuk dipertentangkan dengan kondisi
ektern HMI secara dikotomis dan prontal. Dalam konteks ini maka persoalan asas
(pengamanan Anggaran Dasar pasal 4) menduduki prioritas pertama. Dari sudut
pandang keagamaan, maka yang menjadi favorit banyak peserta kongres adalah
pembicaraan yang menyangkut masalah-masah agama yang dari awal pertumbuhan
Islam, khususnya imam-imam mazhab, hingga kini yang sesungguhnya masih bersifat
fur’iyyah dan khilafah. Highlight materi kongres yang
terakhir (yang ketiga) adalah menyangkut soal figur yang mengatur seluruh
proses restrukruralisasi personalia kepengurusan dan rekruitmen. Dalam hal ini
persoalan kriterium figur bisanya banyak disangkutkan pada atribut-atribut yang
bersifat kualitatif, menyangkut soal wawasan figur tentang Islam (baik dalam
skala makro atau mikro), wawasannya tentang pembangunan nasional yang banyak
menyangkut masalah politik, ekonomi, pendidikan, sosial, budaaya, perguruan
tinggi, kepemudaan, hubungan internasional, ummat Islam dan sebagainya. Juga
yang lebih penting adalah integritas sang figur, faktor kepemimpinan dan
komitmen pada nilai-nilai kebenaran. Namun, untuk kongres ke-15 ini, sederet
kriterium di atas tidak seluruhnya dapat diikuti. Mengapa? Sebab kondisi awal
yang tidak memungkinkan para kongresisten untuk bersikap lebih dingin dalam
menghadapi persoalan yang berkembang, telah terkondisiskan dengan suasana panas
yang berbau perjuangan dalam artian yang sempit. Untuk itu mudah ditebak bahwa
figur akan menjadi favorit, jika nampak pada dirinya kemampuan dan komitemen
untuk menjalin hubungan benang merah dengan dua materi yang disebutkan di muka,
yang dianggap sebagai materi unggulan kongres.
Jika
gejala ini yang nampak pada Kongres HMI ke-15, maka sesungguhnya makna kongres
bukan lagi sebagai miletone untuk menengok ulang perjalanan HMI selama
dua tahun sebelumnya agar dapat kemudian HMI merumuskan kembali eksistensi
dirinya, mendefinisikan kembali keberadaannya di tengah gemuruhnya pembangunan
nasional bangsa Indoonesia dan memproyeksikan kembali peran apa yang dapat
disumbangkan HMI dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ini. Dengan kata lain,
maka kongres kali ini. terutama, berperan sebagai forum tertinggi untuk
resistensi diri terhadap persoalan-persoalan yang selalu dihadapkan atau
menghadapkan diri kepada HMI.
Persoalannya
kemudian berkembang menjadi suatu pertanyaan singkat, apakah sikap semacam itu
dalam menghadapi persoalan akan menyelesaikan masalah? atau justru menambah
masalah yang semakin menyudutkan peran dan fungsi HMI? Dua pertanyaan yang
secara dewasa dan cerdas harus segera disahuti, direnungkan dan dijawab oleh
HMI. Dengan demikian jelas sikap yang dianut oleh himpunan itu sendiri.
Memahami HMI Lewat Perspektif Kesejarahan
Jika
benar bahwa kongres kali ini hanya banyak berfungsi sebagai forum tertinggi
untuk resistensi diri, maka hal itu sesungguhnya merupakan kerugian besar bagi
HMI. Energi dan kapasitas kongresisten secara keseluruhan terkonsentrasi pada
persoalan-persoalan yang secara kualitatif pragmatis, yang merupakan
elemen-elemen yang mempunyai kaitan erat dengan resistensi tersebut. Dengan
demikian, maka sesungguhnya masa depan HMI (minimal) dua tahun mendatang
terpaksa tidak tersiapkan secara kualitatif. Tidak terbicarakan secara
komprehensif, dan hanya pas-pasan sekali, fragmentaris. Betapapun, asumsi di
atas tidaklah kemudian menafikan data empiris adanya pembicaraan tentang
Program Kerja Nasional (PKN), masalah organisasi dan rekomendasi yang merupakan
sikap dan pandangan HMI tentang persoalan-persoalan ekstren. Namun demikian,
satu hal yang harus dicatat bersama, adakah poin-per-poin item-per-item, dalam
bidang pembicaraan tersebut di atas mampu didialogkan, diterjemahkan dan
dipersepsikan secara bening dan jujur? jika kondisi itu mengembangkan budaya
dan tradisi dialog dan berpikir sama sekali tak dapat dikondisikan dalam forum
tersebut. Persoalan-persoalan baru inilah, yang sesungguhnya dapat mengantarkan
kita untuk memahami kembali HMI, memahami kembali motivasi dan sejarah
berdirinya himpunan ini. Dan untuk mendapatkan rujukan kesejarahan yang dapat
dipertanggungjawabkan maka orang yang memprakarsai berdirinya HMI adalah nasa
sumber yang paling valid.
Himpunan
Mahasiswa Islam yang didirikan di Yogyakarta pada tanggal 5 Februari 1947
adalah organisasi yang beridiri karena dua keinginan penting. Pertama
adalah keinginan untuk mempertahankan dan mengisi kemerdekaan Negara Republik
Indonesia. Kedua keinginan untuk mengembangkan ajaran Islam dan
syiarnya. Dua hal inilah sesungguhnya yang menjadi soko guru motivasi
berdirinya HMI. Sesuai dengan tujuan didirikannya HMI, maka tepat jika
pemrakarsa pendiri HMI, Prof. Drs. H. Lafran Pane, menandaskan bahwa HMI adalah
nasionalis dan kemudian Islam. Ia merupakan organisasi modern yang sarat akan
pikiran-pikiran yang tidak ekstrim dan ekslusif.
Penjelasan
ini memang sedikit mengesankan agak eksplosif, tetapi persoalannya kemudian
tidka berhenti di sini. Persoalannya kemudian harus dikembangkan lebih lanjut
lewat perfektif historis beridirnya himpunan ini. sederet argumen-argumen yang
coba dikemukakan secara logis dan rasional saja barangkali tidka cukup untuk
mengantarkan anggota-anggota himpunan dan memahami fenomena kesejarahan
berdirinya HMI. Ia harus disuguhkan dengan berbagai pengalaman empiris yang
dialami HMI, selain rasionalisasi dari berdirnya HMI. Namun sesungguhnya
motivasi dari tujuan berdirinya HMI sudaah cukup jelas bila Anggaran Dasar HMI
itu dikaji kembali dengan kepala dingin.
Motivasi
penetapan tujuan tersebut sesungguhnya dapat dipahami secara, 1) ia nasional,
berkeinginan untuk mengisi dan mempertahankan kemerdekaan Negara Republik
Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, karena organisasi ini hidup
di wilayah Indonesia yang mau tidak mau harus tunduk (menghandarbeni) pada
aspirasi nasional lengkap dengan aturan dan ideologi yang ditetapkan oleh the
founding fathers republik ini. Tentang motivasi kedua 2) sesungguhnya juga
mempunyai mainstream dengan yang pertama dan merupakan lanjutannya. Yaitu bahwa
Islam tidak bakal dapat ditegakkan dalam arti yang sesungguhnya jika untuk
mempertinggi derajat kerohanian bangsa Indonesia, sehingga terjadi keseimbangan
antara dimensi material dan spiritual kehidupan manusia. Berbicara mengenai Islam
sendiri sesungguhnya juga berbicara mengenai pemahaman orang terhadap Islam itu
sendiri (ajaran-ajarannya).
Sebab
tingkah laku keagamaan dan keberagamaan seseorang banyak ditentukan oleh
lingkungan, latar belakang, dan alat-alat bantu tertentu dalam memahami ajaran
tersebut. Dari pernyataan seperti ini sebenarnya dapat ditarik kesimpulan
lugas, bahwa terdapat banyak ragam interpretasi terhadap ajaran Islam itu
sendiri (terbatas pada ajaran yang sudah termasukkan daalam kategori qathi’yyu
al-dhilalah), sudah pasti, tak ada pengertian lain. Namun perlu dicatat
bahwa ayat (ajaran) yang mempunyai sifaat qathi’ ini terbatas sekali
jumlahnya), dan merupakan manifestasi ijtihad yang selalu dihembuskan oleh
Islam. Ruang lingkup ijtihaad memang hanya bisa berimprovisasi dalam kategori
ajaran yang bersifat dzanniyuu al-dhilalah. Dengan demikian sesungguhnya
dapat disimpulkan akan banyak terdapat interpretasi (yang dalam ayat-ayat
mutasyabihat, dan yang serupa itu banyak sekali jumlahnya di dalam al-Qur’an)
dan dalam hal-hal yang bersifat cabang (furu’) ajaran. Tetapi dalam hal-hal
yang bersifat qathi’ seluruh bentuk substansi pemahaman ummat Islam
sama, sebab dalam masalah-masalah ini ijtihad tidak diperlukan lagi, bahkan
dilarang.
Realitas
yang ada pada wilayah ajaran agama Islam ini sudah selayaknya mendapatkan
perhatian yang serius dan dijadikan sebagai pertimbangan penting dalam setiap
pembicaraan mengenai Islam dan ummatnya. HMI sadar betul akan realitas ini.
Konstatasi ini tercermin dari ucapan para pendirinya bahwa himpunan merupakan
tempat berhimpun seluruh mahasiswa Islam tanpa melihat latar belakang pemahaman
terhadap Islam. Artinya, HMI yang para anggotanya terdiri dari berbagai macam
pemahaman aqidah Islamiyah dan berbagai macam latar belakang sosial budaya
orang tua mereka.
Ini
merupakan suatu sikap yang sangat terbuka. Namun sikap tersebut membawa pada
kosekuensi-kosekuensi tertentu. Dalam hal pemahaman terhadap Islam, misalnya,
maka konsekuensi logis yang harus diterima oleh HMI adalah bahwa himpunan tidak
akan pernah membicarakan masalah-masalah yang bersifat khilafiyah dan furu’iyyah.
Jika hal ini terlanggar (kendatipun mungkin secara tidak sengaja sekali)
maka sikap keterbukaan sesungguhnya sudah tidak ada lagi pada HMI. Bila memang
demikian maka HMI sudah tidak signifikan lagi untuk bersatu, bahwa wadah ini
merupakan tempat berkumpul mahasiswa muslim dengan berbagai ragam pemahaman
yang mereka miliki, melainkan HMI menjadi tempat berkumpulnya mahasiswa Islam
dengan satu corak pemahaman terhadap Islam. Pada taraf demikian pudarlah satu
karakteristik, kepribadian yang selama ini dimiliki HMI.
Penutup
Demikianlah
sesungguhnya pertumbuhan organisasi mahasiswa tertua dan terbesar di tanah air
ini. Menempatkan kongres-nya yaang ke-15 sebagai tolok ukur untuk melihat
perkembangan HMI, maka sesungguhnya ada kesan kuat bahwa sejarah motivasi
berdirinya HMI sendiri telah banyak dilupakan oleh para anggotanya. Begitu pula
kondisi ekstren yang melingkup HMI, di mana kemudian ia tidak dapat mengelak
begitu saja, melainkan harus selalu sigap untuk menyahuti berbagai persoalan,
dan atmosfir kondisi global politik, ekonomi dan budaya yang semakin njlimet
telah tak mampu dipersepsikan oleh HMI secara tepat. Akibatnya sesungguhnya ia
telah kehilangan persoalan-peroalan yang menasional yang secara signifikan
merupakan demand bangsa dan negera Indonesia. Bahkan dirinya (HMI) terjebak
untuk bergumul dengan masalah-masalah kecil yang ada pada kondisi interen
dirinya. Makanya tidaklah aneh jika di dalam forum tertinggi masalah jilbab
mengungguli tema-tema penting lainnya.
Sumber: Harian Pelita, tanggal
27 Juni 1983
Tidak ada komentar:
Posting Komentar