Jumat, 16 Maret 2012

Catatan Kader Ciputat untuk Kongres Medan; Memudarnya Sebuah Ciri

Bahtiar Effendy
S
udah sekian lama. Lewat pidato-pidato lepas, audiensi dan press release, dr. Abdul Ghafur dalam kapasitasnya sebagai Menteri Negara Pemuda dan Olahraga, mencoba mengetuk hati para pucuk pimpinan organisasi-organisasi massa agar berkenan menggunakan Pancasila sebagai asas organisasi. Usaha ini tidak hanya berhenti sampai di situ, tetapi ditindaklanjuti oleh berbagai kesempatan dialog dengan berbagai pendukung organisasi massa tersebut. Apa yang ditekankan adalah bahwa GBHN betapapun yang dimaksudkan adalah Parpol dan Golkar telah memberikan isyarat bahwa nantinya Pancasila haruslah merupakan satu-satunya asas bagi organisasi massa yang tumbuh di Indonesia. sosialisasi ide penunggalan asas dari atas ini terasa pincang dan kurang human, sebab pendekatan-pendekatan yang dilakukan oleh kelompok pensosialiasi ide tersebut, sering kali mengesankan dan terasakan sebagai pemaksaan. Sosialisasi yang lepas dari persfektif nilai-nilai sosiologis dan historis ini pada akhirnya mewujudkan suatu kritalisasi kekecewaan yang sesungguhnya, pada taraf-taraf tertentu, akan berbalik menjadi bumerang bagi dirinya sendiri.
Pada ujung proses sosialisasi yang tidak jelas ini membuahkan suatu kompilasi berbagai kekecewaan yang menghujam pada diri setiap pendukung organisasi massa. Sebab dirinya, organisasi yang didukungnya, identitas yang selama ini dianggapnya sebagai kebenaran yang seharusnya dipertahankan dihadapkan pada suatu kekuatan lain. Kekuatan mana diyakini secara kuat akan membahayakan dan bahkan menghapuskan identitas yang selama ini dipegangnya. Pada taraf semacam inilah letupan-letupan emosional mendapatkan proporsi yang sewajarnya, namun seringkali lewat batas dan secara dingin kepala terkontrol lagi.
Dalam situasi semacam ini, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) melangsungkan Kongres ke-15 di Medan pada tanggal 21-31 Mei 1983. Sebagai organisasi mahasiswa tertua dan terbesar, maka setiap bentuk perilaku dan aktifitas HMI tak dari sorotan berbagai pihak, tak luput pula dalam kongres yang baru lalu ini. betapa tidak, sebelum, ketika dan setelah kongres berlangsung masih terasa banyak mata nanar melihat, ingin tahu dan mengharapkan sesuatu atas hasil apa (lebih tepat pikiran-pikiran besar, sikap dan pendirian istiqomah HMI) yang ditelorkan oleh kongres tersebut. Terlebih lagi ketika kongres ini baru berlangsung, banyak pihak yang secara individual maupun kelompok mengarahpandangkan mata hatinya dalam jangka waktu dua tahun ke depan. Namun sesungguhnya harapan mereka satu, agar HMI dapat secara lebih tenang, jernih, cerdas, dan dewasa dalam melihat kondisi yang melingkupi dirirnya. Tetap mempertahankan suatu keunikan yang selama ini merupakan ciri khas dan trademark HMI, yaitu membudayakan dirinya untuk selalu bersikap terbuka, dialogis, tidak ekstrim, dan tidak pula eksklusif serta dilengkapi oleh kemampuan mengantisipasi ke depan tehadap berbagai persoalan bangsa dan negara.


Higlights Materi Kongres 
Kongres HMI yang diadakan di daerah yang pernah dikuasai oleh Kesultanan Maimun ini sedianya akan dibuka oleh Wapres Umar Wirahadikumah. Begitu pula sederet Menteri dan pejabat tinggi negara dijadwalkan hadir untuk memberikan masukan-masukan yang secara signifikan akrab dengan persoalan-persoalan bangsa, di mana HMI merupakan sub sistem yang hidup di dalamnya. Namun toh suatu kenyataan yang memang harus diterima secara arif dan budiman, bahwa beliau-beliau ini tetap tidak bisa hadir, kecuali Menpora yang memang secara struktural kenegaraan terlibat oleh masalah-masalah kepemudaan, di mana variabel ini nampak dengan pada diri HMI. Sesungguhnya sikap arif dan budiman tehadap fenomena nasional sesungguhnya ada suatu masalah, realitas permasalahan, terlepas masalah itu pahit atau manis, menyusahkan atau malah menggembirakan yang dihadapkan pada HMI. Untuk itu menjadi tugasnya lah dalam menyahuti realitas permasalahan yang ada, dengan menggunakan etika budaya pemecahan masalah yang ada selama ini dikembangkan oleh HMI, yaitu dengan mendialogkan masalah tersebut secara cerdas dan dewasa dengan wawasan antisipasi ke depan yang prima dan limau.
Namun, sejalan dengan arus pembaharuan budaya semacam itu tidak dapat lagi dipertahankan oleh HMI, paling tidak oleh Kongres ke-15, sebagai suatu forum tertinggi dalam menentukan sikap terjang, wawasan dan penjabaran program kerja HMI. Konstalasi tersebut di atas nampak dengan jelas jika mau menyimak dengan lugas tanpa ada pretensi subyektif untuk kepentingan interest-interest tertentu.
Bahkan sejak awal pembukaan kongres pun, budaya dialogis yang ada di HMI serta sikap keteladanan dan kebijakan yang baik (al-hikmah wa al-mau’idhah al-khasanah) yang selama ini merupakan ciri yang menonjol sudah tidak nampak lagi. Budaya tersebut sudah tergadaikan dengan sikap yang eksplosif dan istiqamah yang tidak lambari nilai-nilai etis yang berperan sebagai platfrom kebenaran yang manusiawi. Kejelasan dari memudahnya budaya dialogis ini setidak-tidaknya tercermin oleh makna yang terkonotasikan dalam ungkapan-ungkapan yang ekplosif seperti kongres perjuangan yang penuh tantangan dari luar dan dalam yang memakai kerudung HMI sendiri. Dalam suasana semacam ini, maka materi-materi kongres mengalami suatu proses diverisifikasi pintas di mana pertimbangan-pertimbangan rasional relatif terabaikan dan cenderung untuk memberikan prioritas utama terhadap materi-materi yang secara emosional mudah dipertentangkan dengan kondisi ekstern yang dihadapkan kepada HMI.
Maka urutan prioritas materi yang digandrungi oleh sebagian peserta kongres adalaah tipe-tipe materi yang mempunyai potensi untuk dipertentangkan dengan kondisi ektern HMI secara dikotomis dan prontal. Dalam konteks ini maka persoalan asas (pengamanan Anggaran Dasar pasal 4) menduduki prioritas pertama. Dari sudut pandang keagamaan, maka yang menjadi favorit banyak peserta kongres adalah pembicaraan yang menyangkut masalah-masah agama yang dari awal pertumbuhan Islam, khususnya imam-imam mazhab, hingga kini yang sesungguhnya masih bersifat fur’iyyah dan khilafah. Highlight materi kongres yang terakhir (yang ketiga) adalah menyangkut soal figur yang mengatur seluruh proses restrukruralisasi personalia kepengurusan dan rekruitmen. Dalam hal ini persoalan kriterium figur bisanya banyak disangkutkan pada atribut-atribut yang bersifat kualitatif, menyangkut soal wawasan figur tentang Islam (baik dalam skala makro atau mikro), wawasannya tentang pembangunan nasional yang banyak menyangkut masalah politik, ekonomi, pendidikan, sosial, budaaya, perguruan tinggi, kepemudaan, hubungan internasional, ummat Islam dan sebagainya. Juga yang lebih penting adalah integritas sang figur, faktor kepemimpinan dan komitmen pada nilai-nilai kebenaran. Namun, untuk kongres ke-15 ini, sederet kriterium di atas tidak seluruhnya dapat diikuti. Mengapa? Sebab kondisi awal yang tidak memungkinkan para kongresisten untuk bersikap lebih dingin dalam menghadapi persoalan yang berkembang, telah terkondisiskan dengan suasana panas yang berbau perjuangan dalam artian yang sempit. Untuk itu mudah ditebak bahwa figur akan menjadi favorit, jika nampak pada dirinya kemampuan dan komitemen untuk menjalin hubungan benang merah dengan dua materi yang disebutkan di muka, yang dianggap sebagai materi unggulan kongres.
Jika gejala ini yang nampak pada Kongres HMI ke-15, maka sesungguhnya makna kongres bukan lagi sebagai miletone untuk menengok ulang perjalanan HMI selama dua tahun sebelumnya agar dapat kemudian HMI merumuskan kembali eksistensi dirinya, mendefinisikan kembali keberadaannya di tengah gemuruhnya pembangunan nasional bangsa Indoonesia dan memproyeksikan kembali peran apa yang dapat disumbangkan HMI dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ini. Dengan kata lain, maka kongres kali ini. terutama, berperan sebagai forum tertinggi untuk resistensi diri terhadap persoalan-persoalan yang selalu dihadapkan atau menghadapkan diri kepada HMI.
Persoalannya kemudian berkembang menjadi suatu pertanyaan singkat, apakah sikap semacam itu dalam menghadapi persoalan akan menyelesaikan masalah? atau justru menambah masalah yang semakin menyudutkan peran dan fungsi HMI? Dua pertanyaan yang secara dewasa dan cerdas harus segera disahuti, direnungkan dan dijawab oleh HMI. Dengan demikian jelas sikap yang dianut oleh himpunan itu sendiri.
Memahami HMI Lewat Perspektif Kesejarahan
Jika benar bahwa kongres kali ini hanya banyak berfungsi sebagai forum tertinggi untuk resistensi diri, maka hal itu sesungguhnya merupakan kerugian besar bagi HMI. Energi dan kapasitas kongresisten secara keseluruhan terkonsentrasi pada persoalan-persoalan yang secara kualitatif pragmatis, yang merupakan elemen-elemen yang mempunyai kaitan erat dengan resistensi tersebut. Dengan demikian, maka sesungguhnya masa depan HMI (minimal) dua tahun mendatang terpaksa tidak tersiapkan secara kualitatif. Tidak terbicarakan secara komprehensif, dan hanya pas-pasan sekali, fragmentaris. Betapapun, asumsi di atas tidaklah kemudian menafikan data empiris adanya pembicaraan tentang Program Kerja Nasional (PKN), masalah organisasi dan rekomendasi yang merupakan sikap dan pandangan HMI tentang persoalan-persoalan ekstren. Namun demikian, satu hal yang harus dicatat bersama, adakah poin-per-poin item-per-item, dalam bidang pembicaraan tersebut di atas mampu didialogkan, diterjemahkan dan dipersepsikan secara bening dan jujur? jika kondisi itu mengembangkan budaya dan tradisi dialog dan berpikir sama sekali tak dapat dikondisikan dalam forum tersebut. Persoalan-persoalan baru inilah, yang sesungguhnya dapat mengantarkan kita untuk memahami kembali HMI, memahami kembali motivasi dan sejarah berdirinya himpunan ini. Dan untuk mendapatkan rujukan kesejarahan yang dapat dipertanggungjawabkan maka orang yang memprakarsai berdirinya HMI adalah nasa sumber yang paling valid.                              
Himpunan Mahasiswa Islam yang didirikan di Yogyakarta pada tanggal 5 Februari 1947 adalah organisasi yang beridiri karena dua keinginan penting. Pertama adalah keinginan untuk mempertahankan dan mengisi kemerdekaan Negara Republik Indonesia. Kedua keinginan untuk mengembangkan ajaran Islam dan syiarnya. Dua hal inilah sesungguhnya yang menjadi soko guru motivasi berdirinya HMI. Sesuai dengan tujuan didirikannya HMI, maka tepat jika pemrakarsa pendiri HMI, Prof. Drs. H. Lafran Pane, menandaskan bahwa HMI adalah nasionalis dan kemudian Islam. Ia merupakan organisasi modern yang sarat akan pikiran-pikiran yang tidak ekstrim dan ekslusif.
Penjelasan ini memang sedikit mengesankan agak eksplosif, tetapi persoalannya kemudian tidka berhenti di sini. Persoalannya kemudian harus dikembangkan lebih lanjut lewat perfektif historis beridirnya himpunan ini. sederet argumen-argumen yang coba dikemukakan secara logis dan rasional saja barangkali tidka cukup untuk mengantarkan anggota-anggota himpunan dan memahami fenomena kesejarahan berdirinya HMI. Ia harus disuguhkan dengan berbagai pengalaman empiris yang dialami HMI, selain rasionalisasi dari berdirnya HMI. Namun sesungguhnya motivasi dari tujuan berdirinya HMI sudaah cukup jelas bila Anggaran Dasar HMI itu dikaji kembali dengan kepala dingin.
Motivasi penetapan tujuan tersebut sesungguhnya dapat dipahami secara, 1) ia nasional, berkeinginan untuk mengisi dan mempertahankan kemerdekaan Negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, karena organisasi ini hidup di wilayah Indonesia yang mau tidak mau harus tunduk (menghandarbeni) pada aspirasi nasional lengkap dengan aturan dan ideologi yang ditetapkan oleh the founding fathers republik ini. Tentang motivasi kedua 2) sesungguhnya juga mempunyai mainstream dengan yang pertama dan merupakan lanjutannya. Yaitu bahwa Islam tidak bakal dapat ditegakkan dalam arti yang sesungguhnya jika untuk mempertinggi derajat kerohanian bangsa Indonesia, sehingga terjadi keseimbangan antara dimensi material dan spiritual kehidupan manusia. Berbicara mengenai Islam sendiri sesungguhnya juga berbicara mengenai pemahaman orang terhadap Islam itu sendiri (ajaran-ajarannya).
Sebab tingkah laku keagamaan dan keberagamaan seseorang banyak ditentukan oleh lingkungan, latar belakang, dan alat-alat bantu tertentu dalam memahami ajaran tersebut. Dari pernyataan seperti ini sebenarnya dapat ditarik kesimpulan lugas, bahwa terdapat banyak ragam interpretasi terhadap ajaran Islam itu sendiri (terbatas pada ajaran yang sudah termasukkan daalam kategori qathi’yyu al-dhilalah), sudah pasti, tak ada pengertian lain. Namun perlu dicatat bahwa ayat (ajaran) yang mempunyai sifaat qathi’ ini terbatas sekali jumlahnya), dan merupakan manifestasi ijtihad yang selalu dihembuskan oleh Islam. Ruang lingkup ijtihaad memang hanya bisa berimprovisasi dalam kategori ajaran yang bersifat dzanniyuu al-dhilalah. Dengan demikian sesungguhnya dapat disimpulkan akan banyak terdapat interpretasi (yang dalam ayat-ayat mutasyabihat, dan yang serupa itu banyak sekali jumlahnya di dalam al-Qur’an) dan dalam hal-hal yang bersifat cabang (furu’) ajaran. Tetapi dalam hal-hal yang bersifat qathi’ seluruh bentuk substansi pemahaman ummat Islam sama, sebab dalam masalah-masalah ini ijtihad tidak diperlukan lagi, bahkan dilarang.
Realitas yang ada pada wilayah ajaran agama Islam ini sudah selayaknya mendapatkan perhatian yang serius dan dijadikan sebagai pertimbangan penting dalam setiap pembicaraan mengenai Islam dan ummatnya. HMI sadar betul akan realitas ini. Konstatasi ini tercermin dari ucapan para pendirinya bahwa himpunan merupakan tempat berhimpun seluruh mahasiswa Islam tanpa melihat latar belakang pemahaman terhadap Islam. Artinya, HMI yang para anggotanya terdiri dari berbagai macam pemahaman aqidah Islamiyah dan berbagai macam latar belakang sosial budaya orang tua mereka.
Ini merupakan suatu sikap yang sangat terbuka. Namun sikap tersebut membawa pada kosekuensi-kosekuensi tertentu. Dalam hal pemahaman terhadap Islam, misalnya, maka konsekuensi logis yang harus diterima oleh HMI adalah bahwa himpunan tidak akan pernah membicarakan masalah-masalah yang bersifat khilafiyah dan furu’iyyah. Jika hal ini terlanggar (kendatipun mungkin secara tidak sengaja sekali) maka sikap keterbukaan sesungguhnya sudah tidak ada lagi pada HMI. Bila memang demikian maka HMI sudah tidak signifikan lagi untuk bersatu, bahwa wadah ini merupakan tempat berkumpul mahasiswa muslim dengan berbagai ragam pemahaman yang mereka miliki, melainkan HMI menjadi tempat berkumpulnya mahasiswa Islam dengan satu corak pemahaman terhadap Islam. Pada taraf demikian pudarlah satu karakteristik, kepribadian yang selama ini dimiliki HMI.

Penutup
Demikianlah sesungguhnya pertumbuhan organisasi mahasiswa tertua dan terbesar di tanah air ini. Menempatkan kongres-nya yaang ke-15 sebagai tolok ukur untuk melihat perkembangan HMI, maka sesungguhnya ada kesan kuat bahwa sejarah motivasi berdirinya HMI sendiri telah banyak dilupakan oleh para anggotanya. Begitu pula kondisi ekstren yang melingkup HMI, di mana kemudian ia tidak dapat mengelak begitu saja, melainkan harus selalu sigap untuk menyahuti berbagai persoalan, dan atmosfir kondisi global politik, ekonomi dan budaya yang semakin njlimet telah tak mampu dipersepsikan oleh HMI secara tepat. Akibatnya sesungguhnya ia telah kehilangan persoalan-peroalan yang menasional yang secara signifikan merupakan demand bangsa dan negera Indonesia. Bahkan dirinya (HMI) terjebak untuk bergumul dengan masalah-masalah kecil yang ada pada kondisi interen dirinya. Makanya tidaklah aneh jika di dalam forum tertinggi masalah jilbab mengungguli tema-tema penting lainnya.

Sumber: Harian Pelita, tanggal 27 Juni 1983

Tidak ada komentar:

Posting Komentar