Sabtu, 12 Mei 2012

Hari-Hari Dimana HMI Ciputat Tanpa Senyuman


Oleh :
Marwan Saridjo
 
Dalam Buku :
"Membingkai Perkaderan Intelektual; Setengah Abad HMI Cabng Caputat"
 
 
S
uatu hari di bulan April tahun 1988, di ruang Tata Usaha Menteri Agama, Mas Tom panggilan akrab Dr. Sulastomo, mantan Ketua Umum HMI di masa prolog dan epilog  Gestapu/PKI, memperlihatkan bukunya berjudul: Hari-Hari Yang Panjang (tahun 2000 telah mengalami cetakan keempat, Kompas) sembari bertanya: Apakah Anda sudah membaca buku ini? Saya jawab, sudah. Mas Tom, lalu bertanya lagi. Bagaimana kesan dan penilaian Anda? Isinya baik, dan cara menulis Mas Tom menarik. Tetapi kata saya, cuma satu yang kurang saya setujui, yaitu pendapat Mas Tom bahwa di IAIN seharusnya tidak perlu dibentuk organisasi HMI. Toh mahasiswa IAIN semua sudah pintar agama. Memang masuk HMI hanya untuk pintar ngaji, jawab saya.
Pandangan Mas Tom dalam bukunya  Hari-Hari Yang Panjang, didasarkan atas kenyataan bahwa pada beberapa IAIN, di antara sesama organisasi ekstra seperti HMI, PMII dan IMM, hubungannya sering tidak harmonis. Berbeda dengan keadaan di lingkungan universitas di luar IAIN, hubungan ketiga organisasi mahasiswa Islam itu, harmonis dan solid. Boleh jadi pula dalam kasus Ciputat, Mas Tom berfikir pembentukan HMI di Ciputat sebagai “kurang memenuhi syarat” karena di Ciputat waktu itu hanya terdapat satu perguruan tinggi, yaitu IAIN.
Peristiwa bulan Oktober 1963 di IAIN Yogyakarta dan IAIN Jakarta, agaknya menyisakan rasa traumatis bagi Mas Tom. Pada tanggal 10 Oktober 1963 saat dilangsungkan acara pelantikan Rektor IAIN Sunan Kalijaga terjadi unjuk rasa yang dilakukan oleh sekelompok mahasiswa yang sebagian besar terdiri dari anggota HMI dan didukung oleh dosen-dosen muda yang diidentifikasi sebagai pendukung HMI. Menyusul peristiwa di IAIN Yogyakarta beberapa hari kemudian terjadi unjuk rasa yang sama di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang digerakkan dari unsur organisasi mahasiswa yang sama (HMI).
Sebagai akibat dari unjuk rasa itu, para pelaku dan dosen-dosen muda yang dianggap mendukung gerakan itu ditangkap pihak berwajib dan dijebloskan dalam penjara.      
Dr. Sulastomo, yang waktu itu menjabat Ketua Umum PB HMI, menyebut peristiwa unjuk rasa tahun 1963 itu sebagai aksi perlawanan sekelompok mahasiswa dan dosen waktu itu sesungguhnya dialamatkan kepada Menteri Agama, KH Saifuddin Zuhri. Itu  artinya Nahdlatul Ulama. Menurut Dr. Sulastomo, kalangan Umat Islam di luar NU, ada semacam prasangka bahwa dalam mengendalikan Kementerian Agama dirasakan adanya ketidak-adilan,  sebagaimana yang dirasakan oleh teman-teman yang bergerak di IAIN Yogyakarta dan Ciputat.
Banyak masalah dipersoalkan, misalnya penempatan pejabat-pejabat di kalangan Kementerian Agama. Seolah-olah apabila tidak mempunyai kartu anggota NU tidak mungkin menjabat di Kementerian Agama.
Dalam memandang peristiwa 10 Oktober 1963 seperti terbaca dalam bukunya Hari-Hari Yang Panjang, Dr. Sulastomo tidak membela HMI, bahkan terkesan menyalahkan HMI.
Agaknya Dr.Sulastomo ingin berbagi rasa dengan Menteri Agama KH. Saifuddin Zuhri, Ia tahu bahwa salah seorang yang meyakinkan Presiden Soekarno, agar HMI tidak dibubarkan  adalah KH. Saifuddin  Zuhri.
Dalam bukunya Berangkat Dari Pesantren, KH.Saefuddin Zuhri menuturkan bahwa suatu pagi ia selaku Menteri Agama dipanggil Presiden Soekarno untuk “coffe morning” di Istana Merdeka. Pada kesempatn itu, Presiden Soekarno memberitahu bahwa ia berniat membubarkan HMI.
Kemudian terjadi dialog antara Bung Karno (BK) dengan KH.Saefuddin Zuhri (SZ), antara lain :
BK
:
Saya memberitahu saudara selaku Menteri Agama, bahwa saya akan membubarkan HMI
SZ
:
Apa alasannya Pak?
BK
:
Berbagai laporan disampaikan kepada saya bahwa di mana-mana HMI melakukan tindakan anti revolusi dan bersikap radikalisme
SZ
:
Kadar anti revolusinya maupun keradikalisme sampai di mana Pak?
BK
:
Yaah, misalnya selalu bersikap aneh, bersikap liberal, seolah-olah hendak mengembalikkan adat kebarat-baratan dan lain-lain.
SZ
:
Apakah sudah dipanggil untuk dinasehati ?
BK
:
Secara umum dan terbuka saya sudah berulang-ulang memperingatkan lewat pidato-pidato saya
SZ
:
Mohon dipertimbangkan sekali lagi. HMI itu anak-anak muda. Mereka itu kader-kader bangsa. Kalau HMI dibubarkan mereka frustasi dan kita semua rugi
BK
:
Mereka anak-anak Masyumi. Sikap mereka tentu seperti Bapaknya; Reaksioner. Kalau HMI bubar, kan NU beruntung dan PMII makin besar
SZ
:
Bukan masalah untung rugi. Sulit bagi saya selagi masih Menteri Agama ada organisasi Islam dibubarkan tanpa alasan kuat.
BK
:
Waah, tidak saya sangka kalau saudara membela HMI
SZ
:
Bukan membela HMI Pak. Itu tugas kami para pembantu Presiden
BK
:
Bukan berlebihan. Tetapi saya berbuat menurut gemeten saya, perasaan hati saya
SZ
:
Kalau Bapak tetap hendak membubarkan HMI artinya pertimbangan saya bertentangan dengan gemeten Bapak, saya sebagai pembantu Bapak hanya sampai di sini
BK
:
Oooo, jangan berkata begitu. Saya tetap memerlukan saudara
SZ
:
Akhirnya, sambil menyalami tangan saya Bung Karno berkata: Baiklah HMI tidak saya bubarkan!
Menurut KH.Saefuddin Zuhri, dialognya dengan Presiden Soekarno tentang HMI di Istana Merdeka itu, disaksikan oleh pengusaha nasional H.Hasjim Ning
Kembali ke peristiwa Oktober 1963. Menurut saya kalau saja peristiwa di IAIN Yogyakarta dan IAIN Jakarta itu,  tidak di-blow up oleh pihak PKI/CGMI,  tidak berimplikasi luas secara politis.
Sahabat saya, kakak kelas di PGA Atas Makassar, yang waktu terjadi peristiwa unjuk rasa di tahun 1963 itu menjadi mahasiswa Fakultas Tarbiyah Malang, dan Ketua Senat PMII Malang (kemudian menjadi Ketua Umum PB PMII), Drs. M. Abduh Paddare dalam tulisannya menyambut 70 tahun H. Kafrawi Ridwan menulis; “Saya anggap gerakan unjuk rasa teman-teman mahasiswa itu sebagai koreksi islah terhadap managemen, administrasi buruknya di IAIN, khusunya di Kementerian Agama yang semerawut”.


02

Pada tahun 1966, saya masuk IAIN Ciputat, dan bergabung dengan HMI. Sebagai seorang yang pernah aktif dalam organisasi PII wilayah Makassar, dan sudah sering  berinteraksi dengan teman-teman yang menjadi anggota HMI, sedikit banyak saya sudah mengenal HMI.
Dan di mata pengurus HMI Ciputat waktu itu, walau baru masuk kuliah dan masuk HMI, saya dipandang anggota yang “senior”­ –setidaknya dari segi usia dan pengalaman. Sebelum masuk kuliah di Ciputat, saya sudah lama menjadi guru (mengajar di kampung saya di Bima), sudah berkeluarga. Sementara para pengurus HMI Ciputat sebagian masih “single” seperti kak Mustoha, Hamdi Ayusa, Hifni Syadzali dan beberapa lagi yang lebih muda.
Ketika akan diselenggarakan Konpercab HMI –kalau tidak salah sebelum setahun masuk HMI– saya ditunjuk menjadi Ketua Panitia. Senior HMI yang selalu mendampingi panitia, waktu itu Hifni Syadzali. Waktu peristiwa Oktober 1963, ia sudah ada di Ciputat. Dalam agenda panitia, selain akan beraudiensi dengan para senior HMI di Ciputat, juga dengan PB HMI, dengan harapan Cak Nur (Nurcholish Madjid, yang sudah menjadi Ketua Umum PB HMI menggantikan Dr. Sulastomo, kalau bisa diharapkan dapat memberikan pengarahan dalam Konpercap.  Selain rencana audiensi dengan kalangan intern HMI, juga diagendakan untuk audiensi dan sekaligus melapor kepada Rektor IAIN Prof. Sunardjo.
Dengan diantar (dipimpin Kak Hifni Syadzali) sekitar tujuh orang panitia, diterima di ruang kerja Rektor lantai I gedung Rektorat sekarang.
Belum selesai Hifni Syadzali memperkenalkan nama-nama anggota yang hadir, tanpa sempat mengutarakan keinginan dan harapan panitia –tiba-tiba Rektor berkata denga nada setengah gusar; “Kenapa saya didemo, apa salah saya, Saya jadi Rektor tidak membawa misi siapa-siapa. Saya tidak tahu hal-hal yang berkaitan dengan NU. Saya masuk NU karena kebetulan saja dalam kabinet memerlukan representasi dari partai, lalu saya diplot menjadi  representasi NU (Prof. Sunardjo pernah menjadi Menteri Perdagangan).
Karena sikap Prof. Soenardjo yang terus menyesalkan peristiwa dan unjuk rasa yang dialamatkan pada dirinya tahun 1963, tidak memungkinkan adanya dialog. Semua panitia diam dan bingug, lebih-lebih yang tidak mengetahui peristiwa Oktober 1963. Hifni Syadzali memberi isyarat agar panitia tidak usah bicara dan memberi respons. Dan akhirnya tanpa dialog, tanpa basa-basi, anggota panitia keluar meninggalkan ruang Rektor. Sesampai  di Kantor HMI, Hifni Syadzali  memberikan briefing dan menuturkan peristiwa tahun 1963, khususnya di IAIN Ciputat

03

Pada tahun-tahun pertama berada di Ciputat –meski saya tidak tinggal di komplek IAIN– suasana kehidupan  di lingkungan kampus nampak serba kaku, bahkan mencekam.  Interaksi antara sesama mahasiswa yang berbeda organisasi ekstra, hampir tidak ada tegur sapa kecuali dalam kasus tertentu: misalnya dalam hal belajar bersama menghadapi tentamen, ada keluarga yang kena musibah, dan pacaran. Sebaliknya dalam forum-forum intern masing-masing organisasi para fungsionaris dari organisasi mahasiswa berbicara dengan nada tinggi.
Setidaknya selama 4 tahun, yaitu antara tahun 1963 sampai tahun 1966, HMI Ciputat berada dalam tekanan berat PKI/CGMI hampir dalam semua lini dan aspek kehidupan. Segala macam stigma diberikan kepada HMI, antara lain seperti yang tercermin dari ucapan Bung Karno dalam dialognya dengan Menteri Agama yang dikutip di atas.
HMI Ciputat selain menjadi sasaran tembak kaum komunis seperti yang dialami HMI lain di seluruh tanah air, mengalami situasi yang lebih spesifik: Peristiwa unjuk rasa Oktober 1963 telah memberikan stigma kepada HMI Ciputat. Walaupun peristiwa 10 Oktober 1963 dimulai dari IAIN Yogya, dan pelaku unjuk rasa mahasiswa dan pendukungnya banyak dari HMI, tetapi dampaknya dan tekanan psikologisnya tidak langsung dapat dirasakan. Hal itu karena HMI Cabang Yogyakarta berada di luar IAIN. Sedang HMI Ciputat, ia berada dalam lingkungan IAIN. Karena kawasannya hanya dalam lingkungan yang sangat terbatas, jika ada seorang anggota atau sekelompok HMI yang kena stigma, dengan sendirinya HMI cabangpun ikut kena stigma dengan label-label seperti : pemberontak, Subversif, dan lain-lain. Stigmatisasi itu, tentu tidak membuat anggota HMI merasa berkecil hati dan kurang militan. Kalau pada hari-hari menjelang prolog G30S hingga di masa epilog G30S/PKI, anggota HMI Ciputat tampil tanpa senyum bersifat “combat ready”, adalah sebagai cerminan sikap militan dan kewaspadaan mereka yang siap konfrontasi dengan siapa saja – utamanya dengan PKI/CGMI dan para kolaboratornya. Saya ingat saudara Syamsudin Simon (di mana dia sekarang) bila malam-malam berkeliling di komplek perumahan IAIN selalu di pinggangnya berselip sebuah kampak ukuran sedang, dan bila seseorang berpapasan dengan dia, bukan anggota HMI, pasti orang tersebut membuang muka.

04
Ketika diselenggarakan musyawarah Dewan Mahasiswa IAIN Ciputat, dalam rangka pemilihan pengurus, masing-masing organisasi ekstra melakukan kampanye untuk memenangkan pemilihan. Walau di sana-sini terjadi intrik dan “tipu muslihat”, alhamdulillah penyelenggaraan  musyawarah berjalan lancar dan tidak ada sesuatu  yang tidak diharapkan.
Perimbangan suara dari ketiga Ormas Mahasiswa, PMII, HMI, dan IMM cukup proporsional. Dari HMI terpilih Mustoha, Marwan Saridjo, Nuryanis, Nur Iman Nasir dan Chozin Arief. Dari PMII Ahmad Sukardja, Zainal Abidin, Matdjali, dari IMM terpilih Sabuki dan lain-lain (maaf saya lupa nama-nama yang lainnya)
Keadaan menjadi krusial ketika menentukan siapa yang menjadi Ketua DEMA. Masing-masing menginginkan menjadi Ketua. Begitu alotnya pemilihan Ketua itu, sampai hampir setahun baru bisa ditetapkan (terpilih) suatu “presidium” atau Ketua-bergilir yaitu; Ahmad Soekardja dari PMII, Mustoha dari HMI dan Sabuki dari IMM.
Setelah terpilih tiga tokoh mahasiswa menjadi Ketua bergilir, DEMA IAIN yang kebetulan sama-sama berasal dari Priangan Timur, seingat saya sejak itu suasana kehidupan dan interaksi di atara sesama mahasiswa IAIN di Ciputat mulai mencair dan membawa “angin baru”. Mulai muncul kesadaran, bahwa baik PMII, HMI, dan IMM, semuannya mahasiswa IAIN, dan tidak ada siapa mendominasi siapa.
Ketika suatu hari (saya lupa waktu persisnya) anggota DEMA IAIN Jakarta menghadap Menteri Agama KH. Moch. Dahlan, saudara Nur Iman Nasir dari Fakultas Ushuludin anggota Dema IAIN mewakili HMI secara ceplas-ceplos dengan gaya Betawi bertanya kepada Menteri Agama; Pak Menteri, di kalangan IAIN dan sebagian masyarakat, masih ada anggapan, bahwa IAIN itu  milik NU. Mendengar ucapan saudara Nur Iman spontan memancing reaksi KH. Moch. Dahlan. “Siapa bilang IAIN milik satu golongan, catat ucapan saya; IAIN bukan milik satu golongan, IAIN bukan milik NU, IAIN adalah milik umat Islam Indonesia.”
Keluar dari ruang Menteri Agama, di jalan Husni Thamrin saya ke Jl. Kebon Sirih, menemui Mulyadi Abdullah (Mahasiswa Fakultas Adab IAIN Ciputat yang sudah agak absen kuliah setelah sarjana muda/BA) yang menjadi anggota  redaksi harian Operasi yang dipimpin Bachtiar Djamily. Setelah mengetik hasil audiensi dengan Menteri Agama KH. Moch. Dahlan, saya serahkan hasil ketikan itu kepada Mulyadi Abdullah.
Besoknya, di headline halaman depan harian Operasi muncul berita  dengan huruf agak menyolok: “Menteri Agama KH.Moh Dahlan : “IAIN bukan milik satu golongan, - bukan milik NU saja - tetapi milik semua Umat Islam Indonesia”.

Dirgahayu HMI !
Pesantren Al-Manar, Ciseeng Bogor, 10 Februari 2011

Perkaderan HMI Mencari Orientasi Etis


Oleh :
Sudirman Tebba
 
Dalam Buku :
"Membingkai Perkaderan Intelektual; Setengah Abad HMI Cabang Ciputat"
 
 
S
elama ini perkaderan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) selalu dalam keadaan tarik menarik antara keislaman dan keindonesiaan. Orientasi keislaman dalam perkaderan HMI ditandai dengan materi keislaman atau materi yang menyangkut ajaran Islam dalam setiap jenjang perkaderannya, sedang orientasi keindonesiaan ditandai dengan materi yang berkaitan dengan masalah-masalah yang dihadapi oleh Indonesia dalam segala bidang kehidupannya, seperti di bidang politik, sosial, budaya, agama, ekonomi, dan sebagainya.
Adakalanya materi perkaderan HMI lebih berat kepada keislaman dari pada keindonesiaan, dan pada waktu yang lain materi perkaderan lebih berat kepada orientasi kendonesiaan dari pada keislaman. Tarik menarik ini dapat ditelusuri dari  awal lahirnya organisasi ini pada tahun 1947. Waktu itu organisasi ini lahir antara lain untuk menjembatani kesenjangan wawasan mahasiswa Islam yang belajar di perguruan tinggi Islam dengan mahasiswa yang belajar di perguruan tinggi sekular.
Waktu itu perguruan tinggi Islam lebih banyak mengajarkan mata kuliah Islam kepada mahasiswanya, sedang perguruan tinggi sekular lebih banyak memberikan mata kuliah umum sesuai dengan fakultas dan jurusannya.  Akibatnya wawasan mahasiswa Islam mengalami kesenjangan antara pengetahuan agama dengan pengetahuan umum. 
Kemudian HMI lahir antara lain untuk menjembatani kesenjangan wawasan mahasiswa Islam itu dengan cara memberi materi perkaderan yang lebih banyak tentang keindonesiaan kepada anggota HMI dari kalangan mahasiswa perguruan tinggi Islam, dan memberi materi keislaman yang lebih banyak kepada anggota dari kalangan mahasiswa dari perguruan tinggi sekular.
Perkaderan semacam itu boleh dikata berhasil, karena tidak dirasakan lagi kesenjangan yang besar antara keislaman dan keindonesiaan dalam wawasan mahasiswa yang menjajadi anggota organisasi ini.   Tetapi masalahnya apakah setelah  berlangsung puluhan tahun atau beberapa dekade pendekatan semacam itu dalam perkaderan masih relevan, terutama kalau dilihat dari kepentingan bangsa Indonesia dan umat Islam saat ini?
Satu hal yang perlu diperhatikan bahwa perkaderan semacam itu, walaupun kadang lebih berat kepada orientasi keislaman dan kadang lebih berat kepada keindonesiaan, tetapi sebenarnya pendekatan dalam perkaderan itu menggunakan pola yang sama, yaitu pola rasional, artinya lebih menonjolkan rasionalitas, sehingga orang luar ada yang menganggap akidah organisasi ini mengikuti Mu’tazilah.
Di satu sisi pendekatan rasional sangat ampuh untuk mengatasi dan menyelesaikan setiap perbedaan, bahkan pertentangan pendapat di kalangan pemimpin umat dan bangsa yang majemuk ini. Setiap ada perbedaan dan pertentangan pendapat di antara pemimpin umat dan bangsa selama masih menggunakana cara rasional atau akal sehat biasanya selesai, kecuali kalau ada kepentingan yang tidak dapat dikompromikan. .
Soalnya sekarang apakah pendekatan itu masih relevan?. Ada satu hal menarik yang perlu diamati dalam hal ini, yaitu ketika Cak Nur yang banyak memberi kontribusi pada pemikiran Islam yang berkembang di HMI pulang dari menyelesaikan studinya di Amerika Serikat pada tahun 1985 banyak orang mengatakan bahwa Cak Nur telah berubah dibanding dengan ide-ide pembaharuannya yang dilancarkan sebelum berangkat belajar di AS.
Tetapi Cak Nur membantah kalau dikatakan pikirannya telah berubah, malah menurutnya tetap konsisten dengan ide-idenya yang dulu karena sudah didukung oleh bacaan yang lebih banyak. Sebenarnya Cak Nur betul demikian, tetapi pengamatan orang lain juga tidak terlalu salah, yaitu bahwa substansi pemikiran Cak Nur tidak berubah, tetapi pendekatannya berubah.
Kalau dulu waktu melancarkan  ide-ide pembaharuan Cak Nur menggunakan pendekatan rasional, misalnya ada tulisan Cak Nur waktu itu yang berjudul: “Modernisasi adalah rasionalisasi bukan westernisasi”, sehingga ada pengamat dari Malaysia, yaitu Kamal Hasan menganggap pemikiran Islam waktu itu merupakan respon terhadap modernisasi dan pembangunan yang dilancarkan oleh pemerintah Orde Baru.
Tetapi setelah kembali dari AS Cak Nur lebih banyak lebih banyak menggunakan pendekatan intuitif, yaitu bicara hati nurani, akhlak, etika dan moral. Buktinya Cak Nur banyak sekali bicara atau menulis tentang hal-hal itu. Sebenarnya pendekatan intuitif juga rasional, tetapi ada sisi yang lebih dari sekedar rasional, yaitu menjelaskan soal baik dan buruk, benar dan salah, pantas dan tindak pantas, layak dan tidak dilakukan, dan itu ukurannya bukan hanya akal, tetapi juga hati nurani.
Misalnya tidak lama setelah kembali dari AS Cak Nur diundang bicara dalam diskusi di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, lalu ada seorang peserta berkata kepada Cak Nur: “Pikirannya Anda terlalu tinggi, sehingga umat tidak paham”. Kemudian Cak Nur menjawab: “Kalau seorang bakul (tukang jual di pasar) kalau dia mengerjakan pekerjaannya dengan ikhlas, maka dia telah mengerjakan apa saya yang maksud”.
Soal keikhlasan adalah masalah intuisi dan orang yang sederhana atau rendah pikirannya seperti tukang jual di pasar bisa memahaminya. Jadi kalau dikatakan pikiran Cak Nur terlalu tinggi atau elitis tergantung dari mana melihatnya. Kalau dilihat dari sisi intuisi pemikiran setinggi apapun bisa mudah dipahami.
Dilihat dari sisi kepentingan bangsa dan umat Islam saat ini kelihatannya pendekatan intuitiflah yang lebih relevan, dan seharusnya pendekatan inilah yang dipakai dalam perkaderan HMI. Untuk menjelaskan ini saya mau cerita waktu kuliah dulu di Fakultas Syariah IAIN (sekarang Fakultas Syariah dan Hukum UIN).
Waktu itu ada mata kuliah yang namanya “Sejarah Pembaharuan Pemikiran Islam (SPPI)” yang diajar oleh Harun Nasution. Dalam kuliah ini antara lain dibicarakan teologi Islam   sebagai keahlian Pak Harun. Seperti biasanya Pak Harun bicara bahwa teologi Islam terbagi dua, yaitu teologi rasional contohnya Mu’tazilah dan teologi tradisional contohnya Asy’ariyah.
Waktu itu saya sempat bertanya, apakah kalau bicara teologi Islam harus selalu merujuk kepada masa lalu, yaitu Mu’tazilah dan Asy’ariyah dan mazhab yang lain: Pak Harun menjawab: “Memang begitu, apa lagi?” Pertanyaan saya didorong oleh fakta sejarah bahwa dulu teologi Islam muncul karena persoalan yang dihadapi umat Islam, yaitu terjadi perdebatan di kalangan umat, yaitu apakah perang sesama muslim yang menyebabkan mereka bunuh-bunuhan itu dosa besar atau bukan?
Saya waktu itu berpikir bahwa kalau persoalan umat yang dulu bisa menimbulkan persoalan.teologi mengapa persoalan yang kita hadapi sekarang yang jauh lebih berat, seperti kemskinan, keterbelakangan, krisis lingkungan hidup, krisis energi, krisis ekonomi tidak menimbulkan persoalan teologi yang baru?
Waktu itu saya tidak bertanya lagi. Tetapi beberapa tahun kemudian tampaknya saya ada benarnya, yaitu ketika Pak Harun diundang ke Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) untuk diskusi tentang teologi Islam. LIPI mau tahu apakah teologi Islam termasuk ilmu atau bukan?. Salah satu syarat suatu pengetahuan disebut ilmu ialah pengetahuan itu berorientasi kepada masa depan, yaitu memberi respon kepada masalah saat ini untuk ditangani menuju masa depan.
Sedang Pak Harun menjelaskan teologi Islam selalu berorientasi ke belakang atau masa lalu, yaitu bicara mazhab-mazhab teologi yang pernah muncul di masa lalu, seperti Mu’tazilah itu rasional dan Asy’ariyah itu tradisonal. Akhirnya LIPI menyimpulkan bahwa teologi Islam bukan ilmu, karena tidak berorintasi ke masa depan.
Kemudian ada diskusi di aula IAIN (sekarang UIN Jakarta)  pembicara antara lain Cak Nur topiknya bukan teologi, tetapi tiba-tiba Cak Nur berkata bahwa teologi bukan hanya rasional  dan tradisional, tetapi sekarang ada yang namanya teologi etis (ethical theology). Kelihatannya Cak Nur menanggapi Pak Harun, tetapi tidak sebut nama.
Setahu saya Cak Nur tidak menjelaskan apa itu teologi etis, tetapi dia banyak sekali bicara dan menulis soal akhlak, etika dan moral, sehingga kita bisa mengatakan bahwa teologi etis termasuk di sana, dan kalau ada teologi etis itu bisa menjawab masalah besar yang sangat merusak bangsa ini, yaitu kasus korupsi yang telah merajalela di mana-mana, bahkan  beberapa kasusus (ada kemungkinan) termasuk di UIN Jakarta.
Kasus korupsi adalah bukti kelemahan pendekatan rasional dalam perkaderan, sehingga perlu orientasi baru, yaitu orientasi etis dengan menggunakan pendekatan intuitif yang mengingatkan pentingnya akhlak, etika dan moral dalam hidup ini. Dalam orientasi intuitif orientasi keislaman dan keindonesiaan tetap ada, tetapi hal itu dilihat dari perspektif akhlak, etika dan moral. Ke sanalah sebaiknya orientasi perkaderan HMI Cabang Ciputat dikembangkan menuju masa depan. Selamat Hari Ulang Tahun HMI Cabang Ciputat yang ke-50, semoga tetap jaya. Amien!       .   

Warisan Rezim Orde Baru
Praktik korupsi merupakan warisan rezim Orde Baru. Di masa Orde Baru praktik korupsi juga kolusi dan nepotisme yang biasa disebut KKN merajalela di masa Orde Baru, karena rezim itu otoriter sehingga melemahkan kontrol dari bawah. Kontrol dari bawah atau rakyat atau luar pemerintahan boleh di kata kurang berjalan, sehingga para pejabat dengan tenang dan aman  dapat melakukan KKN.
Pada masa itu setiap kali muncul kritik terhadap praktik KKN dianggap sebagai kritik kepada pemerintah secara keseluruhan, sehingga diredam seminimal mungkin. Partai politik dan pers tidak dapat berbuat banyak untuk mengembangkan kritik kepada pemerintah, karena eksistensinya terancam.
Dalam situasi seperti itu saya menjadi mahasiswa IAIN (sekarang UIN) Jakarta pada tahun 1978. Tahun itu biasa disebut puncak gerakan mahasiswa Indonesia, karena pada tahun itu boleh dikata semua kampus di Indonesia mahasiswanya melakukan demonstrasi atau turun ke jalan. Untuk mengenang gerakan itu sekarang ada sekelompok orang yang menyebut dirinya Kelompok 77/ 78.
Setelah itu tidak ada lagi demonstrasi mahasiswa secara besar-besaran sampai akhirnya muncul gerakan reformasi pada tahun 1998. Ketidakberanian mahasiswa turun ke jalan antara lain karena pemerintah mengancam bertindak keras  kepada siapapun yang turun ke jalan, dan juga pemeritah mengubah sistem perkuliahan dari sistem lama yang terdiri atas sarjana muda dan sarjana lengkap yang biasanya memakan waktu 6 – 7 tahun menjadi sistem S1 yang hanya memerlukan waktu 4 tahun.
Dengan sistem baru itu kuliah dipadatkan agar mahasiswa menjadi sibuk dan tidak banyak waktu untuk melakukan kegiatan di luar kampus, terutama turun  ke jalan.  Cara ini kelihatannya cukup efektif mengurangi demontrasi mahasiswa.
Saya menjadi mahasiswa pada waktu sistem lama masih berlaku, tetapi keberanian mahasiswa untuk turun ke jalan sudah sangat berkurang. Kemudian mahasiswa senior banyak yang mengingatkan bahwa kalau kita kritik pemerintah lalu pemerintah diganti tentu yang menggantikan adalah orang-orang yang dekat dengan pemerintah.
Jadi, yang pasti yang menggantikan orang-orang itu bukan mahasiswa, karena mereka harus terlebih dahulu menyelesaikan kuliah.  Karena itu, selesaikan kuliah dan perbanyak ilmu agar siap masuk pemerintahan untuk menggantikan orang-orang yang berkelakuan buruk itu.
Cara berpikir itu mendorong mahasiswa untuk lebih suka membaca buku dan berdiskusi dari pada turun ke jalan. Untuk itu kita sering mengundang pakar-pakar dari Universitas Indonesia yang tinggal di Komplek Perumahan UI di Ciputat, seperti psikolog Sarlito Wirawan Sarwono dan ahli hubungan interrnasional Juwono Sudarsono untuk berdiskusi di kantor HMI Cabang Ciputat.
Dari situ banyak teman yang mengembangkan kemampuan menulis artikel di koran-koran dan majalah-majalah. Juga banyak mahasiswa yang aktif di Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)   yang waktu itu sedang marak berkembang. Di LSM teman-teman aktif berdiskusi, melakukan penelitian dan kegiatan program pengembangan masyarakat secara langsung. 
Semua kegiatan itu berdampak positif dalam mengambangkan diri masing-masing sampai hari ini, karena apapun pekerjaan kita diperlukan kebiasaan membaca dan menganalisis keadaan agar dapat berkembang secara baik.
Ketika terjadi reformasi tahun 1998 yang menumbangkan rezim Soeharto orang-orang pemerintahan berganti, tetapi kelakuan orang tidak berubah, misalnya praktik korupsi tetap merajelala. Ini berarti bahwa tidak cukup hanya mengganti orang, tetapi harus disertai dengan perubahan cara berpikir atau reorientasi. Kita mengerti hal ini kalau biasa membaca dan menganalisis keadaan masyarakat.
Reorientasi berpikir itu juga dipahami oleh Cak Nur, sehingga ketika kembali ke Indonesia tahun 1985 dia mengubah cara berpikirnya dalam memandang Islam dan umat, sehingga banyak bicara masalah moral, akhlak, dan etika. 
Tetapi hal itu tidak berarti bahwa turun ke jalan itu buruk. Buktinya ketika rezim Orde Baru melemah mahasiswa kembali turun ke jalan dan krisis monoter yang membuat dolar Amerika ketika waktu normal hanya Rp 2.200 per dolar lalu tiba-tiba naik sampai Rp 17.000 per dolar, akibatnya  harga barang melambung tinggi, sementara pemerintah Soeharto tidak dapat mengendalikan keadaan, maka dia pun jatuh.
Dari situ kelihatan bahwa kejatuhan nilai rupiah sangat dalam jauh lebih dalam dibanding dengan kejatuhan nilai mata uang negara-negara tetangga, seperti Malaysia, Thailand dan Filipina yang rata-rata hanya jatuh 100 persen.  Ini karena praktik korupsi di negeri ini jauh lebih marak dibanding korupsi di negara-negara tetangga itu.
Hal ini seharusnya menyadarkan kita bahwa setiap pemerintah yang korup akan jatuh dan karena itu kita harus melakukan reorientasi berpikir dan bertindak, termasuk dalam perkaderan.

Problem Solver; Wajah Realitas Insan Cita


Oleh :
Fakhruddin Muchtar
 
Dalam Buku :
"Membingkai Perkaderan Intelektual; Setengah Abad HMI Cabang Ciputat"
 
 
Karena periode ini adalah periode pengisian kemerdekaan, yaitu guna mencipatkaan masyarakat atau kehidupan yang adil dan makmur...pimpinan nasional yang dibutuhkan adalah negarawan yang “problem solver”, yaitu tipe administrator.
- Basic Demand Bangsa Indonesia, Hasil-Hasil Kongres XVI HMI, Palembang 28 Juli-5 Agustus, (Jakarta: PB.HMI, 2008)

S
ebagai wadah yang berisikan kumpulan kalangan intelektual terpelajar, organisasi kepemudaan –baik berlatar belakang primordial maupun ideologi– kadang disibukkan dengan ke arah mana pemuda digerakkan? Pilihan untuk menjadi organisasi berbasis kader atau berbasis massa seringkali menjadi pangkal persoalannya.
Dalam wacana sosial organisasi berbasis kader bukan saja berbeda dengan organisasi berbasis massa, melainkan bahkan kadang terkesan bertentangan. Lebih dari itu, pertanyaan akankah “berbasis kader” atau “berbasis massa” justeru berawal dari sebuah perdebatan politik, yakni tentang bentuk ideal partai politik – “partai kader” atau “partai massa”.
Herbert Feith, mengaitkan dikotomi tentang partai kader dan partai massa dengan polarisasi lain; “problem solving” dan “solidarity making”. Partai kader Feith kaitkan dengan orientasi politik “problem solving”, sementara partai massa dengan “solidarity making” (Madjid: 2008). Untuk itu, pimpinan partai berbasis kader seringkali disebut sebagai problem solver (penyelesai masalah), dan untuk partai berbasis massa disebut sebagai solidarity maker (pembangun solidaritas).
Problem solver yang juga populer dengan sebutan sang administrator didefenisikan Feith dalm The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia sebagai ..for people we shall call “administrator,” men with administrative, legal, technical, and foreign language skills, such required for the running of a modern state.[ …untuk orang yang mestinya kita sebut sebagai ‘administrator,’ orang dengan kecakapan administratif, teknis, dan bahasa asing, seperti yang dibutuhkan untuk menjalankan sebuah negara modern.]
Sementara lebih lanjut menurut Feith, solidarity maker digambarkan dengan , …the leadership of revolution, however, were men of skills of another type. The Revolution needed leaders with may be called integrative skills, skills in cultural mediation, symbol manipulation, and mass organization... These person – we shall call them ‘solidarity makers’..” […pemimpin revolusi, bagaimanapun juga, adalah seseorang dengan jenis kecakapan yang berbeda. Revolusi membutuhkan para pemimpin yang bisa dikatakan memiliki kemampuan integratif, kemampuan di bidang mediasi kultural, manipulasi simbol, dan organisasi massa… orang-orang seperti ini –hendaknya kita sebut sebagai ‘pembangun solidaritas’…]
Beberapa tahun kemudian pertanyaan apakah komunitas akan berbasis kader ataukah berbasis massa tidak hanya ada di tubuh partai, melainkan juga mendapatkan perhatian banyak organisasi. Bersamaan dengan itu, konsep dua tipikal kepemimpinan  solidarity maker dan problem solver kemudian muncul dalam wacana kepemimpinan ideal organisasi kepemudaan. Termasuk di tubuh Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).
Dikotomi konseptual kepemimpinan problem solver (penyelesai masalah) dan solidarity maker (pembangun solidaritas) terdapat pada “Basic Demand Bangsa Indonesia”, yang merupakan salah satu bab dalam doktrin perjuangan HMI –Tafsir Tujuan HMI. Doktrin perjuangan Tafsir Tujuan HMI, yang sebelumnya bernama Gambaran Insan Cita HMI (Penjelasan Tujuan HMI) yang pertama kali dirumuskan pada tahun 1969 PB. (HMI, Hasil-Hasil Kongres IX HMI di Malang 3-10 Mei 1969), merupakan penjelas kualitas “Insan Cita” yang merupakan tujuan HMI.

Dimensi Manusia dan Orientasi Subjek
Berbeda dengan beberapa organisasi lainnya, target pencapaian HMI tidak saja berorientasi pada pencapaian pada sebuah objek, seperti organisasi lain yang terukur dari kesuksesan penerapan syariat, pembentukan negara Islam, sistem khilafah atau sejenisnya. Ketimbang “object oriented”, HMI justeru banyak memfokuskan diri bagi pencapaian yang “subject oriented” yang dalam hal ini berarti manusia. Di samping beberapa pencapaian objektif, HMI berupaya tetap menghidupkan wacana yang berbasis filsafat manusia –khususnya Islam– karena hanya dengan pemahaman tentang manusialah cita kemanusiaan dapat terwujud.
Dalam tradisi Barat, ada tiga kata yang digunakan untuk manusia, yakni man, anthropos, dan homo. Kata man berasal dari bahasa Anglo-Saxon mann, yang arti katanya serupa dengan mens dalam bahasa Latin, sebagai ‘ada yang berpikir’. Anthropos yang semula berarti ‘seseorang yang melihat ke atas’, dan homo dalam bahasa Latin ‘orang yang dilahirkan di atas bumi’(Bagus: 2002, 564). Serupa dengan Barat, Islam juga setidaknya dikenal tiga istilah yang untuk manusia; naas, basyar, dan insan. Naas adalah sisi sosiologis manusia. Basyar adalah sisi fisiologis manusia. Sementara insan adalah dimensi spritual manusia. Istilah terakhir inilah yang kemudian digunakan HMI untuk menyebutkan manusia idealnya.

Fight for dan Prioritas “Problem Solving”
Sejak enam puluh empat tahun berdirinya HMI banyak menghadapi tantangan. Bukan saja karena ia harus menun­jukkan kemampuan untuk mening­katkan perannya. Tetapi pertanyaa mendasar ke arah mana perjuangan digerakkan?
Salah satu peninggalan Nurcholash Madjid yang masih sangat relevan menggambarkan arah perjuangan HMI yakni dikotomi “fight against” dan “fight for” yang diperkenalkannya. Nurcholish seringkali mengemukakan bahwa tantangan sekarang tidak lagi lebih banyak bersifat “fight against” atau “berjuang melawan” seperti masa awal kelahiran Orde Baru; tanta­ngan sekarang lebih banyak menuntut kemam­puan untuk “fight for” atau “berju­ang untuk”, yakni sikap-sikap pro­aktif (positif), bukan reaktif (negatif).
Zaman ini  lebih ba­nyak menuntut kemam­puan berpartisipasi proaktif dan positif. Kemam­puan ini lebih banyak mengarah pada kecakapan “problem solving” daripada solidarity making”. Tekanan pada kemampuan problem solver yang di Indonesia populer sebagai “Hattaisme”, bukan berarti meminggirkan peran solidarity maker “Soekar­noisme”. Perjuangan dengan tekanan pada “problem solving” memang lebih sulit, lebih “dingin”, lebih bersifat “kerja tekun” daripada “kerja berkobar”, dan wajar saja kurang menarik bagi orang banyak.
Sesungguhnya kesan HMI sebagai organisasi yang “melem­pem” sebagian besar adalah karena himpunan ini tidak lagi mungkin bersandar pada model eksistensi dengan pola perjuangan berkobar lewat pidato-pidato panas dan retorika bombastis. Model ini mes­kipun barangkali menarik untuk orang awam tetapi perannya dalam mencari pemecahan masalah ma­syarakat, umat, bangsa, dan negara sangat kecil.
Dari keseluruhan di atas, secara umum fokus masalah adalah pada peran perjuangan organisasi kepemudaan yang mestinya di arahkan pada posisi “problem solving” (penyelesai masalah). Di masa sekarang, dibandingkan dengan skill “solidarity maker (pembangun solidaritas), kecakapan “problem solver” (penyelesai masalah) lebih dibutuhkan. Point inilah yang disuarakan dalam Basic Demand Bangsa Indonesia dalam Tafsir Tujuan HMI sebagaimana pembuka di atas. Problem Solver adalah wujud riil Insan Cita yang sesuai dengan perjuangan periode kini.