Oleh :
Marwan Saridjo
Dalam Buku :
"Membingkai Perkaderan Intelektual; Setengah Abad HMI Cabng Caputat"
S
|
uatu hari di bulan
April tahun 1988, di ruang Tata Usaha Menteri Agama, Mas Tom panggilan akrab
Dr. Sulastomo, mantan Ketua Umum HMI di masa prolog dan epilog Gestapu/PKI, memperlihatkan bukunya berjudul:
Hari-Hari Yang Panjang (tahun 2000 telah mengalami cetakan keempat, Kompas)
sembari bertanya: Apakah Anda sudah membaca buku ini? Saya jawab, sudah. Mas
Tom, lalu bertanya lagi. Bagaimana kesan dan penilaian Anda? Isinya baik, dan
cara menulis Mas Tom menarik. Tetapi kata saya, cuma satu yang kurang saya setujui,
yaitu pendapat Mas Tom bahwa di IAIN seharusnya tidak perlu dibentuk organisasi
HMI. Toh mahasiswa IAIN semua sudah pintar agama. Memang masuk HMI hanya untuk
pintar ngaji, jawab saya.
Pandangan
Mas Tom dalam bukunya Hari-Hari Yang
Panjang, didasarkan atas kenyataan bahwa pada beberapa IAIN, di antara
sesama organisasi ekstra seperti HMI, PMII dan IMM, hubungannya sering tidak
harmonis. Berbeda dengan keadaan di lingkungan universitas di luar IAIN,
hubungan ketiga organisasi mahasiswa Islam itu, harmonis dan solid. Boleh jadi
pula dalam kasus Ciputat, Mas Tom berfikir pembentukan HMI di Ciputat sebagai
“kurang memenuhi syarat” karena di Ciputat waktu itu hanya terdapat satu
perguruan tinggi, yaitu IAIN.
Peristiwa
bulan Oktober 1963 di IAIN Yogyakarta dan IAIN Jakarta, agaknya menyisakan rasa
traumatis bagi Mas Tom. Pada tanggal 10 Oktober 1963 saat dilangsungkan acara
pelantikan Rektor IAIN Sunan Kalijaga terjadi unjuk rasa yang dilakukan oleh
sekelompok mahasiswa yang sebagian besar terdiri dari anggota HMI dan didukung
oleh dosen-dosen muda yang diidentifikasi sebagai pendukung HMI. Menyusul
peristiwa di IAIN Yogyakarta beberapa hari kemudian terjadi unjuk rasa yang
sama di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang digerakkan dari unsur organisasi
mahasiswa yang sama (HMI).
Sebagai
akibat dari unjuk rasa itu, para pelaku dan dosen-dosen muda yang dianggap
mendukung gerakan itu ditangkap pihak berwajib dan dijebloskan dalam penjara.
Dr.
Sulastomo, yang waktu itu menjabat Ketua Umum PB HMI, menyebut peristiwa unjuk
rasa tahun 1963 itu sebagai aksi perlawanan sekelompok mahasiswa dan dosen
waktu itu sesungguhnya dialamatkan kepada Menteri Agama, KH Saifuddin Zuhri.
Itu artinya Nahdlatul Ulama. Menurut Dr.
Sulastomo, kalangan Umat Islam di luar NU, ada semacam prasangka bahwa dalam
mengendalikan Kementerian Agama dirasakan adanya ketidak-adilan, sebagaimana yang dirasakan oleh teman-teman
yang bergerak di IAIN Yogyakarta dan Ciputat.
Banyak
masalah dipersoalkan, misalnya penempatan pejabat-pejabat di kalangan
Kementerian Agama. Seolah-olah apabila tidak mempunyai kartu anggota NU tidak
mungkin menjabat di Kementerian Agama.
Dalam
memandang peristiwa 10 Oktober 1963 seperti terbaca dalam bukunya Hari-Hari
Yang Panjang, Dr. Sulastomo tidak membela HMI, bahkan terkesan menyalahkan
HMI.
Agaknya
Dr.Sulastomo ingin berbagi rasa dengan Menteri Agama KH. Saifuddin Zuhri, Ia
tahu bahwa salah seorang yang meyakinkan Presiden Soekarno, agar HMI tidak
dibubarkan adalah KH. Saifuddin Zuhri.
Dalam
bukunya Berangkat Dari Pesantren, KH.Saefuddin Zuhri menuturkan bahwa
suatu pagi ia selaku Menteri Agama dipanggil Presiden Soekarno untuk “coffe
morning” di Istana Merdeka. Pada kesempatn itu, Presiden Soekarno memberitahu
bahwa ia berniat membubarkan HMI.
Kemudian
terjadi dialog antara Bung Karno (BK) dengan KH.Saefuddin Zuhri (SZ), antara
lain :
BK
|
:
|
Saya memberitahu saudara selaku
Menteri Agama, bahwa saya akan membubarkan HMI
|
SZ
|
:
|
Apa alasannya Pak?
|
BK
|
:
|
Berbagai laporan disampaikan
kepada saya bahwa di mana-mana HMI melakukan tindakan anti revolusi dan
bersikap radikalisme
|
SZ
|
:
|
Kadar anti revolusinya maupun
keradikalisme sampai di mana Pak?
|
BK
|
:
|
Yaah, misalnya selalu bersikap
aneh, bersikap liberal, seolah-olah hendak mengembalikkan adat
kebarat-baratan dan lain-lain.
|
SZ
|
:
|
Apakah sudah dipanggil untuk
dinasehati ?
|
BK
|
:
|
Secara umum dan terbuka saya
sudah berulang-ulang memperingatkan lewat pidato-pidato saya
|
SZ
|
:
|
Mohon dipertimbangkan sekali
lagi. HMI itu anak-anak muda. Mereka itu kader-kader bangsa. Kalau HMI dibubarkan
mereka frustasi dan kita semua rugi
|
BK
|
:
|
Mereka anak-anak Masyumi. Sikap
mereka tentu seperti Bapaknya; Reaksioner. Kalau HMI bubar, kan NU beruntung
dan PMII makin besar
|
SZ
|
:
|
Bukan masalah untung rugi.
Sulit bagi saya selagi masih Menteri Agama ada organisasi Islam dibubarkan
tanpa alasan kuat.
|
BK
|
:
|
Waah, tidak saya sangka kalau
saudara membela HMI
|
SZ
|
:
|
Bukan membela HMI Pak. Itu
tugas kami para pembantu Presiden
|
BK
|
:
|
Bukan berlebihan. Tetapi saya
berbuat menurut gemeten saya, perasaan hati saya
|
SZ
|
:
|
Kalau Bapak tetap hendak
membubarkan HMI artinya pertimbangan saya bertentangan dengan gemeten
Bapak, saya sebagai pembantu Bapak hanya sampai di sini
|
BK
|
:
|
Oooo, jangan berkata begitu.
Saya tetap memerlukan saudara
|
SZ
|
:
|
Akhirnya, sambil menyalami
tangan saya Bung Karno berkata: Baiklah HMI tidak saya bubarkan!
|
Menurut KH.Saefuddin Zuhri,
dialognya dengan Presiden Soekarno tentang HMI di Istana Merdeka itu,
disaksikan oleh pengusaha nasional H.Hasjim Ning
Kembali
ke peristiwa Oktober 1963. Menurut saya kalau saja peristiwa di IAIN Yogyakarta
dan IAIN Jakarta itu, tidak di-blow up
oleh pihak PKI/CGMI, tidak berimplikasi
luas secara politis.
Sahabat
saya, kakak kelas di PGA Atas Makassar, yang waktu terjadi peristiwa unjuk rasa
di tahun 1963 itu menjadi mahasiswa Fakultas Tarbiyah Malang, dan Ketua Senat
PMII Malang (kemudian menjadi Ketua Umum PB PMII), Drs. M. Abduh Paddare dalam
tulisannya menyambut 70 tahun H. Kafrawi Ridwan menulis; “Saya anggap gerakan
unjuk rasa teman-teman mahasiswa itu sebagai koreksi islah terhadap managemen,
administrasi buruknya di IAIN, khusunya di Kementerian Agama yang semerawut”.
02
Pada
tahun 1966, saya masuk IAIN Ciputat, dan bergabung dengan HMI. Sebagai seorang
yang pernah aktif dalam organisasi PII wilayah Makassar, dan sudah sering berinteraksi dengan teman-teman yang menjadi
anggota HMI, sedikit banyak saya sudah mengenal HMI.
Dan
di mata pengurus HMI Ciputat waktu itu, walau baru masuk kuliah dan masuk HMI,
saya dipandang anggota yang “senior” –setidaknya dari segi usia dan
pengalaman. Sebelum masuk kuliah di Ciputat, saya sudah lama menjadi guru
(mengajar di kampung saya di Bima), sudah berkeluarga. Sementara para pengurus
HMI Ciputat sebagian masih “single” seperti kak Mustoha, Hamdi Ayusa, Hifni
Syadzali dan beberapa lagi yang lebih muda.
Ketika
akan diselenggarakan Konpercab HMI –kalau tidak salah sebelum setahun masuk
HMI– saya ditunjuk menjadi Ketua Panitia. Senior HMI yang selalu mendampingi
panitia, waktu itu Hifni Syadzali. Waktu peristiwa Oktober 1963, ia sudah ada
di Ciputat. Dalam agenda panitia, selain akan beraudiensi dengan para senior
HMI di Ciputat, juga dengan PB HMI, dengan harapan Cak Nur (Nurcholish Madjid,
yang sudah menjadi Ketua Umum PB HMI menggantikan Dr. Sulastomo, kalau bisa
diharapkan dapat memberikan pengarahan dalam Konpercap. Selain rencana audiensi dengan kalangan intern
HMI, juga diagendakan untuk audiensi dan sekaligus melapor kepada Rektor IAIN
Prof. Sunardjo.
Dengan
diantar (dipimpin Kak Hifni Syadzali) sekitar tujuh orang panitia, diterima di
ruang kerja Rektor lantai I gedung Rektorat sekarang.
Belum
selesai Hifni Syadzali memperkenalkan nama-nama anggota yang hadir, tanpa
sempat mengutarakan keinginan dan harapan panitia –tiba-tiba Rektor berkata
denga nada setengah gusar; “Kenapa saya didemo, apa salah saya, Saya jadi
Rektor tidak membawa misi siapa-siapa. Saya tidak tahu hal-hal yang berkaitan
dengan NU. Saya masuk NU karena kebetulan saja dalam kabinet memerlukan
representasi dari partai, lalu saya diplot menjadi representasi NU (Prof. Sunardjo pernah
menjadi Menteri Perdagangan).
Karena
sikap Prof. Soenardjo yang terus menyesalkan peristiwa dan unjuk rasa yang
dialamatkan pada dirinya tahun 1963, tidak memungkinkan adanya dialog. Semua
panitia diam dan bingug, lebih-lebih yang tidak mengetahui peristiwa Oktober
1963. Hifni Syadzali memberi isyarat agar panitia tidak usah bicara dan memberi
respons. Dan akhirnya tanpa dialog, tanpa basa-basi, anggota panitia keluar
meninggalkan ruang Rektor. Sesampai di
Kantor HMI, Hifni Syadzali memberikan briefing
dan menuturkan peristiwa tahun 1963, khususnya di IAIN Ciputat
03
Pada
tahun-tahun pertama berada di Ciputat –meski saya tidak tinggal di komplek IAIN–
suasana kehidupan di lingkungan kampus nampak
serba kaku, bahkan mencekam. Interaksi
antara sesama mahasiswa yang berbeda organisasi ekstra, hampir tidak ada tegur
sapa kecuali dalam kasus tertentu: misalnya dalam hal belajar bersama
menghadapi tentamen, ada keluarga yang kena musibah, dan pacaran. Sebaliknya
dalam forum-forum intern masing-masing organisasi para fungsionaris dari
organisasi mahasiswa berbicara dengan nada tinggi.
Setidaknya
selama 4 tahun, yaitu antara tahun 1963 sampai tahun 1966, HMI Ciputat berada
dalam tekanan berat PKI/CGMI hampir dalam semua lini dan aspek kehidupan. Segala
macam stigma diberikan kepada HMI, antara lain seperti yang tercermin dari
ucapan Bung Karno dalam dialognya dengan Menteri Agama yang dikutip di atas.
HMI
Ciputat selain menjadi sasaran tembak kaum komunis seperti yang dialami HMI
lain di seluruh tanah air, mengalami situasi yang lebih spesifik: Peristiwa
unjuk rasa Oktober 1963 telah memberikan stigma kepada HMI Ciputat. Walaupun
peristiwa 10 Oktober 1963 dimulai dari IAIN Yogya, dan pelaku unjuk rasa mahasiswa
dan pendukungnya banyak dari HMI, tetapi dampaknya dan tekanan psikologisnya
tidak langsung dapat dirasakan. Hal itu karena HMI Cabang Yogyakarta berada di
luar IAIN. Sedang HMI Ciputat, ia berada dalam lingkungan IAIN. Karena
kawasannya hanya dalam lingkungan yang sangat terbatas, jika ada seorang
anggota atau sekelompok HMI yang kena stigma, dengan sendirinya HMI cabangpun
ikut kena stigma dengan label-label seperti : pemberontak, Subversif, dan
lain-lain. Stigmatisasi itu, tentu tidak membuat anggota HMI merasa berkecil
hati dan kurang militan. Kalau pada hari-hari menjelang prolog G30S hingga di
masa epilog G30S/PKI, anggota HMI Ciputat tampil tanpa senyum bersifat “combat
ready”, adalah sebagai cerminan sikap militan dan kewaspadaan mereka yang
siap konfrontasi dengan siapa saja – utamanya dengan PKI/CGMI dan para
kolaboratornya. Saya ingat saudara Syamsudin Simon (di mana dia sekarang) bila
malam-malam berkeliling di komplek perumahan IAIN selalu di pinggangnya
berselip sebuah kampak ukuran sedang, dan bila seseorang berpapasan dengan dia,
bukan anggota HMI, pasti orang tersebut membuang muka.
04
Ketika
diselenggarakan musyawarah Dewan Mahasiswa IAIN Ciputat, dalam rangka pemilihan
pengurus, masing-masing organisasi ekstra melakukan kampanye untuk memenangkan
pemilihan. Walau di sana-sini terjadi intrik dan “tipu muslihat”, alhamdulillah
penyelenggaraan musyawarah berjalan
lancar dan tidak ada sesuatu yang tidak
diharapkan.
Perimbangan
suara dari ketiga Ormas Mahasiswa, PMII, HMI, dan IMM cukup proporsional. Dari
HMI terpilih Mustoha, Marwan Saridjo, Nuryanis, Nur Iman Nasir dan Chozin
Arief. Dari PMII Ahmad Sukardja, Zainal Abidin, Matdjali, dari IMM terpilih
Sabuki dan lain-lain (maaf saya lupa nama-nama yang lainnya)
Keadaan
menjadi krusial ketika menentukan siapa yang menjadi Ketua DEMA. Masing-masing
menginginkan menjadi Ketua. Begitu alotnya pemilihan Ketua itu, sampai hampir
setahun baru bisa ditetapkan (terpilih) suatu “presidium” atau Ketua-bergilir
yaitu; Ahmad Soekardja dari PMII, Mustoha dari HMI dan Sabuki dari IMM.
Setelah
terpilih tiga tokoh mahasiswa menjadi Ketua bergilir, DEMA IAIN yang kebetulan
sama-sama berasal dari Priangan Timur, seingat saya sejak itu suasana kehidupan
dan interaksi di atara sesama mahasiswa IAIN di Ciputat mulai mencair dan
membawa “angin baru”. Mulai muncul kesadaran, bahwa baik PMII, HMI, dan IMM,
semuannya mahasiswa IAIN, dan tidak ada siapa mendominasi siapa.
Ketika
suatu hari (saya lupa waktu persisnya) anggota DEMA IAIN Jakarta menghadap
Menteri Agama KH. Moch. Dahlan, saudara Nur Iman Nasir dari Fakultas Ushuludin
anggota Dema IAIN mewakili HMI secara ceplas-ceplos dengan gaya Betawi bertanya
kepada Menteri Agama; Pak Menteri, di kalangan IAIN dan sebagian masyarakat,
masih ada anggapan, bahwa IAIN itu milik
NU. Mendengar ucapan saudara Nur Iman spontan memancing reaksi KH. Moch. Dahlan.
“Siapa bilang IAIN milik satu golongan, catat ucapan saya; IAIN bukan milik
satu golongan, IAIN bukan milik NU, IAIN adalah milik umat Islam Indonesia.”
Keluar
dari ruang Menteri Agama, di jalan Husni Thamrin saya ke Jl. Kebon Sirih,
menemui Mulyadi Abdullah (Mahasiswa Fakultas Adab IAIN Ciputat yang sudah agak
absen kuliah setelah sarjana muda/BA) yang menjadi anggota redaksi harian Operasi yang dipimpin
Bachtiar Djamily. Setelah mengetik hasil audiensi dengan Menteri Agama KH.
Moch. Dahlan, saya serahkan hasil ketikan itu kepada Mulyadi Abdullah.
Besoknya,
di headline halaman depan harian Operasi muncul berita dengan huruf agak menyolok: “Menteri Agama
KH.Moh Dahlan : “IAIN bukan milik satu golongan, - bukan milik NU saja - tetapi
milik semua Umat Islam Indonesia”.
Dirgahayu HMI !
Pesantren Al-Manar, Ciseeng
Bogor, 10 Februari 2011