Oleh :
Fakhruddin Muchtar
Dalam Buku :
"Membingkai Perkaderan Intelektual; Setengah Abad HMI Cabang Ciputat"
Karena periode
ini adalah periode pengisian kemerdekaan, yaitu guna mencipatkaan masyarakat
atau kehidupan yang adil dan makmur...pimpinan nasional yang dibutuhkan adalah
negarawan yang “problem solver”, yaitu tipe administrator.
- Basic Demand Bangsa Indonesia, Hasil-Hasil Kongres XVI HMI,
Palembang 28 Juli-5 Agustus, (Jakarta: PB.HMI, 2008)
S
|
ebagai wadah yang berisikan kumpulan
kalangan intelektual terpelajar, organisasi kepemudaan –baik berlatar belakang
primordial maupun ideologi– kadang disibukkan dengan ke arah mana pemuda
digerakkan? Pilihan untuk menjadi organisasi berbasis kader atau berbasis massa
seringkali menjadi pangkal persoalannya.
Dalam wacana sosial organisasi berbasis
kader bukan saja berbeda dengan organisasi berbasis massa, melainkan bahkan
kadang terkesan bertentangan. Lebih dari itu, pertanyaan akankah “berbasis
kader” atau “berbasis massa” justeru berawal dari sebuah perdebatan politik,
yakni tentang bentuk ideal partai politik – “partai kader” atau “partai massa”.
Herbert Feith, mengaitkan dikotomi tentang
partai kader dan partai massa dengan polarisasi lain; “problem solving”
dan “solidarity making”. Partai kader Feith kaitkan dengan orientasi
politik “problem solving”, sementara partai massa dengan “solidarity
making” (Madjid: 2008). Untuk itu, pimpinan partai berbasis kader
seringkali disebut sebagai problem solver (penyelesai masalah), dan
untuk partai berbasis massa disebut sebagai solidarity maker (pembangun
solidaritas).
Problem solver yang juga populer dengan sebutan sang administrator
didefenisikan Feith dalm The Decline of
Constitutional Democracy in Indonesia sebagai “..for
people we shall call “administrator,” men with administrative, legal,
technical, and foreign language skills, such required for the running of a
modern state.” [ …untuk orang yang mestinya kita sebut
sebagai ‘administrator,’ orang dengan kecakapan administratif, teknis, dan
bahasa asing, seperti yang dibutuhkan untuk menjalankan sebuah negara modern.]
Sementara lebih lanjut menurut Feith, solidarity maker
digambarkan dengan , “…the leadership of revolution, however, were men of skills of
another type. The Revolution needed
leaders with may be called integrative skills, skills in cultural mediation,
symbol manipulation, and mass organization... These person – we shall call them
‘solidarity makers’..” […pemimpin
revolusi, bagaimanapun juga, adalah seseorang dengan jenis kecakapan yang
berbeda. Revolusi membutuhkan para pemimpin yang bisa dikatakan memiliki
kemampuan integratif, kemampuan di bidang mediasi kultural, manipulasi simbol,
dan organisasi massa… orang-orang seperti ini –hendaknya kita sebut sebagai
‘pembangun solidaritas’…]
Beberapa tahun kemudian pertanyaan apakah komunitas akan
berbasis kader ataukah berbasis massa tidak hanya ada di tubuh partai,
melainkan juga mendapatkan perhatian banyak organisasi. Bersamaan dengan itu,
konsep dua tipikal kepemimpinan –solidarity
maker dan problem solver– kemudian
muncul dalam wacana kepemimpinan ideal organisasi kepemudaan. Termasuk di tubuh
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).
Dikotomi konseptual kepemimpinan problem solver (penyelesai masalah) dan solidarity maker
(pembangun solidaritas) terdapat pada “Basic Demand Bangsa Indonesia”,
yang merupakan salah satu bab dalam doktrin perjuangan HMI –Tafsir Tujuan
HMI. Doktrin perjuangan Tafsir Tujuan HMI, yang sebelumnya bernama Gambaran
Insan Cita HMI (Penjelasan Tujuan HMI) yang pertama kali dirumuskan
pada tahun 1969 PB. (HMI, Hasil-Hasil
Kongres IX HMI di Malang 3-10 Mei 1969),
merupakan penjelas kualitas “Insan Cita” yang merupakan tujuan HMI.
Dimensi Manusia dan Orientasi Subjek
Berbeda dengan beberapa
organisasi lainnya, target pencapaian HMI tidak saja berorientasi pada
pencapaian pada sebuah objek, seperti organisasi lain yang terukur dari
kesuksesan penerapan syariat, pembentukan negara Islam, sistem khilafah atau
sejenisnya. Ketimbang “object
oriented”, HMI justeru banyak memfokuskan diri bagi pencapaian yang “subject
oriented” yang dalam hal ini berarti manusia. Di samping beberapa
pencapaian objektif, HMI berupaya tetap menghidupkan wacana yang berbasis
filsafat manusia –khususnya Islam– karena hanya dengan pemahaman tentang
manusialah cita kemanusiaan dapat terwujud.
Dalam
tradisi Barat, ada tiga kata yang digunakan untuk manusia, yakni man, anthropos,
dan homo. Kata man berasal dari bahasa Anglo-Saxon mann,
yang arti katanya serupa dengan mens dalam bahasa Latin, sebagai ‘ada
yang berpikir’. Anthropos yang semula berarti ‘seseorang yang melihat ke
atas’, dan homo dalam bahasa Latin ‘orang yang dilahirkan di atas bumi’(Bagus: 2002, 564). Serupa dengan Barat, Islam juga setidaknya dikenal tiga
istilah yang untuk manusia; naas, basyar, dan insan. Naas adalah
sisi sosiologis manusia. Basyar adalah sisi fisiologis manusia.
Sementara insan adalah dimensi spritual manusia. Istilah terakhir inilah
yang kemudian digunakan HMI untuk menyebutkan manusia idealnya.
Fight for dan Prioritas
“Problem Solving”
Sejak
enam puluh empat tahun berdirinya HMI banyak menghadapi tantangan. Bukan saja
karena ia harus menunjukkan kemampuan untuk meningkatkan perannya. Tetapi
pertanyaa mendasar ke arah mana perjuangan digerakkan?
Salah
satu peninggalan Nurcholash Madjid yang masih sangat relevan menggambarkan arah
perjuangan HMI yakni dikotomi “fight against” dan “fight for”
yang diperkenalkannya. Nurcholish seringkali mengemukakan bahwa tantangan
sekarang tidak lagi lebih banyak bersifat “fight against” atau “berjuang
melawan” seperti masa awal kelahiran Orde Baru; tantangan sekarang lebih
banyak menuntut kemampuan untuk “fight for” atau “berjuang untuk”,
yakni sikap-sikap proaktif (positif), bukan reaktif (negatif).
Zaman ini lebih banyak
menuntut kemampuan berpartisipasi proaktif dan positif. Kemampuan ini
lebih banyak mengarah pada kecakapan “problem solving” daripada “solidarity
making”. Tekanan pada kemampuan problem solver yang di Indonesia
populer sebagai “Hattaisme”, bukan berarti meminggirkan peran solidarity
maker “Soekarnoisme”. Perjuangan dengan tekanan pada “problem solving”
memang lebih sulit, lebih “dingin”, lebih bersifat “kerja tekun” daripada
“kerja berkobar”, dan wajar saja kurang menarik bagi orang banyak.
Sesungguhnya
kesan HMI sebagai organisasi yang “melempem” sebagian besar adalah karena
himpunan ini tidak lagi mungkin bersandar pada model eksistensi dengan pola
perjuangan berkobar lewat pidato-pidato panas dan retorika bombastis. Model ini
meskipun barangkali menarik untuk orang awam tetapi perannya dalam mencari
pemecahan masalah masyarakat, umat, bangsa, dan negara sangat kecil.
Dari
keseluruhan di atas, secara umum fokus masalah adalah pada peran perjuangan
organisasi kepemudaan yang mestinya di arahkan pada posisi “problem solving”
(penyelesai masalah). Di masa sekarang, dibandingkan dengan skill “solidarity
maker” (pembangun solidaritas), kecakapan “problem solver” (penyelesai
masalah) lebih dibutuhkan. Point inilah yang disuarakan dalam Basic Demand
Bangsa Indonesia dalam Tafsir Tujuan HMI sebagaimana pembuka di
atas. Problem Solver adalah wujud riil Insan Cita yang sesuai dengan perjuangan
periode kini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar