Sabtu, 12 Mei 2012

Problem Solver; Wajah Realitas Insan Cita


Oleh :
Fakhruddin Muchtar
 
Dalam Buku :
"Membingkai Perkaderan Intelektual; Setengah Abad HMI Cabang Ciputat"
 
 
Karena periode ini adalah periode pengisian kemerdekaan, yaitu guna mencipatkaan masyarakat atau kehidupan yang adil dan makmur...pimpinan nasional yang dibutuhkan adalah negarawan yang “problem solver”, yaitu tipe administrator.
- Basic Demand Bangsa Indonesia, Hasil-Hasil Kongres XVI HMI, Palembang 28 Juli-5 Agustus, (Jakarta: PB.HMI, 2008)

S
ebagai wadah yang berisikan kumpulan kalangan intelektual terpelajar, organisasi kepemudaan –baik berlatar belakang primordial maupun ideologi– kadang disibukkan dengan ke arah mana pemuda digerakkan? Pilihan untuk menjadi organisasi berbasis kader atau berbasis massa seringkali menjadi pangkal persoalannya.
Dalam wacana sosial organisasi berbasis kader bukan saja berbeda dengan organisasi berbasis massa, melainkan bahkan kadang terkesan bertentangan. Lebih dari itu, pertanyaan akankah “berbasis kader” atau “berbasis massa” justeru berawal dari sebuah perdebatan politik, yakni tentang bentuk ideal partai politik – “partai kader” atau “partai massa”.
Herbert Feith, mengaitkan dikotomi tentang partai kader dan partai massa dengan polarisasi lain; “problem solving” dan “solidarity making”. Partai kader Feith kaitkan dengan orientasi politik “problem solving”, sementara partai massa dengan “solidarity making” (Madjid: 2008). Untuk itu, pimpinan partai berbasis kader seringkali disebut sebagai problem solver (penyelesai masalah), dan untuk partai berbasis massa disebut sebagai solidarity maker (pembangun solidaritas).
Problem solver yang juga populer dengan sebutan sang administrator didefenisikan Feith dalm The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia sebagai ..for people we shall call “administrator,” men with administrative, legal, technical, and foreign language skills, such required for the running of a modern state.[ …untuk orang yang mestinya kita sebut sebagai ‘administrator,’ orang dengan kecakapan administratif, teknis, dan bahasa asing, seperti yang dibutuhkan untuk menjalankan sebuah negara modern.]
Sementara lebih lanjut menurut Feith, solidarity maker digambarkan dengan , …the leadership of revolution, however, were men of skills of another type. The Revolution needed leaders with may be called integrative skills, skills in cultural mediation, symbol manipulation, and mass organization... These person – we shall call them ‘solidarity makers’..” […pemimpin revolusi, bagaimanapun juga, adalah seseorang dengan jenis kecakapan yang berbeda. Revolusi membutuhkan para pemimpin yang bisa dikatakan memiliki kemampuan integratif, kemampuan di bidang mediasi kultural, manipulasi simbol, dan organisasi massa… orang-orang seperti ini –hendaknya kita sebut sebagai ‘pembangun solidaritas’…]
Beberapa tahun kemudian pertanyaan apakah komunitas akan berbasis kader ataukah berbasis massa tidak hanya ada di tubuh partai, melainkan juga mendapatkan perhatian banyak organisasi. Bersamaan dengan itu, konsep dua tipikal kepemimpinan  solidarity maker dan problem solver kemudian muncul dalam wacana kepemimpinan ideal organisasi kepemudaan. Termasuk di tubuh Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).
Dikotomi konseptual kepemimpinan problem solver (penyelesai masalah) dan solidarity maker (pembangun solidaritas) terdapat pada “Basic Demand Bangsa Indonesia”, yang merupakan salah satu bab dalam doktrin perjuangan HMI –Tafsir Tujuan HMI. Doktrin perjuangan Tafsir Tujuan HMI, yang sebelumnya bernama Gambaran Insan Cita HMI (Penjelasan Tujuan HMI) yang pertama kali dirumuskan pada tahun 1969 PB. (HMI, Hasil-Hasil Kongres IX HMI di Malang 3-10 Mei 1969), merupakan penjelas kualitas “Insan Cita” yang merupakan tujuan HMI.

Dimensi Manusia dan Orientasi Subjek
Berbeda dengan beberapa organisasi lainnya, target pencapaian HMI tidak saja berorientasi pada pencapaian pada sebuah objek, seperti organisasi lain yang terukur dari kesuksesan penerapan syariat, pembentukan negara Islam, sistem khilafah atau sejenisnya. Ketimbang “object oriented”, HMI justeru banyak memfokuskan diri bagi pencapaian yang “subject oriented” yang dalam hal ini berarti manusia. Di samping beberapa pencapaian objektif, HMI berupaya tetap menghidupkan wacana yang berbasis filsafat manusia –khususnya Islam– karena hanya dengan pemahaman tentang manusialah cita kemanusiaan dapat terwujud.
Dalam tradisi Barat, ada tiga kata yang digunakan untuk manusia, yakni man, anthropos, dan homo. Kata man berasal dari bahasa Anglo-Saxon mann, yang arti katanya serupa dengan mens dalam bahasa Latin, sebagai ‘ada yang berpikir’. Anthropos yang semula berarti ‘seseorang yang melihat ke atas’, dan homo dalam bahasa Latin ‘orang yang dilahirkan di atas bumi’(Bagus: 2002, 564). Serupa dengan Barat, Islam juga setidaknya dikenal tiga istilah yang untuk manusia; naas, basyar, dan insan. Naas adalah sisi sosiologis manusia. Basyar adalah sisi fisiologis manusia. Sementara insan adalah dimensi spritual manusia. Istilah terakhir inilah yang kemudian digunakan HMI untuk menyebutkan manusia idealnya.

Fight for dan Prioritas “Problem Solving”
Sejak enam puluh empat tahun berdirinya HMI banyak menghadapi tantangan. Bukan saja karena ia harus menun­jukkan kemampuan untuk mening­katkan perannya. Tetapi pertanyaa mendasar ke arah mana perjuangan digerakkan?
Salah satu peninggalan Nurcholash Madjid yang masih sangat relevan menggambarkan arah perjuangan HMI yakni dikotomi “fight against” dan “fight for” yang diperkenalkannya. Nurcholish seringkali mengemukakan bahwa tantangan sekarang tidak lagi lebih banyak bersifat “fight against” atau “berjuang melawan” seperti masa awal kelahiran Orde Baru; tanta­ngan sekarang lebih banyak menuntut kemam­puan untuk “fight for” atau “berju­ang untuk”, yakni sikap-sikap pro­aktif (positif), bukan reaktif (negatif).
Zaman ini  lebih ba­nyak menuntut kemam­puan berpartisipasi proaktif dan positif. Kemam­puan ini lebih banyak mengarah pada kecakapan “problem solving” daripada solidarity making”. Tekanan pada kemampuan problem solver yang di Indonesia populer sebagai “Hattaisme”, bukan berarti meminggirkan peran solidarity maker “Soekar­noisme”. Perjuangan dengan tekanan pada “problem solving” memang lebih sulit, lebih “dingin”, lebih bersifat “kerja tekun” daripada “kerja berkobar”, dan wajar saja kurang menarik bagi orang banyak.
Sesungguhnya kesan HMI sebagai organisasi yang “melem­pem” sebagian besar adalah karena himpunan ini tidak lagi mungkin bersandar pada model eksistensi dengan pola perjuangan berkobar lewat pidato-pidato panas dan retorika bombastis. Model ini mes­kipun barangkali menarik untuk orang awam tetapi perannya dalam mencari pemecahan masalah ma­syarakat, umat, bangsa, dan negara sangat kecil.
Dari keseluruhan di atas, secara umum fokus masalah adalah pada peran perjuangan organisasi kepemudaan yang mestinya di arahkan pada posisi “problem solving” (penyelesai masalah). Di masa sekarang, dibandingkan dengan skill “solidarity maker (pembangun solidaritas), kecakapan “problem solver” (penyelesai masalah) lebih dibutuhkan. Point inilah yang disuarakan dalam Basic Demand Bangsa Indonesia dalam Tafsir Tujuan HMI sebagaimana pembuka di atas. Problem Solver adalah wujud riil Insan Cita yang sesuai dengan perjuangan periode kini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar