Oleh :
Zezen Zaenal Muttaqien
Dalam buku :
"Membingkai Perkaderan Intelektual; Setengah Abad HMI Cabng Ciputat"
P
|
erjalanan
“pencarian” Tuhan ini dimulai ketika aku dengan tanpa sengaja harus mengisi
materi Nilai Dasar Perjuangan (NDP) di forum perkaderan HMI di pesantren Darul
Mutaqin sekitar 7
tahun silam. Waktu itu seharusnya yang mengisi materi adalah
Kang Ace. Tapi dia batal datang karena satu urusan, kata panitia. Tapi aku
sendiri menduga dia tidak datang karena sengaja. Dia ingin memaksa kader di
bawahnya untuk mulai berani mengisi materi yang konon merupakan materi paling
berat dalam perkaderan di HMI.
Yang menyusun ideologi perkaderan di HMI itu adalah
almarhum Cak Nur sekitar tahun 1960an. Materi itu sendiri sangat luas
cakupannya. Kalau menurutku,
secara umum materi itu bisa dibagi ke dalam dua unsur besar, yakni materi yang
berkaitan dengan kesalehan individu dan kesalehan sosial. Untuk menyalehkan
individu, pertama-tama harus dikuatkan dulu dasar-dasar kepercayaannya. Harus
mengetahui untuk apa dia percaya pada sesuatu; apa yang paling hakiki yang bisa
dijadikan pijakan kepercayaan; dan yang terpenting kader harus tahu apa
implikasi kepercayaan yang dianutnya buat kehidupan di dunia. Dalam bagian
penguatan kesalehan individu ini para kader dituntut untuk
mempertanggungjawabkan iman secara rasional. Iman yang bukan sekedar iman. Setelah itu selesai, kader harus
mengetahui dimensi kesalehan sosial (Tauhid sosial). Hal ini sangat penting
agar kader tidak jadi keder. Ia tidak hanya salat, puasa dan naik haji
tetapi terus korupsi. Shalat
dan ibadahnya harus punya implikasi sosial.
Dari sanalah perkenalan baruku dengan Tuhan dimulai.
Ketika pertama kali aku mengisi materi tersebut, aku sadar, amunisi
pengetahuanku yang dulu didapatkan di pesantren tidak memadai. Karena itu
penelusuran menemukan “Tuhan” dimulai. Dorongan untuk bisa memberikan materi
dengan memuaskan bagi para kader berubah menjadi dorongan untuk membebaskan
diriku sendiri dari kegelisahan. Kegelisahan menemukan wajah Tuhan yang
memuaskan. Namun rupanya itu bukan hal mudah. Kegelisahan itu tetap saja
menghantui. Sampai sekarang. Karena itu gambaran-Nya juga tetap berupa sketsa.
Aku sadar Tuhan mustahil digambarkan. Proses penggambaran
Tuhan sama saja dengan pemberhalaan-Nya. Untuk menggambarkannya, realitas,
apalagi realitas bahasa, tak bisa mewadahinya. Itulah mungkin kenapa
orang-orang Yahudi tidak mau menyebut nama Allah dengan bahasa dan ucapannya.
Mereka, untuk menyebutnya, cukup menyebut “wahai Dia”. Yahweh itu
berasal dari kata-kata ya hua (wahai Dia). Menurut mereka Tuhan
terlalu agung untuk ditangkap dan dikerangkeng oleh bahasa. Itulah pula kenapa,
kalau kita melihat ayat Alquran, gambaran tentang Allah tetap saja sangat
berdimensi manusiawi. Bahasa Arab, karena juga bahasa manusia, tetap saja
menggambarkan Tuhan dengan sangat antroposentrik. Karena itu gambaran-Nya yang
hakiki akan tetap terbenam dalam benak kita masing-masing. Bahkan hening tak
cukup baik untuk menggambarkan sang Khaliq. Karena itu catatan ini sama sekali
tidak berpretensi mendudukan Wujud-nya diantara tanda baca. Catatan ini
hanyalah pemuas dahaga kegelisahan.
Apakah Tuhan bertempat? Itulah pertanyaan yang pertama
kali menghantuiku. Jawabnya: Tuhan di atas. Ketika kita kecil, ketika ditanya
Tuhan di mana, kita akan menunjukan telunjuk ke atas. Dalam benakku saat
itu, Tuhan sekarang sedang duduk dengan
gagah di satu tempat di atas sana, di atas langit ketujuh yang disebut A’rsy.
Dari sanalah Dia
menjalankan roda pemerintahan kehidupan. Tetapi pandangan seperti ini ketika di
pesantren sedikit berubah. Katanya Tuhan juga berada lebih dekat dari urat nadi
kita. Kalau digabung dua pengetahuan itu menjadi begini: Tuhan jauh, di A’rsy,
tetapi juga sekaligus dekat. Ada juga temanku yang mengatakan Tuhan ada di
mana-mana. Pandangan ini terasa lebih janggal. Kalau Tuhan ada di mana-mana
apakah Tuhan berarti banyak karena dia menempati tiap sudut mata angin atau
Tuhan mondar-mandir tiap saat.
Apakah Tuhan bertempat? Pertanyaan tersebut bukan berarti
tanpa dasar. Ayat-ayat Alquran, secara tekstual, menggambarkan Tuhan “menghuni” tempat
tertentu yang disebut A’rsy. Ustad-ustad dan kyai mengajariku bahwa A’rsy
adalah satu tempat yang luasnya lebih besar dari bumi dan langit yang berada di
atas langit ketujuh. Di mana letaknya langit ketujuh? Di atas langit ke enam.
Dan langit-langit itu bersusun-berlapis seperti kue lapis legit—makanan
kesukaanku—dari satu samapi ketujuh. Langit biru yang kita lihat itu adalah sama
al-dunya, atau langit dunia yang merupakan langit pertama. Dulu, menurut
cerita guruku di pesantren, Muhammad mengunjungi semua langit itu ketika Isra
Mi’raj. Ditemani Jibril, dengan mengendarai Burok—binatang yang digambarkan
mirip kuda bersayap dan berkepala putri cantik, satu gambaran yang sebenarnya
lebih dekat dengan penggambaran mitologi Yunani yang disebut Centaurius—berkunjung
menemui nabi-nabi yang telah menunggu di setiap langit. Dalam perjalanan itu
juga nabi melakukan kunjungan ke neraka dan surga. Di neraka nabi menemukan
manusia, yang kebanyakan wanita, yang sedang di siksa. Sejak itu muncul
keyakinan bahwa wanita lebih rentan masuk neraka—aneh! Selepas langit ke tujuh,
Jibril minta maaf tidak bisa meneruskan perjalanan menemui Sang Khaliq di A’rsy.
Nabi bertemu sendiri, bertatap muka dengan Sang Khaliq. Dari hasil
pertemuannya dengan Tuhan itu, nabi mendapatkan oleh-oleh buat manusia berupa
salat 50 kali sehari. Dalam perjalanan pulang nabi bertemu dengan beberapa
orang nabi, Adam, Ibrahim, Musa, Isa dan lain-lain, dan menceritakan perihal
perintah salat itu pada mereka. Para nabi itu heran dan mengusulkan kepada Nabi
Muhammad untuk menghadap lagi pada
Tuhan untuk memohon agar kewajiban shalat dikurangi. Akhirnya Tuhan mengabulkan
untuk mengurangi dari 50 kali menjadi 45 kali. Nabi pulang. Dalam perjalanan
itu dia bertemu lagi dengan nabi yang lain, diceritakan lagi perihal shalat yang 45 kali itu. Nabi yang ditemuinya heran
lagi. Ia kembali memohon agar dikurangi. Tuhan mengabulkan menjadi 40. Terus
peristiwa ini berulang, Nabi bolak-balik ke A’rsy meminta “diskon” shalat. Dan
akhirnya, kata ustadku di pesantren dulu, shalat hanya diwajibkan 5 kali
sehari.
Tuhan juga digambarkan berwajah dan bertangan. Bahkan dia
juga bisa tersenyum. Secara literal ayat-ayat Alquran menggambarkan demikian.
“Tangan Allah di atas tangan-mereka”. “Dan hanya kepunyaan Tuhanlah timur dan
barat, kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah” Bahkan penggambaran
seperti ini terjadi lebih jauh: Tuhan punya anak. Tuhan menjadi Bapak dari
Anaknya yang juga adalah tuhan. Terelapas dari semua argumen filosofis yang
mendasarinya, semua penggambaran itu menunjukan Tuhan yang sangat manusiawi.
Aku sendiri yakin, itu bukan Tuhan, itu hanya sketsa Tuhan.
Dia juga digambarkan sebagai seorang ayah. Sebagaimana ayahku
yang akan senang ketika aku menuruti semua perintahnya dan menjewer telingaku
kalau aku mangkir, begitu pula Tuhan. Tuhan, kerna itu, sering dituruti dan
ditaati atas dasar ketakutan, bukan atas dasar pemahaman atau cinta. Tuhan yang
kita kenal juga adalah Tuhan yang sering menakut-nakuti. Menurut sebagian
temanku, Tuhan sebenarnya tidak butuh dengan semua sujud sembah umatnya. Lalu
kalau dia tidak butuh, kenapa dia mengancam-ancam segala: kalau tidak turut
nanti akan disiksa, dimasukan ke dalam neraka yang didalamnya api
menyala-nyala. Beragam siksaan memananti. Berkaitan dengan siksa neraka ini,
aku selalu diselimuti perasaan takut tapi lucu sekaligus. Ketika aku kecil,
ustadku di pesantren sering menceritakan siksaan sesuai dengan perbutannya
ketika didunia. Katanya, kalau kita membicarakan kejelekan orang, gibah,
nanti lidah kita akan digunting. Setelah digunting, lidah itu akan menyatu
lagi, dan digunting lagi, terus tanpa henti sanapi dosa kita hilang. Ada juga
orang yang di neraka kemaluannya ditusuk besi panas. Besi itu tembus ke
ubun-ubunya. Ia dipanggang karena ketika di dunia sering berzina. Ada pula
manusia yang tubuhnya
dikerubuti
kelajengking, ular dan binatang buas melata lainnya. Juga ada yang tubuhnya
disetrika; meminum air timah; memotong-motong anggota tubuhnya sendiri dan
lain-lain. Aku tidak tahu pasti dari mana guruku ketika aku kecil mendapatkan semua gambaran itu. Di
sampaing dari guruku, gambaran yang lucu dan mengerikan itu juga biasa aku baca
dikomik-komik yang dijual di sekolahan.
Sebaliknya, kalau kita menuruti semua perintah ayah,
dalam kehidupan di dunia, kita biasanya akan diberikan hadiah: buat anak kecil
sepertiku hadiah yang paling dinanti adalah sepeda baru, play station,
atau uang jajan. Tuhan juga nanti akan mengganjar kita dengan surga kalau kita
menurutinya. Surga, juga seperti neraka, selalau digambarkan dengan teramat
antroposentrik. Kita akan masuk ke surga sesuai dengan kelas kita. Para Nabi,
aulia, dan orang-orang yang sangat saleh akan di tempatkan di surga paling
tinggi. Semacam surga VVVIP (verry, verry, verry important person).
Surga berikutnya akan diberikan kepada orang sesuai kelasnya. Surga itu katanya
ada tujuh. Ibarat kendaraan, surga juga mungkin ada kelas ekonomi, bisnis,
eksekutif. Tetapi, kata ustadku, sekalipun di kelas ekonomi yang paling bawah,
kenikmatan surga tetap tiada tara. Kita akan hidup di satu temapat di mana
menghampar rumput hijau yang luas. Bangunan istana berdiri megah. Pepohonan
buah rimbun dan ranum. Disetiap sudut ada telaga yang airnya bening. Juga ada
sungai mengalir, ada yang airnya dari madu, susu dan air jernih. Kita tinggal
pilih, mau berenang di mana, mau minum apa.. Kita makan dan minum di
piring-piring piala yang dilapisi emas permata. Tempat tidur kita terbuat dari
jamrud dan yakut. Dan yang pasti di sana kita akan ditemani sepuluh wanita
super cantik yang akan perawan selamanya. Pekerjaan kita bersenang-senang
selamanya. Apapun keinginan kita akan
terpenuhi. Kawanku bergurau, katanya, berarti kalaupun kita ingin sayur asam,
ikan asin, tempe goreng, dan pete, kita pasti dapat. Ia berkata ia ingin surga
yang bernuansa etnik Sunda, bukan surga yang terlalu Timur Tengah. Aku bilang
kepadanya, surga yang disediakan Tuhan, sebagaimana digambarkan, lebih mirip
dengan tanah Priyangan. Coba anda ke Puncak. Air mengalir, pepohonan rimbun,
buah ranum, tanah diselimuti hijau rumput dan pohon teh. Di Puncak juga ada
istana “mesjid At-Ta’awun”. Gadis-gadisnya juga jelita. Katanya, priyangan
diciptakan ketika Tuhan tersenyum.
Bagiku sekarang, semua penggambran itu, baik tentang
Tuhan atau dunia eskatologis lainnya, terasa sangat aneh. Itu terlalu antroposentrik.
Apakah Tuhan seperti yang digambarkan itu, apakah juga surga dan neraka
demikian adanya. Menurutku semua penggambaran itu sepenuhnya materialistik. Dan
menurutku, pasti yang sesungguhnya tidak demikian. Penyebabnya adalah
keterbatasan bahasa. Tuhan yang “sepenuhnya
lain” itu ketika
ingin digambarkan pada manusia, terpaksa harus menggunakan bahasa manusia, dan
tentu juga akan terperangkapa oleh kategori-kategori manusiawi. Surga dan
neraka, yang tak pernah terbayang oleh pikiran manusia, tak pernah terdengar
ceritanya oleh telinga, tak pernah terlihat oleh mata perumpamaannya, bahkan
takan pernah terbersit dalam hati, harus
digambarkan menurut kategori manusiawi, lebih khusus lagi, manusia Arab.
Gambaran surga seperti itu boleh jadi bagi orang Arab saat itu, yang hidup di tengah
padang pasir yang panas dan sumber air terbatas, memang sesuatu yang ajaib. Dan
gambaran itu pasti akan memberikan, secara psikologis, motifasi untuk tunduk
pada Tuhan. Tetapi apakah gambaran tersebut akan efektif untuk orang Priyangan?
Bisa jadi orang Priyangan berfikir, kenapa harus jauh-jauh ke surga, kalau
semua yang digambarkan itu ada di hadapannya?
Usaha
manusia untuk menggambarkan sosok Tuhan itu tidak pernah berhenti. Setiap fase
sejarah manusia, bahkan setiap orang, punya gambarannya sendiri tentang Tuhan.
Itulah kenapa Karen Amstrong membuat buku The History of God.
Sejarah Tuhan. Bagaimana bisa Tuhan punya sejarah? Bukankah Dia di luar ruang
dan waktu dan mengatasi dimensi hostoris? Apakah buku itu bercerita tentang
Tuhan sejak sebelum jadi Tuhan, katakanlah karir Tuhan sebelum akhirnya
menempati posisi puncak sebagai Tuhan: dari pembantu tuhan menjadi wakil tuhan
sebelum lantas menjadi Tuhan. Mirip seperti Gubernur yang berkarir dari jadi
Camat sampai akhirnya menjadi Gubernur? Bukan. Amstrong hanya ingin bilang
bahwa karena Tuhan pada ujungnya hanya diketahui dan direfleksikan oleh
pengalaman manusia yang beragam, sosok Tuhanpun berubah-ubah sesuai dengan
perkembangan sejarah manusia. Ada masa di mana Tuhan digambarkan seperti sosok
ibu yang sangat baik hati dan tidak pernah pilih kasih pada manusia, lembut dan
hangat. Itu terjadi ketika model masyarakat masih matrilineal. Dalam masyarakat
patriarki di mana peran laki-laki sangat dominan, Tuhan digembarkan seperti
sesosok ayah yang berwibawa, berjarak, tidak hangat, cenderung galak dan
mungkin sedikit pemarah. Mirip seperti sosok raja.
Buat
orang Kristiani sosok Tuhan mesti berbeda dengan penggambaran Tuhan orang
Yahudi, Budha dan Islam. Meskipun semuanya menyembah Tuhan, sosoknya tercermin
beda-beda. Mirip orang buta yang diminta untuk memegang gajah dan lantas
diminta menggambarkan sosok gajah. Ada yang menggambarkan gajah seperti kipas
bambu yang tipis lebar, ada yang menyebut Tuhan seperti tiang, ada yang
membayangkan Tuhan seperti terompet. Semua tergantung pada bagian tubuh gajah
mana yang disentuhnya.Sialnya perbedaan inilah yang selama beribu-ribu tahun
selalu saja menjadi sumber petaka. Si peyakin Tuhan kipas dan tiang tak henti
saling membunuh atas nama Tuhan suci yang diyakininya. Dalam bahasa Amstrong
dalam bukunya yang lain, mereka itu Berperang Demi Tuhan. Sesungguhnya bukan
demi Tuhan, tapi demi sefotong gambaran tentang Tuhan
Jadi menurutku pasti Tuhan, surga dan neraka (dan yang
aspek eskatologis lain tentunya)
tidaklah demikian. Semua itu terlalu lucu untuk dibayangkan sekarang. Mau tak
mau aku harus menelisik sebuah gambaran yang memauskan rasioku dan memantapkan
imanku.
Kant
adalah filsuf yang pertama-tama menjadi sandaranku. Penjelasannya sedikit
mengobati kegelisahanku. Sebenarnya ia tidak memberikan solusi apapun tentang
gambaran Tuhan. Yang dia lakukan adalah penghindaran yang cerdas untuk tidak
menggambarkan sama sekali Tuhan. Kant menyadarkan aku bahwa secara filosofis,
penggambaran Tuhan oleh rasio manusia adalah sebuah ikhtiar sia-sia belaka.
Tuhan adalah zat yang tidak mungkin dijangkau rasio. Karena itu tida perlu
dipikirkan. Menurut Kant, Tuhan adalah sebuah ide bawaan yang inhern dalam diri
manusia yang fungsinya lebih sebagai tepat pembuangan atau muara semua tindakan
etis. Jadi Tuhan secara praktis tetap berguna agar manusia tidak merasa sia-sia
dalam melakukan setiap tindakan etik.
Dalam
khasanah Islam, kita mengenal al-Gazali sebagai penyelamat Tuhan. Gazali yang
pernah tergila-gila dengan filsafat lantas merasa ragu dengan kemapuan rasio
untuk mengetahui dan menggambarkan Tuhan. Berbeda dengan Kant, Gazali lantas
beralih dari filsafat ke sufisme. Atau mungkin bukan beralih, tapi naik pada
tingkatan yang lebih tinggi dengan bertumpu pada sufisme. Kita mengatakan
beralih karena kita menggunakan frame epistemologi Barat yang demarkasionis,
memisah-misah dengan tegas mana lapangan ‘akal’ dan mana lapangan ‘agama’.
Dalam epistemologi Islam, qolb, hati, atau ‘intuisi’ adalah bagian dari ‘akal’
atau nalar. Nalar itu secara holistik terdiri dari akal indrawi, rasional dan
intuitif (irfan). Untuk mengetahui dimensi transenden, mungkin akal indarawi
dan rasio tidak cukup untuk mengetahuinya. Butuh alat lain yang juga dimiliki
manusia untuk mengetahuinya, yakni irfan atau hati atau intuisi.
Jika
dalam nalar indrawi dan rasional objek pengetahuan yang ingin diketahui akal
kita berada di luar subjek, berjarak, maka dalam model nalar irfani objek yang
ingin diketahui ‘present’ atau hadir menyatu dengan subjek, tidak berjarak dan
langsung ‘dialami’ oleh subjek. Mengetahuinya adalah mengalaminya. Menarik kita
memakai cotoh waktu sebagaimana di ungkap Henry Bergson, sang fisluf Perancis.
Waktu bisa dibagi ke dalam waktu objektif dan waktu subjektif. Waktu objektif itu apa? Sederhananya, waktu
objektif ini digambarkan oleh jam: sehari 24 jam, satu jam 60 menit, seminggu 7
hari sebulan 30 hari setahun 365 hari. Aliran waktu yang menyatu dengan
kesadaran kita itu difotong-fotong agar bisa dikendalikan oleh akal rasional
kita. Karena itu, secara rasional, waktu yang dihabiskan oleh narapidana
terorisme seminggu di Guantanamo dengan pasangan yang sedang berbulan madu di
Bunaken seminggu akan sama saja: 7 hari dan sehari 24 jam. Namun waktu yang
‘dialami’ oleh mereka hampir pasti beda. Bagi si tawanan, seminggu di
Guantanamo mungkin ibarat sepuluh tahun, karena dia harus menahan siksaaan dan
penghinaan tiap detik. Sementara yang sedang berbulan madu merasa seminggu
seperti sehari saja. Kenapa demikian? Jawabannya karena waktu objektif yang
dipahami rasio berbeda dengan waktu subjektif yang langsung dialami oleh
subjek. Pada yang kedua, waktu itu hadir, menyatu dengan kesadaran subjek,
langsung dialami.
Tidak
perlu mengetahui pedas untuk merasakan apa itu pedas. Tidak perlu mengetahui apa
itu definisi cinta untuk merasakan berdiri dalam cinta (bahasa awamnya jatuh
cinta—sebuah peristiwa yang seolah-olah tidak diusahakan kehadirannya). Mungkin
juga tidak perlu mengetahui apa dan siapa tuhan untuk merasakan kehadiran-Nya.
Secara instingtual ketika hidup manusia akan membutuhkan sosok yang lebih dari
dirinya. Jadi sekarang: rasakan dan alami saja kehadiran-Nya.
Aku
kini mengalami Tuhan seperti seorang kawan dan sahabat. Kawan yang selalu baik
karena selalu setia mendengar keluh kesah kita, kesedihan kita. Kawan yang
selalu memberikan harapan dan masa depan; kawan yang selalu mendorong kita dan
mungkin membantu kita. Kawan yang juga sering maklum dengan kondisi kita.
Bagiku Tuhan bukan lagi raja galak yang selalu menghukum atas kesalahan kita;
yang baik hanya jika kita berbuat baik kepada-Nya; yang akan marah jika kita
tidak turut padanya. Bagiku Tuhan adalah ruang negosiasi. Aku merasa nyaman
untuk menjama shalat hanya karena terjebak macet dari Blok M ke Ciputat karena
aku yakin Sabahatku itu maklum kondisiku. Aku nyaman bersuci dengan tisu di
hotel tanpa harus kelimpungan mencari air karena aku yakin Sahabatku itu maklum
dengan kondisiku. Aku menjadi lebih nyaman dan santai beragama karena Tuhan
bagiku dialami sebagai Sahabat. Tentu saja, sebagaimana kita pada sahabat kita,
kita harus terus menjaga sikap prilaku kita agar sahabat tidak tersakiti
hatinya atau tersinggung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar