Sabtu, 12 Mei 2012

Sketsa Tuhan Anak-Anak Himpunan


Oleh :
Zezen Zaenal Muttaqien
 
Dalam buku :
"Membingkai Perkaderan Intelektual; Setengah Abad HMI Cabng Ciputat"
 
 
P
erjalanan “pencarian” Tuhan ini dimulai ketika aku dengan tanpa sengaja harus mengisi materi Nilai Dasar Perjuangan (NDP) di forum perkaderan HMI di pesantren Darul Mutaqin sekitar 7 tahun silam. Waktu itu seharusnya yang mengisi materi adalah Kang Ace. Tapi dia batal datang karena satu urusan, kata panitia. Tapi aku sendiri menduga dia tidak datang karena sengaja. Dia ingin memaksa kader di bawahnya untuk mulai berani mengisi materi yang konon merupakan materi paling berat dalam perkaderan di HMI.
Yang menyusun ideologi perkaderan di HMI itu adalah almarhum Cak Nur sekitar tahun 1960an. Materi itu sendiri sangat luas cakupannya. Kalau menurutku, secara umum materi itu bisa dibagi ke dalam dua unsur besar, yakni materi yang berkaitan dengan kesalehan individu dan kesalehan sosial. Untuk menyalehkan individu, pertama-tama harus dikuatkan dulu dasar-dasar kepercayaannya. Harus mengetahui untuk apa dia percaya pada sesuatu; apa yang paling hakiki yang bisa dijadikan pijakan kepercayaan; dan yang terpenting kader harus tahu apa implikasi kepercayaan yang dianutnya buat kehidupan di dunia. Dalam bagian penguatan kesalehan individu ini para kader dituntut untuk mempertanggungjawabkan iman secara rasional. Iman yang bukan sekedar iman. Setelah itu selesai, kader harus mengetahui dimensi kesalehan sosial (Tauhid sosial). Hal ini sangat penting agar kader tidak jadi keder. Ia tidak hanya salat, puasa dan naik haji tetapi terus korupsi. Shalat dan ibadahnya harus punya implikasi sosial.
Dari sanalah perkenalan baruku dengan Tuhan dimulai. Ketika pertama kali aku mengisi materi tersebut, aku sadar, amunisi pengetahuanku yang dulu didapatkan di pesantren tidak memadai. Karena itu penelusuran menemukan “Tuhan” dimulai. Dorongan untuk bisa memberikan materi dengan memuaskan bagi para kader berubah menjadi dorongan untuk membebaskan diriku sendiri dari kegelisahan. Kegelisahan menemukan wajah Tuhan yang memuaskan. Namun rupanya itu bukan hal mudah. Kegelisahan itu tetap saja menghantui. Sampai sekarang. Karena itu gambaran-Nya juga tetap berupa sketsa.
Aku sadar Tuhan mustahil digambarkan. Proses penggambaran Tuhan sama saja dengan pemberhalaan-Nya. Untuk menggambarkannya, realitas, apalagi realitas bahasa, tak bisa mewadahinya. Itulah mungkin kenapa orang-orang Yahudi tidak mau menyebut nama Allah dengan bahasa dan ucapannya. Mereka, untuk menyebutnya, cukup menyebut “wahai Dia”. Yahweh itu berasal dari kata-kata ya hua (wahai Dia). Menurut mereka Tuhan terlalu agung untuk ditangkap dan dikerangkeng oleh bahasa. Itulah pula kenapa, kalau kita melihat ayat Alquran, gambaran tentang Allah tetap saja sangat berdimensi manusiawi. Bahasa Arab, karena juga bahasa manusia, tetap saja menggambarkan Tuhan dengan sangat antroposentrik. Karena itu gambaran-Nya yang hakiki akan tetap terbenam dalam benak kita masing-masing. Bahkan hening tak cukup baik untuk menggambarkan sang Khaliq. Karena itu catatan ini sama sekali tidak berpretensi mendudukan Wujud-nya diantara tanda baca. Catatan ini hanyalah pemuas dahaga kegelisahan.
Apakah Tuhan bertempat? Itulah pertanyaan yang pertama kali menghantuiku. Jawabnya: Tuhan di atas. Ketika kita kecil, ketika ditanya Tuhan di mana, kita akan menunjukan telunjuk ke atas. Dalam benakku saat itu,  Tuhan sekarang sedang duduk dengan gagah di satu tempat di atas sana, di atas langit ketujuh yang disebut A’rsy. Dari sanalah Dia menjalankan roda pemerintahan kehidupan. Tetapi pandangan seperti ini ketika di pesantren sedikit berubah. Katanya Tuhan juga berada lebih dekat dari urat nadi kita. Kalau digabung dua pengetahuan itu menjadi begini: Tuhan jauh, di A’rsy, tetapi juga sekaligus dekat. Ada juga temanku yang mengatakan Tuhan ada di mana-mana. Pandangan ini terasa lebih janggal. Kalau Tuhan ada di mana-mana apakah Tuhan berarti banyak karena dia menempati tiap sudut mata angin atau Tuhan mondar-mandir tiap saat.
Apakah Tuhan bertempat? Pertanyaan tersebut bukan berarti tanpa dasar. Ayat-ayat Alquran, secara tekstual,  menggambarkan Tuhan “menghuni” tempat tertentu yang disebut A’rsy. Ustad-ustad dan kyai mengajariku bahwa A’rsy adalah satu tempat yang luasnya lebih besar dari bumi dan langit yang berada di atas langit ketujuh. Di mana letaknya langit ketujuh? Di atas langit ke enam. Dan langit-langit itu bersusun-berlapis seperti kue lapis legit—makanan kesukaanku—dari satu samapi ketujuh. Langit biru yang kita lihat itu adalah sama al-dunya, atau langit dunia yang merupakan langit pertama. Dulu, menurut cerita guruku di pesantren, Muhammad mengunjungi semua langit itu ketika Isra Mi’raj. Ditemani Jibril, dengan mengendarai Burok—binatang yang digambarkan mirip kuda bersayap dan berkepala putri cantik, satu gambaran yang sebenarnya lebih dekat dengan penggambaran mitologi Yunani yang disebut Centaurius—berkunjung menemui nabi-nabi yang telah menunggu di setiap langit. Dalam perjalanan itu juga nabi melakukan kunjungan ke neraka dan surga. Di neraka nabi menemukan manusia, yang kebanyakan wanita, yang sedang di siksa. Sejak itu muncul keyakinan bahwa wanita lebih rentan masuk neraka—aneh! Selepas langit ke tujuh, Jibril minta maaf tidak bisa meneruskan perjalanan menemui Sang Khaliq di A’rsy. Nabi bertemu sendiri, bertatap muka dengan Sang Khaliq. Dari hasil pertemuannya dengan Tuhan itu, nabi mendapatkan oleh-oleh buat manusia berupa salat 50 kali sehari. Dalam perjalanan pulang nabi bertemu dengan beberapa orang nabi, Adam, Ibrahim, Musa, Isa dan lain-lain, dan menceritakan perihal perintah salat itu pada mereka. Para nabi itu heran dan mengusulkan kepada Nabi Muhammad untuk menghadap lagi pada Tuhan untuk memohon agar kewajiban shalat dikurangi. Akhirnya Tuhan mengabulkan untuk mengurangi dari 50 kali menjadi 45 kali. Nabi pulang. Dalam perjalanan itu dia bertemu lagi dengan nabi yang lain, diceritakan lagi perihal shalat  yang 45 kali itu. Nabi yang ditemuinya heran lagi. Ia kembali memohon agar dikurangi. Tuhan mengabulkan menjadi 40. Terus peristiwa ini berulang, Nabi bolak-balik ke A’rsy meminta “diskon” shalat. Dan akhirnya, kata ustadku di pesantren dulu, shalat hanya diwajibkan 5 kali sehari.   
Tuhan juga digambarkan berwajah dan bertangan. Bahkan dia juga bisa tersenyum. Secara literal ayat-ayat Alquran menggambarkan demikian. “Tangan Allah di atas tangan-mereka”. “Dan hanya kepunyaan Tuhanlah timur dan barat, kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah” Bahkan penggambaran seperti ini terjadi lebih jauh: Tuhan punya anak. Tuhan menjadi Bapak dari Anaknya yang juga adalah tuhan. Terelapas dari semua argumen filosofis yang mendasarinya, semua penggambaran itu menunjukan Tuhan yang sangat manusiawi. Aku sendiri yakin, itu bukan Tuhan, itu hanya sketsa Tuhan.
Dia juga digambarkan sebagai seorang ayah. Sebagaimana ayahku yang akan senang ketika aku menuruti semua perintahnya dan menjewer telingaku kalau aku mangkir, begitu pula Tuhan. Tuhan, kerna itu, sering dituruti dan ditaati atas dasar ketakutan, bukan atas dasar pemahaman atau cinta. Tuhan yang kita kenal juga adalah Tuhan yang sering menakut-nakuti. Menurut sebagian temanku, Tuhan sebenarnya tidak butuh dengan semua sujud sembah umatnya. Lalu kalau dia tidak butuh, kenapa dia mengancam-ancam segala: kalau tidak turut nanti akan disiksa, dimasukan ke dalam neraka yang didalamnya api menyala-nyala. Beragam siksaan memananti. Berkaitan dengan siksa neraka ini, aku selalu diselimuti perasaan takut tapi lucu sekaligus. Ketika aku kecil, ustadku di pesantren sering menceritakan siksaan sesuai dengan perbutannya ketika didunia. Katanya, kalau kita membicarakan kejelekan orang, gibah, nanti lidah kita akan digunting. Setelah digunting, lidah itu akan menyatu lagi, dan digunting lagi, terus tanpa henti sanapi dosa kita hilang. Ada juga orang yang di neraka kemaluannya ditusuk besi panas. Besi itu tembus ke ubun-ubunya. Ia dipanggang karena ketika di dunia sering berzina. Ada pula manusia yang tubuhnya dikerubuti kelajengking, ular dan binatang buas melata lainnya. Juga ada yang tubuhnya disetrika; meminum air timah; memotong-motong anggota tubuhnya sendiri dan lain-lain. Aku tidak tahu pasti dari mana guruku ketika aku kecil mendapatkan semua gambaran itu. Di sampaing dari guruku, gambaran yang lucu dan mengerikan itu juga biasa aku baca dikomik-komik yang dijual di sekolahan.
Sebaliknya, kalau kita menuruti semua perintah ayah, dalam kehidupan di dunia, kita biasanya akan diberikan hadiah: buat anak kecil sepertiku hadiah yang paling dinanti adalah sepeda baru, play station, atau uang jajan. Tuhan juga nanti akan mengganjar kita dengan surga kalau kita menurutinya. Surga, juga seperti neraka, selalau digambarkan dengan teramat antroposentrik. Kita akan masuk ke surga sesuai dengan kelas kita. Para Nabi, aulia, dan orang-orang yang sangat saleh akan di tempatkan di surga paling tinggi. Semacam surga VVVIP (verry, verry, verry important person). Surga berikutnya akan diberikan kepada orang sesuai kelasnya. Surga itu katanya ada tujuh. Ibarat kendaraan, surga juga mungkin ada kelas ekonomi, bisnis, eksekutif. Tetapi, kata ustadku, sekalipun di kelas ekonomi yang paling bawah, kenikmatan surga tetap tiada tara. Kita akan hidup di satu temapat di mana menghampar rumput hijau yang luas. Bangunan istana berdiri megah. Pepohonan buah rimbun dan ranum. Disetiap sudut ada telaga yang airnya bening. Juga ada sungai mengalir, ada yang airnya dari madu, susu dan air jernih. Kita tinggal pilih, mau berenang di mana, mau minum apa.. Kita makan dan minum di piring-piring piala yang dilapisi emas permata. Tempat tidur kita terbuat dari jamrud dan yakut. Dan yang pasti di sana kita akan ditemani sepuluh wanita super cantik yang akan perawan selamanya. Pekerjaan kita bersenang-senang selamanya.  Apapun keinginan kita akan terpenuhi. Kawanku bergurau, katanya, berarti kalaupun kita ingin sayur asam, ikan asin, tempe goreng, dan pete, kita pasti dapat. Ia berkata ia ingin surga yang bernuansa etnik Sunda, bukan surga yang terlalu Timur Tengah. Aku bilang kepadanya, surga yang disediakan Tuhan, sebagaimana digambarkan, lebih mirip dengan tanah Priyangan. Coba anda ke Puncak. Air mengalir, pepohonan rimbun, buah ranum, tanah diselimuti hijau rumput dan pohon teh. Di Puncak juga ada istana “mesjid At-Ta’awun”. Gadis-gadisnya juga jelita. Katanya, priyangan diciptakan ketika Tuhan tersenyum.
Bagiku sekarang, semua penggambran itu, baik tentang Tuhan atau dunia eskatologis lainnya, terasa sangat aneh. Itu terlalu antroposentrik. Apakah Tuhan seperti yang digambarkan itu, apakah juga surga dan neraka demikian adanya. Menurutku semua penggambaran itu sepenuhnya materialistik. Dan menurutku, pasti yang sesungguhnya tidak demikian. Penyebabnya adalah keterbatasan bahasa. Tuhan yang sepenuhnya lain itu ketika ingin digambarkan pada manusia, terpaksa harus menggunakan bahasa manusia, dan tentu juga akan terperangkapa oleh kategori-kategori manusiawi. Surga dan neraka, yang tak pernah terbayang oleh pikiran manusia, tak pernah terdengar ceritanya oleh telinga, tak pernah terlihat oleh mata perumpamaannya, bahkan takan pernah terbersit dalam hati,  harus digambarkan menurut kategori manusiawi, lebih khusus lagi, manusia Arab. Gambaran surga seperti itu boleh jadi bagi orang Arab saat itu, yang hidup di tengah padang pasir yang panas dan sumber air terbatas, memang sesuatu yang ajaib. Dan gambaran itu pasti akan memberikan, secara psikologis, motifasi untuk tunduk pada Tuhan. Tetapi apakah gambaran tersebut akan efektif untuk orang Priyangan? Bisa jadi orang Priyangan berfikir, kenapa harus jauh-jauh ke surga, kalau semua yang digambarkan itu ada di hadapannya?
Usaha manusia untuk menggambarkan sosok Tuhan itu tidak pernah berhenti. Setiap fase sejarah manusia, bahkan setiap orang, punya gambarannya sendiri tentang Tuhan. Itulah kenapa Karen Amstrong membuat buku The History of God. Sejarah Tuhan. Bagaimana bisa Tuhan punya sejarah? Bukankah Dia di luar ruang dan waktu dan mengatasi dimensi hostoris? Apakah buku itu bercerita tentang Tuhan sejak sebelum jadi Tuhan, katakanlah karir Tuhan sebelum akhirnya menempati posisi puncak sebagai Tuhan: dari pembantu tuhan menjadi wakil tuhan sebelum lantas menjadi Tuhan. Mirip seperti Gubernur yang berkarir dari jadi Camat sampai akhirnya menjadi Gubernur? Bukan. Amstrong hanya ingin bilang bahwa karena Tuhan pada ujungnya hanya diketahui dan direfleksikan oleh pengalaman manusia yang beragam, sosok Tuhanpun berubah-ubah sesuai dengan perkembangan sejarah manusia. Ada masa di mana Tuhan digambarkan seperti sosok ibu yang sangat baik hati dan tidak pernah pilih kasih pada manusia, lembut dan hangat. Itu terjadi ketika model masyarakat masih matrilineal. Dalam masyarakat patriarki di mana peran laki-laki sangat dominan, Tuhan digembarkan seperti sesosok ayah yang berwibawa, berjarak, tidak hangat, cenderung galak dan mungkin sedikit pemarah. Mirip seperti sosok raja.
Buat orang Kristiani sosok Tuhan mesti berbeda dengan penggambaran Tuhan orang Yahudi, Budha dan Islam. Meskipun semuanya menyembah Tuhan, sosoknya tercermin beda-beda. Mirip orang buta yang diminta untuk memegang gajah dan lantas diminta menggambarkan sosok gajah. Ada yang menggambarkan gajah seperti kipas bambu yang tipis lebar, ada yang menyebut Tuhan seperti tiang, ada yang membayangkan Tuhan seperti terompet. Semua tergantung pada bagian tubuh gajah mana yang disentuhnya.Sialnya perbedaan inilah yang selama beribu-ribu tahun selalu saja menjadi sumber petaka. Si peyakin Tuhan kipas dan tiang tak henti saling membunuh atas nama Tuhan suci yang diyakininya. Dalam bahasa Amstrong dalam bukunya yang lain, mereka itu Berperang Demi Tuhan. Sesungguhnya bukan demi Tuhan, tapi demi sefotong gambaran tentang Tuhan
Jadi menurutku pasti Tuhan, surga dan neraka (dan yang aspek eskatologis lain tentunya) tidaklah demikian. Semua itu terlalu lucu untuk dibayangkan sekarang. Mau tak mau aku harus menelisik sebuah gambaran yang memauskan rasioku dan memantapkan imanku.  
Kant adalah filsuf yang pertama-tama menjadi sandaranku. Penjelasannya sedikit mengobati kegelisahanku. Sebenarnya ia tidak memberikan solusi apapun tentang gambaran Tuhan. Yang dia lakukan adalah penghindaran yang cerdas untuk tidak menggambarkan sama sekali Tuhan. Kant menyadarkan aku bahwa secara filosofis, penggambaran Tuhan oleh rasio manusia adalah sebuah ikhtiar sia-sia belaka. Tuhan adalah zat yang tidak mungkin dijangkau rasio. Karena itu tida perlu dipikirkan. Menurut Kant, Tuhan adalah sebuah ide bawaan yang inhern dalam diri manusia yang fungsinya lebih sebagai tepat pembuangan atau muara semua tindakan etis. Jadi Tuhan secara praktis tetap berguna agar manusia tidak merasa sia-sia dalam melakukan setiap tindakan etik.
Dalam khasanah Islam, kita mengenal al-Gazali sebagai penyelamat Tuhan. Gazali yang pernah tergila-gila dengan filsafat lantas merasa ragu dengan kemapuan rasio untuk mengetahui dan menggambarkan Tuhan. Berbeda dengan Kant, Gazali lantas beralih dari filsafat ke sufisme. Atau mungkin bukan beralih, tapi naik pada tingkatan yang lebih tinggi dengan bertumpu pada sufisme. Kita mengatakan beralih karena kita menggunakan frame epistemologi Barat yang demarkasionis, memisah-misah dengan tegas mana lapangan ‘akal’ dan mana lapangan ‘agama’. Dalam epistemologi Islam, qolb, hati, atau ‘intuisi’ adalah bagian dari ‘akal’ atau nalar. Nalar itu secara holistik terdiri dari akal indrawi, rasional dan intuitif (irfan). Untuk mengetahui dimensi transenden, mungkin akal indarawi dan rasio tidak cukup untuk mengetahuinya. Butuh alat lain yang juga dimiliki manusia untuk mengetahuinya, yakni irfan atau hati atau intuisi.
Jika dalam nalar indrawi dan rasional objek pengetahuan yang ingin diketahui akal kita berada di luar subjek, berjarak, maka dalam model nalar irfani objek yang ingin diketahui ‘present’ atau hadir menyatu dengan subjek, tidak berjarak dan langsung ‘dialami’ oleh subjek. Mengetahuinya adalah mengalaminya. Menarik kita memakai cotoh waktu sebagaimana di ungkap Henry Bergson, sang fisluf Perancis. Waktu bisa dibagi ke dalam waktu objektif dan waktu subjektif.  Waktu objektif itu apa? Sederhananya, waktu objektif ini digambarkan oleh jam: sehari 24 jam, satu jam 60 menit, seminggu 7 hari sebulan 30 hari setahun 365 hari. Aliran waktu yang menyatu dengan kesadaran kita itu difotong-fotong agar bisa dikendalikan oleh akal rasional kita. Karena itu, secara rasional, waktu yang dihabiskan oleh narapidana terorisme seminggu di Guantanamo dengan pasangan yang sedang berbulan madu di Bunaken seminggu akan sama saja: 7 hari dan sehari 24 jam. Namun waktu yang ‘dialami’ oleh mereka hampir pasti beda. Bagi si tawanan, seminggu di Guantanamo mungkin ibarat sepuluh tahun, karena dia harus menahan siksaaan dan penghinaan tiap detik. Sementara yang sedang berbulan madu merasa seminggu seperti sehari saja. Kenapa demikian? Jawabannya karena waktu objektif yang dipahami rasio berbeda dengan waktu subjektif yang langsung dialami oleh subjek. Pada yang kedua, waktu itu hadir, menyatu dengan kesadaran subjek, langsung dialami.
Tidak perlu mengetahui pedas untuk merasakan apa itu pedas. Tidak perlu mengetahui apa itu definisi cinta untuk merasakan berdiri dalam cinta (bahasa awamnya jatuh cinta—sebuah peristiwa yang seolah-olah tidak diusahakan kehadirannya). Mungkin juga tidak perlu mengetahui apa dan siapa tuhan untuk merasakan kehadiran-Nya. Secara instingtual ketika hidup manusia akan membutuhkan sosok yang lebih dari dirinya. Jadi sekarang: rasakan dan alami saja kehadiran-Nya. 
Aku kini mengalami Tuhan seperti seorang kawan dan sahabat. Kawan yang selalu baik karena selalu setia mendengar keluh kesah kita, kesedihan kita. Kawan yang selalu memberikan harapan dan masa depan; kawan yang selalu mendorong kita dan mungkin membantu kita. Kawan yang juga sering maklum dengan kondisi kita. Bagiku Tuhan bukan lagi raja galak yang selalu menghukum atas kesalahan kita; yang baik hanya jika kita berbuat baik kepada-Nya; yang akan marah jika kita tidak turut padanya. Bagiku Tuhan adalah ruang negosiasi. Aku merasa nyaman untuk menjama shalat hanya karena terjebak macet dari Blok M ke Ciputat karena aku yakin Sabahatku itu maklum kondisiku. Aku nyaman bersuci dengan tisu di hotel tanpa harus kelimpungan mencari air karena aku yakin Sahabatku itu maklum dengan kondisiku. Aku menjadi lebih nyaman dan santai beragama karena Tuhan bagiku dialami sebagai Sahabat. Tentu saja, sebagaimana kita pada sahabat kita, kita harus terus menjaga sikap prilaku kita agar sahabat tidak tersakiti hatinya atau tersinggung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar