BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Kemiskinan
dan pengangguran masih menjadi permasalahan besar bagi bangsa Indonesia. Bahkan
sejak krisis ekonomi dan era reformasi, kemiskinan dan pengangguran sudah
berubah wujud menjadi lebih sistemik. Jumlah penduduk miskin di Indonesia masih
tinggi bila diukur menurut standar Badan Pusat Statistik ataupun standar
internasional seperti World Bank. Kondisi kemiskinan serta pengangguran, bahkan
diperparah dengan terus melambungnya harga bahan pokok serta biaya ekonomi
lainnya.[1]
Padahal Indonesia mempunyai kelimpahan dan keunggulan sumber daya alam, sumber
daya manusia, dan sumber daya kapital, namun itu semua hanya membuat Indonesia
mancapai produk domestik brotu per kapita di atas US$2 ribu atau sekitar
US$2.181 pada tahun 2008. Dan sekitar US$2.499,5 pada tahun 2009. Sementara
negara-negara seperti Thailand, Brasil dan Mexico telah melewati angka US$2
ribu pada tahun 1990-an.[2]
Kemiskinan bangsa kita memang sangat khas dan sulit diatasi
karena kemiskinan struktural tersebut berjumlah sangat besar dan tersebar di
wilayah yang sangat luas. Pada tahun 2006, kemiskinan meningkat menjadi 39,05
juta jiwa atau 17.75% dibanding tahun 2005 sebesar 35,10 juta jiwa atau 15.97%.[3]
Kemiskinan tersebut menyebabkan daya saing sebagian masyarakat kita sangat
rendah. Daya saing yang sangat rendah tersebut memperburuk kondisi kemiskinan.
Menurut laporan World Economic Forum, daya saing negara kita berada pada urutan
ke-50 dari 125 negara yang disurvei. Sementara Singapura masuk 10 besar.[4]
Kesejahteraan rakyat baik dari
sisi pendapatan, lapangan pekerjaan, tingkat upah minimum dan akses terhadap
sarana dasar sehari-hari masih jauh dari yang diharapkan. Hak-hak dasar baik sosial
maupun ekonomi masih banyak yang belum terpenuhi.
Petani yang merupakan proporsi
terbesar penduduk Indonesia, terjebak pada kondisi pemilikan dan pengusahaan
lahan yang sempit[5].
Alhasil, kesempatan mereka untuk meningkatkan kesejahteraan melalui budidaya di
lahan tersebut menjadi tipis. Ujung-ujungnya, mereka terjebak pada kemiskinan
struktural. Nilai tukar petani terhadap barang atau komoditas lainnya sangat
rendah. Sehingga, petani tidak mampu membeli kebutuhannya untuyk meningkatkan
kesejahteraan hidupnya. Untuk itu perlu diperlukan strategi dan kebijakan yang
mampu secara riil dan efektif mengangkat petani mancapai kesejahteraan yang
relatif tinggi dan memberdayakan mereka dalam proses pembangunan nasional.
Nasib yang hampir sama juga
dialami oleh para nelayan nasional ketika mereka juga sebagian besar terjepit
dan terhimpit dalam lingkaran kemiskinan yang tak berujung. Kondisi ini
terutama disebabkan oleh rendahnya akses terhadap permodalan, penggunaan
teknologi penangkapan ikan yang masih tradisional. Belum lagi adanya tekanan
serta persaingan langsung dengan pengusaha perikanan, baik pengusaha domestik
maupun asing yang umumnya tergolong besar dan bermodal kuat.
Sebagian besar penduduk Indonesia
yang termasuk dalam kelompok termajinalkan juga menghadapi permasalahan
kesejahteraan yang rendah. Mereka adalah pegawai honorer, guru bantu dan
honorer, para buruh pabrik, para pemulung yang pekerjaan sehari-hari masih
sulit untuk mendapatkan tingkat upah yang layak. Bahkan, hanya sekadar untuk
mencukupi kebutuhan keluarga sehari-hari. Penduduk termajinalkan ini
membutuhkan lapangan pekerjaan, sumber pandapatan yang layak untuk dapat
meningkatkan harkat, martabat mereka, serta mendapatkan perlindungan kepastian
hukum dalam berusaha.
Selanjutnya, untuk kelompok
masyarakat miskin dan tidak mampu serta penyandung cacat, anak terlantar dan
usia lanjut, sistem sosial budaya nasional belum memberikan dukungan dan
bantuan konstruktif yang memadai untuk mereka. Sebagian besarnya masih
merupakan bantuan yang bersifat sementara dan merupakan sumbangan semata.
Kebijakan penanganan masyarakat kelompok ini yang dilakukan pemerintah kurang
mendidik dan justru menciptakan ketergantungan serta tidak memecahkan
permasalahan mendasarnya. Kebijakan pembagian bantuan langsung tunai (BLT)
misalnya, sebagai kompensasi kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), lebih
cenderung bersifat amal. Cara ini tidak mendidik masyarakat miskin, bahkan
menciptakan ketergantungan untuk selalu meminta belas kasih bantuan pemerintah.
Pola penanganan dan kebijakan penanggulangan kesejahteraan rakyat untuk
kelompok masyarakat ini seharusnya diarahkan untuk kegiatan atau usaha
penciptaan lapangan kerja. Harus dicarikan usaha produktif yang mampu
memberdayakan masyarakat dalam jangka pendek maupun menengah. Adalah lebih
berharga dengan mendidik serta menempatkan kelompok masyarakat ini lebih
terpandang bila mereka mendapatka upah atau insentif dari setiap pekerjaan yang
mereka lakukan sendiri.[6]
Dengan demikian, komitmen untuk
melaksanakan amanat Undang-Undang Dasar 1945 dapat dicapai secara nyata, yaitu
menjamin hak-hak tiap individu dan keluarga untuk mendapatkan pekerjaan yang
layak untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka secara layak pula.
Disamping itu, masih banyak aspek
kesejahteraan sosial masyarakat yang masih belum mampu dapat terpenuhi dengan
baik. Untuk penanggulangan kesejahteraan rakyat ini, diperlukan sistem
perekonomian yang memang berpihak kepada rakyat dalam artian dapat
menumbuhkembangkan kemandirian rakyat agar mampu menciptakan kesejahteraan
ekonomi bagi rakyat Indonesia itu sendiri.
B.
Rumusan
Masalah
Rakyat Indonesia masih mendambakan terwujudnya cita-cita dan tujuan
bangsa untuk menjadi negara yang tidak hanya merdeka, bersatu dan berdaulat,
tetapi juga adil dan makmur sesuai dengan isi Pembukaan Undang-Undang Dasar
1945. Saat ini sangat relevan bagi segenap bangsa Indonesia untuk kembali
mendalami cita-cita dan tujuan luhur kemerdekaan seperti tercantum dalam
pembukaan UUD 1945 karena negara serta masyarakat Indonesia masih dihadapkan
kepada persoalan dan permasalahan terkait pemerataan/keadilan ekonomi yang
bermuara pada suautu kondisi sejahtera dan mandiri bagi masyarakat Indonesia
secara keseluruhan.
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) sebagai organisasi kemahasiswaan dan
perjuangan yang mempunyai tujuan salah satunya yaitu, mewujudkan masyarakat
adil makmur yang di ridhoi Allah SWT[7] juga
mempunyai tanggung jawab moral terhadap pewujudan kesejahteraan masyarakat
Indonesia. Sebuah tujuan organisasi yang telah lama hingga kini belum terlihat
pencapaiannya, khususnya tanggung jawab dalam mewujudkan masyarakat adil
makmur. Peran apa, yang lalu bisa HMI perankan dalam rangka mewujudkan
masyarakat adil makmur? Dan sistem ekonomi seperti apa yang dapat mengangkat
harkat dan martabant rakyat Indonesia menuju pada kesejahteaan dan kemandirian?
C. Tujuan
Penulisan makalah ini bertujuan
untuk syarat mengikuti kegiatan Intermediate Training (Latihan Kader II) Tingkat
Nasional, dan yang paling utama adalah sebagai bahan pembelajaran dan diskusi
pada proses training nantinya, dan sebagai sebuah refleksi dari sila
kelima Pancasila dan Tujuan HMI.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Kesejahteraan dan Kemandirian
Dalam Dalam istilah umum, sejahtera menunjuk ke keadaan yang baik, kondisi manusia di mana orang-orangnya dalam keadaan
makmur, dalam keadaan sehat dan damai. Dalam ekonomi, sejahtera dihubungkan dengan keuntungan benda. Sejahtera memliki
arti khusus resmi atau teknikal (lihat ekonomi kesejahteraan), seperti dalam istilah fungsi kesejahteraan sosial. Dalam kebijakan sosial, kesejahteraan
sosial menunjuk ke jangkauan pelayanan untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat.[8]
Kemandirian merupakan salah satu
aspek kepribadian yang sangat penting bagi individu. Seseorang dalam menjalani
kehidupan ini tidak pernah lepas dari cobaan dan tantangan. Individu yang
memiliki kemandirian tinggi relatif mampu menghadapi segala permasalahan karena
individu yang mandiri tidak tergantung pada orang lain, selalu berusaha
menghadapi dan memecahkan masalah yang ada.
Menurut Antonius seseorang yang mandiri adalah suatu suasana dimana
seseorang mau dan mampu mewujudkan kehendak atau keinginan dirinya yang
terlihat dalam tindakan atau perbuatan nyata guna menghasilkan sesuatu (barang
atau jasa) demi pemenuhan kebutuhan hidupnya dan sesamanya. Menurut Mutadin kemandirian
adalah suatu sikap individu yang diperoleh secara kumulatif selama
perkembangan, individu akan terus belajar untuk bersikap mandiri dalam
menghadapi berbagai situasi lingkungan, sehingga individu pada akhirnya akan
mampu berfikir dan bertindak sendiri dengan kemandiriannya seseorang dapat
memilih jalan hidupnya untuk dapat berkembang dengan lebih mantap. Menurut Drost
kemandirian adalah individu yang mampu menghadapi masalah-masalah yang
dihadapinya dan mampu bertindak secara dewasa. Hasan Basri
mengatakan bahwa kemandirian adalah keadaan seseorang dalam kehidupannya mampu
memutuskan atau mengerjakan sesuatu tanpa bantuan orang lain.[9]
Dari beberapa pendapat di atas dapat
disimpulkan bahwa kemandirian adalah kemampuan seseorang dalam mewujudkan kehendak
atau keinginannya secara nyata dengan tidak bergantung pada orang lain.
B.
Ekonomi
Pancasila
Dicetuskan oleh Soekarno-Hatta,
didengungkan kembali oleh Emil Salim dan di kembangkan oleh Mubyarto. Meski
bukan yang pertama dan yang satu-satunya, tapi di tangan beliaulah Ekonomi
Pancasila berkembang dan menemukan bentuknya. Tak heran jika nama Mubyarto ini kemudian lekat dan identik
dengan Ekonomi Pancasila. Begitupun sebaliknya.
Sejarah sistem ekonomi Pancasila
sebenarnya adalah sejarah Republik Indonesia, yang lahir dalam jantung bangsa
melalui Pancasila dan UUD 45 beserta tafsirannya. Karena itu sistem ekonomi
Pancasila bersumber langsung dari Pancasila sila kelima; Keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia dan amanat pasal 27 (2), 33-34 UUD 45. Sila kelima ini
menjelaskan bahwa semua orientasi berbangsa dan bernegara –politik, ekonomi,
hukum, sosial, dan budaya- adalah dijiwai semangat keadilan menyeluruh dan
diperuntukkan bagi seluruh rakyat Indonesia. Khusus dalam hal ekonomi
diperjelas kembali dalam pasal 27 (2) berbunyi; tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak
bagi kemanusiaan. Pasal 33 berbunyi; (1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas
kekeluargaan. (2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang
menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. (3) Bumi, air, dan
kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dalam bab penjelasan dari pasal
33 bab kesejahteraan sosial lebih jauh dinyatakan bahwa, demokrasi ekonomi adalah produksi yang dikerjakan oleh
semua, untuk semua di bawah pimpinan atau pemilikan anggota-anggota masyarakat.
Kemakmuran masyarakat diutamakan, bukan kemakmuran orang seorang. Sebab itu
perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas usaha kekeluargaan.
Bangun perusahaan yang sesuai dengan itu adalah koperasi. Perekonomian berdasar
atas demokrasi ekonomi, kemakmuran bagi semua orang. Sebab itu cabang-cabang
produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak
harus dikuasai oleh negara. Kalau tidak, tampuk produksi jatuh ke tangan orang
yang berkuasa dan rakyat banyak akan ditindasnya. Hanya perusahaan yang tidak
menguasai hajat hidup orang banyak yang boleh di tangan orang seorang. Bumi,
air, dan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi adalah pokok-pokok kemakmuran
rakyat, sebab itu harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sedang pasal 34 berbunyi; Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara.[10]
Keberadaan sistem Ekonomi Pancasila sudah ada dengan
Pancasila sebagai landasan idealnya dan UUD-45 sebagai landasan
konstitusionalnya.[11] Keduanya
lebih lanjut dijabarkan dalam Tap MPR/S (GBHN), UU dan Peraturan Pemerintah.
GBHN sendiri merupakan arah dan kebijakan negara dalam penyelenggraaan
pembangunan, termasuk pembangunan ekonomi. GBHN juga merupakan hasil
perencanaan nasional yang disusun oleh pemerintah dan dibahas serta disahkan
dalam sidang umum MPR. Pada level Tap MPR tentang GBHN dapat kita lacak dari
ketetapan No. XXIII/MPRS/1966. Inti dari ketetapan ini adalah kalimat yang berbunyi,
"sistem ekonomi terpimpin berdasarkan Pancasila sebagai jaminan
berlangsungnya demokrasi ekonomi. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama
atas asas kekeluargaan,…"[12]
Ekonomi Pancasila merupakan ilmu
ekonomi kelembagaan (institutional
economics) yang menjunjung tinggi nilai-nilai kelembagaan Pancasila sebagai
ideologi negara, yang kelima silanya, secara utuh maupun sendiri-sendiri,
menjadi rujukan setiap orang Indonesia. Jika Pancasila mengandung 5 asas, maka
semua substansi sila Pancasila yaitu (1) etika, (2) kemanusiaan, (3)
nasionalisme, (4) kerakyatan/demokrasi, dan (5) keadilan sosial, harus
dipertimbangkan dalam model ekonomi yang disusun. Kalau sila pertama dan kedua
adalah dasarnya, sedangkan sila ketiga dan keempat sebagai caranya, maka sila
ke lima Pancasila adalah tujuan dari Ekonomi
Pancasila.
Ideologi Ekonomi Pancasila adalah
“aturan main” yang mengikat setiap pelaku ekonomi, yang apabila dipatuhi secara
penuh akan mengakibatkan tertib dan teraturnya perilaku setiap warga negara.
Dan ketertiban serta keteraturan perilaku ini pada gilirannya akan menyumbang
pada kemantapan dan efektifitas usaha perwujudan keadilan sosial.
Sebagaimana kita pahami bersama,
bahwa moralitas teori ekonomi Adam Smith adalah kebebasan (liberalisme), dan
moralitas teori ekonomi Marx adalah diktator, maka moralitas ekonomi Pancasila
mencakup seluruh asas Pancasila yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan,
Persatuan, Kerakyatan, dan Keadilan Sosial. Pancasila sebagai dasar negara
dapat diterapkan dalam kehidupan ekonomi bangsa, negara, dan masyarakat.
Sila-sila yang terdapat pada Pancasila sudah seharusnya menjadi dasar
pelaksanaan perekonomian bangsa Indonesia dan tidak perlu ditawar-tawar lagi.
Pancasila sebagai dasar negara sangat sesuai dengan watak dan kepribadian
bangsa Indonesia. Oleh karenanya nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila
harus nyata kita aplikasikan dalam segala aspek kehidupan sebagai jati diri
bangsa Indonesia. Hanya bangsa yang memiliki jati diri luhurlah yang akan
memiliki martabat yang tinggi sebagaimana yang pernah kita rasakan beberapa
waktu lalu sebelum reformasi.
Sistem Ekonomi Pancasila memiliki
empat ciri yang menonjol, yaitu :
1.
Yang menguasai hajat hidup orang banyak adalah negara/pemerintah.
Contoh hajat hidup orang banyak yakni seperti air, bahan bakar minyak/BBM,
pertambangan/hasil bumi, dan lain sebagainya.
2.
Peran negara adalah penting namun tidak dominan,
dan begitu juga dengan peranan pihak swasta yang posisinya penting namun tidak
mendominasi. Sehingga tidak terjadi kondisi sistem ekonomi liberal maupun
sistem ekonomi komando. Kedua pihak yakni pemerintah dan swasta hidup
beriringan, berdampingan secara damai dan saling mendukung.
3.
Masyarakat adalah bagian yang penting di mana
kegiatan produksi dilakukan oleh semua untuk semua serta dipimpin dan diawasi
oleh anggota masyarakat.
4.
Modal atau pun buruh tidak mendominasi perekonomian
karena didasari atas asas kekeluargaan antar sesama manusia.
Dalam sistem ekonomi pancasila
perekonomian liberal maupun komando harus dijauhkan karena terbukti hanya
menyengsarakan kaum yang lemah serta mematikan kreatifitas yang potensial.
Persaingan usaha pun harus selalu terus-menerus diawasi pemerintah agar tidak
merugikan pihak-pihak yang berkaitan.
C.
Kebutuhan
akan Ilmu Ekonomi Pancasila
Pada tahun 1936 J.M. Keynes seorang diri membuat
revolusi dengan menunjukkan bahwa ilmu ekonomi yang dipelajari dan dikembangkan
selama 150 tahun sejak 1776 adalah ilmu yang keliru yang harus ditinggalkan
jika sistem kapitalisme ingin selamat. Hal mendasar yang paling jelas
kekeliruannya adalah kepercayaan selalu terjadinya keseimbangan (equilibrium) antara pasokan (supply) dan permintaan (demand) yang terkenal sebagai hukum Say
(Say’s Law).
Ilmu Ekonomi di Indonesia, seperti halnya di banyak
negara berkembang yang lain, juga tidak relevan untuk meningkatkan
kesejahteraan rakyat atau untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Ilmu ekonomi
yang diajarkan di Indonesia sejak pertengahan tahun 50-an adalah ilmu yang
mengajarkan keserakahan perorangan atas alam benda, yang mengajarkan
sifat-sifat egoisme (memikirkan diri sendiri) pada setiap orang dan menafikan
asas dan semangat kekeluargaan.
Ilmu Ekonomi Pancasila bertolak belakang dengan ilmu
ekonomi Neoklasik ortodok yang kini diajarkan di perguruan-perguruan tinggi dan
sekolah-sekolah lanjutan, yang mengasumsikan rumah tangga atau masyarakat
semata-mata sebagai konsumen yang hanya bertindak sebagai
kumpulan “tukang belanja” dan di pihak lain produsen yaitu dunia usaha yang pekerjaannya sangat mulia yaitu
memproduksi barang dan jasa bagi kepentingan masyarakat. Kemakmuran dan
kesejahteraan rakyat/masyarakat dianggap selalu merupakan misi dunia usaha.
Maka investor selalu dianggap “dewa penyelamat” yang tugasnya
“memakmurkan masyarakat” atau membuka lapangan kerja baru bagi tenaga kerja
yang membutuhkannya.
Demikian pakar-pakar ekonomi Indonesia yang menerima
sebagai tugasnya mengemban amanat penderitaan rakyat harus berdiri di baris
terdepan merombak total ajaran ilmu ekonomi Neoklasik ortodok yang sudah kita
terima laksana ajaran agama, padahal ia jelas-jelas hanya mengajarkan
keserakahan perorangan atas alam benda. Ilmu Ekonomi Pancasila adalah ilmu
tentang ekonomi moral yang sesuai nilai dan budaya bangsa.
Prof. Mubyarto dan Prof. Sri-Edi Swasono menegaskan
bahwa yang diperlukan saat ini adalah kehidupan ekonomi yang digerakkan oleh
seluruh lapisan masyarakat, yang mencerminkan karakter bangsa Indonesia, yaitu
Ekonomi Pancasila. Jika dilihat dari sudut pandang mikro, perekonomian
Indonesia memiliki nilai moral dan etika luhur yang dapat membentengi manusia
dari nafsu serakah. Namun yang banya terjadi adalah bahwa moral dan etika
tersebut telah pudar dalam kahidupan perekonomian Indonesia dimana pasar lebih
mengagungkan kompetisi dan semangat keserakahan individualisme dan bukan
ekonomi kekeluargaan yang kooperatif. Yang lebih menyedihkan lagi adalah yang
kalah dalam pasar lebih banyak dan hanya sebagai penonton setia dari perilaku
pemenang. Keprihatinan juga mencuat karena sistem kompetisi inilah yang selalu
ditekankan dan diajarkan disekolah-sekolah dan perguruan tinggi.
D.
Mengapa Ekonomi Pancasila?
Mengapa Ekonomi Pancasila? Karena sistem ekonomi
inilah yang menjamin tatanan ekonomi yang dapat memperkecil kesenjangan yang
sangat lebar di dalam masyarakat Indonesia. Contoh nyata dari penerapan Ekonomi
Pancasila sebenarnya sudah lama ada dan masih bisa ditemukan, yaitu kehidupan
pedesaan yang kooperatif berdasarkan asas kekeluargaan. Mengingat pentingnya
kembali kepada karakteristik bangsa untuk memulihkan kembali perekonomian
Indonesia. Ekonomi Pancasila perlu dikaji secara induktif-empirik dan deduktif-logis
sebagai satu kesatuan yang menyeluruh. Tujuannya adalah agar sistem Ekonomi
Pancasila tidak hanya sebagai teori dan konsep dalam buku teks saja, tetapi
juga berapa penerapan yang relevan dengan realitas kehidupan ekonomi bangsa
Indonesia.
E.
Kembali ke Prinsip Ekonomi Kerakyatan UUD
1945
Dalam Undang-Undang Dasar 1945
pasal 33 (ayat3) mangatur bahwa bumi, air dan kekayaan yang terkandung
didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat. Sebagai salah satu sumber daya mineral yang tak terbaharui,
minyak dan gas bumi (migas) menempati posisi yang penting dalam pembangunan
negara dan kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu, pemerintah sebagai pemegang
kuasa pertambangan, menentukan kebijakan dan melakukan pengusahaah terhadap
minyak dan gas bumi untuk mencapai tujuan yang termaktub dalam pasal 33 (ayat
3) UUD 1945.[13]
Pasal ini sesuai dengan paham
kolektifisme atau komunitarianisme yang menempatkan kepentingan masyarakat
ditempatkan sebagai yang utama. Dalam demokrasi ekonomi, kemakmuran
masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang seorang. Inilah ciri
sosialistik pasal 33 UUD 1945.
Mengubah dasar ini, seperti dalam
ayat 4 pasal 33 UUD 1945 yang telah diamandeman tahun 2002 dengan meletakkan
kata berkeadilan di belakang kata efesiensi, merupakan penyelewengan filosofi
sebelumnya menjadi paham individualisme atau liberal, karena kepentingan
ekonomi lebih diutamakan dari pada kepentingan kesejahteraan.
Posisi rakyat dan kemakmuran
rakyat yang prioritas telah tereduksi dan terdistorsi, ciri sosialisme pada
pasal tersebut menjadi berkurang. Kata-kata efesiensi berkeadilan telah membuka
celah masuknya kapitalisme dan kolonialisme baru dalam konstitusi Indonesia.
“Efesiensi” dalam istilah ekonomi, berorientasi pada maximum gain dan maximum satisfaction, yang dalam paham ekonomi
neoklasik merupakan wujud dari liberalisme ekonomi yang beroperasi melalui
pasar bebas.
Kedaulatan ada di tangan rakyat,
dengan kata lain “rakyat” adalah konsepsi politik, bukan konsepsi statistik.
Rakyat tidak harus berarti seluruh penduduk. Rakyat dapat berarti “orang
banyak”, yang memberi pengertian kepentingan publik dan bukan kepentingan orang
perorang.
Mohammad Hatta yang
memformulasikan pasal 33 UUD 1945 sejak dalam pembuangan di Boven Digoel dulu,
telah menegaskan posisi rakyat di dalam penyelenggaraan pemerintahan merupakan
kunci
Pada bulan Agustus 2002
bertepatan dengan peringatan 100 tahun Bung Hatta, UGM mengumumkan
berdirinya Pusat Studi Ekonomi
Pancasila (PUSTEP) yang akan secara serius mengadakan kajian-kajian tentang
Ekonomi Pancasila dan penerapannya di Indonesia baik di tingkat nasional maupun
di daerah-daerah. Sistem Ekonomi Pancasila yang bermoral, manusiawi,
nasionalistik, demokratis, dan berkeadilan, jika diterapkan secara tepat pada
setiap kebijakan dan program akan dapat membantu terwujudnya keselarasan dan
keharmonisan kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat.
Sistem Ekonomi Pancasila berisi
aturan main kehidupan ekonomi yang mengacu pada ideologi bangsa Indonesia,
yaitu Pancasila. Dalam Sistem Ekonomi Pancasila, pemerintah dan masyarakat
memihak pada (kepentingan) ekonomi
rakyat sehingga terwujud kemerataan sosial dalam kemakmuran dan
kesejahteraan. Inilah sistem ekonomi
kerakyatan yang demokratis yang melibatkan semua orang dalam proses produksi dan
hasilnya juga dinikmati oleh semua warga masyarakat.
F.
Ekonomi
Pancasila sebagai Ekonomi Moral
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, Sistem Ekonomi
Pancasila memiliki empat ciri yang menonjol, yaitu (1) Yang menguasai hajat
hidup orang banyak adalah negara / pemerintah. (2) Peran negara adalah penting
namun tidak dominan, dan begitu juga dengan peranan pihak swasta yang posisinya
penting namun tidak mendominasi. Sehingga tidak terjadi kondisi sistem ekonomi
liberal maupun sistem ekonomi komando. Kedua pihak yakni pemerintah dan swasta
hidup beriringan, berdampingan secara damai dan saling mendukung. (3)
Masyarakat adalah bagian yang penting di mana kegiatan produksi dilakukan oleh
semua untuk semua serta dipimpin dan diawasi oleh anggota masyarakat. (4) Modal
atau pun buruh tidak mendominasi perekonomian karena didasari atas asas
kekeluargaan antar sesama manusia.
Ekonomi Pancasila mempunyai sistem dan moral tersendiri yang
bisa dikenali, dan sifat-sifat sistem serta moral ekonomi Pancasila telah
melandasi atau menjadi pedoman aneka perilaku ekonomi perorangan,
kelompok-kelompok dalam masyarakat, pengusaha, pemerintah, dan negara. Sistem
serta moral yang dimaksud bersumber pada ideologi bangsa Indonesia yaitu
Pancasila. Kelima sila dalam Pancasila menggambarkan secara utuh semangat
kekeluargaan (gotong royong) dalam upaya mewujudkan suatu keadilan sosial bagi
seluruh rakyat dan masyarakat Indonesia.
Ekonomi Indonesia lebih menonjol sebagai ekonomi moral bukan
ekonomi yang terlalu rasional. Ekonomi Pancasila menjunjung tinggi asas
keadilan sosial bagi seluruh rakyat, rupanya apabila harus memilih antara
keadilan sosial dan efisiensi, kita
akan cenderung mengorbankan efisiensi. Efisiensi sebagai lawan keadilan rupanya analog dengan dilema (trade off) antara pertumbuhan dan pemerataan. Masyarakat
Indonesia cukup cepat bereaksi menginginkan pemerataan pada waktu Pelita I
berhasil meningkatkan pertumbuhan ekonomi, yang kemudian ternyata diikuti
meningkatnya ketimpangan ekonomi yang menyolok.
Kiranya jelas bahwa ekonomi Pancasila harus kita akui sudah
melekat pada sistem nilai dan budaya bangsa Indonesia. Meskipun kita secara
terbuka ingin mengikis habis sifat-sifat irrasional yang tercermin dalam
efisiensi dan produktivitas yang rendah, pada akhirnya kita menghadapi
"tantangan" berupa moral ekonomi bangsa yang tidak sepenuhnya
bersifat negatif. Dalam hati nurani sebagai bangsa masih selalu
terselip.perasaan was-was jangan-jangan pengambilan pilihan yang semata-mata
rasional justru akan merugikan dalam jangka panjang dan akhirnya akan kita
sesali.
G.
Membumikan
Keadilan Sosial dalam Kerangka Pancasila
Dalam menguraikan sila keadilan
sosial (prinsip kesejahteraan), Soekarno menyatakan : “Maka oleh karena itu,
jikalau kita memang betul-betul mengerti, mengingat, mencintai rakyat
Indonesia, marilah kita terima prinsip sociale
rechvaardigheid ini, yaitu bukan saja persamaan politik,
saudara-saudara, tetapi pun di atas lapangan ekonomi kita harus mengadakan
persamaan, artinya kesejahteraan bersama yang sebaik-baiknya”.[14]
Dengan mengembangkan persamaan di lapangan ekonomi, Soekarno berharap “tidak
akan ada kemiskinan di dalam Indonesia merdeka”. Pernyataan Soekarno tersebut
seyogyanya tidak dipandang dari kecenderungan utopismenya, melainkan dari segi
tekadnya yang kuat untuk mengupayakan keadilan dan kesejahteraan sosial di
seberang jembatan emas kemerdekaan.
Sutan Sjahrir menyatakan,
“Sekali-kali, tidaklah boleh kepentingan segolongan kecil yang hartawan
bertentangan dengan kepentingan golongan rakyat banyak yang miskin. Keadilan
yang kita kehendaki adalah keadilan bersama yang didasarkan atas kemakmuran dan
kebahagiaan”[15]
Dalam kerangka merealisasikan
keadilan itu, para pendiri bangsa kerap mengemukakan bahwa, “Negara adalah
suatu organisasi masyarakat yang bertujuan menyelenggarakan keadilan.”
Cita-cita menghadirkan keadilan bernegara dan negara yang berkeadilan mensyaratkan
adanya emansipasi dan partisipasi di bidang politik yang berkaitan dengan
emansipasi dan partisipasi di bidang ekonomi. Inilah yang disebut dengan
prinsip “sosio-demokrasi”. Menurut Soekarno, “Sosio-demokrasi tidak ingin
mengabdi kepada kepentingan sesuatu gundukan kecil saja, tetapi kepentingan
masyarakat. Sosio-demokrasi adalah demokrasi politik dan demokrasi ekonomi,”[16]
Komitmen keadilan menurut alam
pemikiran Pancasila berdimensi luas. Peran negara dalam perwujudan keadilan
sosial, setidaknya ada dalam kerangka: 1. Perwujudan relasi yang adil di semua
tingkatan sistem (kemasyarakatan), 2. Pengembangan struktur yang menyediakan
kesetaraan kesempatan, 3. Proses fasilitasi akses atas informasi yang
diperlukan, layanan yang diperlukan, dan sumber daya yang diperlukan, dan 4.
Dukungan atas partisipasi bermakna atas pengambilan keputusan bagi semua orang.
Yang dituju dari gagasan keadilan ini juga tidak terbatas pada pemenuhan
kesejahteraan yang bersifaf ekonomis, tetapi juga terkait dengan usaha
emansipasi dalam kerangka pembebasan manusia dari pemberhalaan terhadap benda,
pemuliaan martabat kemanusiaan, pemupukan solidaritas kebangsaan, dan penguatan
daulat rakyat.
Keadilan sekurang-kurangnya
terwujud dalam tiga bentuk:[17]
1. Keadilan
dalam hubungan ekonomi antarmanusia secara orang-seorang dengan senantiasa
memberikan kepada sesamanya apa yang semstinya diterima sebagai haknya. Inilah
yang melahirkan keadilan tukar-menukar.
2. Keadilan
dalam hubungan ekonomi antar manusia dengan masyarakatnya, dengan senentiasa
memberi dan melaksanakan segala sesuatu yang memajukan kemakmuran dan
keejahteraan bersama. Inilah yang melahirkan keadilan sosial.
3. Keadilan
dalam hubungan ekonomi antara masyarakat dengan warganya, dengan senantiasa
membagi segala kenikmatan dan beban secara merata sesuai dengan sifat dan
kapasitasnya masing-masing. Inilah yang melahirkan “keadilan distribusi”.
Usaha mewujudkan keadilan sosial
dalam berbagai hubungan ekonomi tersebut diletakkan dalam kerangka etis,
imperatif moral Pancasila. Sri-Edi Swasono menjelaskan bahwa sistem ekonomi
Pancasila dapat digambarkan sebagai sistem ekonomi yang berwawasan sila-sila
Pancasila[18],
yaitu:
1. Kutuhanan
Yang Maha Esa (adanya atau diberlakukannya etik dan moral agama, buka
materialisme)
2. Kemanusiaan
(kehidupan berekonomi yang humanistik, adil dan beradab), tidak mengenal
pemerasan dan penghisapan)
3. Persatuan
(berdasar sosio-nasionalisme Indonesia, kebersamaan dan berasas kekeluargaan,
gotong royong, bekerjasama, tidak saling mematikan)
4. Kerakyatan
(berdasar demokrasi ekonomi, kedaulatan ekonomi, mengutamakan hajat hidup orang
banyak, ekonomi rakyat sebagai dasar perekonomian nasional)
5. Keadilan
sosial secara menyeluruh (kemakmuran rakyat yang utama, bukan kemakmuran
orang-seorang, berkeadilan, berkemaumuran)
Dengan formulasi yang lain,
Mubyarto menyebutkan ciri-ciri sistem ekonomi Pancasila sebagai berikut[19]:
1. Roda perekonomian
digerakkan oleh rangsangan ekonomi, sosial, dan moral.
2. Ada kehendak
kuat dari seluruh anggota masyarakat untuk mewujudkan keadaan kemerataan sosial-ekonomi.
3. Prioritas
kebijaksanaan ekonomi adalah pengembangan ekonomi-nasional yang kuat dan
tangguh, yang berarti nasionalisme selalu menjiwai setiap kebijaksanaan
ekonomi,
4. Koperasi
merupakan sokoguru perekonomian nasional.
5. Adanya
imbangan yang jelas dan tegas antara sentralisme dan desentralisme
kebijaksanaan ekonomi untuk menjamin keadilan ekonomi dan keadilan sosial
dengan sekaligus menjaga prinsip efesiensi dan pertumbuhan ekonomi.
H. Kritik terhadap Ekonomi Pancasila
Pertanyaan yang muncul setiap kali mendiskusikan sistem
ekonomi Indonesia adalah: Sistem ekonomi yang sekarang berlangsung di Indonesia
sebenarnya tergolong sistem ekonomi apa?
Ada beberapa pendapat mengenai hal ini. Pertama, pendapat
yang mengatakan bahwa sistem ekonomi Indonesia bukan sistem kapitalisme maupun
sosialisme. Emil Salim mengatakan bahwa Sistem Ekonomi Pancasila (SEP) adalah
sistem ekonomi pasar dengan unsur perencanaan[20].
Dengan kata lain, sifat dasar dari kedua kutub ekstrim ini berada dalam
keseimbangan. Mubyarto berpendapat bahwa Sistem Ekonomi Pancasila mungkin
sekali berada di antara dua kutub tersebut, tapi di luarnya.[21]
Tentu saja pandangan ini mendapat banyak kritikan tajam.
Frans Seda, misalnya, menjuluki pandangan ini sebagai paham
"bukan-isme", yaitu paham serba bukan: bukan kapitalisme, bukan
liberalisme, tidak ada monopoli, tidak ada oligopoli, tidak ada persaingan
bebas yang saling mematikan, dsb.[22]
Tidak berlebihan, bila ada yang menyebut sistem ekonomi semacam ini hanya
dihuni oleh para malaikat, masyarakat utopia. Kritikan tajam juga datang dari
Arief Budiman, yang mengatakan: "Tampaknya, Mubyarto sendiri belum
dapat merumuskan dengan tepat apa isi SEP-nya. Dia baru berhasil membuat
pagar-pagar batas untuk mengurung 'binatang' yang bernama SEP, sambil sekali-kali
meraba-raba dan menerka-nerka bagaimana persisnya bentuk dan rupa 'binatang'
ini".[23]
Pandangan kedua melihat sistem ekonomi Indonesia
dalam dataran normatif maupun dataran positif. Secara normatif menurut UUD
1945, terutama pasal 33 ayat 2 dan 3, sistem ekonomi Indonesia seharusnya
condong mengarah pada sosialisme. Oleh Mubyarto, ini diterjemahkan sebagai
ekonomi kerakyatan. Ia menggambarkan bahwa pengembangan sistem ekonomi
kerakyatan ibarat “perang gerilya ekonomi” yang bisa diwujudkan dengan
pengembangan dan pemihakan penuh pada ekonomi rakyat, lewat upaya penanggulangan
kemiskinan, peningkatan desentralisasi dan otonomi daerah, dan menghapus
ketimpangan ekonomi dan sosial.
Namun, dewasa ini semakin kuatnya lapisan pengusaha dan
muculnya gejala konglomerasi dan konsentrasi kekuatan ekonomi agaknya membuat
tidak dapat menyangkal bahwa kapitalisme telah tumbuh subur di negeri ini.
Kendati demikian, menurut pengamatan Sjahrir dilihat dari segi kepemilikan dan
sifat pembentukan harga, sistem ekonomi yang berlangsung di Indonesia adalah:
(1) sistem ekonomi di mana peranan negara dominan; (2) peranan swasta, baik
nasional maupun asing, tidak kecil; (3) harga yang berlangsung pada umumnya
mencerminkan inefisiensi karena jauh lebih tinggi harga domestik dibanding
harga internasional.[24]
I.
Masa Depan
Ekonomi Pancasila di tengah Arus Dehumanisasi di Era Globalisasi
Kiranya sudah saatnya untuk merumuskan kembali etos global
berupa konsensus mendasar tentang nilai-nilai, norma-norma, dan sikap-sikap
tertentu yang dilandasi oleh prinsip humanum, hakikat manusia. Hal itu dilakukan
demi kedamaian umat manusia ditengah ancaman globalisasi yang menonjolkan
nilai-nilai individualisme dan menggerus nilai-nilai humanisme. Ini merupakan
bel pengingat bahwa etika saat ini mengalami gempuran luar biasa dari arus
besar nilai-nilai individualisme yang memboncengi persebaran ideologi
kapitalisme dan liberalisme. Individualisme yang mengakar dalam kejatian diri
manusia disinyalir bisa mendorong akumulasi nilai-nilai dehumanisasi karena
semangat egoisme sebagaimana terangkum dalam idiom Betawi elo-elo gua-gua menjadikan
manusia tidak peduli satu sama lain dan mau menang sendiri yang lambat laun
akan membentuk pola pikir berupa tidak mau memanusiakan sesama manusia lainnya.
Sebagai sebuah wacana yang terus diupayakan perwujudannya,
konsep ekonomika etik saat ini mengalami tantangan berat dalam
merealisasikannya. Mainstream pemikiran ekonomi kini yang sangat liberal dan
kapitalistik kian meminggirkan nilai-nilai etika kemanusiaan dalam praktek
ekonominya. Hal inilah yang menjadikan agenda memasyarakatkan ekonomika etik
berbasis Pancasila di bumi Indonesia tidaklah semudah membalikkan telapak
tangan. Banyak rintangan yang akan bermunculan dari pihak-pihak yang
diuntungkan dengan bertahtanya sistem ekonomi kapitalisme selama ini.
Mungkinkah ekonomika etik bertahta di Indonesia dan menjadi
acuan bersama pelaksanaan ekonomi nasional? Segala kemungkinan hingga kini
masih terbuka lebar. Ada banyak cara membangkitkan kesadaran pentingnya
berekonomi secara etik yang dalam perwujudannya merupakan bentuk dari Ekonomi
Pancasila. Salah satunya melalui revitalisasi budaya bangsa Indonesia yang
didominasi nilai-nilai komunalisme dan kebersamaan yang kemudian dipadukan
dengan pelaksanaan sistem ekonomi. Nilai kegotongroyongan dan kekeluargaan yang
menjadi etika masyarakat Indonesia yang terhimpun dalam berbagai ragam tradisi
dan adat masyarakat bisa ditransformasikan tidak hanya dalam berbudaya namun
juga dalam berekonomi. Tidaklah keliru jika Indonesia perlu belajar dari
keberhasilan Korea Selatan yang sukses mentransformasikan nilai-nilai budaya
yang berangkat dari tiga prinsip: rajin, mandiri, dan gotong royong untuk
menjadi sebuah gerakan nasional berupa Saemaul Undong yang mengantarkan kesuksesan Korea
Selatan di bidang ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya.
J.
Keadilan Sosial
dan Ekonomi, dan Kaitannya terhadap Politik dan Budaya
Berbicara mengenai ekonomi, terkait
pula pada politik dan budaya, karena kesemuanya mempunyai keterhubungan satu
sama lainnya. Keadaan ekonomi suatu bangsa akan berpengaruh pula terhadap iklim
politik dan juga budaya pada bangsa tersebut. Pada tahun 1990 - 2000-an ketika
terjadi krisis ekonomi di Indonesia yang pada tahun 1998 mencapai puncakanya,
yaitu krisis moneter berimbas pula pada suhu politik dalam negeri yang semakin
memanas, terbukti dengan adanya reformasi yang berhasil menggulingkan presiden
Soeharto yang telah berkuasa 30 tahun lebih. Begitu pula sebaliknya, kondisi
politik dalam negeri yang “kondusif” akan membawa dampak pula pada sektor
perekonomian. Dan itu terjadi pada semua bidang, tidak hanya ekonomi dengan
bidang politik, tetapi juga dengan bidang budaya, hukum, sosial, dll.
K.
Kulitas Insan
yang Bertanggung Jawab atas Terwujudnya Masyarakat Adil Makmur yang di Ridhoi
Allah SWT (Sub Tujuan HMI)
Kulitas insan cita HMI adalah merupakan dunia cita yang
terwujud oleh HMI di dalam pribadi seorang manusia yang beriman dan berilmu
pengetahuan serta mampu melaksanakan tugas kerja kemanusiaan.
Salah satu kualitas tersebut adalah kualitas insan yang
bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang di ridhoi Allah
SWT, dengan penjabaran sebagai berikut:[25]
1. Berwatak,
sanggup memikul akibat-akibat dari perbuatannya dan sadar dalam menempuh jalan
yang benar diperlukan adanya keberanian moral.
2. Spontan dalam
menghadapi tugas, taqwa kepada Allah SWT, yang menggugah untuk mengambil peran
aktif dalam suatu bidang dalam mewujudkan masyarakat adil makmur yang di ridhoi
Allah SWT.
3. Evaluatif dan
selektif terhadap setiap langkah yang berlawanan dengan usaha mewujudkan
masyarakat yang adil dan makmur.
4. Percaya pada
diri sendiri dan sadar akan kedudukannya sebagai pemimpin/khalifah yang harus
melaksanakan tugas-tugas kemanusiaan. Pada pokoknya insan cita HMI merupakan “man of
future” insan pelopor
yaitu insan yang berpikiran luas dan berpandangan jauh, bersikap terbuka,
terampil atau ahli dalam bidangnya, dia sadar apa yang menjadi cita-citanya dan
tahu bagaimana mencari ilmu perjuangan untuk secara kooperatif bekerja sesuai
dengan yang dicita-citakannya. Tipe ideal dari hasil perkaderan HMI adalah “man of
inovator: (duta-duta
pembantu). Penyuara “idea of progress” insan yang
berkepribadian imbang dan padu, kritis, dinamis, adil dan jujur tidak takabur
dan bertaqwa kepada Allah SWT. Mereka itu manusia-manusia yang beriman, berilmu
dan mampu beramal saleh dalam kualitas yang maksimal (insan kamil).
Insan cita HMI pada suatu waktu akan merupakan kelompok
intelegensi yang mampu merealisasi cita-cita umat dan bangsa dalam suatu
kehidupan masyarakat yang religius, adil dan makmur serta bahagia (masyarakat
adil makmur yang di ridhoi Allah SWT).
L.
Keadilan Sosial
dan Keadilan Ekonomi dalam Nilai-nilai Dasar Perjuangan (NDP) HMI[26]
Negara adalah bentuk masyarakat yang
terpenting, dan pemerintah adalah susunan masyarakat yang terkuat dan
berpengaruh. Oleh sebab itu, pemerintah yang pertama berkewajiban menegakkan
keadilan. Maksud semula dan fundamental didirikannya negara dan pemerintahan
ialah guna melindungi manusia yang menjadi warga negara dari kemungkinan
perusakan terhadap kemerdekaan dan harga diri sebagai manusia, sebaliknya
setiap orang harus mengambil bagian pertanggungjawaban dalam masalah-masalah
negara atas persamaan yang diperoleh melalui demokrasi.
Pada dasarnya masyarakat dengan
masing-masing pribadi yang ada di dalamnya haruslah memerintah dan memimpin diri
sendiri. Oleh karena itu pemerintah haruslah merupakan kekuatan pimpinan yang
lahir dari kekuatan masyarakat sendiri. Pemerintah haruslah demokratis, berasal
dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, menjalankan kebijaksanaannya atas
persetujuan rakyat berdasarkan musyawarah dan dimana rasa keadilan dan martabat
kemanusiaan tidak terganggu.[27]
Kekuatan yang sebenarnya di dalam negara ada di tangan rakyat, dan pemerintah
harus bertanggung jawab pada rakyat.
Menegakkan keadilan mencakup
penguasaan atas keinginan-keinginan dan kepentingan-kepentingan pribadi yang
tidak mengenal batas (hawa nafsu). Adalah kewajiban dari negara sendiri dan
kekuatan-kekuatan sosial untuk menjunjung tinggi prinsip kegotongroyongan dan
kecintaan sesama manusia. Menegakkan keadilan adalah amanat rakyat pada
pemerintah yang mesti dilaksanakan.[28]
Ketaatan rakyat pada pemerintah yang adil merupakan ketaatan kepada diri
sendiri yang wajib dilaksanakan. Didasarkan oleh sikap hidup yang benar,
ketaatan kepada pemerintah termasuk dalam lingkungan ketaatan kepada Tuhan
(Kebenaran Mutlak).[29]
Pemerintah yang benar dan harus ditaati adalah mengabdi kepada kemanusiaan,
kebenaran dan akhirnya kepada Tuhan Yang Maha Esa.[30]
Perwujudan menegakkan keadilan yang
terpenting dan berpengaruh ialah menegakkan keadilan di bidang ekonomi atau
pembagian kekayaan di antara angota masyarakat. Keadilan menuntut agar setiap
orang dapat bagain yang wajar dari kekayaan atau rezeki. Dalam masyarakat yang
tidak mengenal batas-batas individual, sejarah merupakan perkembangan dialektis
yang berjalan tanpa kendali dari pertentangan-pertentangan golongan yang
didorong oleh ketidakserasian antara pertumbuhan kekuatan produksi di satu
pihak dan pengumpulan kekayaan oleh golongan-golongan kecil dan hak-hak
istimewa dilain pihak.[31]
Karena kemerdekaan tak terbatas mendorong timbulnya jurang-jurang pemisah
antara kekayaan dan kemiskinan yang semakin dalam. Proses selanjutnya apabila
–yaitu bila sudah mencapai batas maksimal- pertentangan golongan itu akan
menghancurkan sendi-sendi tatanan sosial dan membinasakan kemanusiaan dan
peradabannya.[32]
Dalam masyarakat yang tidak adil,
kekayaan dan kemiskinan akan terjadi dalam kualitas dan proporsi yang tidak
wajar, sekalipun realitas selalu menunjukkan adanya perbedaan-perbedaan antara
manusia dalam kemampuan fisik maupun mental namun kemiskinan dalam masyarakat
dengan pemerintah yang tidak menegakkan keadilan adalah keadilan yang merupakan
perwujudan dari kedzaliman. Orang-orang kaya menjadi pelaku dari kedzaliman
sedangkan orang-orang miskin dijadikan sasaran atau korbannya. Oleh karena itu,
sebagai yang menjadi sasaran kedzaliman, orang-orang miskin berada dipihak yang
benar. Pertentangan antaera kaum miskin menjadi pertentangan antara kaum yang
menjalankan kezaliman dengan yang dizalimi.
Kejahatan dibidang ekonomi yang
meneluruh ada;ah penindasan oleh kapitalisme. Dengan kapitalisme akan sangat
mudah seseorang dapat memeras orang-orang yang berjuang mempertahankan hidupnya
karena kemiskinan, kemudian merampas hak-haknya secara tidak sah, berkat
kemampuannya untuk memaksakan persyaratan kerjanya dan hidup kepada mereka.
Oleh karena iitu menegakkan keadilan mencakup pemberantasan kapitalisme dan
segenap usaha akumulasi kekayaan pada sekelompok kecil masyarakat.[33]
Sesudah syirik kejahatan terbesar kepada kemanusiaan adalah penumpukkan harta
kekayaan beserta penggunaannya yang tidak benar, menyimpang dari kepentingan
umum, tidak mengikuti jalan Tuhan.[34]
Maka menegakkan keadilan inilah membimbing manusia ke arah pelaksanaan tata
masyarakat yang akan memberikan kepada setiap orang kesempatan yang sama untuk
mengatur hidupnya secara bebas dan terhormat (amar ma’ruf) dan pertentangan
terus menurus terhadap segala bentuk penindasan kepada manusia, kepada
kebenaran asasi dan rasa kemanusiaan (nahi munkar). Dengan perkataan lain harus
diadakan cara-cara memperoleh, mengumpulkan dan menggunakan kekayaan itu. Cara
yang tidak bertentangan dengan kemanusiaan diperbolehkan (yang ma’ruf
dihalalkan) sedangkan cara yang bertentangan dengan kemanusiaan dilarang (yang
munkar diharamkan).[35]
Pembagian ekonomi secara tidak benar
itu hanya ada dalam suatu masyarakat yang tidak menjalankan prinsip Ketuhanan
Yang Maha Esa, dalam hal ini pengakuan berketuhanan Yang Maha Esa tetapi tidak melaksanakannya,
sama nilainya dengan tidak berketuhanan sama sekali. Sebab nilai-nilai tidak
dapat dikatakan hidup sebelum menyatakan diri dalam amal perbuatan yang nyata.[36]
Dalam suatu masyarakat yang tidak
menjadikan Tuhan sebagai satu-satunya tempat untuk tunduk dan menyerahkan diri,
manusia dapat diperbudaknya antara lain oleh harta benda. Tidak lagi seorang
pekerja menguasai hasil pekerjaannya, tetapi justru dikuasai oleh hasil
pekerjaan itu. Produksi seorang buruh memperbesar kapital majikan tetapi dari
kapital itu selanjutnya lebih memperbudak buruh. Demikian pula terjadi pada
majikan bukan ia menguasai kapital, tetapi kapital itulah yang menguasainya.
Kapital atau kekayaan telah menggenggam dan memberikan sifat-sifat tertentu,
seperti keserakahan, ketamakan, dan kemiskinan.
Oleh karena itu menegakkan keadilan
bukan saja dengan amar ma’ruf nahi munkar, sebagaimana diterangkan dimuka,
tetapi juga melalui pendidikan yang intensif terhadap pribadi-pribadi agar
tetap mencintai kebenaran dan menyadari secara mendalam akan adanya Tuhan.
Dalam masyarakat, yang adil mungkin masih terdapat pembagian manusia menjadi
golongasn kaya dan miskin. Tetapi hal itu terjadi dalam batas-batas kewajaran
dan kemanusiaan dengan pertautan kekayaan dan kemiskinan yang mendekat. Hal itu
sejalan dengan dibenarkannya pemilikan pribadi (privat ownership) atas harta
kekayaan dan adanya perbedaan-perbedaan tak terhindarkan dari
kemampuan-kemampuan pribadi, fisik maupun mental.[37]
Walaupun demikian usaha-usaha kearah
perbaikan dalam pembagian rezeki ke arah yang merata tetap harus dijalankan
oleh masyarakat. Dalam hal ini zakat adalah penyelesaian terakhir maslah
perbedaan kaya dan miskin itu. Zakat dikenakan hanya atas harta yang diperoleh
secara benar, sah dan halal saja. Sedangkan harta kekayaan yang haram tidak
dikenakan zakat, tetapi harus dijadikan milik umum guna manfaat bagi rakyat
dengan jalan penyitaan oleh pemerintah. Oleh karena itu, sebelum penarikan
zakat dilakukan terlebih dahulu harus dibentuk suatu masyarakat yang adil berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa, dimana tidak lagi didapati cara memperoleh kekayaan
secara haram, dimana penindasan atas manusia oleh manusia dihapuskan.[38]
Sebagaimana ada ketetapan tentang
bagaimana harta kekayaan itu diperoleh, juga ditetapkan bagaimana mempergunakan
harta kekayaan itu. Pemilikan pribadi dibenarkan hanya jika digunakan hak itu
tidak bertentangan pemilikan pribadi yang menjadi batal dan pemerintah berhak
mengajukan konsfikasi penggunaan dalam masyarakat.[39]
Seseorang dibenarkan mempergunakan harta kekayaan dalam batas-batas tertentu,
yaitu dalam batas yang tidak kurang tetapi juga tidak melebihi rata-rata
penggunaan yang berlebihan karena bertentangan dengan perikemanusiaan.[40]
Kewenangan selalu menjadi provokasi terhadap pertentangan golongan dan
masyarakat membuat akibat destruktif.[41]
Sebaliknya penggunaan kurang dari rata-rata masyarakat merusak diri sendiri
dalam masyarakat disebabkan membekunya sebagian dari kekayaan umum yang dapat
digunakan untuk menfaat bersama.[42]
Hal itu semua merupakan kebenaran karena pada
hakekatnya seluruh harta kekayaan ini adalah milik Tuhan.[43]
Manusia seluruhnya diberi hak yang sama atas kekayaan itu dan harus diberi hak
yang sama atas kekayaan dan harus diberikan bagian yang wajar daripadanya.[44]
Pemilikan oleh seseorang (secara
benar) hanya bersifat relatif sebagaimana amanat dari Tuhan. Penggunaan harta
itu sendiri harus sejalan dengan yang dikehendaki Tuhan, untu kepentingan umum.[45]
Makan kalau terjadi kemiskinan, orang-orang miskin diberi hak atas sebagian
harta orang-orang kaya, terutama yang masih dekat hubungan dalam keluarga.
Adalah kewajiban negara dan masyarakat untuk melindungi kehidupan keluarga dan
memberinya bantuan dan dorongan. Negara yang adil menciptakan persyaratan hidup
yang wajar sebagaimana diperlukan oleh pribadi-pribadi agar dia dan keluarganya
dapat mengatur hidupnya secara terhormat sesuai dengan keinginan-keinginannya
untuk dapat menerima tanggung jawab atas kegiatan-kegiatannya. Dalam
prakteknya, hal itu berarti bahwa pemerintah harus membuka jalan yang mudah dan
kesempatan yang sama kearah pendidikan kecakapan yang wajar, kemerdekaan
beribadah sepenuhnya dan pembagian kekayaan bangsa yang pantas.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pada akhirnya, di tengah Sumber Daya Alam yang makin menipis
dan kelangkaan Sumber Daya Manusia yang bermutu maka tak ada pilihan kecuali
secara sadar kita harus memilih dan mengembangkan terus sistem Ekonomi
Pancasila sebagai ekonomi jalan tengah/alternative (the
third way) dari ekonomi komando maupun kapitalisme. Intinya, sistem
ekonomi Pancasila adalah beyond right and left yang terbukti dan
khas Indonesia. Ekonomi Pancasila sebagai sebuah sistem sudah mulai terlihat
dari ciri dan tujuannya. Sebagai sebuah praksis, sistem ini juga sudah diimplementasikan
oleh para pelaku dan terbukti hasilnya. Tetapi, sistem ini membutuhkan
implementasi yang lebih kongkrit, jelas dan kuat. Ia memerlukan usaha yang
lebih konsisten dan serius dari para pelaku di lapangan agar melebihi hasil yang
telah diperoleh dari pelaku sebelumnya. Namun, dari sisi body
of knowledge, sistem Ekonomi Pancasila masih menjadi perdebatan sehingga
perlu kajian lebih lanjut. Para pakar ekonomi ditantang untuk mematangkan body
of knowledge ekonomi Pancasila agar menyempurna di masa depan. Di atas
segalanya, sistem Ekonomi Pancasila harus selalu dikaji dan disebarkan dalam
kegiatan semangat "ada ekonomi lain” di luar ekonomi komando dan ekonomi
kapitalisme. Ekonomi Pancasila harus disubtansikan, diimplementasikan bahkan
diinternasionaliskan agar dikenal luas di seluruh dunia. Harapannya, Indonesia
akan dapat dipahami oleh pihak luar sebagai bangsa yang memiliki dan
mempraktekkan ide yang khas berupa "sistem ekonomi Indonesia." Dengan
begitu, pihak-pihak luar akan memberikan kesempatan pada kita untuk membangun
bangsa dan negara dengan nilai-nilai dan kemampuannya sendiri.
Melalui sistem Ekonomi Pancasila
atau yang kini khas dengan sebutan “Ekonomi
Kerakyatan” diharapkan dapat mencapai kemakmuran dan kesejahteraan rakyat,
kemajuan perekonomian, pemerataan taraf hidup masyarakat yang mandiri, serta
mengejar ketertinggalan untuk mempu sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia,
perekonomian Indonesia tentu harus mampu tumbuh relatif tinggi. Pertumbuhan
posotif itu mesti berkesinambungan dari tahun ke tahun. Dan , tak kalah
penting, pertumbuhan ekonomi harus mampu menciptakan keadilan (pemerataan) bagi
seluruh rakyat Indonesia. Kondisi ini yang diharapkan dan dimaksudkan sebagai
pertumbuhan ekonomi yang berkualitas.
B. Saran
Merevitalisasi
Sistem Ekonomi Pencasila dan mulai mengaplikasikannya mulai dari kehidupan
perseorangan, keluarga, masyarakat, lingkungan sekitar dan dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Sebagai sebuah refleksi terhadap sila kelima, yaitu
“keadilan sosial nagi seluruh rakyat Indonesia”. Juga mengoptimalkan segenap
elemen HMI, mulai dari tingkatan struktur Komisariat, Cabang, PB yang terus
disinambungkan olah KAHMI untuk terus konsisten mambawa misi HMI dalam
kehidupannya. Yang juga sebagai sebuah refleksi terhadap tujuan HMI, terutama
kualitas insan cita yang kelima, yaitu “insan yang bertanggung jawab atas
terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah SWT.
[1]Prabowo Subianto, 2010, Membangun
Kembali Indonesia Raya, Haluan Baru Menuju Kemakmuran, (Jakarta: Institut Garuda Nusantara), hal
58.
[2] Sumber: Badan Pusat Statistik, berbagai
edisi.
[5]Lahan pertanian kini sedikit banyak telah
tergerus olah berdirinya lahan-lahan baru diatas lahan pertanian. Seperti
perluasan industri yang besar-besaran, komplek perumahan, pembukaan
toko/market, dan perluasan berbagai fasilitas umum seperti jalan raya. Hal
tersebut tidak dibarengi dengan pembukaan lahan baru untuk lahan pertanian.
[6]Prabowo Subianto, 2010, Membangun
Kembali Indonesia Raya, Haluan Baru Menuju Kemakmuran, (Jakarta: Institut Garuda Nusantara), hal
60.
[7]Terbinanya insan akademis, pencipta,
pengabdi, yang bernafaskan Islam dan bertanggung jawab atas terwujudnya
masyarakat adil makmur yang di ridhoi Allah SWT. (Tujuan HMI, Anggaran Dasar
HMI Pasal 4)
[11] Ekonomi
Pancasila sudah ada sejak awal karena tercantum dalam Pancasila dan UUD-45
(Mubyarto dan Dawam Rahardjo).
[13] Ferry J.
Juliantono, 2009. Jalan Baru Ekonomi Diadili, Sebuah Pledoi Politik, Jakarta, PT Wahana Semesta Intermedia.
[14] Yudi Latif,
2010, Negara Paripurna; Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila. (Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama), hal.
582-583.
[18] Sri-Edi Swasono, 2009, Membangun Ekonomi Rakyat, (Surabaya: Universitas 17 Agustus 1945), hal. 6.
[22] Kwik, K.G. dan B.N.
Marbun (penyunting), 1996, Sepak Terjang
Konglomerat, cetakan ke-6, (Jakarta: Pustaka Sinar harapan).
[23] Budiman, A., 1989, Sistem Perekonomian Pancasila dan Ideologi Ilmu Sosial di Indonesia, (Jakarta:
PT Gramedia), hal. 4.
[24] Sjahrir, 1987, Kebijaksanaan Negara: Konsistensi dan Implementasi, (Jakarta:
LP3ES), hal.
162-164.
subhanallah. keren dan sangat membantu sekali
BalasHapus