Senin, 28 November 2011

“ Membumikan Kembali Ekonomi Pancasila; Menuju Kesejahteraan Rakyat, Membentuk Kemandirian Rakyat “ (Sebuah Refleksi terhadap Sila kelima Pancasila dan Tujuan HMI)


BAB I
PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang Masalah
Kemiskinan dan pengangguran masih menjadi permasalahan besar bagi bangsa Indonesia. Bahkan sejak krisis ekonomi dan era reformasi, kemiskinan dan pengangguran sudah berubah wujud menjadi lebih sistemik. Jumlah penduduk miskin di Indonesia masih tinggi bila diukur menurut standar Badan Pusat Statistik ataupun standar internasional seperti World Bank. Kondisi kemiskinan serta pengangguran, bahkan diperparah dengan terus melambungnya harga bahan pokok serta biaya ekonomi lainnya.[1] Padahal Indonesia mempunyai kelimpahan dan keunggulan sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya kapital, namun itu semua hanya membuat Indonesia mancapai produk domestik brotu per kapita di atas US$2 ribu atau sekitar US$2.181 pada tahun 2008. Dan sekitar US$2.499,5 pada tahun 2009. Sementara negara-negara seperti Thailand, Brasil dan Mexico telah melewati angka US$2 ribu pada tahun 1990-an.[2]
Kemiskinan bangsa kita memang sangat khas dan sulit diatasi karena kemiskinan struktural tersebut berjumlah sangat besar dan tersebar di wilayah yang sangat luas. Pada tahun 2006, kemiskinan meningkat menjadi 39,05 juta jiwa atau 17.75% dibanding tahun 2005 sebesar 35,10 juta jiwa atau 15.97%.[3] Kemiskinan tersebut menyebabkan daya saing sebagian masyarakat kita sangat rendah. Daya saing yang sangat rendah tersebut memperburuk kondisi kemiskinan. Menurut laporan World Economic Forum, daya saing negara kita berada pada urutan ke-50 dari 125 negara yang disurvei. Sementara Singapura masuk 10 besar.[4]
Kesejahteraan rakyat baik dari sisi pendapatan, lapangan pekerjaan, tingkat upah minimum dan akses terhadap sarana dasar sehari-hari masih jauh dari yang diharapkan. Hak-hak dasar baik sosial maupun ekonomi masih banyak yang belum terpenuhi.
Petani yang merupakan proporsi terbesar penduduk Indonesia, terjebak pada kondisi pemilikan dan pengusahaan lahan yang sempit[5]. Alhasil, kesempatan mereka untuk meningkatkan kesejahteraan melalui budidaya di lahan tersebut menjadi tipis. Ujung-ujungnya, mereka terjebak pada kemiskinan struktural. Nilai tukar petani terhadap barang atau komoditas lainnya sangat rendah. Sehingga, petani tidak mampu membeli kebutuhannya untuyk meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Untuk itu perlu diperlukan strategi dan kebijakan yang mampu secara riil dan efektif mengangkat petani mancapai kesejahteraan yang relatif tinggi dan memberdayakan mereka dalam proses pembangunan nasional.
Nasib yang hampir sama juga dialami oleh para nelayan nasional ketika mereka juga sebagian besar terjepit dan terhimpit dalam lingkaran kemiskinan yang tak berujung. Kondisi ini terutama disebabkan oleh rendahnya akses terhadap permodalan, penggunaan teknologi penangkapan ikan yang masih tradisional. Belum lagi adanya tekanan serta persaingan langsung dengan pengusaha perikanan, baik pengusaha domestik maupun asing yang umumnya tergolong besar dan bermodal kuat.
Sebagian besar penduduk Indonesia yang termasuk dalam kelompok termajinalkan juga menghadapi permasalahan kesejahteraan yang rendah. Mereka adalah pegawai honorer, guru bantu dan honorer, para buruh pabrik, para pemulung yang pekerjaan sehari-hari masih sulit untuk mendapatkan tingkat upah yang layak. Bahkan, hanya sekadar untuk mencukupi kebutuhan keluarga sehari-hari. Penduduk termajinalkan ini membutuhkan lapangan pekerjaan, sumber pandapatan yang layak untuk dapat meningkatkan harkat, martabat mereka, serta mendapatkan perlindungan kepastian hukum dalam berusaha.
Selanjutnya, untuk kelompok masyarakat miskin dan tidak mampu serta penyandung cacat, anak terlantar dan usia lanjut, sistem sosial budaya nasional belum memberikan dukungan dan bantuan konstruktif yang memadai untuk mereka. Sebagian besarnya masih merupakan bantuan yang bersifat sementara dan merupakan sumbangan semata. Kebijakan penanganan masyarakat kelompok ini yang dilakukan pemerintah kurang mendidik dan justru menciptakan ketergantungan serta tidak memecahkan permasalahan mendasarnya. Kebijakan pembagian bantuan langsung tunai (BLT) misalnya, sebagai kompensasi kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), lebih cenderung bersifat amal. Cara ini tidak mendidik masyarakat miskin, bahkan menciptakan ketergantungan untuk selalu meminta belas kasih bantuan pemerintah. Pola penanganan dan kebijakan penanggulangan kesejahteraan rakyat untuk kelompok masyarakat ini seharusnya diarahkan untuk kegiatan atau usaha penciptaan lapangan kerja. Harus dicarikan usaha produktif yang mampu memberdayakan masyarakat dalam jangka pendek maupun menengah. Adalah lebih berharga dengan mendidik serta menempatkan kelompok masyarakat ini lebih terpandang bila mereka mendapatka upah atau insentif dari setiap pekerjaan yang mereka lakukan sendiri.[6]
Dengan demikian, komitmen untuk melaksanakan amanat Undang-Undang Dasar 1945 dapat dicapai secara nyata, yaitu menjamin hak-hak tiap individu dan keluarga untuk mendapatkan pekerjaan yang layak untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka secara layak pula.
Disamping itu, masih banyak aspek kesejahteraan sosial masyarakat yang masih belum mampu dapat terpenuhi dengan baik. Untuk penanggulangan kesejahteraan rakyat ini, diperlukan sistem perekonomian yang memang berpihak kepada rakyat dalam artian dapat menumbuhkembangkan kemandirian rakyat agar mampu menciptakan kesejahteraan ekonomi bagi rakyat Indonesia itu sendiri.

B.     Rumusan Masalah

Rakyat Indonesia masih mendambakan terwujudnya cita-cita dan tujuan bangsa untuk menjadi negara yang tidak hanya merdeka, bersatu dan berdaulat, tetapi juga adil dan makmur sesuai dengan isi Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Saat ini sangat relevan bagi segenap bangsa Indonesia untuk kembali mendalami cita-cita dan tujuan luhur kemerdekaan seperti tercantum dalam pembukaan UUD 1945 karena negara serta masyarakat Indonesia masih dihadapkan kepada persoalan dan permasalahan terkait pemerataan/keadilan ekonomi yang bermuara pada suautu kondisi sejahtera dan mandiri bagi masyarakat Indonesia secara keseluruhan.
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) sebagai organisasi kemahasiswaan dan perjuangan yang mempunyai tujuan salah satunya yaitu, mewujudkan masyarakat adil makmur yang di ridhoi Allah SWT[7] juga mempunyai tanggung jawab moral terhadap pewujudan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Sebuah tujuan organisasi yang telah lama hingga kini belum terlihat pencapaiannya, khususnya tanggung jawab dalam mewujudkan masyarakat adil makmur. Peran apa, yang lalu bisa HMI perankan dalam rangka mewujudkan masyarakat adil makmur? Dan sistem ekonomi seperti apa yang dapat mengangkat harkat dan martabant rakyat Indonesia menuju pada kesejahteaan dan kemandirian?

C.    Tujuan

Penulisan makalah ini bertujuan untuk syarat mengikuti kegiatan Intermediate Training (Latihan Kader II) Tingkat Nasional, dan yang paling utama adalah sebagai bahan pembelajaran dan diskusi pada proses training nantinya, dan sebagai sebuah refleksi dari sila kelima Pancasila dan Tujuan HMI.



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Kesejahteraan dan Kemandirian

Dalam Dalam istilah umum, sejahtera menunjuk ke keadaan yang baik, kondisi manusia di mana orang-orangnya dalam keadaan makmur, dalam keadaan sehat dan damai. Dalam ekonomi, sejahtera dihubungkan dengan keuntungan benda. Sejahtera memliki arti khusus resmi atau teknikal (lihat ekonomi kesejahteraan), seperti dalam istilah fungsi kesejahteraan sosial. Dalam kebijakan sosial, kesejahteraan sosial menunjuk ke jangkauan pelayanan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.[8]
Kemandirian merupakan salah satu aspek kepribadian yang sangat penting bagi individu. Seseorang dalam menjalani kehidupan ini tidak pernah lepas dari cobaan dan tantangan. Individu yang memiliki kemandirian tinggi relatif mampu menghadapi segala permasalahan karena individu yang mandiri tidak tergantung pada orang lain, selalu berusaha menghadapi dan memecahkan masalah yang ada.
Menurut Antonius seseorang yang mandiri adalah suatu suasana dimana seseorang mau dan mampu mewujudkan kehendak atau keinginan dirinya yang terlihat dalam tindakan atau perbuatan nyata guna menghasilkan sesuatu (barang atau jasa) demi pemenuhan kebutuhan hidupnya dan sesamanya. Menurut Mutadin kemandirian adalah suatu sikap individu yang diperoleh secara kumulatif selama perkembangan, individu akan terus belajar untuk bersikap mandiri dalam menghadapi berbagai situasi lingkungan, sehingga individu pada akhirnya akan mampu berfikir dan bertindak sendiri dengan kemandiriannya seseorang dapat memilih jalan hidupnya untuk dapat berkembang dengan lebih mantap. Menurut Drost kemandirian adalah individu yang mampu menghadapi masalah-masalah yang dihadapinya dan mampu bertindak secara dewasa. Hasan Basri mengatakan bahwa kemandirian adalah keadaan seseorang dalam kehidupannya mampu memutuskan atau mengerjakan sesuatu tanpa bantuan orang lain.[9]
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa kemandirian adalah kemampuan seseorang dalam mewujudkan kehendak atau keinginannya secara nyata dengan tidak bergantung pada orang lain.

B.     Ekonomi Pancasila

Dicetuskan oleh Soekarno-Hatta, didengungkan kembali oleh Emil Salim dan di kembangkan oleh Mubyarto. Meski bukan yang pertama dan yang satu-satunya, tapi di tangan beliaulah Ekonomi Pancasila berkembang dan menemukan bentuknya. Tak heran jika nama Mubyarto ini kemudian lekat dan identik dengan Ekonomi Pancasila. Begitupun sebaliknya.
Sejarah sistem ekonomi Pancasila sebenarnya adalah sejarah Republik Indonesia, yang lahir dalam jantung bangsa melalui Pancasila dan UUD 45 beserta tafsirannya. Karena itu sistem ekonomi Pancasila bersumber langsung dari Pancasila sila kelima; Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dan amanat pasal 27 (2), 33-34 UUD 45. Sila kelima ini menjelaskan bahwa semua orientasi berbangsa dan bernegara –politik, ekonomi, hukum, sosial, dan budaya- adalah dijiwai semangat keadilan menyeluruh dan diperuntukkan bagi seluruh rakyat Indonesia. Khusus dalam hal ekonomi diperjelas kembali dalam pasal 27 (2) berbunyi; tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Pasal 33 berbunyi; (1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. (2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. (3) Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dalam bab penjelasan dari pasal 33 bab kesejahteraan sosial lebih jauh dinyatakan bahwa, demokrasi ekonomi adalah produksi yang dikerjakan oleh semua, untuk semua di bawah pimpinan atau pemilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakat diutamakan, bukan kemakmuran orang seorang. Sebab itu perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas usaha kekeluargaan. Bangun perusahaan yang sesuai dengan itu adalah koperasi. Perekonomian berdasar atas demokrasi ekonomi, kemakmuran bagi semua orang. Sebab itu cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara. Kalau tidak, tampuk produksi jatuh ke tangan orang yang berkuasa dan rakyat banyak akan ditindasnya. Hanya perusahaan yang tidak menguasai hajat hidup orang banyak yang boleh di tangan orang seorang. Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat, sebab itu harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sedang pasal 34 berbunyi; Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara.[10]
Keberadaan sistem Ekonomi Pancasila sudah ada dengan Pancasila sebagai landasan idealnya dan UUD-45 sebagai landasan konstitusionalnya.[11] Keduanya lebih lanjut dijabarkan dalam Tap MPR/S (GBHN), UU dan Peraturan Pemerintah. GBHN sendiri merupakan arah dan kebijakan negara dalam penyelenggraaan pembangunan, termasuk pembangunan ekonomi. GBHN juga merupakan hasil perencanaan nasional yang disusun oleh pemerintah dan dibahas serta disahkan dalam sidang umum MPR. Pada level Tap MPR tentang GBHN dapat kita lacak dari ketetapan No. XXIII/MPRS/1966. Inti dari ketetapan ini adalah kalimat yang berbunyi, "sistem ekonomi terpimpin berdasarkan Pancasila sebagai jaminan berlangsungnya demokrasi ekonomi. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama atas asas  kekeluargaan,…"[12]
Ekonomi Pancasila merupakan ilmu ekonomi kelembagaan (institutional economics) yang menjunjung tinggi nilai-nilai kelembagaan Pancasila sebagai ideologi negara, yang kelima silanya, secara utuh maupun sendiri-sendiri, menjadi rujukan setiap orang Indonesia. Jika Pancasila mengandung 5 asas, maka semua substansi sila Pancasila yaitu (1) etika, (2) kemanusiaan, (3) nasionalisme, (4) kerakyatan/demokrasi, dan (5) keadilan sosial, harus dipertimbangkan dalam model ekonomi yang disusun. Kalau sila pertama dan kedua adalah dasarnya, sedangkan sila ketiga dan keempat sebagai caranya, maka sila ke lima Pancasila adalah tujuan dari Ekonomi Pancasila.
Ideologi Ekonomi Pancasila adalah “aturan main” yang mengikat setiap pelaku ekonomi, yang apabila dipatuhi secara penuh akan mengakibatkan tertib dan teraturnya perilaku setiap warga negara. Dan ketertiban serta keteraturan perilaku ini pada gilirannya akan menyumbang pada kemantapan dan efektifitas usaha perwujudan keadilan sosial.
Sebagaimana kita pahami bersama, bahwa moralitas teori ekonomi Adam Smith adalah kebebasan (liberalisme), dan moralitas teori ekonomi Marx adalah diktator, maka moralitas ekonomi Pancasila mencakup seluruh asas Pancasila yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, dan Keadilan Sosial. Pancasila sebagai dasar negara dapat diterapkan dalam kehidupan ekonomi bangsa, negara, dan masyarakat. Sila-sila yang terdapat pada Pancasila sudah seharusnya menjadi dasar pelaksanaan perekonomian bangsa Indonesia dan tidak perlu ditawar-tawar lagi. Pancasila sebagai dasar negara sangat sesuai dengan watak dan kepribadian bangsa Indonesia. Oleh karenanya nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila harus nyata kita aplikasikan dalam segala aspek kehidupan sebagai jati diri bangsa Indonesia. Hanya bangsa yang memiliki jati diri luhurlah yang akan memiliki martabat yang tinggi sebagaimana yang pernah kita rasakan beberapa waktu lalu sebelum reformasi.
Sistem Ekonomi Pancasila memiliki empat ciri yang menonjol, yaitu :
1.        Yang menguasai hajat hidup orang banyak adalah negara/pemerintah. Contoh hajat hidup orang banyak yakni seperti air, bahan bakar minyak/BBM, pertambangan/hasil bumi, dan lain sebagainya.
2.        Peran negara adalah penting namun tidak dominan, dan begitu juga dengan peranan pihak swasta yang posisinya penting namun tidak mendominasi. Sehingga tidak terjadi kondisi sistem ekonomi liberal maupun sistem ekonomi komando. Kedua pihak yakni pemerintah dan swasta hidup beriringan, berdampingan secara damai dan saling mendukung.
3.        Masyarakat adalah bagian yang penting di mana kegiatan produksi dilakukan oleh semua untuk semua serta dipimpin dan diawasi oleh anggota masyarakat.
4.        Modal atau pun buruh tidak mendominasi perekonomian karena didasari atas asas kekeluargaan antar sesama manusia.
Dalam sistem ekonomi pancasila perekonomian liberal maupun komando harus dijauhkan karena terbukti hanya menyengsarakan kaum yang lemah serta mematikan kreatifitas yang potensial. Persaingan usaha pun harus selalu terus-menerus diawasi pemerintah agar tidak merugikan pihak-pihak yang berkaitan.

C.    Kebutuhan akan Ilmu Ekonomi Pancasila


Pada tahun 1936 J.M. Keynes seorang diri membuat revolusi dengan menunjukkan bahwa ilmu ekonomi yang dipelajari dan dikembangkan selama 150 tahun sejak 1776 adalah ilmu yang keliru yang harus ditinggalkan jika sistem kapitalisme ingin selamat. Hal mendasar yang paling jelas kekeliruannya adalah kepercayaan selalu terjadinya keseimbangan (equilibrium) antara pasokan (supply) dan permintaan (demand) yang terkenal sebagai hukum Say (Say’s Law).
Ilmu Ekonomi di Indonesia, seperti halnya di banyak negara berkembang yang lain, juga tidak relevan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat atau untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Ilmu ekonomi yang diajarkan di Indonesia sejak pertengahan tahun 50-an adalah ilmu yang mengajarkan keserakahan perorangan atas alam benda, yang mengajarkan sifat-sifat egoisme (memikirkan diri sendiri) pada setiap orang dan menafikan asas dan semangat kekeluargaan.
Ilmu Ekonomi Pancasila bertolak belakang dengan ilmu ekonomi Neoklasik ortodok yang kini diajarkan di perguruan-perguruan tinggi dan sekolah-sekolah lanjutan, yang mengasumsikan rumah tangga atau masyarakat semata-mata sebagai konsumen yang hanya bertindak sebagai kumpulan “tukang belanja” dan di pihak lain produsen yaitu dunia usaha yang pekerjaannya sangat mulia yaitu memproduksi barang dan jasa bagi kepentingan masyarakat. Kemakmuran dan kesejahteraan rakyat/masyarakat dianggap selalu merupakan misi dunia usaha. Maka investor selalu dianggap “dewa penyelamat” yang tugasnya “memakmurkan masyarakat” atau membuka lapangan kerja baru bagi tenaga kerja yang membutuhkannya.
Demikian pakar-pakar ekonomi Indonesia yang menerima sebagai tugasnya mengemban amanat penderitaan rakyat harus berdiri di baris terdepan merombak total ajaran ilmu ekonomi Neoklasik ortodok yang sudah kita terima laksana ajaran agama, padahal ia jelas-jelas hanya mengajarkan keserakahan perorangan atas alam benda. Ilmu Ekonomi Pancasila adalah ilmu tentang ekonomi moral yang sesuai nilai dan budaya bangsa.
Prof. Mubyarto dan Prof. Sri-Edi Swasono menegaskan bahwa yang diperlukan saat ini adalah kehidupan ekonomi yang digerakkan oleh seluruh lapisan masyarakat, yang mencerminkan karakter bangsa Indonesia, yaitu Ekonomi Pancasila. Jika dilihat dari sudut pandang mikro, perekonomian Indonesia memiliki nilai moral dan etika luhur yang dapat membentengi manusia dari nafsu serakah. Namun yang banya terjadi adalah bahwa moral dan etika tersebut telah pudar dalam kahidupan perekonomian Indonesia dimana pasar lebih mengagungkan kompetisi dan semangat keserakahan individualisme dan bukan ekonomi kekeluargaan yang kooperatif. Yang lebih menyedihkan lagi adalah yang kalah dalam pasar lebih banyak dan hanya sebagai penonton setia dari perilaku pemenang. Keprihatinan juga mencuat karena sistem kompetisi inilah yang selalu ditekankan dan diajarkan disekolah-sekolah dan perguruan tinggi.

D.    Mengapa Ekonomi Pancasila?

Mengapa Ekonomi Pancasila? Karena sistem ekonomi inilah yang menjamin tatanan ekonomi yang dapat memperkecil kesenjangan yang sangat lebar di dalam masyarakat Indonesia. Contoh nyata dari penerapan Ekonomi Pancasila sebenarnya sudah lama ada dan masih bisa ditemukan, yaitu kehidupan pedesaan yang kooperatif berdasarkan asas kekeluargaan. Mengingat pentingnya kembali kepada karakteristik bangsa untuk memulihkan kembali perekonomian Indonesia. Ekonomi Pancasila perlu dikaji secara induktif-empirik dan deduktif-logis sebagai satu kesatuan yang menyeluruh. Tujuannya adalah agar sistem Ekonomi Pancasila tidak hanya sebagai teori dan konsep dalam buku teks saja, tetapi juga berapa penerapan yang relevan dengan realitas kehidupan ekonomi bangsa Indonesia.

E.     Kembali ke Prinsip Ekonomi Kerakyatan UUD 1945

Dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33 (ayat3) mangatur bahwa bumi, air dan kekayaan yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sebagai salah satu sumber daya mineral yang tak terbaharui, minyak dan gas bumi (migas) menempati posisi yang penting dalam pembangunan negara dan kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu, pemerintah sebagai pemegang kuasa pertambangan, menentukan kebijakan dan melakukan pengusahaah terhadap minyak dan gas bumi untuk mencapai tujuan yang termaktub dalam pasal 33 (ayat 3) UUD 1945.[13]
Pasal ini sesuai dengan paham kolektifisme atau komunitarianisme yang menempatkan kepentingan masyarakat ditempatkan sebagai yang utama. Dalam demokrasi ekonomi, kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang seorang. Inilah ciri sosialistik pasal 33 UUD 1945.
Mengubah dasar ini, seperti dalam ayat 4 pasal 33 UUD 1945 yang telah diamandeman tahun 2002 dengan meletakkan kata berkeadilan di belakang kata efesiensi, merupakan penyelewengan filosofi sebelumnya menjadi paham individualisme atau liberal, karena kepentingan ekonomi lebih diutamakan dari pada kepentingan kesejahteraan.
Posisi rakyat dan kemakmuran rakyat yang prioritas telah tereduksi dan terdistorsi, ciri sosialisme pada pasal tersebut menjadi berkurang. Kata-kata efesiensi berkeadilan telah membuka celah masuknya kapitalisme dan kolonialisme baru dalam konstitusi Indonesia. “Efesiensi” dalam istilah ekonomi, berorientasi pada maximum gain dan maximum satisfaction, yang dalam paham ekonomi neoklasik merupakan wujud dari liberalisme ekonomi yang beroperasi melalui pasar bebas.
Kedaulatan ada di tangan rakyat, dengan kata lain “rakyat” adalah konsepsi politik, bukan konsepsi statistik. Rakyat tidak harus berarti seluruh penduduk. Rakyat dapat berarti “orang banyak”, yang memberi pengertian kepentingan publik dan bukan kepentingan orang perorang.
Mohammad Hatta yang memformulasikan pasal 33 UUD 1945 sejak dalam pembuangan di Boven Digoel dulu, telah menegaskan posisi rakyat di dalam penyelenggaraan pemerintahan merupakan kunci
Pada bulan Agustus 2002 bertepatan dengan peringatan 100 tahun Bung Hatta, UGM  mengumumkan berdirinya Pusat Studi Ekonomi Pancasila (PUSTEP) yang akan secara serius mengadakan kajian-kajian tentang Ekonomi Pancasila dan penerapannya di Indonesia baik di tingkat nasional maupun di daerah-daerah. Sistem Ekonomi Pancasila yang bermoral, manusiawi, nasionalistik, demokratis, dan berkeadilan, jika diterapkan secara tepat pada setiap kebijakan dan program akan dapat membantu terwujudnya keselarasan dan keharmonisan kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat.   
Sistem Ekonomi Pancasila berisi aturan main kehidupan ekonomi yang mengacu pada ideologi bangsa Indonesia, yaitu Pancasila. Dalam Sistem Ekonomi Pancasila, pemerintah dan masyarakat memihak pada (kepentingan) ekonomi rakyat sehingga terwujud kemerataan sosial dalam kemakmuran dan kesejahteraan. Inilah sistem ekonomi kerakyatan yang demokratis yang melibatkan semua orang dalam proses produksi dan hasilnya juga dinikmati oleh semua warga masyarakat.

F.     Ekonomi Pancasila sebagai Ekonomi Moral

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, Sistem Ekonomi Pancasila memiliki empat ciri yang menonjol, yaitu (1) Yang menguasai hajat hidup orang banyak adalah negara / pemerintah. (2) Peran negara adalah penting namun tidak dominan, dan begitu juga dengan peranan pihak swasta yang posisinya penting namun tidak mendominasi. Sehingga tidak terjadi kondisi sistem ekonomi liberal maupun sistem ekonomi komando. Kedua pihak yakni pemerintah dan swasta hidup beriringan, berdampingan secara damai dan saling mendukung. (3) Masyarakat adalah bagian yang penting di mana kegiatan produksi dilakukan oleh semua untuk semua serta dipimpin dan diawasi oleh anggota masyarakat. (4) Modal atau pun buruh tidak mendominasi perekonomian karena didasari atas asas kekeluargaan antar sesama manusia.
Ekonomi Pancasila mempunyai sistem dan moral tersendiri yang bisa dikenali, dan sifat-sifat sistem serta moral ekonomi Pancasila telah melandasi atau menjadi pedoman aneka perilaku ekonomi perorangan, kelompok-kelompok dalam masyarakat, pengusaha, pemerintah, dan negara. Sistem serta moral yang dimaksud bersumber pada ideologi bangsa Indonesia yaitu Pancasila. Kelima sila dalam Pancasila menggambarkan secara utuh semangat kekeluargaan (gotong royong) dalam upaya mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat dan masyarakat Indonesia.
Ekonomi Indonesia lebih menonjol sebagai ekonomi moral bukan ekonomi yang terlalu rasional. Ekonomi Pancasila menjunjung tinggi asas keadilan sosial bagi seluruh rakyat, rupanya apabila harus memilih antara keadilan sosial dan efisiensi, kita akan cenderung mengorbankan efisiensi. Efisiensi sebagai lawan keadilan rupanya analog dengan dilema (trade off) antara pertumbuhan dan pemerataan. Masyarakat Indonesia cukup cepat bereaksi menginginkan pemerataan pada waktu Pelita I berhasil meningkatkan pertumbuhan ekonomi, yang kemudian ternyata diikuti meningkatnya ketimpangan ekonomi yang menyolok.
Kiranya jelas bahwa ekonomi Pancasila harus kita akui sudah melekat pada sistem nilai dan budaya bangsa Indonesia. Meskipun kita secara terbuka ingin mengikis habis sifat-sifat irrasional yang tercermin dalam efisiensi dan produktivitas yang rendah, pada akhirnya kita menghadapi "tantangan" berupa moral ekonomi bangsa yang tidak sepenuhnya bersifat negatif. Dalam hati nurani sebagai bangsa masih selalu terselip.perasaan was-was jangan-jangan pengambilan pilihan yang semata-mata rasional justru akan merugikan dalam jangka panjang dan akhirnya akan kita sesali.

G.    Membumikan Keadilan Sosial dalam Kerangka Pancasila

Dalam menguraikan sila keadilan sosial (prinsip kesejahteraan), Soekarno menyatakan : “Maka oleh karena itu, jikalau kita memang betul-betul mengerti, mengingat, mencintai rakyat Indonesia, marilah kita terima prinsip sociale rechvaardigheid ini, yaitu bukan saja persamaan politik, saudara-saudara, tetapi pun di atas lapangan ekonomi kita harus mengadakan persamaan, artinya kesejahteraan bersama yang sebaik-baiknya”.[14] Dengan mengembangkan persamaan di lapangan ekonomi, Soekarno berharap “tidak akan ada kemiskinan di dalam Indonesia merdeka”. Pernyataan Soekarno tersebut seyogyanya tidak dipandang dari kecenderungan utopismenya, melainkan dari segi tekadnya yang kuat untuk mengupayakan keadilan dan kesejahteraan sosial di seberang jembatan emas kemerdekaan.
Sutan Sjahrir menyatakan, “Sekali-kali, tidaklah boleh kepentingan segolongan kecil yang hartawan bertentangan dengan kepentingan golongan rakyat banyak yang miskin. Keadilan yang kita kehendaki adalah keadilan bersama yang didasarkan atas kemakmuran dan kebahagiaan”[15]
Dalam kerangka merealisasikan keadilan itu, para pendiri bangsa kerap mengemukakan bahwa, “Negara adalah suatu organisasi masyarakat yang bertujuan menyelenggarakan keadilan.” Cita-cita menghadirkan keadilan bernegara dan negara yang berkeadilan mensyaratkan adanya emansipasi dan partisipasi di bidang politik yang berkaitan dengan emansipasi dan partisipasi di bidang ekonomi. Inilah yang disebut dengan prinsip “sosio-demokrasi”. Menurut Soekarno, “Sosio-demokrasi tidak ingin mengabdi kepada kepentingan sesuatu gundukan kecil saja, tetapi kepentingan masyarakat. Sosio-demokrasi adalah demokrasi politik dan demokrasi ekonomi,”[16]
Komitmen keadilan menurut alam pemikiran Pancasila berdimensi luas. Peran negara dalam perwujudan keadilan sosial, setidaknya ada dalam kerangka: 1. Perwujudan relasi yang adil di semua tingkatan sistem (kemasyarakatan), 2. Pengembangan struktur yang menyediakan kesetaraan kesempatan, 3. Proses fasilitasi akses atas informasi yang diperlukan, layanan yang diperlukan, dan sumber daya yang diperlukan, dan 4. Dukungan atas partisipasi bermakna atas pengambilan keputusan bagi semua orang. Yang dituju dari gagasan keadilan ini juga tidak terbatas pada pemenuhan kesejahteraan yang bersifaf ekonomis, tetapi juga terkait dengan usaha emansipasi dalam kerangka pembebasan manusia dari pemberhalaan terhadap benda, pemuliaan martabat kemanusiaan, pemupukan solidaritas kebangsaan, dan penguatan daulat rakyat.
Keadilan sekurang-kurangnya terwujud dalam tiga bentuk:[17]
1.      Keadilan dalam hubungan ekonomi antarmanusia secara orang-seorang dengan senantiasa memberikan kepada sesamanya apa yang semstinya diterima sebagai haknya. Inilah yang melahirkan keadilan tukar-menukar.
2.      Keadilan dalam hubungan ekonomi antar manusia dengan masyarakatnya, dengan senentiasa memberi dan melaksanakan segala sesuatu yang memajukan kemakmuran dan keejahteraan bersama. Inilah yang melahirkan keadilan sosial.
3.      Keadilan dalam hubungan ekonomi antara masyarakat dengan warganya, dengan senantiasa membagi segala kenikmatan dan beban secara merata sesuai dengan sifat dan kapasitasnya masing-masing. Inilah yang melahirkan “keadilan distribusi”.
Usaha mewujudkan keadilan sosial dalam berbagai hubungan ekonomi tersebut diletakkan dalam kerangka etis, imperatif moral Pancasila. Sri-Edi Swasono menjelaskan bahwa sistem ekonomi Pancasila dapat digambarkan sebagai sistem ekonomi yang berwawasan sila-sila Pancasila[18], yaitu:
1.      Kutuhanan Yang Maha Esa (adanya atau diberlakukannya etik dan moral agama, buka materialisme)
2.      Kemanusiaan (kehidupan berekonomi yang humanistik, adil dan beradab), tidak mengenal pemerasan dan penghisapan)
3.      Persatuan (berdasar sosio-nasionalisme Indonesia, kebersamaan dan berasas kekeluargaan, gotong royong, bekerjasama, tidak saling mematikan)
4.      Kerakyatan (berdasar demokrasi ekonomi, kedaulatan ekonomi, mengutamakan hajat hidup orang banyak, ekonomi rakyat sebagai dasar perekonomian nasional)
5.      Keadilan sosial secara menyeluruh (kemakmuran rakyat yang utama, bukan kemakmuran orang-seorang, berkeadilan, berkemaumuran)
Dengan formulasi yang lain, Mubyarto menyebutkan ciri-ciri sistem ekonomi Pancasila sebagai berikut[19]:
1.      Roda perekonomian digerakkan oleh rangsangan ekonomi, sosial, dan moral.
2.      Ada kehendak kuat dari seluruh anggota masyarakat untuk mewujudkan keadaan kemerataan sosial-ekonomi.
3.      Prioritas kebijaksanaan ekonomi adalah pengembangan ekonomi-nasional yang kuat dan tangguh, yang berarti nasionalisme selalu menjiwai setiap kebijaksanaan ekonomi,
4.      Koperasi merupakan sokoguru perekonomian nasional.
5.      Adanya imbangan yang jelas dan tegas antara sentralisme dan desentralisme kebijaksanaan ekonomi untuk menjamin keadilan ekonomi dan keadilan sosial dengan sekaligus menjaga prinsip efesiensi dan pertumbuhan ekonomi.




H.    Kritik terhadap Ekonomi Pancasila

Pertanyaan yang muncul setiap kali mendiskusikan sistem ekonomi Indonesia adalah: Sistem ekonomi yang sekarang berlangsung di Indonesia sebenarnya tergolong sistem ekonomi apa?
Ada beberapa pendapat mengenai hal ini. Pertama, pendapat yang mengatakan bahwa sistem ekonomi Indonesia bukan sistem kapitalisme maupun sosialisme. Emil Salim mengatakan bahwa Sistem Ekonomi Pancasila (SEP) adalah sistem ekonomi pasar dengan unsur perencanaan[20]. Dengan kata lain, sifat dasar dari kedua kutub ekstrim ini berada dalam keseimbangan. Mubyarto berpendapat bahwa Sistem Ekonomi Pancasila mungkin sekali berada di antara dua kutub tersebut, tapi di luarnya.[21]
Tentu saja pandangan ini mendapat banyak kritikan tajam. Frans Seda, misalnya, menjuluki pandangan ini sebagai paham "bukan-isme", yaitu paham serba bukan: bukan kapitalisme, bukan liberalisme, tidak ada monopoli, tidak ada oligopoli, tidak ada persaingan bebas yang saling mematikan, dsb.[22] Tidak berlebihan, bila ada yang menyebut sistem ekonomi semacam ini hanya dihuni oleh para malaikat, masyarakat utopia. Kritikan tajam juga datang dari Arief Budiman, yang mengatakan: "Tampaknya, Mubyarto sendiri belum dapat merumuskan dengan tepat apa isi SEP-nya. Dia baru berhasil membuat pagar-pagar batas untuk mengurung 'binatang' yang bernama SEP, sambil sekali-kali meraba-raba dan menerka-nerka bagaimana persisnya bentuk dan rupa 'binatang' ini".[23]
Pandangan kedua melihat sistem ekonomi Indonesia dalam dataran normatif maupun dataran positif. Secara normatif menurut UUD 1945, terutama pasal 33 ayat 2 dan 3, sistem ekonomi Indonesia seharusnya condong mengarah pada sosialisme. Oleh Mubyarto, ini diterjemahkan sebagai ekonomi kerakyatan. Ia menggambarkan bahwa pengembangan sistem ekonomi kerakyatan ibarat “perang gerilya ekonomi” yang bisa diwujudkan dengan pengembangan dan pemihakan penuh pada ekonomi rakyat, lewat upaya penanggulangan kemiskinan, peningkatan desentralisasi dan otonomi daerah, dan menghapus ketimpangan ekonomi dan sosial.
Namun, dewasa ini semakin kuatnya lapisan pengusaha dan muculnya gejala konglomerasi dan konsentrasi kekuatan ekonomi agaknya membuat tidak dapat menyangkal bahwa kapitalisme telah tumbuh subur di negeri ini. Kendati demikian, menurut pengamatan Sjahrir dilihat dari segi kepemilikan dan sifat pembentukan harga, sistem ekonomi yang berlangsung di Indonesia adalah: (1) sistem ekonomi di mana peranan negara dominan; (2) peranan swasta, baik nasional maupun asing, tidak kecil; (3) harga yang berlangsung pada umumnya mencerminkan inefisiensi karena jauh lebih tinggi harga domestik dibanding harga internasional.[24]

I.       Masa Depan Ekonomi Pancasila di tengah Arus Dehumanisasi di Era Globalisasi

Kiranya sudah saatnya untuk merumuskan kembali etos global berupa konsensus mendasar tentang nilai-nilai, norma-norma, dan sikap-sikap tertentu yang dilandasi oleh prinsip humanum, hakikat manusia. Hal itu dilakukan demi kedamaian umat manusia ditengah ancaman globalisasi yang menonjolkan nilai-nilai individualisme dan menggerus nilai-nilai humanisme. Ini merupakan bel pengingat bahwa etika saat ini mengalami gempuran luar biasa dari arus besar nilai-nilai individualisme yang memboncengi persebaran ideologi kapitalisme dan liberalisme. Individualisme yang mengakar dalam kejatian diri manusia disinyalir bisa mendorong akumulasi nilai-nilai dehumanisasi karena semangat egoisme sebagaimana terangkum dalam idiom Betawi elo-elo gua-gua menjadikan manusia tidak peduli satu sama lain dan mau menang sendiri yang lambat laun akan membentuk pola pikir berupa tidak mau memanusiakan sesama manusia lainnya.
Sebagai sebuah wacana yang terus diupayakan perwujudannya, konsep ekonomika etik saat ini mengalami tantangan berat dalam merealisasikannya. Mainstream pemikiran ekonomi kini yang sangat liberal dan kapitalistik kian meminggirkan nilai-nilai etika kemanusiaan dalam praktek ekonominya. Hal inilah yang menjadikan agenda memasyarakatkan ekonomika etik berbasis Pancasila di bumi Indonesia tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Banyak rintangan yang akan bermunculan dari pihak-pihak yang diuntungkan dengan bertahtanya sistem ekonomi kapitalisme selama ini.
Mungkinkah ekonomika etik bertahta di Indonesia dan menjadi acuan bersama pelaksanaan ekonomi nasional? Segala kemungkinan hingga kini masih terbuka lebar. Ada banyak cara membangkitkan kesadaran pentingnya berekonomi secara etik yang dalam perwujudannya merupakan bentuk dari Ekonomi Pancasila. Salah satunya melalui revitalisasi budaya bangsa Indonesia yang didominasi nilai-nilai komunalisme dan kebersamaan yang kemudian dipadukan dengan pelaksanaan sistem ekonomi. Nilai kegotongroyongan dan kekeluargaan yang menjadi etika masyarakat Indonesia yang terhimpun dalam berbagai ragam tradisi dan adat masyarakat bisa ditransformasikan tidak hanya dalam berbudaya namun juga dalam berekonomi. Tidaklah keliru jika Indonesia perlu belajar dari keberhasilan Korea Selatan yang sukses mentransformasikan nilai-nilai budaya yang berangkat dari tiga prinsip: rajin, mandiri, dan gotong royong untuk menjadi sebuah gerakan nasional berupa Saemaul Undong yang mengantarkan kesuksesan Korea Selatan di bidang ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya.

J.      Keadilan Sosial dan Ekonomi, dan Kaitannya terhadap Politik dan Budaya

Berbicara mengenai ekonomi, terkait pula pada politik dan budaya, karena kesemuanya mempunyai keterhubungan satu sama lainnya. Keadaan ekonomi suatu bangsa akan berpengaruh pula terhadap iklim politik dan juga budaya pada bangsa tersebut. Pada tahun 1990 - 2000-an ketika terjadi krisis ekonomi di Indonesia yang pada tahun 1998 mencapai puncakanya, yaitu krisis moneter berimbas pula pada suhu politik dalam negeri yang semakin memanas, terbukti dengan adanya reformasi yang berhasil menggulingkan presiden Soeharto yang telah berkuasa 30 tahun lebih. Begitu pula sebaliknya, kondisi politik dalam negeri yang “kondusif” akan membawa dampak pula pada sektor perekonomian. Dan itu terjadi pada semua bidang, tidak hanya ekonomi dengan bidang politik, tetapi juga dengan bidang budaya, hukum, sosial, dll.

K.    Kulitas Insan yang Bertanggung Jawab atas Terwujudnya Masyarakat Adil Makmur yang di Ridhoi Allah SWT (Sub Tujuan HMI)

Kulitas insan cita HMI adalah merupakan dunia cita yang terwujud oleh HMI di dalam pribadi seorang manusia yang beriman dan berilmu pengetahuan serta mampu melaksanakan tugas kerja kemanusiaan.
Salah satu kualitas tersebut adalah kualitas insan yang bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang di ridhoi Allah SWT, dengan penjabaran sebagai berikut:[25]
1.      Berwatak, sanggup memikul akibat-akibat dari perbuatannya dan sadar dalam menempuh jalan yang benar diperlukan adanya keberanian moral.
2.      Spontan dalam menghadapi tugas, taqwa kepada Allah SWT, yang menggugah untuk mengambil peran aktif dalam suatu bidang dalam mewujudkan masyarakat adil makmur yang di ridhoi Allah SWT.
3.      Evaluatif dan selektif terhadap setiap langkah yang berlawanan dengan usaha mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur.
4.      Percaya pada diri sendiri dan sadar akan kedudukannya sebagai pemimpin/khalifah yang harus melaksanakan tugas-tugas kemanusiaan. Pada pokoknya insan cita HMI merupakan “man of future” insan pelopor yaitu insan yang berpikiran luas dan berpandangan jauh, bersikap terbuka, terampil atau ahli dalam bidangnya, dia sadar apa yang menjadi cita-citanya dan tahu bagaimana mencari ilmu perjuangan untuk secara kooperatif bekerja sesuai dengan yang dicita-citakannya. Tipe ideal dari hasil perkaderan HMI adalah “man of inovator: (duta-duta pembantu). Penyuara “idea of progress” insan yang berkepribadian imbang dan padu, kritis, dinamis, adil dan jujur tidak takabur dan bertaqwa kepada Allah SWT. Mereka itu manusia-manusia yang beriman, berilmu dan mampu beramal saleh dalam kualitas yang maksimal (insan kamil).
Insan cita HMI pada suatu waktu akan merupakan kelompok intelegensi yang mampu merealisasi cita-cita umat dan bangsa dalam suatu kehidupan masyarakat yang religius, adil dan makmur serta bahagia (masyarakat adil makmur yang di ridhoi Allah SWT).

L.     Keadilan Sosial dan Keadilan Ekonomi dalam Nilai-nilai Dasar Perjuangan (NDP) HMI[26]

Negara adalah bentuk masyarakat yang terpenting, dan pemerintah adalah susunan masyarakat yang terkuat dan berpengaruh. Oleh sebab itu, pemerintah yang pertama berkewajiban menegakkan keadilan. Maksud semula dan fundamental didirikannya negara dan pemerintahan ialah guna melindungi manusia yang menjadi warga negara dari kemungkinan perusakan terhadap kemerdekaan dan harga diri sebagai manusia, sebaliknya setiap orang harus mengambil bagian pertanggungjawaban dalam masalah-masalah negara atas persamaan yang diperoleh melalui demokrasi.
Pada dasarnya masyarakat dengan masing-masing pribadi yang ada di dalamnya haruslah memerintah dan memimpin diri sendiri. Oleh karena itu pemerintah haruslah merupakan kekuatan pimpinan yang lahir dari kekuatan masyarakat sendiri. Pemerintah haruslah demokratis, berasal dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, menjalankan kebijaksanaannya atas persetujuan rakyat berdasarkan musyawarah dan dimana rasa keadilan dan martabat kemanusiaan tidak terganggu.[27] Kekuatan yang sebenarnya di dalam negara ada di tangan rakyat, dan pemerintah harus bertanggung jawab pada rakyat.
Menegakkan keadilan mencakup penguasaan atas keinginan-keinginan dan kepentingan-kepentingan pribadi yang tidak mengenal batas (hawa nafsu). Adalah kewajiban dari negara sendiri dan kekuatan-kekuatan sosial untuk menjunjung tinggi prinsip kegotongroyongan dan kecintaan sesama manusia. Menegakkan keadilan adalah amanat rakyat pada pemerintah yang mesti dilaksanakan.[28] Ketaatan rakyat pada pemerintah yang adil merupakan ketaatan kepada diri sendiri yang wajib dilaksanakan. Didasarkan oleh sikap hidup yang benar, ketaatan kepada pemerintah termasuk dalam lingkungan ketaatan kepada Tuhan (Kebenaran Mutlak).[29] Pemerintah yang benar dan harus ditaati adalah mengabdi kepada kemanusiaan, kebenaran dan akhirnya kepada Tuhan Yang Maha Esa.[30]
Perwujudan menegakkan keadilan yang terpenting dan berpengaruh ialah menegakkan keadilan di bidang ekonomi atau pembagian kekayaan di antara angota masyarakat. Keadilan menuntut agar setiap orang dapat bagain yang wajar dari kekayaan atau rezeki. Dalam masyarakat yang tidak mengenal batas-batas individual, sejarah merupakan perkembangan dialektis yang berjalan tanpa kendali dari pertentangan-pertentangan golongan yang didorong oleh ketidakserasian antara pertumbuhan kekuatan produksi di satu pihak dan pengumpulan kekayaan oleh golongan-golongan kecil dan hak-hak istimewa dilain pihak.[31] Karena kemerdekaan tak terbatas mendorong timbulnya jurang-jurang pemisah antara kekayaan dan kemiskinan yang semakin dalam. Proses selanjutnya apabila –yaitu bila sudah mencapai batas maksimal- pertentangan golongan itu akan menghancurkan sendi-sendi tatanan sosial dan membinasakan kemanusiaan dan peradabannya.[32]
Dalam masyarakat yang tidak adil, kekayaan dan kemiskinan akan terjadi dalam kualitas dan proporsi yang tidak wajar, sekalipun realitas selalu menunjukkan adanya perbedaan-perbedaan antara manusia dalam kemampuan fisik maupun mental namun kemiskinan dalam masyarakat dengan pemerintah yang tidak menegakkan keadilan adalah keadilan yang merupakan perwujudan dari kedzaliman. Orang-orang kaya menjadi pelaku dari kedzaliman sedangkan orang-orang miskin dijadikan sasaran atau korbannya. Oleh karena itu, sebagai yang menjadi sasaran kedzaliman, orang-orang miskin berada dipihak yang benar. Pertentangan antaera kaum miskin menjadi pertentangan antara kaum yang menjalankan kezaliman dengan yang dizalimi.
Kejahatan dibidang ekonomi yang meneluruh ada;ah penindasan oleh kapitalisme. Dengan kapitalisme akan sangat mudah seseorang dapat memeras orang-orang yang berjuang mempertahankan hidupnya karena kemiskinan, kemudian merampas hak-haknya secara tidak sah, berkat kemampuannya untuk memaksakan persyaratan kerjanya dan hidup kepada mereka. Oleh karena iitu menegakkan keadilan mencakup pemberantasan kapitalisme dan segenap usaha akumulasi kekayaan pada sekelompok kecil masyarakat.[33] Sesudah syirik kejahatan terbesar kepada kemanusiaan adalah penumpukkan harta kekayaan beserta penggunaannya yang tidak benar, menyimpang dari kepentingan umum, tidak mengikuti jalan Tuhan.[34] Maka menegakkan keadilan inilah membimbing manusia ke arah pelaksanaan tata masyarakat yang akan memberikan kepada setiap orang kesempatan yang sama untuk mengatur hidupnya secara bebas dan terhormat (amar ma’ruf) dan pertentangan terus menurus terhadap segala bentuk penindasan kepada manusia, kepada kebenaran asasi dan rasa kemanusiaan (nahi munkar). Dengan perkataan lain harus diadakan cara-cara memperoleh, mengumpulkan dan menggunakan kekayaan itu. Cara yang tidak bertentangan dengan kemanusiaan diperbolehkan (yang ma’ruf dihalalkan) sedangkan cara yang bertentangan dengan kemanusiaan dilarang (yang munkar diharamkan).[35]
Pembagian ekonomi secara tidak benar itu hanya ada dalam suatu masyarakat yang tidak menjalankan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa, dalam hal ini pengakuan berketuhanan Yang Maha Esa tetapi tidak melaksanakannya, sama nilainya dengan tidak berketuhanan sama sekali. Sebab nilai-nilai tidak dapat dikatakan hidup sebelum menyatakan diri dalam amal perbuatan yang nyata.[36]
Dalam suatu masyarakat yang tidak menjadikan Tuhan sebagai satu-satunya tempat untuk tunduk dan menyerahkan diri, manusia dapat diperbudaknya antara lain oleh harta benda. Tidak lagi seorang pekerja menguasai hasil pekerjaannya, tetapi justru dikuasai oleh hasil pekerjaan itu. Produksi seorang buruh memperbesar kapital majikan tetapi dari kapital itu selanjutnya lebih memperbudak buruh. Demikian pula terjadi pada majikan bukan ia menguasai kapital, tetapi kapital itulah yang menguasainya. Kapital atau kekayaan telah menggenggam dan memberikan sifat-sifat tertentu, seperti keserakahan, ketamakan, dan kemiskinan.
Oleh karena itu menegakkan keadilan bukan saja dengan amar ma’ruf nahi munkar, sebagaimana diterangkan dimuka, tetapi juga melalui pendidikan yang intensif terhadap pribadi-pribadi agar tetap mencintai kebenaran dan menyadari secara mendalam akan adanya Tuhan. Dalam masyarakat, yang adil mungkin masih terdapat pembagian manusia menjadi golongasn kaya dan miskin. Tetapi hal itu terjadi dalam batas-batas kewajaran dan kemanusiaan dengan pertautan kekayaan dan kemiskinan yang mendekat. Hal itu sejalan dengan dibenarkannya pemilikan pribadi (privat ownership) atas harta kekayaan dan adanya perbedaan-perbedaan tak terhindarkan dari kemampuan-kemampuan pribadi, fisik maupun mental.[37]
Walaupun demikian usaha-usaha kearah perbaikan dalam pembagian rezeki ke arah yang merata tetap harus dijalankan oleh masyarakat. Dalam hal ini zakat adalah penyelesaian terakhir maslah perbedaan kaya dan miskin itu. Zakat dikenakan hanya atas harta yang diperoleh secara benar, sah dan halal saja. Sedangkan harta kekayaan yang haram tidak dikenakan zakat, tetapi harus dijadikan milik umum guna manfaat bagi rakyat dengan jalan penyitaan oleh pemerintah. Oleh karena itu, sebelum penarikan zakat dilakukan terlebih dahulu harus dibentuk suatu masyarakat yang adil berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, dimana tidak lagi didapati cara memperoleh kekayaan secara haram, dimana penindasan atas manusia oleh manusia dihapuskan.[38]
Sebagaimana ada ketetapan tentang bagaimana harta kekayaan itu diperoleh, juga ditetapkan bagaimana mempergunakan harta kekayaan itu. Pemilikan pribadi dibenarkan hanya jika digunakan hak itu tidak bertentangan pemilikan pribadi yang menjadi batal dan pemerintah berhak mengajukan konsfikasi penggunaan dalam masyarakat.[39] Seseorang dibenarkan mempergunakan harta kekayaan dalam batas-batas tertentu, yaitu dalam batas yang tidak kurang tetapi juga tidak melebihi rata-rata penggunaan yang berlebihan karena bertentangan dengan perikemanusiaan.[40] Kewenangan selalu menjadi provokasi terhadap pertentangan golongan dan masyarakat membuat akibat destruktif.[41] Sebaliknya penggunaan kurang dari rata-rata masyarakat merusak diri sendiri dalam masyarakat disebabkan membekunya sebagian dari kekayaan umum yang dapat digunakan untuk menfaat bersama.[42]
Hal itu semua merupakan kebenaran karena pada hakekatnya seluruh harta kekayaan ini adalah milik Tuhan.[43] Manusia seluruhnya diberi hak yang sama atas kekayaan itu dan harus diberi hak yang sama atas kekayaan dan harus diberikan bagian yang wajar daripadanya.[44]
Pemilikan oleh seseorang (secara benar) hanya bersifat relatif sebagaimana amanat dari Tuhan. Penggunaan harta itu sendiri harus sejalan dengan yang dikehendaki Tuhan, untu kepentingan umum.[45] Makan kalau terjadi kemiskinan, orang-orang miskin diberi hak atas sebagian harta orang-orang kaya, terutama yang masih dekat hubungan dalam keluarga. Adalah kewajiban negara dan masyarakat untuk melindungi kehidupan keluarga dan memberinya bantuan dan dorongan. Negara yang adil menciptakan persyaratan hidup yang wajar sebagaimana diperlukan oleh pribadi-pribadi agar dia dan keluarganya dapat mengatur hidupnya secara terhormat sesuai dengan keinginan-keinginannya untuk dapat menerima tanggung jawab atas kegiatan-kegiatannya. Dalam prakteknya, hal itu berarti bahwa pemerintah harus membuka jalan yang mudah dan kesempatan yang sama kearah pendidikan kecakapan yang wajar, kemerdekaan beribadah sepenuhnya dan pembagian kekayaan bangsa yang pantas.


BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan

Pada akhirnya, di tengah Sumber Daya Alam yang makin menipis dan kelangkaan Sumber Daya Manusia yang bermutu maka tak ada pilihan kecuali secara sadar kita harus memilih dan mengembangkan terus sistem Ekonomi Pancasila sebagai ekonomi jalan tengah/alternative (the third way) dari ekonomi komando maupun kapitalisme. Intinya, sistem ekonomi Pancasila adalah beyond right and left yang terbukti dan khas Indonesia. Ekonomi Pancasila sebagai sebuah sistem sudah mulai terlihat dari ciri dan tujuannya. Sebagai sebuah praksis, sistem ini juga sudah diimplementasikan oleh para pelaku dan terbukti hasilnya. Tetapi, sistem ini membutuhkan implementasi yang lebih kongkrit, jelas dan kuat. Ia memerlukan usaha yang lebih konsisten dan serius dari para pelaku di lapangan agar melebihi hasil yang telah diperoleh dari pelaku sebelumnya. Namun, dari sisi body of knowledge, sistem Ekonomi Pancasila masih menjadi perdebatan sehingga perlu kajian lebih lanjut. Para pakar ekonomi ditantang untuk mematangkan body of knowledge ekonomi Pancasila agar menyempurna di masa depan. Di atas segalanya, sistem Ekonomi Pancasila harus selalu dikaji dan disebarkan dalam kegiatan semangat "ada ekonomi lain” di luar ekonomi komando dan ekonomi kapitalisme. Ekonomi Pancasila harus disubtansikan, diimplementasikan bahkan diinternasionaliskan agar dikenal luas di seluruh dunia. Harapannya, Indonesia akan dapat dipahami oleh pihak luar sebagai bangsa yang memiliki dan mempraktekkan ide yang khas berupa "sistem ekonomi Indonesia." Dengan begitu, pihak-pihak luar akan memberikan kesempatan pada kita untuk membangun bangsa dan negara dengan nilai-nilai dan kemampuannya sendiri.
Melalui sistem Ekonomi Pancasila atau yang kini khas dengan sebutan “Ekonomi Kerakyatan” diharapkan dapat mencapai kemakmuran dan kesejahteraan rakyat, kemajuan perekonomian, pemerataan taraf hidup masyarakat yang mandiri, serta mengejar ketertinggalan untuk mempu sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia, perekonomian Indonesia tentu harus mampu tumbuh relatif tinggi. Pertumbuhan posotif itu mesti berkesinambungan dari tahun ke tahun. Dan , tak kalah penting, pertumbuhan ekonomi harus mampu menciptakan keadilan (pemerataan) bagi seluruh rakyat Indonesia. Kondisi ini yang diharapkan dan dimaksudkan sebagai pertumbuhan ekonomi yang berkualitas.

B.     Saran

Merevitalisasi Sistem Ekonomi Pencasila dan mulai mengaplikasikannya mulai dari kehidupan perseorangan, keluarga, masyarakat, lingkungan sekitar dan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagai sebuah refleksi terhadap sila kelima, yaitu “keadilan sosial nagi seluruh rakyat Indonesia”. Juga mengoptimalkan segenap elemen HMI, mulai dari tingkatan struktur Komisariat, Cabang, PB yang terus disinambungkan olah KAHMI untuk terus konsisten mambawa misi HMI dalam kehidupannya. Yang juga sebagai sebuah refleksi terhadap tujuan HMI, terutama kualitas insan cita yang kelima, yaitu “insan yang bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah SWT.


[1]Prabowo Subianto, 2010, Membangun Kembali Indonesia Raya, Haluan Baru Menuju Kemakmuran, (Jakarta: Institut Garuda Nusantara), hal 58.
[2] Sumber: Badan Pusat Statistik, berbagai edisi.
[3] Laporan Badan Pusat Statistik (BPS), 2006
[4] Bisnis Indonesia, WEF: Peringkat Daya Saing RI Membaik, 22 September 2006
[5]Lahan pertanian kini sedikit banyak telah tergerus olah berdirinya lahan-lahan baru diatas lahan pertanian. Seperti perluasan industri yang besar-besaran, komplek perumahan, pembukaan toko/market, dan perluasan berbagai fasilitas umum seperti jalan raya. Hal tersebut tidak dibarengi dengan pembukaan lahan baru untuk lahan pertanian.
[6]Prabowo Subianto, 2010, Membangun Kembali Indonesia Raya, Haluan Baru Menuju Kemakmuran, (Jakarta: Institut Garuda Nusantara), hal 60.
[7]Terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi, yang bernafaskan Islam dan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang di ridhoi Allah SWT. (Tujuan HMI, Anggaran Dasar HMI Pasal 4)
[8] Wikipedia Indonesia, Defenisi Kesejahteraan , http://id.wikipedia.org/wiki.
[9] Wikipedia Indonesia, Defenisi Kemandirian , http://id.wikipedia.org/wiki.
[10] Redaksi Lima Adi Sekawan, UUD-45 Lengkap, Lima Adi Sekawan, Jakarta, 2006, hal. 12 dan 29
[11] Ekonomi Pancasila sudah ada sejak awal karena tercantum dalam Pancasila dan UUD-45 (Mubyarto dan Dawam Rahardjo).
[12] Lihat, Ketetapan MPRS No. XXIII/MPRS/1966.
[13] Ferry J. Juliantono, 2009. Jalan Baru Ekonomi Diadili, Sebuah Pledoi Politik, Jakarta, PT Wahana Semesta Intermedia.
[14] Yudi Latif, 2010, Negara Paripurna; Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila. (Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama), hal. 582-583.
[15] Sutan Sjahrir, 1982, Sosialisme Indonesia Pembangunan, (Jakarta: LEPPENAS), hal. 127
[16] Soekarno, 1932, Demokrasi Politik dan Demokrasi Ekonomi, (Pikiran Rakjat)
[17] Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan, Universitas Brawijaya, 2009.
[18] Sri-Edi Swasono, 2009, Membangun Ekonomi Rakyat, (Surabaya: Universitas 17 Agustus 1945), hal. 6.
[19] Mubyarto, 1994, Sistem dan Moral Ekonomi Indonesia, (Jakarta: LPE3S), hal. 44-45.
[20] Emil Salim, 1979, "Ekonomi Pancasila", Prisma, Mei.
[21] Mubyarto dan Boediono (penyunting), 1981, Ekonomi Pancasila, (Yogyakarta: BPFE), hal 74.
[22] Kwik, K.G. dan B.N. Marbun (penyunting), 1996, Sepak Terjang Konglomerat, cetakan ke-6, (Jakarta: Pustaka Sinar harapan).
[23] Budiman, A., 1989, Sistem Perekonomian Pancasila dan Ideologi Ilmu Sosial di Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia), hal. 4.
[24] Sjahrir, 1987, Kebijaksanaan Negara: Konsistensi dan Implementasi, (Jakarta: LP3ES), hal. 162-164.
[25] Modul LK I Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Ciputat,2010, cetakan kedua  hal 89-92.
[26] Modul LK I Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Ciputat,2010, cetakan kedua  hal 114-120.
[27] Qur’an Surat Al-Syura ayat 38 dan 42
[28] Qur’an Surat Annisa ayat 59.
[29] Qur’an Surat Annisa ayat 58.
[30] Qur’an Surat Al-Maidah ayat 45.
[31] Qur’an Surat Al-Hadid ayat 20.
[32] Qur’an Surat Al-Isra ayat 16.
[33] Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 278-279.
[34] Qur’an Surat Al-Humazah ayat 1-3.
[35] Qur’an Surat Ali Imran ayat 110.
[36] Qur’an Surat Al-Shaf ayat 2-3.
[37] Qur’an Surat Ar-Rum ayat 37.
[38] Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 188.
[39] Qur’an Surat Al-Furqan ayat 67.
[40] Qur’an Surat Al-Isra ayat 26-27.
[41] Qur’an Surat Al-Isra ayat 16.
[42] Qur’an Surat Muhammad ayat 38.
[43] Qur’an Surat Yunus ayat 55.
[44] Qur’an Surat Al-‘Araf ayat 10.
[45] Qur’an Surat Al-Hadid ayat 7 dan Surat An-Nur ayat 33.

1 komentar: