Ekonomi Indonesia yang mulai pulih dari pengaruh krisis ekonomi global 2007–2008 tampak semakin kuat. Meskipun
dalam krisis ekonomi tersebut pasar keuangan Indonesia sempat agak
terpuruk, Indeks Harga Saham Gabungan sempat jatuh lebih dari 50 persen
dan rupiah sempat tembus hampir Rp13 ribu untuk tiap dolar AS. Namun
ekonomi masih tumbuh 4,5 persen pada 2009.
Pada saat ini stabilitas ekonomi makro terjaga cukup baik dan pertumbuhan ekonomi juga meningkat. Bahkan pada kuartal I-2010 ini ekonomi Indonesia tumbuh 5,7 persen, demikian juga inflasi tahunan hanya sebesar lima persen, dan kurs rupiah terhadap dolar AS sekira Rp9.000. Bahkan tingkat kemiskinan juga turun hingga mencapai 14,15 persen serta pengangguran tinggal 7,87 persen sehingga secara umum ekonomi Indonesia berada pada posisi yang lebih baik.
Namun banyak pihak yang khawatir dengan arah ekonomi Indonesia. Ada kekhawatiran bahwa ekonomi Indonesia berjalan pada arah yang salah sehingga jika tidak hati-hati ekonomi Indonesia akan mengalami kemunduran, bahkan sama seperti pada masa penjajahan di mana Indonesia menjadi produsen sumber daya alam dan importir produk manufaktur.
Ekonominya semakin tergantung pada luar negeri dan kita menjadi “bangsa kuli” di tengah-tengah kebangkitan ekonomi Asia. Memang berbagai data makro yang dilansir dari Biro Pusat Statistik ataupun Bank Indonesia secara umum menunjukkan bahwa stabilitas ekonomi makro ataupun pasar keuangan secara umum terjaga cukup baik dan indikator ekonomi makro lainnya cukup oke.
Namun jika kita lihat lebih cermat faktor-faktor yang mendukung kinerja yang bagus tadi, kita bisa waswas karena kualitas dari pertumbuhan ekonomi yang rendah. Bahkan pembangunan ekonomi Indonesia juga mulai salah arah. Stabilitas ekonomi makro yang baik terutama banyak didukung oleh dana jangka pendek yang besar di mana hot money yang masuk Indonesia diperkirakan lebih besar dari cadangan devisa yang ada di Bank Indonesia. Padahal, kita tahu bahwa dana jangka pendek volatilitasnya tinggi karena rawan untuk berbalik arah sehingga tidak dapat diharapkan keberlanjutannya untuk mendukung stabilitas ekonomi makro.
Loophole ini jika tidak diatasi bisa menciptakan instabilitas ekonomi makro yang karena dalam ekonomi yang semakin liberal pada saat ini, krisis ekonomi semakin sering datang dan pergi di dunia ini. Padahal, krisis yang terjadi di suatu negara semakin mudah tertransmisikan ke negara lain. Oleh karena itu, Indonesia perlu berusaha mengubah pola capital inflow yang ada agar jangka panjang atau FDI dengan membenahi semua faktor yang terkait agar dapat mendorong masuknya FDI ke Indonesia.
Selain itu, kualitas pertumbuhan ekonomi Indonesia akhir-akhir ini cukup rendah karena didukung sebagian besar oleh pertumbuhan konsumsi dan non-tradable commodities. Demikian juga kenaikan harga sumber daya alam dan sektor informal banyak mendukung pembangunan ekonomi akhir-akhir ini. Karena itu, penciptaan lapangan kerja lebih banyak dari sektor nontradableataupun sektor informal. Hal itu membuat kemampuan tumbuh ekonomi juga terbatas karena mesin penggerak pertumbuhan ekonomi seperti sektor manufaktur dan investasi belum dapat bangkit.
Padahal dua sektor tersebut memiliki daya dorong yang besar. Sektor industri misalnya hanya tumbuh 3,6 persen pada kuartal I-2010, sedangkan investasi tumbuh 7,9 persen. Meskipun sudah lebih tinggi dari lajunya pada 2009, dengan laju sebesar itu akan sulit untuk mendongkrak laju pertumbuhan ekonomi Indonesia di atas tujuh persen seperti pada masa sebelum krisis ekonomi 1997/1998. Pada masa sebelum 1997/1998, dua sektor tersebut rata-rata tumbuh di atas 10 persen.
Demikian juga ekonomi Indonesia pada saat ini lebih banyak didukung usaha mikro yang semakin berkembang di mana jumlahnya lebih dari 50 juta unit. Usaha mikro kecil dan menengah jumlahnya lebih dari 51 juta unit yang menyerap lebih dari 80 persen tenaga kerja di Indonesia, yang lebih dari 90 persen-nya adalah informal. Data-data tersebut menunjukkan bahwa kualitas pembangunan ekonomi Indonesia adalah rendah.
Rendahnya kualitas pertumbuhan ataupun pembangunan ekonomi Indonesia akan membuat Indonesia semakin sulit bersaing di pasar yang semakin liberal ini. Padahal, Indonesia sudah mengikatkan diri dengan berbagai kesesepakatan untuk membuka pasarnya, dalam WTO, APEC, AFTA, ASEAN-China dll. Hal itu membuat persaingan antarnegara ataupun bisnis semakin ketat karena theworld is flatkata L Friedman. Padahal, daya saing internasional Indonesia termasuk yang rendah di kawasan ini sehingga kemampuan bersaing juga rendah. Oleh karena itu, rendahnya kualitas pembangunan ekonomi yang merefleksikan rendahnya daya saing internasional akan menghambat peningkatan laju pertumbuhan ekonomi Indonesia karena rendahnya kemampuan bersaing.
Oleh karena itu, keberlangsungan pembangunan ekonomi Indonesia tidak akan berkelanjutan jika kualitasnya rendah (padahal masih ada unsur lain seperti pembangunan sosial dan lingkungan hidup yang juga perlu diperhatikan). Bahkan stabilitas ekonomi makro pun rawan terhadap guncangan jika aliran dana jangka pendek masih mendominasi cadangan devisa kita. Oleh karena itu, perlu adanya perubahan dalam pengelolaan ekonomi Indonesia. Kita harus kembali pada prinsip-prinsip dasar ekonomi di mana stabilitas ekonomi makro sebaiknya dibangun atas dasar fundamental ekonomi yang sehat dan kuat, bukan dana jangka pendek.
Demikian juga pertumbuhan ekonomi didasari oleh bergeraknya mesin penggerak ekonomi yang didukung oleh daya saing yang tinggi dengan nilai tambah yang besar, yang untuk Indonesia direfleksikan dengan tumbuhnya sektor manufaktur dan investasi. Dengan demikian, peningkatan daya saing internasional menjadi kata kunci yang penting.Jika daya saing internasional Indonesia tinggi, kemampuan tumbuh ataupun membangun ekonomi juga akan lebih berkualitas dan berkelanjutan.
Pada saat ini stabilitas ekonomi makro terjaga cukup baik dan pertumbuhan ekonomi juga meningkat. Bahkan pada kuartal I-2010 ini ekonomi Indonesia tumbuh 5,7 persen, demikian juga inflasi tahunan hanya sebesar lima persen, dan kurs rupiah terhadap dolar AS sekira Rp9.000. Bahkan tingkat kemiskinan juga turun hingga mencapai 14,15 persen serta pengangguran tinggal 7,87 persen sehingga secara umum ekonomi Indonesia berada pada posisi yang lebih baik.
Namun banyak pihak yang khawatir dengan arah ekonomi Indonesia. Ada kekhawatiran bahwa ekonomi Indonesia berjalan pada arah yang salah sehingga jika tidak hati-hati ekonomi Indonesia akan mengalami kemunduran, bahkan sama seperti pada masa penjajahan di mana Indonesia menjadi produsen sumber daya alam dan importir produk manufaktur.
Ekonominya semakin tergantung pada luar negeri dan kita menjadi “bangsa kuli” di tengah-tengah kebangkitan ekonomi Asia. Memang berbagai data makro yang dilansir dari Biro Pusat Statistik ataupun Bank Indonesia secara umum menunjukkan bahwa stabilitas ekonomi makro ataupun pasar keuangan secara umum terjaga cukup baik dan indikator ekonomi makro lainnya cukup oke.
Namun jika kita lihat lebih cermat faktor-faktor yang mendukung kinerja yang bagus tadi, kita bisa waswas karena kualitas dari pertumbuhan ekonomi yang rendah. Bahkan pembangunan ekonomi Indonesia juga mulai salah arah. Stabilitas ekonomi makro yang baik terutama banyak didukung oleh dana jangka pendek yang besar di mana hot money yang masuk Indonesia diperkirakan lebih besar dari cadangan devisa yang ada di Bank Indonesia. Padahal, kita tahu bahwa dana jangka pendek volatilitasnya tinggi karena rawan untuk berbalik arah sehingga tidak dapat diharapkan keberlanjutannya untuk mendukung stabilitas ekonomi makro.
Loophole ini jika tidak diatasi bisa menciptakan instabilitas ekonomi makro yang karena dalam ekonomi yang semakin liberal pada saat ini, krisis ekonomi semakin sering datang dan pergi di dunia ini. Padahal, krisis yang terjadi di suatu negara semakin mudah tertransmisikan ke negara lain. Oleh karena itu, Indonesia perlu berusaha mengubah pola capital inflow yang ada agar jangka panjang atau FDI dengan membenahi semua faktor yang terkait agar dapat mendorong masuknya FDI ke Indonesia.
Selain itu, kualitas pertumbuhan ekonomi Indonesia akhir-akhir ini cukup rendah karena didukung sebagian besar oleh pertumbuhan konsumsi dan non-tradable commodities. Demikian juga kenaikan harga sumber daya alam dan sektor informal banyak mendukung pembangunan ekonomi akhir-akhir ini. Karena itu, penciptaan lapangan kerja lebih banyak dari sektor nontradableataupun sektor informal. Hal itu membuat kemampuan tumbuh ekonomi juga terbatas karena mesin penggerak pertumbuhan ekonomi seperti sektor manufaktur dan investasi belum dapat bangkit.
Padahal dua sektor tersebut memiliki daya dorong yang besar. Sektor industri misalnya hanya tumbuh 3,6 persen pada kuartal I-2010, sedangkan investasi tumbuh 7,9 persen. Meskipun sudah lebih tinggi dari lajunya pada 2009, dengan laju sebesar itu akan sulit untuk mendongkrak laju pertumbuhan ekonomi Indonesia di atas tujuh persen seperti pada masa sebelum krisis ekonomi 1997/1998. Pada masa sebelum 1997/1998, dua sektor tersebut rata-rata tumbuh di atas 10 persen.
Demikian juga ekonomi Indonesia pada saat ini lebih banyak didukung usaha mikro yang semakin berkembang di mana jumlahnya lebih dari 50 juta unit. Usaha mikro kecil dan menengah jumlahnya lebih dari 51 juta unit yang menyerap lebih dari 80 persen tenaga kerja di Indonesia, yang lebih dari 90 persen-nya adalah informal. Data-data tersebut menunjukkan bahwa kualitas pembangunan ekonomi Indonesia adalah rendah.
Rendahnya kualitas pertumbuhan ataupun pembangunan ekonomi Indonesia akan membuat Indonesia semakin sulit bersaing di pasar yang semakin liberal ini. Padahal, Indonesia sudah mengikatkan diri dengan berbagai kesesepakatan untuk membuka pasarnya, dalam WTO, APEC, AFTA, ASEAN-China dll. Hal itu membuat persaingan antarnegara ataupun bisnis semakin ketat karena theworld is flatkata L Friedman. Padahal, daya saing internasional Indonesia termasuk yang rendah di kawasan ini sehingga kemampuan bersaing juga rendah. Oleh karena itu, rendahnya kualitas pembangunan ekonomi yang merefleksikan rendahnya daya saing internasional akan menghambat peningkatan laju pertumbuhan ekonomi Indonesia karena rendahnya kemampuan bersaing.
Oleh karena itu, keberlangsungan pembangunan ekonomi Indonesia tidak akan berkelanjutan jika kualitasnya rendah (padahal masih ada unsur lain seperti pembangunan sosial dan lingkungan hidup yang juga perlu diperhatikan). Bahkan stabilitas ekonomi makro pun rawan terhadap guncangan jika aliran dana jangka pendek masih mendominasi cadangan devisa kita. Oleh karena itu, perlu adanya perubahan dalam pengelolaan ekonomi Indonesia. Kita harus kembali pada prinsip-prinsip dasar ekonomi di mana stabilitas ekonomi makro sebaiknya dibangun atas dasar fundamental ekonomi yang sehat dan kuat, bukan dana jangka pendek.
Demikian juga pertumbuhan ekonomi didasari oleh bergeraknya mesin penggerak ekonomi yang didukung oleh daya saing yang tinggi dengan nilai tambah yang besar, yang untuk Indonesia direfleksikan dengan tumbuhnya sektor manufaktur dan investasi. Dengan demikian, peningkatan daya saing internasional menjadi kata kunci yang penting.Jika daya saing internasional Indonesia tinggi, kemampuan tumbuh ataupun membangun ekonomi juga akan lebih berkualitas dan berkelanjutan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar