Oleh: Dr. Mohammad Nasih[2]
Mayoritas
penduduk Indonesia adalah pemeluk Islam (muslim). Dan setiap muslim memiliki
kewajiban untuk menjalankan ajaran Islam dalam setiap aspek kehidupan. Karena
itu, setiap pemikiran dan tindakan umat Islam (baca: muslim sejati),
sesungguhnya merupakan refleksi dari pemahaman terhadap ajaran Islam. Kedalaman
dalam memahami ajaran-ajaran Islam, sangat berpengaruh terhadap pilihan ideology
dan pada akhirnya juga tindakan atau aksi dalam politik. Pemahaman yang literal
terhadap Islam cenderung menyebabkan sikap yang mengedepankan formalitas dan
simbol daripada substansi. Kulit lebih ditonjolkan daripada isi.
Persoalan paling
awal yang dihadapi oleh umat Islam dalam membangun negara Indonesia muncul
akibat perbedaan perspektif mengenai ideologi negara. Masalah ini menyebabkan umat
Islam mengalami dinamika yang sangat intensif, dan bahkan kemudian terus
berlanjut sampai masa reformasi. Secara umum, paradigma politik umat Islam
terbagi menjadi dua, yaitu: Pertama, paradigma politik formalistik. Paradigma
ini berpandangan bahwa untuk menjamin ajaran Islam dapat terimplementasi dengan
baik, maka negara Indonesia harus dikonstruksi sebagai negara-Islam atau dengan
istilah lain yang mengedepankan simbol-simbol Islam, seperti Islam sebagai
dasar negara dan Piagam Jakarta. Kedua, paradigma politik substantif. Paradigma
substantive berorientasi kepada alokasi nilai-nilai Islam ke dalam
struktur-struktur politik tanpa harus mengintrodusir nama, simbol, dan
istilah-istilah yang biasanya dikenal sebagai doktrin atau ajaran Islam.
Di kalangan
ilmuan--dan sesungguhnya juga aktivis--politik, para pendukung paradigma
formalistik disebut sebagai kalangan Islam. Sedangkan yang kedua disebut
sebagai kalangan nasionalis. Penggunaan istilah ini kemudian menyebabkan bias,
seolah-olah kalangan yang pertama adalah satu-satunya kalangan yang
memperjuangkan Islam dalam konteks politik kenegaraan. Sedangkan kalangan
nasionalis sering dianggap sebagai kalangan yang sekuler, bukan hanya tidak
memperjuangkan Islam dalam kehidupan politik kenegaraan, bahkan juga dianggap
ingin menyingkirkan Islam dari praktik politik bernegara. Dalam konteks ini,
istilah Islam dan nasionalisme yang digunakan untuk menganalisa politik Indonesia
tidak bisa digunakan untuk menilai para aktivis politik yang beragama Islam
sebagai tidak memperjuangkan Islam. Tentu saja tidak bisa dikatakan bahwa
Soekarno dan Hatta yang terhitung sebagai kalangan nasionalis sebagai
orang-orang yang tidak memperjuangkan ajaran-ajaran Islam di dalam kehidupan
politik kenegaraan. Hanya saja, politisi muslim yang disebut sebagai kalangan
nasionalis memiliki pemahaman yang berbeda terhadap teks-teks keagamaan,
terutama dalam konteks bagaimana cara mengimplementasikan ajaran-ajaran Islam
dalam konteks kehidupan bernegara.
Secara faktual
perbedaan pandangan di kalangan umat Islam tersebut selalu terjadi sepanjang
sejarah republik. Bahkan dalam momentum-momentum tertentu, perbedaan tersebut menajam
dan termanifes dalam bentuk konflik fisik. Dengan kata lain, perbedaan ideologis
antara kalangan formalis dan substantif selalu ada. Hanya saja eksistensinya
terkadang laten dan terkadang manifes. Setelah perbedaan tajam muncul di masa
menjelang kemerdekaan ketika membahas tentang ideology negara di dalam
rapat-rapat BPUPKI, kemudian di permukaan “mereda” setelah Indonesia memperoleh
kemerdekaan, perdebatan yang sangat tajam mengenai ideologi negara muncul
kembali dalam sidang-sidang di Dewan Konstituante. Kalangan formalis yang
diwakili oleh para anggota Dewan dari Masyumi, baik yang berasal dari
Muhammadiyah maupun NU, dengan penuh antusiasme memperjuangkan formalisasi
Islam sebagai ideologi negara. Walaupun mereka kembali gagal dalam memperjuangkan
formalisasi Islam, karena situasi politik yang tidak menguntungkan, akan tetapi
mereka tidak pernah patah semangat untuk terus mengupayakannya.
Perbedaan dalam
jangka panjang itu kemudian membuat kalangan cendekiawan yang dikenal memiliki
rekam jejak dalam dunia gerakan Islam di era 1980-an melakukan upaya
intelektual yang secara faktual kemudian dapat relatif membuat intensitas
perbedaan itu menjadi sangat minimalis. Lontaran jargon “Islam, Yes;
Partai Islam, No?” oleh Nurcholish Madjid memberikan pengaruh yang
sangat signifikan bagi pembangunan paradigma baru umat Islam yang memiliki
hubungan sangat erat dengan kalangan formalis sebelumnya, sehingga mengubah
haluan paradigma politik mereka menjadi substansialistik, karena tidak lagi
mempersoalkan formalitas Islam dan lebih berkonsentrasi kepada alokasi
nilai-nilainya dalam politik.
Paradigma
substansialistik umat Islam dalam politik menjadi semakin jelas pada
pasca-reformasi, ketika tidak ada lagi paksaan rezim untuk menggunakan asas
Pancasila. Aktivis-aktivis politik dari organisasi-organisasi sosial keagamaan
Islam yang dominan di Indonesia, terutama Muhammadiyah dan NU, tidak lagi
mengintrodusir istilah-istilah yang berasal dari doktrin-doktrin atau teks-teks
Islam, tetapi lebih memilih istilah-istilah yang bernuansa kebangsaan. Pada
tahun 1998, Abdurrahman Wahid yang saat itu masih dalam masa kepemimpinan di NU
mendirikan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Disusul kemudian Amien Rais yang
juga masih sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah mendirikan Partai Amanat Nasional
(PAN). Tidak hanya itu, Muhammadiyah dan NU juga menjadi kekuatan ekstra
parlementer yang menolak keras secara argumentatif keinginan untuk
mengembalikan Piagam Jakarta dalam Pembukaan UUD 1945 dalam momentum
amandemen.
Karena itu, politik
Islam tidak bisa hanya dipahami dari formalitas atau simbol-simbol Islam yang
digunakan. Obsesi kepada simbol seringkali justru merugikan Islam dalam konteks
implementasi. Dan yang paling berbahaya adalah menganggap sesuatu yang tertentu
sebagai bagian dari ajaran Islam, padahal sesungguhnya sama sekali tidak ada
kaitannya. Jika ternyata yang dianggap sebagai simbol Islam tersebut tidak
mampu menyelesaikan persoalan kenegaraan yang dihadapi, maka yang akan menjadi
“kambing hitam” penyebab kegagalan adalah Islam. Tentu saja, hal ini dapat
merendahkan derajat Islam sebagai ajaran yang luhur.
Konsistensi Implementasi
Paradigma
substansialisme Islam dalam politik di Indonesia semakin menguat setelah perjuangan
untuk mengembalikan Piagam Jakarta ke dalam Pembukaan UUD 1945 pada momentum
amandemen konstitusi pasca-reformasi gagal. Bahkan terdapat kecenderungan
partai-partai Islam yang menjadi pendukung upaya formalisasi Islam itu menjadi
partai terbuka. PKS misalnya, yang pendiriannya diorientasikan untuk memperjuangkan
gagasan-gagasan politik kaum dengan kecenderungan formalistik, pada tahun 2008
kemudian memproklamirkan gagasan untuk mentransformasikan Piagam Madinah bagi
politik kenegaraan di Indonesia yang bhinneka. Bahkan, dalam Munas II di
Jakarta, PKS mengaskan diri sebagai partai terbuka walaupun tetap dengan
identitas Islam.
Kecenderungan
yang sama sesungguhnya dialami oleh PPP. Namun, PPP tetap bertahan dengan dasar
formal Islam dan paling banyak mengintrodusir gagasan-gagasan formal Islam berdasarkan
pertimbangan memanfaatkan kesempatan ketika partai-partai lain sudah bergeser
secara ideology ke “tengah”. Sikap PPP tersebut bisa dipahami sebagai sebuah
strategi politik untuk meraih dukungan dari sebagian kecil pemilih di Indonesia
yang masih mengedepankan formalitas atau menganggap antara formalitas dan
substansi tidak bisa dipisahkan.[3]
Memang masih
terdapat partai-partai lain dengan dasar formal Islam. Namun partai-partai
tersebut tidak mendapatkan dukungan signifikan dalam Pemilu, bahkan bisa dikatakan
telah mati. Partai-partai Islam seperti PBB dan PBR tidak mampu berkompetisi
dalam Pemilu 2009, sehingga tidak memiliki wakil di lembaga legislatif. Bahkan
PBR kemudian bergabung dengan PAN yang paradigma politiknya sejak awal
mengedepankan paradigma kebangsaan. Apa pun orientasi-orientasi politik di
balik pilihan PBR bergabung dengan PAN, faktanya PBR kemudian menjadi “faksi”
dalam PAN dan tentu saja harus menyesuaikan dengan ideologi politik PAN.
Melihat realitas
tersebut, sesungguhnya sudah tidak ada lagi partai politik yang bisa mengklaim
diri sebagai partai yang lebih Islami dibandingkan yang lain. Islami dan
tidaknya partai politik dapat dinilai dari konsistensi partai-partai tersebut
dalam memperjuangkan nilai-nilai Islam ke dalam setiap kebijakan politik formal
kenegaraan. Dan kecanggihan sebuah partai politik dalam memperjuangkan
nilai-nilai Islam diukur dengan kemampuannya mengambil substansi ajaran Islam
kemudian mentransformasikannya dalam kebijakan-kebijakan politik dengan istilah
yang bisa diterima oleh seluruh entitas politik yang ada, bahkan
entitas-entitas politik yang didasarkan kepada agama-agama selain Islam.
Ajaran-ajaran
Islam yang telah ditransformasikan ke dalam kebijakan-kebijakan politik harus
dianggap bernilai tidak lagi sakral. Dengan kata lain, kebijakan-kebijakan
politik yang telah dihasilkan harus dianggap sebagai konsensus politik biasa
yang tidak menutup kemungkinan untuk diubah untuk diperbaiki.
Kebijakan-kebijakan politik yang “islami” tidak ubahnya hasil ijtihad yang bisa
saja berubah menyesuaikan dengan konteks perubahan situasi dan kondisi dinamika
masyarakat atau negara. Dengan demikian teks-teks keagamaan akan terus menjadi
sumber inspirasi kebijakan politik di mana pun dan kapan pun. Teks bersifat
tetap, tetapai pemahaman dan bentuk transformasinya bisa berbeda-beda sesuai
dengan kebutuhan.
Selain itu,
Islam tidaknya partai politik ditentukan oleh konsistensi sikap untuk
menegakkan keadilan, persamaan, dan perlawanan terhadap korupsi, kolusi, dan
nepotisme (KKN). Dalam konteks yang terakhir, politisi muslim sejati adalah
mereka yang berani memilih sikap hidup asketik, menjadikan politik sebagai alat
perjuangan untuk menciptakan perbaikan negara dan masyarakat, bukan untuk
meraih kekuasaan dan kemudian digunakan sebesar-besarnya untuk hidup bermewah-mewah
dengan menyabot anggaran negara. Wallahu a’lam bi al-shawab.
[1] Disampaikan dalam Latihan Kader II HMI Cabang Ciputat di Graha
Insan Cita (GIC) Depok 1 Februari 2012.
[2] Pengajar di Program Pascasarjana Ilmu Politik UI dan FISIP UI; Pengurus
Dewan Pakar ICMI Pusat
[3] Pengakuan ini disampaikan oleh Zainut Tauhid, salah seorang anggota
DPR RI dari PPP dalam sebuah kesempatan diskusi yang diselenggarakan oleh
Harian Umum Pelita dan Kantor HU Pelita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar