Sabtu, 17 Maret 2012

Evolusi Paradigma Politik Islam (Dari Pengutamaan Formalitas ke Alokasi Nilai)[1]


Oleh: Dr. Mohammad Nasih[2]

Mayoritas penduduk Indonesia adalah pemeluk Islam (muslim). Dan setiap muslim memiliki kewajiban untuk menjalankan ajaran Islam dalam setiap aspek kehidupan. Karena itu, setiap pemikiran dan tindakan umat Islam (baca: muslim sejati), sesungguhnya merupakan refleksi dari pemahaman terhadap ajaran Islam. Kedalaman dalam memahami ajaran-ajaran Islam, sangat berpengaruh terhadap pilihan ideology dan pada akhirnya juga tindakan atau aksi dalam politik. Pemahaman yang literal terhadap Islam cenderung menyebabkan sikap yang mengedepankan formalitas dan simbol daripada substansi. Kulit lebih ditonjolkan daripada isi. 
Persoalan paling awal yang dihadapi oleh umat Islam dalam membangun negara Indonesia muncul akibat perbedaan perspektif mengenai ideologi negara. Masalah ini menyebabkan umat Islam mengalami dinamika yang sangat intensif, dan bahkan kemudian terus berlanjut sampai masa reformasi. Secara umum, paradigma politik umat Islam terbagi menjadi dua, yaitu: Pertama, paradigma politik formalistik. Paradigma ini berpandangan bahwa untuk menjamin ajaran Islam dapat terimplementasi dengan baik, maka negara Indonesia harus dikonstruksi sebagai negara-Islam atau dengan istilah lain yang mengedepankan simbol-simbol Islam, seperti Islam sebagai dasar negara dan Piagam Jakarta. Kedua, paradigma politik substantif. Paradigma substantive berorientasi kepada alokasi nilai-nilai Islam ke dalam struktur-struktur politik tanpa harus mengintrodusir nama, simbol, dan istilah-istilah yang biasanya dikenal sebagai doktrin atau ajaran Islam.
Di kalangan ilmuan--dan sesungguhnya juga aktivis--politik, para pendukung paradigma formalistik disebut sebagai kalangan Islam. Sedangkan yang kedua disebut sebagai kalangan nasionalis. Penggunaan istilah ini kemudian menyebabkan bias, seolah-olah kalangan yang pertama adalah satu-satunya kalangan yang memperjuangkan Islam dalam konteks politik kenegaraan. Sedangkan kalangan nasionalis sering dianggap sebagai kalangan yang sekuler, bukan hanya tidak memperjuangkan Islam dalam kehidupan politik kenegaraan, bahkan juga dianggap ingin menyingkirkan Islam dari praktik politik bernegara. Dalam konteks ini, istilah Islam dan nasionalisme yang digunakan untuk menganalisa politik Indonesia tidak bisa digunakan untuk menilai para aktivis politik yang beragama Islam sebagai tidak memperjuangkan Islam. Tentu saja tidak bisa dikatakan bahwa Soekarno dan Hatta yang terhitung sebagai kalangan nasionalis sebagai orang-orang yang tidak memperjuangkan ajaran-ajaran Islam di dalam kehidupan politik kenegaraan. Hanya saja, politisi muslim yang disebut sebagai kalangan nasionalis memiliki pemahaman yang berbeda terhadap teks-teks keagamaan, terutama dalam konteks bagaimana cara mengimplementasikan ajaran-ajaran Islam dalam konteks kehidupan bernegara.
Secara faktual perbedaan pandangan di kalangan umat Islam tersebut selalu terjadi sepanjang sejarah republik. Bahkan dalam momentum-momentum tertentu, perbedaan tersebut menajam dan termanifes dalam bentuk konflik fisik. Dengan kata lain, perbedaan ideologis antara kalangan formalis dan substantif selalu ada. Hanya saja eksistensinya terkadang laten dan terkadang manifes. Setelah perbedaan tajam muncul di masa menjelang kemerdekaan ketika membahas tentang ideology negara di dalam rapat-rapat BPUPKI, kemudian di permukaan “mereda” setelah Indonesia memperoleh kemerdekaan, perdebatan yang sangat tajam mengenai ideologi negara muncul kembali dalam sidang-sidang di Dewan Konstituante. Kalangan formalis yang diwakili oleh para anggota Dewan dari Masyumi, baik yang berasal dari Muhammadiyah maupun NU, dengan penuh antusiasme memperjuangkan formalisasi Islam sebagai ideologi negara. Walaupun mereka kembali gagal dalam memperjuangkan formalisasi Islam, karena situasi politik yang tidak menguntungkan, akan tetapi mereka tidak pernah patah semangat untuk terus mengupayakannya.
Perbedaan dalam jangka panjang itu kemudian membuat kalangan cendekiawan yang dikenal memiliki rekam jejak dalam dunia gerakan Islam di era 1980-an melakukan upaya intelektual yang secara faktual kemudian dapat relatif membuat intensitas perbedaan itu menjadi sangat minimalis. Lontaran jargon “Islam, Yes; Partai Islam, No?” oleh Nurcholish Madjid memberikan pengaruh yang sangat signifikan bagi pembangunan paradigma baru umat Islam yang memiliki hubungan sangat erat dengan kalangan formalis sebelumnya, sehingga mengubah haluan paradigma politik mereka menjadi substansialistik, karena tidak lagi mempersoalkan formalitas Islam dan lebih berkonsentrasi kepada alokasi nilai-nilainya dalam politik.
Paradigma substansialistik umat Islam dalam politik menjadi semakin jelas pada pasca-reformasi, ketika tidak ada lagi paksaan rezim untuk menggunakan asas Pancasila. Aktivis-aktivis politik dari organisasi-organisasi sosial keagamaan Islam yang dominan di Indonesia, terutama Muhammadiyah dan NU, tidak lagi mengintrodusir istilah-istilah yang berasal dari doktrin-doktrin atau teks-teks Islam, tetapi lebih memilih istilah-istilah yang bernuansa kebangsaan. Pada tahun 1998, Abdurrahman Wahid yang saat itu masih dalam masa kepemimpinan di NU mendirikan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Disusul kemudian Amien Rais yang juga masih sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah mendirikan Partai Amanat Nasional (PAN). Tidak hanya itu, Muhammadiyah dan NU juga menjadi kekuatan ekstra parlementer yang menolak keras secara argumentatif keinginan untuk mengembalikan Piagam Jakarta dalam Pembukaan UUD 1945 dalam momentum amandemen. 
Karena itu, politik Islam tidak bisa hanya dipahami dari formalitas atau simbol-simbol Islam yang digunakan. Obsesi kepada simbol seringkali justru merugikan Islam dalam konteks implementasi. Dan yang paling berbahaya adalah menganggap sesuatu yang tertentu sebagai bagian dari ajaran Islam, padahal sesungguhnya sama sekali tidak ada kaitannya. Jika ternyata yang dianggap sebagai simbol Islam tersebut tidak mampu menyelesaikan persoalan kenegaraan yang dihadapi, maka yang akan menjadi “kambing hitam” penyebab kegagalan adalah Islam. Tentu saja, hal ini dapat merendahkan derajat Islam sebagai ajaran yang luhur. 

Konsistensi Implementasi
Paradigma substansialisme Islam dalam politik di Indonesia semakin menguat setelah perjuangan untuk mengembalikan Piagam Jakarta ke dalam Pembukaan UUD 1945 pada momentum amandemen konstitusi pasca-reformasi gagal. Bahkan terdapat kecenderungan partai-partai Islam yang menjadi pendukung upaya formalisasi Islam itu menjadi partai terbuka. PKS misalnya, yang pendiriannya diorientasikan untuk memperjuangkan gagasan-gagasan politik kaum dengan kecenderungan formalistik, pada tahun 2008 kemudian memproklamirkan gagasan untuk mentransformasikan Piagam Madinah bagi politik kenegaraan di Indonesia yang bhinneka. Bahkan, dalam Munas II di Jakarta, PKS mengaskan diri sebagai partai terbuka walaupun tetap dengan identitas Islam.
Kecenderungan yang sama sesungguhnya dialami oleh PPP. Namun, PPP tetap bertahan dengan dasar formal Islam dan paling banyak mengintrodusir gagasan-gagasan formal Islam berdasarkan pertimbangan memanfaatkan kesempatan ketika partai-partai lain sudah bergeser secara ideology ke “tengah”. Sikap PPP tersebut bisa dipahami sebagai sebuah strategi politik untuk meraih dukungan dari sebagian kecil pemilih di Indonesia yang masih mengedepankan formalitas atau menganggap antara formalitas dan substansi tidak bisa dipisahkan.[3]
Memang masih terdapat partai-partai lain dengan dasar formal Islam. Namun partai-partai tersebut tidak mendapatkan dukungan signifikan dalam Pemilu, bahkan bisa dikatakan telah mati. Partai-partai Islam seperti PBB dan PBR tidak mampu berkompetisi dalam Pemilu 2009, sehingga tidak memiliki wakil di lembaga legislatif. Bahkan PBR kemudian bergabung dengan PAN yang paradigma politiknya sejak awal mengedepankan paradigma kebangsaan. Apa pun orientasi-orientasi politik di balik pilihan PBR bergabung dengan PAN, faktanya PBR kemudian menjadi “faksi” dalam PAN dan tentu saja harus menyesuaikan dengan ideologi politik PAN.
Melihat realitas tersebut, sesungguhnya sudah tidak ada lagi partai politik yang bisa mengklaim diri sebagai partai yang lebih Islami dibandingkan yang lain. Islami dan tidaknya partai politik dapat dinilai dari konsistensi partai-partai tersebut dalam memperjuangkan nilai-nilai Islam ke dalam setiap kebijakan politik formal kenegaraan. Dan kecanggihan sebuah partai politik dalam memperjuangkan nilai-nilai Islam diukur dengan kemampuannya mengambil substansi ajaran Islam kemudian mentransformasikannya dalam kebijakan-kebijakan politik dengan istilah yang bisa diterima oleh seluruh entitas politik yang ada, bahkan entitas-entitas politik yang didasarkan kepada agama-agama selain Islam.
Ajaran-ajaran Islam yang telah ditransformasikan ke dalam kebijakan-kebijakan politik harus dianggap bernilai tidak lagi sakral. Dengan kata lain, kebijakan-kebijakan politik yang telah dihasilkan harus dianggap sebagai konsensus politik biasa yang tidak menutup kemungkinan untuk diubah untuk diperbaiki. Kebijakan-kebijakan politik yang “islami” tidak ubahnya hasil ijtihad yang bisa saja berubah menyesuaikan dengan konteks perubahan situasi dan kondisi dinamika masyarakat atau negara. Dengan demikian teks-teks keagamaan akan terus menjadi sumber inspirasi kebijakan politik di mana pun dan kapan pun. Teks bersifat tetap, tetapai pemahaman dan bentuk transformasinya bisa berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan.    
Selain itu, Islam tidaknya partai politik ditentukan oleh konsistensi sikap untuk menegakkan keadilan, persamaan, dan perlawanan terhadap korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Dalam konteks yang terakhir, politisi muslim sejati adalah mereka yang berani memilih sikap hidup asketik, menjadikan politik sebagai alat perjuangan untuk menciptakan perbaikan negara dan masyarakat, bukan untuk meraih kekuasaan dan kemudian digunakan sebesar-besarnya untuk hidup bermewah-mewah dengan menyabot anggaran negara. Wallahu a’lam bi al-shawab.


[1] Disampaikan dalam Latihan Kader II HMI Cabang Ciputat di Graha Insan Cita (GIC) Depok 1 Februari 2012.
[2] Pengajar di Program Pascasarjana Ilmu Politik UI dan FISIP UI; Pengurus Dewan Pakar ICMI Pusat
[3] Pengakuan ini disampaikan oleh Zainut Tauhid, salah seorang anggota DPR RI dari PPP dalam sebuah kesempatan diskusi yang diselenggarakan oleh Harian Umum Pelita dan Kantor HU Pelita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar