Sabtu, 17 Maret 2012

Bingkai Sejarah dan Memori Kolektif Kader Ciputat Catatan Sekitar Masa Awal HMI di Ciputat


oleh :
AM.  Fatwa
D
ebut awal saya dalam kegiatan beorganisasi, sekaligus mengenal dunia politik adalah ketika saya menjadi Ketua Umum PII (Pelajar Islam Indonesia) di Sumbawa Besar (1958). Di Sumbawa saya juga aktif dalam BKSPM (Badan Kerja Sama Pemuda Militer) yang sering berhadapan dengan Pemuda Rakyat onderbouw PKI. Di sini pula saya pertama kali berurusan dengan aparat (diintrogasi dan diteror), karena pernyataan saya yang sering menyerang Pemuda Rakyat.
Setelah dua tahun lebih di Sumbawa, dan setahun lebih di Lombok pada 1960, saya merantau ke Jakarta. Semula masuk Fakultas Agama Islam Universitas Ibnu Khaldun salah satu universitas yang didirikan tokoh-tokoh Masyumi, kemudian mengikuti tugas belajar di Jurusan Khusus Imam Tentara Fakultas Tarbiyah IAIN Jakarta.  Selanjutnya saya mengambil Jurusan Dakwah Fakultas Ushuluddin IAIN Jakarta. Dalam aktivitas mahasiswa, saya yang sebelumnya pernah menjadi Ketua Cabang PII, selanjutnya mengikuti juga “perpeloncoan” mahasiswa di Universitas Ibnu Khaldun, selanjutnyaa perpeloncoan di HMI, dan dipelonco lagi sebagai mahasiswa di IAIN. Saya tidak sempat menyelesaikan kuliah saya di IAIN, namun kemudian melanjutkan ke Jurusan Publistik di Universitas Ibnu Khaldun.
Ketika kuliah di IAIN Jakrata, saat itu Ciputat masih merupakan deerah kecil, kalau berjalan ke Kampung Utan termasuk ke kampus (saat  itu dengan gedung-gedung yang masih sedikit dan sederhana) kerap kali kita harus “mengangkat sepatu” karena jalan yang dilewati masih berlumpur. Sebagai mahasiswa yang sudah mengikuti “perpeloncoan” HMI di Jakarta, waktu itu di kantor Diponegoro 16 yang menjadi pusat kegiatan HMI, ketika di Ciputat saya berkenalan dengan Abu Bakar dan Komaruddin yang sebelumnya juga telah mengikuti perpeloncoan HMI. Para mahasiswa IAIN pada waktu itu, rata-rata adalah mahasiswa tugas belajar di ADIA yang secara usia rata-rata lebih tua dan sebagian sudah berkeluarga. Karena perbedaan usia ini pula lah yang kemudian, membuat saya lebih dekat dan akrab dengan Salim Umar, seorang mahasiswa yang juga aktif di Dewan Mahasiwa, meskipun ia juga tergolong mahasiswa ADIA namun dari segi usia terhitung lebih muda dibandingkan yang lainnya. Kerena pada masa itu transfortasi masih sangat terbatas, sehingga saya yang kebetulan tinggal di Jakarta, di antara kawan-kawan HMI, saya dianggap sebagai pengubung antara Ciputat-Jakarta.
Peran sebagai penghubung, membawa berita  dan perkembangan situasi Nasional yang terjadi di Jakarta ke Ciputat inilahyang kemudian mendorong kami berempat, saya bersama Abu Bakar, Salim Umar, Komaruddin, sepakat untuk mendirikan Komisariat HMI di Ciputat. Dalam mengkonsolidasikan HMI di kalangan mahasiswa, Abu Bakar yang memang lebih senior yang kemudian lebih banyak mengkomunikasikan HMI ke mahasiswa-mahasiwa senior, Salim Umar sebagai penghubung antara angkatan senior dengan para mahasiswa yang lebih muda dan tidak tergolong sebagai mahasiwa tugas belajar (mahasiswa murni), sementara saya mengurus persoalan komunikasi dan informasi dari Ciputat ke Jakarta. Sekitar pertengahan tahun 1960-an, yaitu sekitar bulan-bulan awal perkuliahan mahasiswa baru di IAIN, terbentuk dan ditetapkan HMI Komisariat Ciputat yang berpusat di kampus IAIN Jakarta. Komisariat Ciputat, masuk sebagai salah satu Komisariat dalam lingkungan HMI Cabang Jakarta yang pada waktu saat itu di bawah kepemimpinan Alwi al-Jawasi sebagai Ketua Umum.
Kepengurusan awal HMI Komisariat Ciputat, antara lain kami sepakat menunjuk Abu Bakar yang lebih senior sebagai Ketua Umum, Salim Umar Ketua I, saya sendiri Ketua II, dan Komarudin sebagai bendahara, bersama beberapa pengurus yang lain. Pada saat itu, dikalangan mahasiswa memang dominan golongan Islam modernis  (Muhammadiyah), sehingga para mahasiswa ADIA meskipun sebagian sudah ada yang berkeluarga sangat cukup antusias bergabung dengan HMI. Namun karena psikologis lingkungan para mahasiswa senior ADIA ini, kami harus memberikan “toleransi” kepada mereka diperbolehkan untuk tidak mengikuti “perpeloncoan”, kecuali bagi para mahasiswa murni IAIN, antara lain seperti Nurcholish Madjid dan Mustoha, mereka diwajibkan mengikuti perpeloncoan untuk menjadi anggota HMI.
Setelah berjalan beberapa waktu, kemudian saya mendorong kawan-kawan pengurus untuk “memaksakan” Komisariat Ciputat menjadi Cabang.  Setelah proses adminstrasi organisasi telah diurus dan diselesaikan, dalam waktu yang tidak terlalu lama, sekitar akhir 1960 dan awal 1961, Komisariat Ciputat ditetapkan sebagai HMI Cabang Ciputat. Dalam pemilihan tim formatur, teplih sesuai urutan Abu Bakar, Salim Umar, dan saya dalam urutan ketiga setelah dilakukan pemilihan ulang karena terdapat perolehan suara imbang sampai kemudian terpilihlah saya. Sebagai tim formatur, mengusulkan dan mendorong agar Nurcholish dimasukkan sebagai pengurus HMI sebagai sekretaris umum, karena saya mengenal dengan baik dan sangat respek dengan kecerdasan intelektual alumni Pesantren Gontor yang pendiam ini. Seperti juga sering diutarakan oleh Nurcholish sendiri, dia sudah lama mengenal saya sejak menjadi anggota PII di Pesantren Gontor, saya saat itu sudah menjadi pengurus Cabang PII, dan ketika kuliah di IAIN Nurcholish mencari saya yang dia yakini memiliki hubungan dekat dengan tokoh-tokoh Masyumi. Sehingga ketika saya diminta Prawoto Mangkusmito Ketua Umum Masyumi terakhir sebelum di bubarkan, meminta saya menempati rumahnya di daerah Kebayoran Baru, saya mengajak serta Nurcholish untuk tinggal di sana bersama beberapa teman antara lain Ramli Hasibuan dan Suaib Misdar. Pelantikan Pengurus HMI Cabang Ciputat tergolong sitimewa karena dilantik oleh Ismail Hasan Metareum Ketua Umum PB HMI, memang sebelumnya telah terjalin hubungan yang cukup akrab antara saya dan tokoh ini.
Saat menjadi pengurus HMI Cabang Ciputat ini, pada 1961, saya sempat memimpin demontrasi mengingatkan kebijakan Menteri Pendidikan dan Pangajaran (Prof. Priyono) di Jalan Cilacap Jakarta, kerena pemikiran dan kebijakan-kebijakannya kita nilai banyak dipengaruhi oleh PKI. Demonstrasi itu dibidani kader-kader HMI yang dimotori oleh Mari’ei Muhammad dari Fakultas Ekonomi UI, namun karena saya mengenal baik Mari’ei dan menjagokannya sebagai calon pimpinan HMI pada waktu itu, demi menjaga kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi akibat demonstrasi tersebut, saya kemudian yang mengambil alih memimpin demonstrasi di lapangan bersama Suwarta Mukallam, sehingga kami berdua lah yang dikejar-kejar aparat dan harus berurusan dengan pihak yang berwajib.
Pada Kongres ke-7 HMI pada tanggal 8 s.d. 13 September 1963 bertempat di Masjid Agung al-Azhar Kebayoran Baru Jakarta, saat itu Ketua Umum PB HMI dijabat oleh Oman Komaruddin. Ketua Kongres  Sulatomo yang juga terpilih dan ditetapkan sebagai Ketua Umum PB HMI periode 1963-1965, dalam beberapa hal faktor ini yang kemudian membuat saya dipercaya  sebagai Ketua Pelaksana Harian Panitia Kongres waktu itu. Pada Kongres inilahNurcholish sebagai Sekretaris Umum tampil menjadi jurubicara mewakili HMI Cabang Ciputat,  dalam pidato yang ia sampaikan Nurcholish menentang keras kebijakan PB HMI tentang “adaptasi nasional” sebagai upaya menyelamatkan HMI dari ancaman akan dibubarkan karena tudingan kontra revolusi oleh PKI ke HMI. Saat itu lah saya langsung menegor Nurcholish, karena sebagai beleid PB HMI, kebijakan tersebut harus diikuti oleh cabang-cabang HMI, belum lagi saat itu selain sebagai Ketua HMI Cabang Ciputat, saya sebagai Ketua Panitia Pelaksana Harian Kongres secara tidak langsung juga berfungsi “menghendel” pengamanan PB HMI selama kongres berlangsung.  
Pengurus PB HMI Periode 1963-1965 saya masuk sebagai salah satu pengurus di Departemen Pendidikan/Dakwah. Namun  bersamaan dengan itu, terjadi dualisme kepemimpinan di tubuh Pemuda Islam Indonesia (PII); antara PII yang berkantor di Jalan Bunga dan PII yang berkantor Menteng Raya. Karena beberapa tokoh HMI sebelumnya juga adalah aktivis PII, sehingga hubungan ideologis ini kemudian, yang menumbuhkan inisiatif di antara mereka untuk melakukan langkah-langkah strategis untuk menyelamatkan PII. Saya bersama Oman Komaruddin mantan Ketua Umum PB HMI Periode 1960-1963, pasca kongres HMI tersebut, terlibat dalam “misi penyelamatan” ini. Faktor ini yang membuat saya melepaskan jabatan sebagai pengurus PB HMI karena saya terpilih sebagai Sekretaris Jendral PII, sementara Oman Komaruddin terpilih sebagai Ketua Umum.
Pada Oktober 1963, terjadi demonstrasi di IAIN saat itu mahasiswa mengoreksi kebijakan Menteri Agama. Selain di Jakarta, demonstrasi serupa juga  terjadi di IAIN Yogyakarta.  Di Ciputat, demonsntrasi ini dipimpin oleh Saifuddin Faturisi seorang mahasiswa Jurusan Khusus Imam Tentara yang berasal dari Bugis, sementara Abdullah Syukri (sekarang Kiai Pimpinan Pesantren Gontor) adalah tokoh yang aktif penyebarkan dan menempel pamplet demo, bersama beberapa mahasiswa dari aktivis Dewan Mahasiswa dan HMI lainnya. Penyebab utama terjadinya demonstrasi ini, karena Departemen Agama dalam pandangan mahasiswa waktu itu “dianggap” terbukti dan ditemukan banyak indikasi terlalu didominasi oleh golongan NU. Karena waktu itu belum ada organisasi mahasiswa semacam IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah) yang berafiliasi selain NU, sehingga muncul semacam kesepakatan di kalangan mahasiswa non-NU yang merasa termarjinalkan atas kebijakan tersebut, menjadikan HMI sebagai tumpuan harapan yang dapat menampung dan menyuarakan aspirasi mereka belum lagi demonstrasi ini kemudian didukung oleh aktivis-aktivis  Senat Mahasiswa.
Terkait situasi nasional pada waktu itu, karena sejumlah elit politik banyak yang dipengaruhi oleh PKI, sehingga demosntrasi di IAIN Yogyakarta dan IAIN Jakarta ini kemudian dijadikan issu politik sebagai gerakan yang merongrong kewibawaan Pemimpin Besar Revolusi. Akibatnya, tidak saja mahasiswa yang terseret ke balik jeruji besi, termasuk para dosen seperti Kafrawi Ridwan, Zarkowi Soejoeti, Ahmad Ludjito, Prof. Mahmud Yunus (mantan Rektor IAIN) dan Ahmad Syadali (Rektor IAIN Jakarta saat itu) ikut juga mendekam di penjara. Sebenarnya, ketika berdemonstrasi di IAIN, saya sendiri tidak terlibat langsung, tapi hampir semua aktivis HMI dan dosen yang dianggap condong berpihak pada HMI juga ikut ditahan. Akibat peristiwa ini, saya sempat ditahan dalam satu ruangan dengan Prof. Mahmud Yunus di Polres Tangerang, sebelum kemudian diproses di MABAD (Markas Besar Angkatan Darat). Saya bersama Jalaluddin Suyuti dan Saifudin Faturusi kemudian dipindahkan ke Sukabumi kemudian dipindahkan lagi ke Surakarta. Dalam penahan di Surakarta ini, agar kami bertiga tidak pernah saling bertemu, dengan bergantian kami ditempatkan secara acak antara Solo, Karanganyer, dan Tawangmangu. Saya menjalani proses penahanan selama kurang lebih enam bulan, setelah itu dikembalikan ke Jakarta dan menjalani tahanan rumah. Karena penahan ini lah, kemudia kami rata-rata bertekad untuk masuk militer, saya sendiri masuk Sekolah Dasar Perwira Komado KKO-AL (sekarang Marinir), meskipun saya sendiri tidak melanjutkan karir militer ini.
Selain penangkapan dan penahan akibat peristiwa di IAIN, dalam waktu hampir bersama, banyak tokoh nasional yang juga ditahan, antara lain Buya Hamka, Yusuf Wibisono, Kasman Singodimedjo, dan masih banyak yang lainnya. Tentu saja beberapa di antaranya dalam kasus yang berbeda, tapi secara umum mereka yang ditahan dianggap telah merongrong kewibawaan Pemimpin Besar Revolusi, seklaigus terjerat Undang-Undang tentang antisubversi (PNS 11/1963).
Karena peristiwa demonstrasi di IAIN Ciputat, HMI Cabang Ciputat dibekukan oleh PB HMI, selanjutnya ditunjuklah Syarifuddin Harahap dari Pengurus PB HMI sebagai PLT (caretaker PB HMI untuk Ciputat). Syarifuddin Harahap yang memang orang di luar Ciputat, sudah barang tentu mengalami kesulitan psikologis dalam menghadapi dan memahami situasi dan kondisi HMI di Ciputat, belum lagi “pembekuan” ini jelas akan berdampak psikologis pula di kalangan kader-kader HMI Ciputat. Untuk memudahkan dan membantu menjalin komunikasi dengan kader-kader HMI Ciputat, Syarufuddin meminta saya untuk mendampinginya selama menajalankan tugas sebagai caretaker PB HMI di Ciputat.
Demikianlah, sekilas masa-masa merintis di HMI Cabang Ciputat, dalam perjalanannya Ciputat telah melahirkan kader-kader terbaik dan memantrikan dirinya sebagai pusat perkaderan “terkemuka” di lingkungan HMI. Semoga ikhtiar penerbitan buku ini sebagai pelacakan jejak sejarah perkembangan HMI Cabang Ciputat yang memberikan hikmah bagi generasi penerus serta menjadi spirit untuk mengemban misi keumatan dan kebangsaan di masa mendatang.
Disarikan dari wawancara dengan AM. Fatwa,
Pejaten, pertengahan Maret 2011

1 komentar:

  1. saya putra dari Alm. Saifuddin Paturusi (dalam tulisan ini disebut Saifuddin Faturisi). Terima kasih sudah berbagi kisah, sehingga saya bisa merangkai puzzle, peristiwa yang dialami Ayah. Sebelumnya, Ayah cuma cerita sekilas kisahnya, tapi tidak latar belakangnya.

    BalasHapus