I. Kebebasan dan Kemanusiaan: Perspektif Alquran.
Kebebasan adalah konsekuensi logis dari
pengetahuan yang dimiliki manusia. Pengetahuan niscaya bagi manusia karena ia
mempunyai Akal. Akallah yang membuat manusia menjadi manusia dan berbeda dengan
semua mahluk lain.
Dalam Islam, kisah kebebasan dan kemanusiaan ini
digambarkan oleh Alquran, dengan alegoris, melalui cerita Adam. Sedikit berbeda
dengan penfsiran konvensional, saya memandang kisah Adam yang digambarkan Alquran
sama sekali tidak berkaitan dengan sejarah munculnya spesies manusia pertama di
bumi. Sebagaimana umum diyakini, sebelum Adam ini “diterjunkan” karena
melakukan dosa di surga, bumi ini tak berpenghuni manusia. Bumi hanya dihuni
binatang, tumbuhan dan sebangsa jin. Baru setelah Adam dan pasangannya Hawa
tiba di bumi dan beranak pinak, spesies manusia muncul.
Dalam pandangan konvensional, Adam juga diyakini
sebagai “sosok individul konkrit” Artinya, Adam itu adalah sebuah nama bagi
sesosok tubuh. Dia diusir dari syurga, bersama pasangannya Hawa—mahluk yang
dibuat dari tulang rusuk Adam--karena sebuah dosa: menyantap buah Khuldi, buah
keabadian. Sebelumnya Tuhan telah bertitah: “Hai Adam, silahkan nikmati semua
yang ada disurga, tetapi jangan coba dekati pohon yang satu ini”[2].
Kisah Adam juga diyakini oleh sebagian besar umat Islam sebagai peristiwa
faktual yang mempunyai validitas historis. Artinya, kisah pembangkangan Adam,
pengusiran dari surga dan kedatangannya di bumi ini memang benar-benar terjadi.
Versi kisah Adam yang demikian biasanya digunakan juga oleh kalangan kreasionis
untuk menunjukan kesalahan pandangan evolusi.
Sekilas hampir tak ada yang salah dengan penafsiran
konvensional atas kisah tersebut. Namun kalau dicermati, versi cerita tersebut
membawa implikasi yang lumayan penting. Pertama, kalau versi cerita konvensional
itu kita akui, secara tidak langsung kita mengakui faham dosa asal manusia.
Kita jadi berfikir, seandainya Adam tidak melakukan semua tindakan
pembangkangan ini, niscaya kita, semua umat
manusia, sekarang hidup di syurga. Keterlemparan kita di dunia ini
adalah karena kesalahan nenek moyang kita, dan karena itu kita semua harus
menanggungnya.
Kedua, versi cerita konvensional itu membawa kesan
“phallus domination”[3].
Karena Adam diyakini sebagai sosok individual konkrit berjenis kelamin lelaki,
marginalisasi perempuan seolah memiliki rujukan primordial-teologis: bahwa
sejak masa primordial, lelaki lebih
berkuasa ketimbang perempuan. Hawa adalah mahluk yang dibuat dari tulang rusuk
Adam. Hawa, dalam versi cerita itu, hanyalah aktris pembantu bagi aktor utama,
yakni Adam. Karena itu, ketertindasan perempuan dan dominasi laki-laki
seolah-olah menjadi keniscayaan.
Saya memandang cerita Adam dengan cara yang lain.
Cerita tersebut menunjukan bagaimana munculnya spesies “insan”
(manusia-intelegensia) dari kondisi awalnya yang hanya berupa “basyar”(manusia-biologis
instingtual). Dalam bahasa Indonesia, memang kedua kata tersebut diterjemahkan
dengan kata yang sama, yakni manusia. Tetapi secara konseptual, sesungguhnya
dua hal tersebut (insan dan basyar) berbeda. Basyar adalah kata
untuk menunjukan dzat manusia sebagai mahluk biologis semata yang statusnya
tidak berbeda sama sekali dengan binatang. Ia hidup dengan insting: lapar, haus,
takut, birahi dan lain-lain. Ia belum memiliki kesadaran yang utuh. Karena itu
ia masih merupakan bagian dari alam dan menyatu dengan alam. Basyar belum bisa
mengambil jarak, membuat distansi dan distingsi dengan alam. Dalam bahasa yang
lebih filosofis, basyar adalah subjek yang masih menyatu dengan objek
dan belum bisa mengobjektifasi.
Sementara insan adalah kata untuk menunjukan dzat
manusia yang telah memiliki kesadaran penuh akan dirinya (full-consciousness).
Insan adalah manusia berpengetahuan yang hidup tidak semata-mata menuruti
keinginan instingtual tetapi juga menggunakan pertimbangan rasional. Kata insan
adalah kata yang unik. Menurut para ahli bahasa, kata tersebut memiliki dua
kemungkinan akar kata, yakni kata nasya (lupa, lalai) atau anasa (jinak).
Sebagian besar berpendapat bahwa akar kata insan adalah kata yang pertama,
yakni nasya. Aneh bukan, manusia, dalam ungkapan Arab disebut “si
pelupa” atau “si lalai”. Namun kita tidak perlu menjadi terhina karena manusia
disebut “si pelupa” atau “si lalai”. Kata tersebut justru memiliki makna yang
dalam dan filosofis.
Lupa, lalai, membangkang, dan memberontak adalah
sifat khas manusia (insan). Sifat itu hanya mungkin dialami oleh mahluk yang
mempunyai dua hal: pengetahuan-- karena punya akal--dan kehendak bebas. Tidak
mungkin kita lupa kalau tidak sedang belajar atau mengingat sesuatu. Tidak
mungkin kita belajar dan mengingat sesuatu kalau kita tidak punya pikiran dan
kesadaran. Jin, setan, binatang, malaikat tidak akan pernah lupa, lalai, atau
membangkang karena tidak pernah mengingat dan belajar. Mereka tidak bisa
belajar dan berpengetahuan karena tidak punya akal. Pengetahuan mendampingi
insting manusia (sebagaimana inheren dalam basyar) menciptakan kehendak.
Kehendak menciptakan keinginan-keinginan, hasrat-hasrat. Sementara akal pikiran
dan pengetahuan menyediakan pilihan-pilihan untuk memenuhi hasrat dan keingian
tersebut.
Insan dengan demikian menunjukan pada dzat manusia
sebagai pemimpin (khalifah) bagi mahluk Tuhan yang lain. Proses munculnya
manusia-pemimpin dengan sangat indah dan penuh makna digambarkan Alquran dengan
cerita alegoris Adam. Dengan tegas dan jelas pembukaan kisah Adam dalam Alquran
(QS 2: 30) Allah berfirman bahwa Ia “ingin menjadikan (jāilun) khalifah
(manusia-pemimpin). Kalau kisah itu berkaitan dengan kemunculan
spesies manusia pertama, kenapa bunyi ayat itu tidak “ingin menciptakan
(khāliqun) manusia (basyar)?[4]
Karena itu saya memandang bahwa sebelum manusia diangkat derajatnya dari status
mahluk instingtual yang tidak ada bedanya dengan binatang ke status pemimpin,
spesies manusia (sebagai basyar) sudah ada. Namun karena manusia belum
memiliki kesadaran-penuh akan dirinya dan pengetahuan, manusia tak lebih dari
mahluk lainnya. Kemudian manusia menjadi pemimpin bagi mahluk lain dan
diberikan amanat untuk mengelola bumi (QS 2: 29) setelah sebelumnya “Tuhan
mengajarkan nama-nama” (QS. 2:31)
Ayat “Tuhan mengajarkan nama-nama” memiliki makna
yang dalam. “Nama” atau “ism” dalam ungkapan Alquran, menurut para ahli
bahasa, adalah ungkapan untuk menggambarkan bagaimana manusia memiliki
pengetahuan tentang sesuatu. Kata ism digunakan untuk menggambarkan
kemampuan menusia mengerti tentang hakikat dan sifat sesuatu untuk tujuan
membedakan antara sesuatu dengan sesuatu yang lain (membuat distingsi)[5].
Dengan kata lain Alquran ingin mengungkapkan bagaimana manusia mulai memiliki
kemampuan berfikir secara logis-konseptual.
Karena itu, alih-alih kisah itu menunjukan proses
kemunculan spesies manusia pertama, lebih baik kita melihatnya sebagai proses
munculnya manusia berakal budi ke panggung dunia sebagai pemimpin. Adam dengan
demikian tidaklah dimaknai sebagi sebuah nama bagi sosok-individual konkrit
tertentu yang berpasangan dengan Hawa. Sebagaimana diungkapkan Muhammad Iqbal,
kata Adam itu adalah kata alegoris untuk menggambarkan ras manusia-berakal budi
secara keseluruhan (all human being). Dengan demikian kata Adam
digunakan oleh Alquran lebih sebagi konsep ketimbang nama untuk sosok
individual konkrit tertentu. Adam sebagai konsep akan terlihat semakin jelas
kalau kita melihat ayat 10-11 surat Al-A’raaf.
Sesuatu yang lebih menarik dan berkaitan secara
langsung dengan tema tulisan ini adalah babak kejatuahan Adam dalam cerita Alquran
itu. Kalau sebagian besar orang memandang kejatuhan Adam, karena memabangkang
titah Tuhan dengan memakan buah Khuldi, dengan pandangan negatif, saya melihat
sebaliknya. Cerita kejatuhan Adam dari surga sama sekali tidak berkaitan dengan
kemerosotan moral manusia ke dalam dosa. Bumi, tempat Adam “diasingkan” setelah
diusir dari surga, juga bukanlah tempat manusia menebus dosa dan menjalani
hukuman karena dosa nenek moyang (Adam). Kisah pembangkangan dan pengusiran itu
hanyalah ungkapan alegoris Alquran untuk menunjukan keluarnya manusia dari
keadaan primitif, di mana ia hidup hanya berdasarkan kemampuan dan hasrat
instingtual semata (basyar), menujuju fase manusia yang memiliki
kesadaran penuh (full-consciousness) dan kebebasan. Dalam kondisi di mana
manusia memiliki kesadaran dan kebebasan, keragu-rauan dan pemberontakan
menjadi niscaya[6]
Ketidak-patuhan ras manusia-berakal budi pertama
(Adam) pada perintah Tuhan adalah tanda paling nyata dari sempurnanya
kemanusiaan. Itulah kebebasan manusia pertama-tama diekspresikan: kebabasan
memilih berdasarkan semua pertimbangan akal budinya. Adam diberikan pilihan:
makan atau tidak buah Khuldi itu. Kalau sebelumnya manusia, karena belum
berkesadaran-penuh dan bebas, tidak dibebani semua kategori moral, sekarang
setiap tindakan “Adam” dibebani kategori-kategori moral: baik-buruk, benar-salah,
susila-asulila dan lain-lain. Karena itu dalam setiap tindakan-bebas manusia,
dua kemungkinan itu niscaya menjadi pilihan. Pilihan mengerjakan kebaikan hanya
bermakna kalau disediakan juga kekebasan mengerjakan kejahatan. Pilihan untuk
tunduk hanya bermakna kalau pada saat yang sama diberikan kebebasan untuk
memberontak. Bahkan pilihan untuk iman sekalipun baru bermakna kalau pada saat
yang bersamaan manusia diberikan kebebasan untuk kufr.
Kalau manusia sudah ditentukan pilihannya pada
satu pilihan saja (terdeterminasi), semua kategori moral niscaya menjadi
sia-sia. Tindakan Adam memakan buah Khuldi dibebani kategori salah secara moral
hanya karena “Adam” sekarang telah memiliki kebebasan dan kesadaran. Dan mulai
saat itu, setiap tindakan manusia senantiasa dibebani kategori moral[7].
Karena itu, kata syajaroh (pohon) dalam ayat itu akan lebih bermakna
kalau ditafsirkan sebagai pohon pengetahuan dan pohon kemanusiaan. Itulah
penanda kemanusiaan mulai menjelma dengan sempurna (insan)
Mulai saat itulah setiap manusia senantiasa
menanggung resiko. Kebebasan manusia dari kondisi primitif instingtual
menyebabkan manusia harus mandiri dan merdeka dalam setiap tindakannya. Karena
kebebasan dan kemandirian setiap manusia, kesalahan, kekeliruan dan
pembangkangan menjadi tak mungkin dihindari. Kita dihadapkan pada pilihan:
jalan lurus atau berliku. Semuanya mengandung konsekuensi: selamat sentosa atau
tersesat. Tuhan tak pernah memaksa manusia untuk taat pada-Nya. Dengan jelas
dia mengatakan: mau kufr atau iman terserah. Dia menginginkan semua
tindakan dan pilihan manusia dikerjakan berdasarkan pertimbangan kesadaran bebas
manusia. Karena dasar kebebasan dan kesadaran ini pula kita bisa dengan jernih
memandang konsep pahala (reward) dan dosa (punishment). Pahala
dan dosa hanya mungkin dijatuhkan pada semua pilihan bebas dan sadar manusia.
Tetapi bukankah karena kita berani menanggung
resiko kita lantas menjadi pemimpin (khalifah) bagi sekalian alam. Dalam
perjanjian primordial dengan Tuhan kita telah berani memikul kepercayaan yang
diberikan-Nya kepada kita. Dulu kepercayaan itu pernah ditawarkan Tuhan kepada
langit, bumi, jin dan mahluk lain. Mereka semua menolak karena merasa tidak
akan mampu. Amanah Tuhan itu lantas manusia terima terima[8].
Pemaparan yang panjang lebar di atas sebenarnya
bertujuan untuk mencari dasar primordial-teologis kebebasan: bahwa manusia
hanya mungkin disebut manusia kalau dia memiliki kebebasan dan kesadaran.
Karena itu, kebabasan adalah fitrah bagi manusia. Manusia tanpa kebebasan
bukanlah manusia.
II. Sejarah adalah Penjelmaan Kebebasan
Sepanjang sejarah, manusia tak lelah-lelah
mewujudkan fitrah kebebasan dalam kehidupan. Sejarah panjang umat manusia
adalah sejarah bagaimana kebebasan dan rasionalitas diejawantahkan dalam
realitas nyata. Sejarah manusia maju menuju bebas-rasional. Manusia-berakal budi (insan)
pertama-tama mencoba membebaskan dirinya dari kungkungan kondisi
primitif-instingtual menuju tahapan kehidupan penuh kesadaran dan kebebasan. Setelah
itu manusia tumbuh menjadi subjek yang otonom; mulai melepaskan dirinya dari
kondisi-kondisi alamiah dan mulai mengobjektifasi alam[9]. Kemudian,
pada fase awal sejarah manusia,
kebebasan hadir sebagai anugrah bagi segelintir orang: kebebasan hanya
milik kaisar atau raja. Perbudakan dan despotisme dianggap alamiyah. Peradaban
di Cina, Mesir, Babylonia dan tempat lain pernah mengalami fase ini. Lantas, dalam
peradaban Yunani dan Romawi, meskipun institusi perbudakan masih ada, kebebasan
diperluas menjadi hak warga negara, meski tidak semuanya. Dan akhirnya,
reformasi dan renaisance di Eropa modern membawa peradaban manusia pada
pengejawantahan kebebasan yang lebih sempurna dan merata[10].
Tidak sebagaimana kita duga, kebebasan manusia
Barat bukanlah warisan kultur Yunani. Yunani memang mewariskan kepada Barat
tradisi pemikiran filasafat, sastra, dan seni yang sangat kaya. Mereka juga
mewariskan demokrasi. Tetapi mereka tidak mewariskan liberalisme. Demokrasi
yang berjalan di Yunani waktu itu adalah demokrasi yang, meminjam istilah
Fareed Zakaria, illiberal. Individu, dalam sistem demokrasi Yunani, tak jarang
harus dikorbankan untuk kepentingan komunitas. Bukankah Socrates, salah satu
filsuf terbesar waktu itu, dijatuhi hukuman mati berdasarkan konsensus
demokrasi? Eksekusi itu demokratis tetapi tidak liberal. Liberalisme,
sebagaimana diartikan sekarang, adalah peninggalan tradisi Romawi. Bangsa
Romawi mengajarkan kebebasan: bahwa
semua warga negara diperlakukan setara di depan hukum. Romawi pulalah yang
pertama-tama membatasi kekuasaan pemerintah dengan peraturan hukum. Bahkan kata
“liberal” adalah turunan dari kata “libertas” dalam bahasa Latin. Konsep
politik Romawi juga sampai sekarang masih banyak dipakai: senat, republik,
konstitusi dan lain-lain. Tetapi saya ingin memberikan catatan: bahwa semua
tradisi hukum Romowi ini juga kemudian dirusak oleh tangannya sendiri. Republik
Romawi lantas berubah menjadi kekaisaran. Kaisar Nero, Vitellius dan Galba tak
segan-segan menjadi algojo yang sangat buas. Yang lebih aneh adalah ketika
Caligula mengangkat kuda kesayangannya sebagai senator. Kondisi ini terus tidak
berubah samapi masa di mana Kekaisaran Romawi “berkoalisi” dengan kekuasaan
suci Katolik[11].
Keadaan baru berubah ketika masa Reformasi dan Pencerahan.
Masyarakat Barat modern menganggap itulah zaman di mana kebebasan manusia
dilahirkan kembali. Mereka berjibaku untuk mewujudkannya selama ratusan tahun
sejak di mulainya zaman kegelapan. Kebebasan, dalam sejarah Barat, adalah
konsekuensi dari perebutan kekuasaan secara terus menerus: pertarungan antara
gereja dan negara, raja dan tuan-tuan tanah, Protestan dan Katolik serta, di zaman
modern, usahawan dan negara. Ratusan bahkan ribuan nyawa martir kebebasan
melayang.[12]
Namun usaha mereka yang gigih dan penuh
pengorbanan tidak sia-sia. Kebebasan sekarang, di kalangan masyarakat Barat,
menjadi sebuah nilai hidup yang paling fundamental dan tidak bisa diganggu
gugat. Nilai itu tidak bisa dikorbankan dengan alasan apapun: untuk
kebahagiaan, kesetaraan atau bahkan keadilan sekalipun. Dan, saya kira, semua
kemajuan yang mereka capai sekarang adalah buah dari apa yang mereka
perjuangkan selama ini.
Kondisi demikian sangat jelas berbeda dengan apa
yang kita alami di dunia muslim. Bagi kita, kebebasan adalah sesuatu yang jauh
dari kata sempurna. Masih berupa cita-cita. Hampir sebagian besar umat Islam
hidup dalam kondisi yang tidak bebas. Masyarakat internasional menganggap
sebagian besar negara-negara muslim, kecuali negara kita (Indonesia) dan satu
atu dua negara lain, masih berada dalam sistem otoriter. Menurut indeks Freedom
House, Hanya 28 persen negara Islam di Timur Tengah yang partly free.
Sebagian besar negara Islam masih didera penyakit akut: sistem negara yang
otoriter dan kultur masyarakat yang illiberal[13]. Meskipun kita (di
Indonesia) sudah relatif terbebas dari penyakit pertama, penyakit kultur illiberal
dalam masyarakat kita semakin memprihatinkan. Hal tersebut diindikasikan dengan
semakin menguatnya intoleransi dan puritanisasi sikap keberagamaan. Lihat saja
bagaimana Ahmadiyah diperlakukan, atau FPI dan FBR yang bertingkah seperti
jagoan.
Naifnya, di tengah-tengah kondisi yang demikian,
kebebasan malah muncul sebagai momok yang ditakuti. Kebebasan dituduh, tanpa
diadili dan diteliti, sebagai biang kerok kemerosotan moral dan penyebab
hilangnya kepribadian bangsa. Setidaknya menurut pengalaman subjektif saya,
ketika seseorang mendengar kata kebebasan, yang segera muncul adalah pengertian
negatif. Apalagi kalau yang didengarnya adalah kata “liberalisme”. Urusan bisa
semakin runyam. Bukankah idiologi tersebut diharamkan MUI untuk beredar di
negeri ini dan harus segera ditarik dari pasaran? Liberalisme, di negeri ini,
sudah begitu jauh menyimpang dari maknanya. Bahkan sudah sama sekali terlepas
dari fondasi-fondasi pengertian yang sesungguhnya. Di negeri ini liberalisme
kadang diartikan dengan: kebebasan tanpa batas, karena itu hubungan lawan jenis
menjadi bebas; ujungnya menyebabkan prilaku seks bebas; hura-hura,
mabuk-mabukan dan semua prilaku negatif lain.
Untuk itu dibutuhakan upaya untuk meretas jalan
menuju kebebasan yang sesungguhnya. Saya, untuk tujuan itu, menyodorkan dua jalan
alternatif. Pertama, kita perlu merumuskan basis teologis-normatif bagi
kebebasan. Hal ini perlu dilakukan karena umat Islam selalu beranggapan bahwa
konsep-konsep kebebasan yang diterimanya dari Barat secara teologis
bertentangan dengan Islam. Karena itu, menurut kelompok ini, liberalisme harus
di tolak. Kedua, saya akan mencoba memaparkan konsep dasar kebebasan
sebagaimana dipaparkan para pemikir liberal Barat dan mengaitkannya dengan
konsep teologi Islam sejauh itu dimungkinkan. Hal ini dilakukan untuk
menghindari sekaligus meluruskan kesalahfahaman terhadap nilai-nilai
liberalisme, sekularisme dan pluralisme yang terjadi selama ini.
III. Dasar Normatif-Teologis Kebebasan[14]
Bagi saya, kelahiran Islam adalah kelahiran
kebebasan. Ungkapan itu sendiri bukanlah sesuatu yang asing. Di setiap
ceramah-ceramah kita sering mendengar para ustad dengan gagah berkata bahwa
Muhammad telah membebaskan umat manusia dari kegelapan dan kebodohan (jahiliyah)
menuju masa terang benderang. Memang
ungkapan tersebut terkesan jargon semata. Namun kalau kita mau meneliti
jauh lebih dalam, memang begitu adanya.
Islam adalah penyerahan diri sepenuhnya kepada
Yang Maha Benar. Agama ini dinamai sesuai dengan perbuatan, sikap dan sifat
yang harus dimiliki oleh para penganutnya. Agama ini tidak dinamai dengan
eponym pembawanya sebagaimana penganut ajaran Kristiani atau Budha menamakan
agama mereka. Juga tidak menamainya berdasarkan nama etnis atau tempat tertentu
di mana ajaran itu muncul seperti Yahudi atau Hindu. Para pengikut Muhammad
menamai agama yang dianutnya dengan perbuatan, sifat dan sikap hidup yang harus
dimiliki mereka dalam kehidupan: kepatuhan dan kepasrahan sepenuhnya pada Yang
Maha Benar (Islam).
Kita harus mencatat bahwa Tuhan tidak pernah
menyapa Muhammad dan para pengikutnya ketika dia hidup dengan sebutan “orang
Islam”. Tuhan menyapa Muhammad dan pengikutnya dengan sebutan “kaum beriman”.
Kata aslama, muslimun, al-islam, musliman, dan lain-lain yang disebutkan
oleh Alquran selalu merujuk pada satu model perbuatan atau sikap hidup yang
dimiliki oleh orang-orang yang pasrah kepada Tuhan. Karena itu, menurut
sebagian pendapat, “kelompok Islam” saat itu belum ada: waktu itu belum ada
komunitas tertentu yang menamakan diri mereka kelompok Islam. Kalau kita
membuka Alquran, setiap sapaan Tuhan selalu diawali oleh kalimat yā ayuha
al-ladzina āmanū (hai orang-orang yang beriman). Hampir tak ada satupun
kalimat saapaan Tuhan untuk komunitas Muhammad dan pengikutnya yang diawali
dengan yā ayuha al-muslimun (wahai orang-orang Islam). Karena itu, agama
bagi pengikut ajaran Muhammad baru dinamai “Islam” pada periode awal Islam
setelah Muahammad wafat. Kata itu digunakan belakangan untuk mengidentifikasi
diri dan kelompok. Berdasarkan itu saya membagi Islam ke dalam dua pemaknaan: Islam
sebagai sikap (cara) hidup dan Islam sebagai identitas hidup.
Apa yang berulang-ulang diungkapkan Alquran, lebih
dari seratus duapuluh kali dengan berbagai bentuk tasrif dari akar kata sallama,
selalu merujuk pada Islam yang dimaknai sebagi sikap hidup menyerahkan diri
sepenuhnya kepada Allah. Karena itu, Alquran dengan sangat gamblang
menggambarkan semua pembawa kebenaran bagi manusia, nabi maupun rasul, selalu ber-Islam. Sebagai contoh, Isa dan
para sahabatnya (kelompok al-hawariyūn), dalam QS, 3:52, bersaksi bahwa
“kami adalah muslimun”. Ibrahim, sebelum meninggal, juga berwasiat
kepada Ismail dan Ya’qub supaya “jangan mati kecuali dalam keadaan muslim”. Bagaimana
mungkin kita mengartikan mereka semua ber(identitas)agama Islam. Bukankah Muhammad saat itu belum
datang membawa risalahnya? Karena itu mereka kita anggap sebagai orang yang
memiliki perbuatan dan sikap hidup yang Islami dalam pemaknaan pertama
(menyerahkan diri sepenuhnya kepada Tuhan).
Tuhan dengan jelas berfirman bahwa tipologi sikap hidup inilah yang
diridhai oleh-Nya (lihat QS. 3:19, 3:85, 5:3)
Dalam pengertian yang pertama ini, Islam bisa dimaknai secara universal.
Terserah identitasnya apa, yang penting menjalani sikap hidup Islami, dengan
menyerahkan seluruh hidupnya untuk Tuhan, maka manusia dianggap telah berislam.
Kenapa sikap hidup Islami (dalam pengertian
pertama) menjadi inti ajaran semua para nabi dan rasul dan sekaligus diridhai
Tuhan? Saya kira jawabannya adalah karena sikap hidup itu (Islam) membebaskan.
Di manakah letak pembebasan perbuatan dan sikap hidup seperti ini? Bukankah
dengan menyerahkan diri kepada Allah justru manusia akan terbelenggu? Sekilas
memang namapaknya demikian. Itu terjadi karena secara empirik kita melihat
orang-orang yang mengkalim dirinya bertuhan, terkadang justru menjadi orang
yang berada di garis depan pemberangusan kebebasan. Sejarah Barat mengalami
betul bagaimana kebebasan dibungkam untuk melindungi Tuhan (gereja).
Umat Islam sekarang juga banyak melihat bagaimana kebebasan ditiadakan dengan
dalih melindungi ajaran suci. Saya memandang kalau ada sebuah agama yang tidak
membebasakan niscaya agama itu telah mengalami penyimpangan.
Energi pembebasan dalam Islam adalah nilai Tauhid.
Tauhid adalah pengesaan Tuhan. Bahwa hanya Tuhanlah dzat suci yang menjadi
tempat kita bergantung dan menyerahkan diri. Tuhan kita yakini bukan hanya
sebagai dzat yang menciptakan segenap alam raya (tauhid ulluhiyah),
tetapi juga sebagai dzat yang kepada-Nya seluruh kehidupan kita serahkan (tauhid
rubbubbiyah). Kalau Allah sudah, dengan sepenuh hati, kita jadikan satu-satunya
Yang Suci dan Mutlak, maka niscaya tidak boleh ada dzat mutlak lain. Kalau Yang
Mutlak telah kita jadikan dzat di mana kepada-Nya kita menghambakan diri, maka
penghambaan diri kepada yang tidak mutlak adalah sebuah keanehan.
Manusia, disadari atau tidak, sering mensucikan
sesuatu yang sesungguhnya tidak suci (profan) dan memutlakannya. Juga tanpa
sadar manusia tak jarang menghambakan dirinya pada sesuatu selain Tuhan: benda
atau manusia. Dulu manusia pernah menganggap batu, pohon dan kaisar sebagai dzat
suci yang patut disembah. Padahal sesungguhnya, mensucikan alam justru membuat
manusia tidak bisa mengelola dan memanfaatkannya untuk kehidupan. Van Peursen
menyebut masa tersebut adalah masa mitis. Pada masa ini, manusia terbelenggu
oleh alam. Akibatnya eksplorasi dan kreasi menjadi mustahil.
Mensucikan manusia bisa lebih parah akibatnya:
manusia menjadi budak bagi manusia yang lainnya. Lihat saja bagaimana sistem
despotik-totaliter memberlakukan manusia. Manusia tak lebih berharga dari benda
yang lainnya. Lihat juga dalam sistem perbudakan bagaimana manusia
diberlakukan. Manusia menjadi subordinat dari manusia lainnya. Ia tidak bebas
merdeka karena semua kehidupannya ditentukan manusia lainnya. Manusia menjadi
tidak setara (inequal). Menganggap suci manusia menyebabkan kebebasan
manusia terbelenggu dan manusia jatuh derajatnya. Dalam bahasa agama,
menganggap ada dzat suci selain Tuhan dan menyembah padanya disebut syirk. Dalam
Islam syirk menjadi dosa yang tidak diampuni, kecuali kalau bertobat, karena
syirk adalah perbuatan yang mengingkari fitrah kemanusiaan: kebebasan.
Ia membelenggu kebebasan dan memberangus kesetaraan manusia.
Dari pemaparan di atas kita bisa mengambil sebuah
kesimpulan bahwa tauhid melahirkan tiga macam derivasi: kebebasan (liberty),
kesetaraan (equality) dan sekulerisasi. Tauhid memungkinkan manusia
terbebas dari belenggu alam atau manusia lain. Ia menjadi otonom dan kreatif.
Semua jenis tirani (thagut) menjadi haram. Karena demikian, manusia
menjadi setara dengan sesamanya (equal/egaliter). Tidak ada lagi jenis subordinasi apapun. Manusia lantas tidak mungkin
menganggap suci (sakral) sesuatu, apakah manusia, negara atau alam. Yang sakral
hanyalah Tuhan, yang lainnya profan (sekulerisasi)(lihat gambar).
Syirik Tauhid
(personal) Tauhid (sosial)
![]() |
Sakral
Profan
Catatan: Lingkaran putih
diumpamakan Tuhan dan lingkran hitam adalah manusia atau mahluk lain. Ketika
manusia hanya memiliki satu tempat bergantung,
Tuhan, manusia niscaya bebas. Sementara kalau manusia mempunyai lebih dari satu
tempat bergantung, ia akan terbelenggu. Tauhid juga membuat manusia
dihadapanTuhan setara
Kebebasan (liberty), kesetaraan (equality)
dan sekulerisasi adalah, sebagaimana saya paparkan di atas, adalah derivasi
langsung dari sikap penyerahan diri kita kepada Allah (tauhid). Tiga hal tadi,
menurut saya, adalah nilai universal. Karena itu, sejarah manusia adalah
keseluruhan usaha manusia untuk menjelmakan nilai-nilai tersebut. Usaha
pewujudan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan, tidak mengenenal suku, agama
atau ras. Di Timur atau di Barat, setiap orang berusaha mewujudkannya.
IV. Rukun Liberalisme
Di Barat, usaha manusia untuk mewujudkan cita-cita
tersebut sudah jauh lebih maju. Perjuangan itu dimotori oleh para pemikir yang
disebut sebagai kelompok pemikir liberal. Aliran pemikirannya disebut
liberalisme. Liberalisme adalah sebuah aliran pemikiran yang sangat kompleks
dan sangat sulit didefinisikan. Bahkan menurut Isaiah Berlin kata ini memiliki
lebih dari dua ratus pengertian. Namun meskipun begitu, semua pemikir yang
mempunyai sumbangsih pemikiran dalam perkembangan liberalisme, dari Thomas
Hobbes sampai John Rawl, selalu disatukan oleh satu benang merah: hak dan kebebasan
individu sebagai nilai dasar pengaturan kehidupan. Kalangan liberal tidak
menjadikan masyarakat, komunitas, negara atau budaya sebagai tujuan akhir semua
pengaturan kehidupan. Semua hal yang disebutkan belakangan hanyalah alat bagi
terwujudnya semua tujuan-tujuan individu. Negara, sebagai contoh, hadir sebagai
pelindung individu dari kemungkinan munculnya paksaan dan pengekangan oleh
individu atau komunitas lain. Dengan demikian negara memberikan kesempatan yang
seluas-luasnya bagi individu untuk menentukan pilihan dan jalan hidupnya
berdasarkan pilihan individu tersebut.
Untuk mempermudah pemahaman saya mengajukan tiga
rukun liberalisme. Ini saya rumuskan semata-mata untuk mempermudah pemetaan dan
pemahaman liberalisme. Dalam kenyataannya semua unsur ini tentu saja saling
berkaitan satau sama lain dan tidak bisa dipisahkan. Menurut saya, setidaknya
ada tiga fondasi di mana pemikiran liberalisme dibangun: otonomi individu,
kemerdekaan (liberty) dan kesetaraan (equality),
a. Otonomi
Pandangan ini berawal dari asumsi etis-metafisis.
Pemikiran Imanuel Kant biasanya dijadikan rujukan utama. Kant memandang manusia
sebagai mahluk yang otonom. Otonomi, bagi Kant, adalah bagian dari kehendak
manusia. Kehendak manusia dikatakan otonom kalau kehendak tersebut tidak
dimotivasi oleh sesuatu di luar dirinya (berupa hasrat-hasrat, kecenderungan-kecenderungan
atau kemauan lain yang tidak rasional). Pandangan Kant ini semakin jelas kalau
kita membandingkan dua macam prilaku: perbuatan yang ditentukan oleh pengaruh-pengaruh eksternal manusia dan
perbuatan yang bersumber dari dalam diri manusia sendiri. Srigala, sebagai
contoh, melihat seekor kelinci dan secara instingtual tergerak untuk
memangsanya. Tindakan srigala ini tidak otonom (heteronom) karena tindakan
tersebut sepenuhnya ditentukan oleh unsur-unsur eksternal. Manusia juga terkadang
gagal menjadi diri otonom. Penyebabnya bisa seperti srigala tadi, yakni karena
ada unsur-unsur pendorong eksternal, atau karena hasrat-hasrat tertentu di
dalam dirinya yang tidak rasional. Orang yang kecanduan narkoba, misalnya,
bukanlah individu otonom karena dirinya dikuasai oleh hasratnya untuk
mengkonsumsi obat-obatan. Dirinya menjadi pelayan untuk hasratnya. Padahal seharusnya
manusia menjadi tuan atas semua hasrat-hasratnya. Karena itu, otonomi mencakup
dua hal: bebas dari kekangan-kekangan eksternal dan bebas dari tirani dan
kekangan internal, yakni hasrat-hasrat irasional[15].
Menurut Susan Mendus, otonomi setidaknya bisa
dilihat dari tiga ciri. Pertama, otonomi harus difahami dalam kerangkan
tindakan. Seseorang dikatakan otonom kalau dia tidak dihalangi oleh kekuatan
eksternal, seperti ancaman penyiksaan atau hukuman. Kedua, seorang
manusia otonom tidak dikendalikan oleh hasrat-hasrat atau dorongan keinginan
yang tidak rasional. Manusia harus menjadi mahluk yang bisa menentukan pilihan
dan tindakan secara rasional. Tindakan berdasarkan hawa nafsu bisa membuat
manusia tidak otonom. Ketiga, manusia otonom adalah manusia yang tunduk
pada hukum dan aturan-aturan yang ditetapkan berdasarkan pertimbangan
rasionalnya. Manusia yang tunduk begitu saja pada kebiasaan-kebiasaan atau
tradisi di sekitar tempatnya hidup bisa dikatakan tidak otonom kalau
kehendaknya tersebut ditentukan oleh lingkungan di sekitarnya[16].
Manusia otonom dituntut untuk melakukan sesuatu
bukan karena hal lain selain kesadaran dalam dirinya. Dalam Islam kita mengenal
ajaran ikhlas. Saya memandang, ikhlas adalah ajaran yang mendidik
manusia agar menjadi diri otonom. Ikhlas menuntut setiap manusia untuk
memurnikan semua motif, kehendak dan niat dalam mengerjakan sesuatu. Manusia
mengerjakan sesuatu bukan karena dorongan eksternal atau ancaman tertentu. Dan
inilah yang akan menentukan absah tidaknya perbuatan seseorang secara teologis.
Kalau tindakannya dalam melakukan sesuatu, katakanlah salat, disebabkan karena
ada faktor luar, katakanlah mertua atau pacar, maka apa bedanya orang yang
salat itu dengan srigala yang saya sebutkan di atas. Pada level yang lebih
tinggi, sebagaimana diajarkan para sufi, bahkan ikhlas harus mencakup model
kemurnian motifasi dari teological reward and punishment: surga dan
neraka, pahala dan dosa. Kalau kita melakukan sesuatu karena dasar ingin surga
dan takut neraka, ingin pahala dan takut dosa, maka perbuatan kita bukanlah
perbuatan manusia otonom. Itu, saya menamakannya, adalah perbuatan manusia infantil.
Perbuatan kita seperti perbuatan anak kecil yang hanya mau belajar atau
mengerjakan sesuatu setelah ayahnya mengiming-imingi hadiah atau mengancamnya.
Dengan demikian otonomi, atau sikap ikhlas, membawa manusia pada kemerdekaan (liberty)
dan kesetaraan (equality). Dengan otonomi manusia juga menjadi bertanggungjawab
atas segala yang dilakukannya.
b. Liberty
Fondasi kedua dari liberlisme adalah kebebasan individu
(liberty atau al-hurr). Kebebasan manusia tidak hanya semata-mata
dalam asumsi-asumsi etis-metafisis. Kebebasan itu harus nyata dan hadir di
dunia. Manusia adalah mahluk merdeka dan menjadi tuan bagi dirinya. Dia berhak
menentukan jalan hidupnya sendiri. Ia berhak menentukan pilihannya berdasarkan
sesuatu yang dianggapnya baik. Masyarakat, komunitas atau negara sama sekali
tidak berhak mendiktekan jalan tertentu buat individu. Orang lain, masyarakat
atau negara sama sekali tidak mempunyai hak untuk menghalang-halangi manusia
lain dalam mencapai tujuan-tujuan hidupnya. Pilihan manusia merdeka, meskipun
salah, jauh lebih baik jika dibandingkan dengan pilihan yang baik tetapi
dipaksakan dari luar. Setiap jenis pengekangan yang menghalangi keinginan-keinginan
manusia, pada dirinya sendiri adalah jahat, meskipun terkadang ia harus
diterapkan untuk mencegah kejahatan lain yang lebih besar. Memaksa orang untuk
tidak memaksakan kehendak dan pandangan hidupnya pada orang lain adalah sebuah
jenis paksaan yang benar-benar terpaksa diterapkan[17].
Mencegah orang untuk tidak merusak dan menindas orang lain adalah juga jenis
pengekangan yang terpaksa karena dibutuhkan. Kewenangan itupun dibatasi hanya
menajadi kewenangan negara dan bukan yang lainnya. Tidak adanya pengekangan dan
paksaan, atau dengan kata lain, hadirnya kebebasan, adalah baik pada dirinya
sendiri meskipun hal tersebut bukanlah satu-satunya kebaikan. Dia tidak boleh
membuat dirinya, karena kebebasan tersebut, menjadi gangguan untuk orang lain.
Hal ini akan lebih jelas kalau kita menggunakan model
pendekatan yang dibuat Isiah Berlin. Ia, dalam karyanya yang sangat masyhur, Four
Essays on Liberty, membagi kebebasan ke dalam dua jenis: kebebasan negatif
dan kebebasan positif. Kebebasan negatif
dengan sederhana bisa dirumuskan sebagai
“bebas dari” (freedom from), dan kebebasan positif dirumuskan
sebagai “bebas untuk” (freedom to). Pertama, Saya dikatakan bebas sejauh
tidak ada orang atau kelompok tertentu yang ikut campur dalam apa yang saya
lakukan. Saya juga dikatakan bebas kalau tidak ada orang atau kelompok tertentu
yang menghalangi semua apa yang saya lakukan. Jika apa yang saya lakukan
dicampuri dan dihalang-halangi orang lain, maka saya kehilangan kebebasan saya.
Namun perlu dicatat bahwa tidak semua halangan bersifat pengekangan atau
paksaan. Jika saya tidak mampu berenang di danau atau tidak bisa memahami
teks-teks kuno, maka itu tidak berarti bahwa saya dikekang. Tetapi jika saya
dihalang-halangi untuk belajar berenang atau mempelajari teks-teks kuno oleh
orang lain, maka saha untuk mengatakan saya dikekang dan dipaksa.
Dalam dunia politik, kita dikatakan tidak
mempunyai kebebasan atau kemerdekaan kalau kita diahalang-halangi oleh orang
lain untuk mencapai satu tujuan. Tetapi tidak berarti setiap ketidakmampuan
mencapai sebuah tujuan berarti adanya pengekangan dan tidak adanya kemerdekaan
politik. Kalau saya tidak mampu membeli tiket untuk menonton piala dunia, atau
tidak mampu makan di restoran mewah karena saya miskin maka tidak berarti saya
tidak mempunyai kebebasan politik. Kecuali kalau ada orang yang menghalangi
saya, padahal saya mampu dan mau, melakukan hal tersebut, maka disitulah
terjadi pengekangan[18].
Kedua, kebebasan positif berangkat dari asumsi
bahwa manusia adalah tuan bagi dirinya sendiri. Saya ingin keputusan-keputusan
dalam hidup saya bergantung pada diri saya sendiri, bukan pada kekuatan luar
apapun. Saya ingin menjadi subjek, bukan menjadi objek. Saya ingin menjadi
tujuan bagi diri saya sendiri dan bukan menjadi alat bagi tujuan orang lain. Saya
bebas untuk melakukan semua yang saya pandang baik untuk hidup saya. Semua ini
bermula dari fakta bahwa saya adalah mahluk rasional dan berakal budi. Akal
budi saya menyebabkan saya mengetahui tujuan-tujuan hidup saya.
Sekilas dua jenis kebebasan ini tidak ada bedanya.
Namun, menurut Berlin, dua hal tersebut, dalam sejarah, melahirkan implikasi-implikasi yang berbeda. Kebebasan
positif rentan berubah menjadi semangat otoritarian. Manusia yang rasional
dalam sejarah, pernah mengalami satau pase perbudakan: perbudakan oleh
determinasi alam atau spiritual. Manusia kemudian keluar dari kondisi itu dan dengan
kemampuan akal budinya dia menjadi diri yang berkuasa. Ia tumbuh menjadi
manusia yang “luhur” otonom, berbudaya dan lain-lain. Pengalamannya ini
cendrung membawanya untuk senantiasa memerangi irasionalitas, heteronomi (lawan
dari otonomi) dan kungkungan “hawa nafsu” lain. Ia senantiasa ingin menjadikan
manusia meraih kodrat sejatinya. Manusia harus dibebaskan dan memperoleh
kebebasan yang lebih tinggi. Semangat inilah yang kemudian membuat dia
melakukan pemaksaan, penindasan, penjajahan dengan dalih tujuan “membebaskan
manusia”, mensejahterakan, menciptakan keadialn dan lain-lain. Saya,
manusia “rasional”, otonom dan berbudaya
harus membuat manusia yang lebih rendah, tidak rasional dan tidak berbudaya mencapai kebebasannya. Saya,
karena pengalaman saya, mengetahui apa yang baik buat mereka, apa kepentingan
mereka. Semangat emansipasi perlahan berubah menjadi tirani. Kasus penyerangan
Amerika ke Afganistan, Irak dan temapat lain, saya kira, di dasari oleh sengat
ini: membebaskan, membudayakan dan mengangkat manusia ke kodaratnya yang
sejati. Karena kecenderungannya yang seperti inilah, Berlin lebih memilih model
kebebasan negatif tinimbang kebebasan positif.
Setelah kita menjelaskan definisi rukun kebebasan
yang kedua ini mungkin kita bertanya, kebebasan untuk melakukan apa dan
kebebasan dari perbuatan apa yang mesti dimiliki manusia. Bukankah definisi di
atas sesungguhnya masih abstrak? Dalam hal apa sajakah kita bebas menentukan
jalan hidup kita. Dalam hal apa sajakah negara, masyarakat atau kelompok tidak
berhak mendikte kehidupan kita. Dari serentetan pertanyaan inilah kemudian para
pemikir liberal berkesimpulan perlunya merumuskan jenis kebebasan dasar yang
harus dimiliki manusia dalam hidupnya jika manusia ingin disebut sebagai mahluk
bebas. Jenis-jenis kebebasan ini juga menjadi niscaya untuk menjaga kodrat
manusiawi kita. Jika kebebasan dasar ini dihilangkan, maka kita telah pula
kehilangan kodrat kemanusiaan kita.
Para pemikir berbeda pendapat dalam merumuskan daftar kebebasan dasar
individu. Benjamin Constant, pemikir Prancis, misalnya, merumuskan kebebasan
dasar manusia meliputi: kebebasan berkeyakinan, berpendapat, berbicara dan hak milik[19].
Menurutnya, jenis kebebasan ini tidak boleh sama sekali dilanggar dengan alasan
apapun. John Stuart Mill merumuskan kebebasan dasar manusia meliputi kebebasan
berfikir, berdiskusi dan mengeluarkan pendapat serta berkeyakinan. Pemikir lain
mungkin memiliki prioritas lain. Namun meskipun begitu, mereka memiliki
kesamaan dalam satu hal: perlunya menjauhkan otoritas sosial (negara atau
masyaraat) dari kehidupan pribadi individu manusia. Dari gagasan dasar ini
kemudian muncul sebuah gagasan bahwa semua kebebasan dasar manusia ini harus
dilindungi. Alat perlindungan bukan oleh seorang raja atau sekelompok orang.
Kedua hal tadi sangat mudah terjerumus pada tindakan-tindakan yang bisa merusak
kebebasan. Karena itu, kebebasan dasar tadi harus dilindungi oleh sesuatu yang
impersonal dan mengikat: hukum. Kita harus menciptakan satu hukum dasar yang
menjamin semua kebebasan dasar itu dilindungi. Hukum dasar itu, dalam bahasa
lain adalah konstitusi. Kita butuh sebuah konstitusi yang akan membatasi negara
dan masyarakat dari kemungkinan merusak hak dasar kebebasan manusia. Dari
gagasan dasar inilah lantas muncul Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang
disahkan PBB tahun 1948. Deklarasi ini adalah peraturan yang harus diakui dan
diterapkan oleh seluruh anggota PBB[20]
Dalam sejarah manusia, jauh sebelum PBB
mengesahkan deklarasi Universal HAM, manusia mengenal Magna Carta (1215 M).
Magna Carta adalah semacam peraturan yang membatasi tindak-tanduk raja di
Inggris. Peraturan ini muncul karena desakan dari para tuan tanah dan bangsawan
yang ingin kewenangan raja dibatasi agar tidak sewenang-wenang. Meskipun Magna
Carta sama sekali tidak berkaitan dengan perlindungan hak dasar manusia, karena
hanya mengatur pola hubungan raja dan bangsawan di Inggris, tetapi Magna Carta setidaknya
telah memulai tradisi pembatasan kekuasaan oleh hukum. Di Amerika kita mengenal
Bill of Right. Bill of Right adalah peraturan hasil amandeman terhadap hukum
konstitusi Amerika. Bill of Right muncul sebagai reaksi terhadap konstitusi
Amerika yang dianggap memberikan kekuasaan berlebihan pada pemerintah federal.
Dalam Bill of Right ini kemudian disusun sebuah rumusan di mana pemerintah
diharamkan merusak hak-hak dasar warga Amerika. Bill of Right adalah amandemen
pertama dari sepuluh amandeman lain terhadap konstitusi Amerika. Dalam Bill of
Right dimuat beberapa rumusan kebebasan dasar manusia: kebebasan berfikir dan
bicara, kebebasan pers, kebebasan berkumpul dan berorganisasi. Di dalamnya juga
dimuat hak kebebasan untuk berkeyakinan dan menjalankan ibadah sesuai dengan
keyakinan masing-masing.
Para pendiri negara ini, ketika hendak merumuskan
konstitusi negara selepas kemerdekaan, juga banyak terinspirasi oleh The Bill
of Right. Undang-Undang Dasar 45 dalam pasal-pasalnya memuat juga jenis-jenis
kebebasan dasar yang harus dilindungi oleh negara dan tidak boleh
diganggu-gugat dengan alasan apapun, baik oleh negara atau oleh masyarakat.
Dalam UUD 45 kita mengenal hak untuk berkumpul, berbicara, mendapatkan
pekerjaan, berkeyakinan dan lain-lain. Bahkan dalam Amandeman UUD 45 kita bisa
melihat bagaimana hak dasar warga semakin diakui dan diperluas. Dalam Amandeman
UUD 45, sebagaimana kita bisa baca dalam Bab XA, poin-poin yang dirumuskan
dalam deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dimasukan menjadi poin dalam UUD 45[21].
Kita yang beragam Islam dan kebetulan hidup di
Indonesia tidak perlu antas berfikir bahwa Indonesia terlalu western
oriented karena menganggap UUD 45 terlalu berbau barat. Hak-hak kebebasan
dasar individu sebagaimana dicantumkan baik dalam Deklarasi HAM PBB atau dalam Bill
of Right juga menjadi perhatian utama ajaran Islam. Dalam literatur-literatur
klasik, terutama dalam bidang hukum, kita mengenal apa yang disebut sebagai al-māqāshid
al-syari’ah (tujuan-tujuan hukum Islam). Dalam tujuan-tujuan hukum Islam
itu kita mengenal lima tujuan dasar diterapkannya hukum, yakni untuk tujuan
melindungi kehidupan (nafs), hak milik (māl), fikiran (a’ql),
keturunan (nasl) dan agama (din). Itu adalah lima kebebasan dasar
yang menjadi hak individu dalam kehidupannya. Negara, melalui hukum,
berkewajiban menjaga kelima hak tadi agar tidak dirusak dengan dalih
apapun.
c. Equality
Tiang bangunan liberalisme ketiga adalah nilai kesetaraan
(equality atau al-musawwa). Tuhan menciptakan manusia setara. Dia
tidak membeda-bedakan satu dengan yang lainnya. Setiap orang ketika lahir
sama-sama telanjang dan tidak membawa apa-apa. Tuhan juga tidak pernah
menganggap satu ras lebih unggul ketimbang ras yang lainnya. Klaim bahwa ras
Yahudi, Arya atau Quraisy lebih unggul, sebagaimana klaimnya pernah muncul
dalam sejarah, sama sekali tidak mempunyai landasan, baik teologis maupun
moral.
Perlu difahami bahwa kesetaraan yang dimaksud bukanlah
kesetaraan dalam pengertian manusia sama baik fisik maupun kemampuannya. Jelas
kalau dilihat dari segi ini tidak ada satupaun manusia yang sama. Kemampuan
atau jenis fisik manusia berbeda-beda. Ada yang lebih tinggi, lebih putih,
lebih pandai, lebih kuat, lebih ganteng, lebih cantik dan lain sebagainya. Namun
memang dalam sejarah manusia, perbedaan yang muncul secara alamiyah ini kadang
berimplikasi pada ketidaksetaraan (inequality) dalam kehidupan. Orang
berkulit putih dianggap lebih tinggi derajatnya dari kulit hitam. Orang yang
lebih kuat otot-ototnya dianggap lebih tinggi derajatnya dari orang yang lemah
dan lain-lain. Orang, terutama pada zaman dahulu, hal ini sebagai kewajaran.
Faham inilah yang hendak dilibas oleh liberalisme. Liberalisme memandang
manusia sebagai mahluk setara.
Kesetaraan seperti apa? Dalam hal apa? Kesetaraan
yang dimaksudkan oleh kalangan liberal adalah kesetaraan manusia dari sisi
nilai moral. Manusia dari sudut pandang moral mempunyai nilai setara, tidak ada
yang lebih tinggi di atas yang lainnya. Karena manusia secara moral setara, dia
juga setara dalam mendapatkan penghormatan atas setiap kepentingannya. Realisasi
paling nyata dalam kehidupan adalah kesetaraan manusia di depan hukum. Tak ada
satupun manusia yang kebal hukum. Nilai kesetaraan ini sesungguhnya bukan hanya
keyakinan dasar kaum liberal. Setiap agama juga menjungjung tinggi niali
kesetaraan manusia. Dalam Islam kita tahu banyak ayat Alquran atau hadits yang
mengatakan bahwa Tuhan tidak membeda-bedakan manusia, apakah berdasarkan
jendernya (laki-laki atau perempuan) atau berdasar etnis dan sukunya (Arab dan
non Arab).
Kesetaraan dalam
hal apa? Tepat di sinilah para
pemikir liberal berbeda pendapat. Ada beberapa pemikir yang menekankan bahwa
kesetaraan manusia dilihat dari kesetaraan kesempatan yang diberikan kepadanya
(equality of oportunity). Sebagian yang lain menekankan pada kesetaraan
dalam memperoleh kebebasan (equality of liberty). Para pemikir sosialis,
yang awalnya juga lahir dari rahim liberalisme, menekannkan pada aspek kesetaraan
dalam pendapatan ekonomi (equality of income/rescources). Para pemikir
liberal biasanya hanya terbagi ke dalam dua kelompok yang pertama disebutkan.
Sementara kesetaraan dalam pendapatan ekonomi tidak diakui oleh pemikir
liberal. Alasan mendasar dari keberatan kalangan liberal terhadap gagasan
kesetaraan pendapatan ini karena agasan ini justru akan benyak mengorbankan
kebebasan. Kebebasan niscaya harus dikorbankan untuk mengejar kondisi masyrakat
yang sama rata sama rasa: sebuah masyarakat tanpa kelas dengan tidak adanya
kepemilikan pribadi atas alat-alat produksi. Alasan lain dari keberatan kaum
liberal adalah karena gagasan ini cendrung menghilangkan gagasan hak dasar
manusia untuk memiliki kekayaan pribadi (property right). Gagasan
kesetaraan sebagai kesamaan dalam pendapatan ekonomi menjadi konsern kalangan
sosialis-Marxsis
Dalam perdebatan pemikiran politik kontemporer,
gagasan kesetaraan ini sering dipertentangkan dengan gagasan kebebasan. Kadang
muncul pandangan bahwa cara yang efektif untuk menegakan gagasan kesetaraan
adalah dengan mengurangi, atau bahkan meniadakan kebebasan. Rezim pemerintahan
di negara-negara sosialis, seperti dulu terjadi di masa Stalin dan Lenin di Uni
Soviet atau di Cina dan Kuba sekarang, adalah contoh bagaimana gagasan ini diwujudkan.
Kebebasan warga untuk sementara dikorbankan untuk mengejar kesetaraan ekonomi.
Toh, dalam pandangan mereka, ketika masarakat komunis sudah tercipta,
sebagaimana diajarkan Marx, kebebasan hakiki dengan sendirinya akan
menjelma. Sebaliknya, cara yang efektif
untuk menegakan ide kebebasan adalah dengan mengeleminir dan membatasi
kesetaraan.
Dalam peta pemikiran politik kontemporer, dikenal
satu gambaran ideologi pemikiran berupa garis yang terbentang dari kanan ke
kiri. Dalam peta tersebut sering digambarkan, kelompok yang berada di kiri
sebagai kelompok yang menekankan pada pentingnya kesetaraan, dan biasanya
mengusung model ekonomi sosialis. Sebaliknya, kelompok yang berada di kanan
adalah kelompok yang lebih menekankan pada gagasan kebebasan, dan dalam
prakteknya mereka mengusung model ekonomi kapitalisme pasar bebas. Ekstriam
kiri disebut kalangan sosialis dan ekstrim kanan disebut kaum libertarian. Kubu
kiri di representasikan oleh para pemikir Marxsis, sementara kubu kanan
diwakili oleh kalangan neo-liberal. Di tengah-tengah garis itu berdiri kelompok
liberal. Kelompok ini berusaha menggabungkan ide kesetaraan dan kebebasan
sebagaimana diusung oleh kelompok pada dua kutub berbeda. Dalam hal bagaimana
kehidupan ekonomi diatur, mereka menganut paham negara kesejahteraan (welfare
state capitalism)[22].
Berkaitan dengan kelompok terakhir ini, yakni
kelompok liberal, perlu kiranya disinggung seorang tokoh yang sangat
berpengaruh, terutama pasca 70-an. Tokoh yang dimaksud adalah John Rawls. John
Rawls pada tahun 1971 menggagas sebuah pemikiran yang sangat brilian karena
berhasil menjembatani ketegangan antara gagasan tentang kebebasan dan
kesetaraan sebagaimana disebutkan di atas. Dalam A Theory of Justice,
Rawls menyodorkan satu model teori keadilan yang berbeda dari model teori
keadilan yang saat itu disodorkan oleh kalangan Marxsis[23].
Teori yang digunakannya juga merupakan alternatif terhadap teori utilitarian
yang saat itu amat dominan. Rawls merasa perlu untuk menyodorkan alternatif
teori terhadap utilitarianisme, karena tepori tersebut menyimpan banyak
kekurangan. Kekurangan pertama dilihat dari sisi filsafat moral, dan yang kedua
dari sudut pandang kebijakan politik.
Utilitarianisme berpegang pada kaidah dasar: bahwa
sesuatu dikatakan baik atau benar, bukan karena sesuatu itu dinyatakan baik
oleh Tuhan atau masyarakat; sesuatu dinyatakan baik kalau sesuatu yang dimaksud
itu mempunyai nilai utility (nilai guna bagi kebaikan manusia). Kalangan
utilitarian kemudian mendefinisikan apa yang dimaksud nilai guna (utility)
itu. Secara umum biasanya mereka mengartikan utility dengan kebahagiaan (happiness).
Jadi, menurut mereka, sesuatu dikatakan baik kalau sesuatu yang dimaksud itu
mendatangkan kesenangan dan kebahagiaan bagi hidup manusia. Utilitarianisme dalam
perkembangannya pernah menjurus pada faham hedonisme: apapun, obat-obatan,
mabuk atau apapun, yang penting membuat kita senang adalah baik. Namun tidak
semua kaum utilitarian setuju dengan model penafsiran utility yang
bernuansa hedonisme seperti ini. Mereka tidak setuju dengan model kesenangan
jasadiyah seperti ini, karena itu mengajuakan tiga model penafsiran lain yakni:
pengalaman yang bernilai bagi kehidupan, keberagaman pilihan, dan keberagaman pilihan
yang rasional. Dengan begitu, kebahagiaan sekarang diartikan sebagai tercapainya
pengalaman yang bernilai bagi kehidupan atau ketersedianya pilihan yang rasional[24].
Utilitarianisme berpandangan demikian karena
utilitariansme mendasarkan dirinya pada cara pandang Konsekuensialisme dalam
filsafat moral. Menurut aliran ini, sesuatu tindakan dikatakan baik atau buruk
dilihat dari sejauh mana akibat perbuatan tersebut. Kalau akibat dari perbuatan
itu baik, maka baiklah perbuatan itu, dan juga sebaliknya. Orang kadang
menyebut aliran ini dengan teleologisme: sesuatu dilihat atau dinilai dari
tujuannya.Tepat disinilah Rawls tidak sepakat. Rawls, dengan memakai filsafat
moral Kantian mengajukan kritik mendasar. Kritiknya itu, sederhananya bisa
dirangkum dalam dua poin. Pertama, bagaimana bisa utilitarianisme
memberikan penilaian terhadap sesuatu perbuatan, sedangkan akibat dari perbutan
itu belum juga terjadi. Kalau hanya berdasarkan praduga, bahwa perbutan ini
akan begini dan begitu, maka dengan sendirinya ia telah mengingkari perinsipnya
sendiri. Kedua, utilitarianisme cendrung menjadikan manusia sebagai alat
dan bukan tujuan. Manusia menjadi alat untuk mencapai sesuatu yang lain: happiness,
kesejahteraan dan lain-lain. Padahal seharusnya, menurut Rawls, manusia
adalah tujuan pada dirinya sendiri dan bukan alat.
Bagaimana individu manusia dikorbankan dalam
utilitarianisme bisa dilihat dari pola kebijakan politik yang biasanya
diterapkan. Utilitarianisme, karena berpegang pada prinsip kebahagiaan manusia,
punya keinginan untuk memaksimalkan kebahagiaan itu dalam kehidupan. Namun
karena setiap orang berbeda dalam mendefinisikan kebahagiaan bagi dirinya, maka
lantas harus bagaimana? Maka, menurut aliran ini, yang harus dilakukan adalah
memaksimalkan kebahagiaan bagi sebanyak mungkin orang (the greatest
happiness of the greatest number).[25]
Karena itu utilitarianisme selalu berpihak pada mayoritas. Lalu apa yang salah?
Seolah tidak ada yang salah. Namun perlu diingat, minoritas juga manusia. Atas
dasar apa mereka dikorbankan. Utilitarianisme seolah menjustifikasi peminggiran,
pengorbanan kaum minoritas dan kaum lemah. Bukankah seharusnya mereka itu justru
dibela.
Karena itulah Rawls datang dengan teori
keadilannya. Ia berharap dengan teorinya manusia tidak lagi dijadikan alat dan
manusia harus menjadi tujuan pada dirinya sendiri. Minoritas dan kaum lemah
juga tidak perlu lagi dijadikan tumbal, bahkan harus dibela. Ini bisa dilihat
dari gagasannya tentang apa yang ia sebut teoari keadilan: “Semua nikmat publik
utama—kebebasan dan kesempatan, pendapatan, kekayaan dan penghormatan—harus
didistribusikan secara merata (equal); distribusi semua nikmat publik
ini boleh tidak merata (unequal) dengan syarat mendatangkan kebaikan
bagi kelompok yang paling menderita” Kaidah ini dinamakan “teori umum tentang
keadilan”[26]. Bagaimana jika nikmat
publik yang hendak didistribusikan dengan prinsip tadi bertabrakan? Misalnya,
bolehkan kita menambah pendapatan seseorang dengan mengurangi atau bahkan
mengorbankan kebebasan dasar yang dimilikinya? Bagaimana jika ketidakmerataan
distribusi kebebasan menguntungkan orang yang paling menderita di satu sisi
(misalkan menambah pendapatannya) tetapi justru mengurangi dan mengorbankan
nikmat publik lain (misalkan kebebasan atau kesempatan)
Karena itu Rawls mengajukan apa yang oleh Kymlicka
disebut “teori khusus tentang keadilan”[27].
Di sini Rawls mengajukan gagasan tentang skala prioritas dari semua nikmat
publik (public goods) yang disebutkannya. Bagi Rawls, nikmat publik
tertentu lebih penting dibanding yang lainnya dan tidak boleh dikorbankan oleh
kepentingan nikmat publik lain. Kesetaraan kebebasan, menurut Rawls, lebih
utama dibanding kesetaraan kesempatan, dan kesetaraan kesempatan lebih utama
dibanding kesetaraan pendapatan. Dalam setiap kategori prioritas tersebut
terselip prinsip pengecualian: ketidakmerataan distribusi hanya dilakukan jika
mendatangkan kebaikan pada orang yang paling tidak beruntung atau paling
menderita. Dengan pemaparan ini kita bisa menduga, sistem negara kesejahteraan (welfare
state) menjadi instrumen paling ampuh untuk mewujudakan semua gagasan
tersebut.
V. Keniscayaan Pluralisme
Apa yang akan terjadi jika seseorang diberikan hak
sepenuhnya untuk menjadi diri yang otonom, yang berhak menentukan semua
pilian-pilihan dalam hidupnya, yang setiap pilihan hidupnya dihargai secara setara?
Kita bisa menemukan dua jawaban: pertama, orang akan menempuh jalan hidup yang
sama secara tidak sengaja. Kedua, setiap orang akan memilih jalan hidup dan
menentukan nilai-nilai bagi kehidupan mereka secara berbeda. Jawaban pertama
sepertinya sama sekali tidak masuk akal.
Setiap orang punya isi
kepala yang berbeda-beda, punya keinginan yang berbeda, punya latar belakang
kehidupan yang berbeda pula. Karena itu, tujuan-tujuan dan pilihan hidup orang
akan berbeda-beda. Ini adalah keniscayaan yang akan muncul sebagai konsekuensi
dari kebebasan yang dimiliki oleh manusia. Dalam kenyataan, pandangan, pilihan
dan tujuan hidup setiap orang bukan hanya berbeda tapi tak jarang saling
bertabrakan. Hal ini terjadi karena setiap orang, untuk semua tujuan dan pilihan
hidupnya, berpegang pada patokan nilai yang berbeda-beda. Mustahil rasanya kita
mereduksi semua tujuan dan pilihan hidup serta nilai yang menopangnya pada satu
tujuan, pilihan dan nilai tunggal.
Menginsafi akan adanya
keberagaman pilihan, tujuan dan nilai dasar dalam kehidupan adalah ide yang
mendasari pluralisme. Namun pluralisme tidak cukup sampai di situ. Pluralisme juga menginsafi bahwa nilai-nilai
fundamental dalam kehidupan manusia sering berbeda dan tidak bisa
diperbandingkan satu sama lain, bahkan tak jarang nilai-nilai itu bertentangan[28]. Setiap
nilai sama-sama mengklaim memiliki tujuan yang mutlak dan kebenaran yang tak
mungkin tiganggu-gugat. Untuk lebih mempermudah memahami apa itu pluralisme,
ada baiknya saya menggunakan penjelasan George Crowder. Menurutnya, pluralisme
memiliki empat komponen utama, yakni: universalitas (universality),
keberagaman (plurality), ketaksebandingan (incommensurability)
dan pertentangan (conflict)[29].
Pertama, seorang pluralis mengakui adanya beberapa nilai yang objektif dan
universal. Sesuatu dikatakan bernilai objektif dan universal kalau hal tersebut
bernilai bagi seluruh umat manusia. Inilah pandangan yang membedakan kaum
pluralis dari kaum relativis. Relativisme adalah satu faham yang memandang bahwa
setiap nilai dalam kehidupan manusia dalah hasil dari budaya atau cara pandang
tertentu dan hanya mempunyai kekuatan etis pada kultur tersebut saja. Sementara
pluralisme meyakini bahwa beberapa nilai mansia mungkin bernilai
trans-histroris dan trans-budaya. Namun perlu dicatat bahwa, komponen universal
dalam pandangan kaum pluralis harus dipahami dalam kerangka umum nilai-nilai
tersebut. Bisa saja dalam pelaksanaannya niali-nilai itu ditafsirkan dan
diterapkan secara berbeda, sesuai dengan konteksnya masing-masing.
Lantas nilai apa yang dianggap universal itu? Kita
masuk ke dalam komponen kedua. Menurut kalangan pluralis, nilai-nilai
universal itu beragam (plural). Ada banyak nilai yang dianggap baik oleh
manusia secara universal. Kita mengenal nilai kesetaraan dan kebebasan di satu sisi, keadilan, loyalitas,
kemurahan hati, paganisme, kekeristenan, keislaman dan lain-lain di sisi yang
lain. Ada masih banyak lagi nilai dalam kehidupan yang tidak mungkin direduksi
ke dalam satu cara pandang nilai. Inilah yang membedakan cara pandang kaum
pluralis dengan kaum monis. Monisme, sebagaimana diungkapkan oleh Isaiah
Berlin, adalah faham yang meyakini bahwa semua nilai-nilai kebaikan manusia
pada akhirnya pasti saling bersesuaian atau bahkan saling mengandaikan satu
sama lain[30]. Menurut cara pandang
monis, meskipun dalam realitas kita sering melihat nilai-nilai yang seolah-olah
bertentangan, dalam kerangka sejarah kemanusiaan secara umum nilai-nilai itu
sesungguhnya bersesuaian, bisa didamaikan atau bisa disintesakan. Pertentangan-pertentangan
itu hanyalah bagian dari tesis dan anti tesis yang niscaya bisa disintesakan.
Semua realitas, menurut kaum monis bisa dijelaskan oleh satu jawaban. Semua
persoalan juga bisa dipecahkan. Monis mengakui hanya ada satu kebenaran. Inilah
cara pandang yang bisa kita lihat pada Plato, Hegel, sampai Karl Marx[31] Namun
jangan salah, pandangan ini juga begitu hegemonik dalam kehidupan kaum umat
Islam. Kita sering melihat cara pandang monistik ini, misalnya, dalam cara
pandang kalangan Hizbut Tahrir. Bagi HT keseluruhan persoalan ini muncul karena
satu hal: Umat Islam melupakan Khilafah. Karena itu, semua persoalan bisa
disembuhkan kalau kita menegakan khilafah. Pandangan bahwa Islam adalah solusi
bagi seluruh persoalan manusia juga adalah cara pandang monistik.
Selanjutnya, nilai-nilai yang beragam tersebut kadang
tidak bisa diperbandingkan satu sama lain (incommensurability) dan
saling bertentangan (conflict). Inilah poin ketiga dan keempat.
Setiap nilai punya cara pandangnya sendiri terhadap kehidupan manusia. Nilai
tersebut juga memiliki cara dan tujuan berbeda-beda. Kita mungkin saja
menganggap satu nilai lebih baik, tetapi orang lain bisa saja menganggap nilai yang
menjadi pegangannya justru lebih baik. Orang Islam menganggap nilai-nilai
Islami lebih baik, unggul dan memuaskan. Tetapi bukankah orang Yahudi, Nasrani
atau yang lain juga akan melihat hal yang sama pada agama yang dipegangnya. Tak
perlu jauh-jauh, dalam Islam sendiri kita melihat bagaimana niali-nilai saling
bertentangan. Kita lihat bagaimana satu kelompok berbeda, misalkan dalam kasus
hukum bid’ah, atau kunut, padahal menggunakan dasar tekstual yang sama.
Sebagian orang memandang bahwa niali-nilai sekularisme adalah nilai dasar dalam
tata kehidupan bernegara, sementara yang lain melihatnya justru berbeda.
Lantas, di manakah posisi rasionalitas? Bukankah
manusia cendrung mencari sesuatu yang dianggapnya benar? Juga lalu bagaimana
kita bisa memiliki satu landasan nilai bersama kalau semua nilai itu berbeda
dan bahkan saling bertentangan. Kalau demikian adanya, bukankah berarti
liberalisme kehilangan legitimasinya. Bukankah liberalisme hanyalah satu nilai
yang tak berbeda dengan nilai lain seperti paganisme, sosialisme dan lain-lain?
Menurut saya, ketidaksebandingan (incommensurability)
tidak serta merta menghilangkan pertimbangan rasionalitas. Rasio tetap memegang
peranan penting untuk menyusun urutan nilai-nilai yang akan kita pilih. Kita
tidak mungkin tidak memilih salah satu nilai dalam kehidupan kita. Ketika kita
hendak menentukan pilihan, di situlah terbuka ruang untuk pertimbangan
rasional. Namun, menurut Crowder, pilihan tersebut tetap harus didasarkan pada
dua hal, pertama, kesadaran bahwa dengan menjatuhkan pada satu pilihan, kita
telah kehilangan kemungkinan memilih nilai kebajikan yang lain. Kedua, pilihan
kita tidak boleh didasarkan pada satu petunjuk nilai adi luhung yang dianggap
menjadi dasar dari semua nilai sebagaimana diyakini kaum monis. Dalam
memutuskan satu tindakan etis, kita tidak perlu selalu diatur oleh satu landasan
nilai etis umum. Moralitas manusia terlalu komlpeks kalau harus direduksi pada
satu model aturan sebagiman ditawarkan kaum monis. Dalam situasi-situasi konkrit,
yang kita butuhkan adalah apa yang oleh Aristoteles disebut sebagai
phronesis, atau alasan praktis[32]. Phronemos
membimbing kita untuk memutuskan satu tindakan dalam konteks tertentu
berdasarkan pertimbangan praktis. Pertimbangan ini bisa jadi kita dapatkan
lewat pertimbangan rasio semata atau lewat akumulasi pengalaman. Namun perlu dicatat,
tindakan kita dalam memutuskan setiap tindakan etis faktual konkrit lewat
bimbingan phronesis tidak boleh membawa kita pada klaim bahwa yang kita
pilih ini adalah satu-satunya kebenaran dan yang lain salah. Yang kita pilih
benar dan baik menurut pertimbangan etis kita dalam kondisi konkrit tertentu,
belum tentu hal ini baik buat orang lain.
Lantas bagaimana kita menyikapi pilihan orang lain
yang berbeda dan bahkan kadang-kadang bertentangan? Dalam sejarah, dalam
menyikapi keberagaman nilai seperti ini, orang terbagi ke dalam tiga kelompok
yakni kelompok ekslusiaf, inklusif dan pluralis[33].
Pertama, kelompok ekslusif. Kelompok ini hanya meyakakini bahwa nilai fundamental
dalam hidup yang ia pegang adalah satu-satunya kebenaran. Nilai yang dianut
kelompok lain pada dasarnya salah. Karena kesadaran ini biasanya kaum ekslusivis
selalu terpanggil untuk menaklukan kelampok yang salah agar mereka mau bertobat.
Kelompok ekslusif biasanya juga seorang monis. Kaitannya dengan perbedan dalam
doktrin agama, kelompok ini biasanya mengkalim sebagai satu-satunya agama yang
akan membawa keselamatan bagi umat manusia. Dalam sejarah, sikap inilah yang
telah membawa umat mansia ke dalam petaka. Di Eropa, sejak lahirnya
Protestantisme, pertumpahan darah antara gereja Katolik dan kelompok-kelompok Protestan
tak terhindarkan. Dalam Islam sekarang kita masih bisa menyaksikan bagaimana
kaum Sunni dan Syiah di Irak terus salng bunuh. Semuanya karena satu alasan:
klaim kebenaran dan keselamatan hanya milik kelompoknya.
Kelompok kedua adalah kalangan inklusif.
Kelompok ini mengakui bahwa nilai hidup yang dipilihnya sebagai nilai yang
benar. Namun kebenaran ini hanya untuk kelompok mereka. Dalam sikap inklusif,
keberadaan nilai yang dianut orang lain dianggap wajar, namun bukan berarti
benar. Dengan kata lain, kita memberikan toleransi kepada kelompok lain. Toleransi
adalah kemampuan orang untuk mengakui pilihan orang lain yang berbeda dan
mengakuinya sebagai pilihan yang sama-sama sah. Tetapi dalam toleransi kita
masih menyisipkan semangat superioritas nilai yang kita miliki. Nilai yang kita
pegang lebih baik.
Kelompok ketiga adalah kalangan pluralis.
Kalangan pluralis berangkat dari kesadaran bahwa banyak nilai dalam kehidupan
manusia yang berbeda dan bertentangan. Karena itu, tidak mungkin hanya ada satu
yang benar. Tidak mungkin ada satu jawaban yang benar atas setiap persoalan
manusia sebagaimana diimani kaum monis. Karena itu, kaum pluralis mengakui
bahwa pilihan nilai-nilai dalam kehidupan sama-sama benar. Keberadaan kelompok
lain tidak dianggap inferior dari kelompok kita. Posisinya setara.
Lalu bagaimana dengan nasib liberlisme di
tengah-tengah pluralisme? Saya kira kedua hal ini saling mengandaikan. Dalam
pluralisme yang niscaya adalah keberagaman[34].
Yang diharamkan adalah penyeragaman. Setiap orang mempunyai tujuan dan pilihan
hidup masing-masing. Bukankah cara terbaik menerapkan ide keberagaman ini
adalah dengan memakai liberalisme. Sebagaimana disebutkan di atas, liberalisme
menghendaki kebebasan individu dalam menentukan pilihan-pilihan hidupnya.
Konsekuansinya, dalam politik liberalisme menghendaki model negara minimal.
Selain itu, dalam liberlisme, negara juga harus netral[35].
Inilah mungkin yang belum disinggung. Netral dalam arti negara tidak boleh
didasarkan pada satu doktrin nilai di antara doktrin niali-nilai yang ada di
dalam masyarakat. Misalnya, negara tidak boleh di dasarkan pada nilai Islam, sosialisme,
keristianisme dll, karena pasti akan berakibat pada diskriminasi.Negra harus
berdiri untuk memayungi semua nilai-nilai yang ada dan tidak menjadi bagian
dari niali-nilai tersebut. Dalam liberalisme, negara harus didasarkan pada
kesepakatan bersama (overlapping consensus)[36]
yang dirumuskan oleh kelompok dan orang-orang yang memiliki latar belakang doktrin
dan nilai yang berbeda tersebut. Dalam konteks Indonesia, Pancasila adalah
gamabaran dari bagaimana nilai untuk kehidupan berbangsa dirumuskan lewat
kesepakatan bersama. Dengan demikian, negara
liberal sudah dipastikan harus sekuler. Negara harus dilandaskan kepada satu
patokan nilai yang dirumuskan bersama oleh dan untuk kepentingan manusia. Nilai
yang dirumuskan bersama ini pastilah bersifat tidak sempurna dan sementara.
Tetapi justru di situlah kekuatannya. Karena menyadari kesementaraan dan
kesalahannya, liberalisme dan sekulerisme selalu bisa memperbaharui diri sesuai
dengan tuntutan kebutuhan manusia. Nilai yang mengklaim sebagai nilai yang
sempurna, justru selalu mental dalam kehidupan manusia yang serba tidak
sempurna.
Hal lain yang menyebabkan liberlisme dan
pluralisme saling mengandikan adalah karena keduanya mendasarkan pada pandangan
otonomi individu. Beragamnya pilihan terjadi karena setiap individu otonom dan
menentukan semua pilihan hidupnya pada apa yang dianggap baik oleh dirinya.
Dalam liberalisme, otonomi menjadi salah satu rukun keberadaan paham tersebut.
Otonomi, dengan demikian menjadi nilai bersama antara liberalisme dan
Pluralisme. Demikianlah, dengan demikian antara pluralisme dan liberalisme
tidak perlu saling bertentangan. Keduanya bisa saling mengandaikan dan saling
menjaga.
VI. Penutup
Sebagai penutup saya ingin menyimpulkan pemaparan
yang begitu panjang ini dalam beberapa kalimat. Pertama-tama saya ingin
membuktikan bahwa state of nature manusia, setidaknya dari perspektif
teologi Islam adalah bebas. Kebebasanlah yang memungkinkan manusia menjadi
manusia. Akal dan kehendak bebas telah mengangkat derajat manusia-berakal budi
(insan) pada derajat peminpin. Cara saya membuktikan tesis ini dengan
menafsirkan kembali ayat penciptaan Adam mungkin dianggap kurang lazim. Tetapi
setidaknya saya telah berusaha menyodorkan cara pandang lain terhadap ayat
tersebut. Pada bagian ini juga saya berkesimpulan bahwa dengan demikian
kebebasan adalah fitrah bagi manusia.
Karena kebebasan adalah fitrah bagi manusia,
manusia tak henti-henti merealisasikan fitrahnya itu dalam sejarah. Sejarah
dipandang sebagai upaya manusia merealisasikan kebebasannya dalam kehidupan.
Kalau dalam peradaban barat sejarah maju menuju masyrakat bebas, di dunia
Muslim sejarah justru semakin menjauhi kebebasan. Atau kalaupun maju,
perkembangannya lambat sekali. Ini di sebabkan karena umat Islam sering
memandang faham kebebasan bertentangan dengan doktrin dasar teologi Islam. Di samping
itu, di dunia Islam, faham kebebasan (liberalisme) sering disalahartikan dan
karena itu selalu berkonotasi negatif. Saya merasa perlu merumuskan dua hal,
Pertama, mencari landasan teologis bagi kebebasan. Dan Doktrin tauhid, sebagai
pangkal utama ajaran Islam, justru niscaya melahirkan kebebasan. Kedua, saya
merasa perlu untuk sedikit memaparkan asumsi-asumsi dasar liberalisme
sebagaimana diungkapkan para pemikir Barat. Tiga rukun Liberalisme, yakni,
otonomi, kebebasan, dan kesetaraan, ternyata sama sekali tidak bertentangan
dengan Islam. Pluralisme dipaparkan sebagai konsekuensi kehidupan bebas
manusia.
Semoga tulisan yang sederhana ini bisa
bermanfaaat**
[1] Adalah Staf Peneliti Lembaga Survei Indonesia (LSI). Untuk esai yang
panjang ini saya berterimakasih pada kawan-kawan HMI karena sebagian tulisan
ini adalah hasil refleksi penulis ketika hendak menyampaikan materi Nilai Dasar
Perjuangan (NDP). Juga kepada kawan-kawan FORMACI yang meminjamkan banyak buku
dan menjadi teman diskusi yang baik.
[2] Lihat QS, 2:34. Dalam penafsiran ayat-ayat ini penulis menggunakan
tafsir Muhammad Asad, The Messaga of The Qur’an, (Gibraltar: Dar
Al-Andalus, 1980) hal 9-11.
[3] Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought In Islam
(New Delhi: Kitab Bhavan, 1994) hal 83.
[4]Alquran mengungkapkan, dengan redaksi yang hampir sama dengan QS.2:30, tentang
penciptaan manusia (basyar), yakni dalam surat Al-Hijr ayat 28. Awal
surat ini juga mengungkapkan cerita yang
sama dengan cerita tentang Adam sebagaimana dalam QS.2: 30 dan QS. 7:11. Alur
yang sepenuhnya sama tetapi dengan tanpa menyebutkan nama “Adam” sama sekali.
Ayat itu hanya menyebut dua dzat, insan dan basyar. Bahkan ada yang lebih
menarik: pada QS. 15:28 Tuhan, dengan ungkapan redaksi yang hampir sama dengan
ungkapan QS. 2:30, berfirman kepada malaikan bahwa ia hendak menciptakan
(khāliqun)--diketik miring karena untuk membedakan dengan kata menjadikan
(jāilun) sebagaimana dalam QS. 2:30--basyar. Kalau dalam surat
Albaqarah keinginan Tuhan itu mendapatkan protes dari para malaikat, anehnya,
dalam surat ini malaikat sama sekali tidak protes. Rupanya malaikat protes
(QS.2:30)karena Tuhan hendak menjadikan basyar, yang sama saja dengan
mahluk lainnya yang hidup berdasarkan kemampuan instingtual, sebagai peminpin.
Tuhan menjawab bahwa Dirinya lebih tahu daripada malaikat. Dan setelah itu
memang Tuhan menyempurnakan basyar dengan memberikannya akal dan
kemampuan berfikir konseptual (juga kehendak). Dan setelah itu maka jadilah
manusia-berakal budi sebagai pemimpin (insan atau khalifah)
[5] Muhammad Assad, ibid, hal 9.
[6] Muhammad Iqbal, ibid, hal 85
[7] Itulah kenapa kalau kita belajar hukum Islam,
tindakan anak kecil, orang yang hilang akalnya dan orang yang dipaksa atau
dalam kondisi terdesak (dharurat) tidak terbebani hukum. Alasannya
sangat sederhana: karena semua orang tadi tidak memiliki dua hal: kebebasan dan
kesadaran.
[8] Lihat Q.S 33:72
[9] Untuk penjelasan yang lebih mendalam dan menarik, bisa dilihat
dalam buku karya Van Peursen, Strategi Kebudayaan, terj. Dick Hartoko
(Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1988) hal. 55-75
[10] Pola pikir seperti ini adalah pemikiran khas Hegelian. Lihat
Francis Fukuyama, The End Of History and The Last Man (London: Penguin
Book, 1992) hal ix-xi
[11] Fareed Zakaria, The Future of Freedom, Illiberal Democracy at
Home and Abroad (New York:
W.W. Norton & Company, 2003) hal 30-34.
[12] Untuk penjelasan yang panjang lebar dan mendalam, lihat J. B. Bury,
Sejarah Kemerdekaan Berfikir (Jakarta:
Progres, 2004) hal 26-74.
[13] Fared Zakaria, ibid, hal 122
[14] Untuk hamper keseluruhan tema ini tak henti-henti penulis di tuntun
oleh Nurcholis Madjid. Lihat Nurcholih Madjid, Islam Doktrin & Peradaban
(Jakarta: Paramadina, 1992)
[15] Susan Mendus, Toleration and Limits of Liberalism (London:
MacMillan, 1989) hal 89-91
[16] ibid
[17] Isaiah Berlin,
Empat Esai Kebebasan, terj. A. Zaim Rofiqi (Jakarta: Pustaka LP3ES) hal 239.
[18] Ibid, 233
[19] Ibid, 239
[20] Norman Dorsen dan Jhetro K. Liberman, Civil Right end Civil
Liberty, dalam Encarta Refference Library Premium, Microsoft Corporation,
2005.
[21] Hendarmin Ranadireksa, Visi Politik Amandemen UUD 45 Menuju
Konstitusi yang Berkedaulatan Rakyat (Jakarta:
Yayasan Pancur Siwah, 2002) 263-280
[22] Will Kymlicka, Contemporary Political Philosophy, An
Introduction (Oxford: Clarendon, 1990) hal 2-3.
[23] Penulis khawatir pembaca merasa seolah jumping dan tiba-tiba
saja temanya beralih pada masalah keadilan. Perlu ditekankan di sini bahwa,
dalam diskursus teori politik, gagasan tentang kesetaraan atau equality,
amat berkaitan atau bahkan identik dengan gagasan tentang keadilan. Jadi kadang
para teoritisi menggunakan kata kesetaraan dengan keadilan dengan maksud yang
sama atau setidaknya membahas dalam tema yang amat berkaitan.
[24] Will Kymlicka, ibid, hal 12-18.
[25] Ibid, hal 18
[26] Ibid, hal 53.
[27] Ibid, hal 54
[28] George Crowder, Liberalism & Value Pluralism (London, New York:
Continuum, 2002) hal, 2-3. Lihat Juga John Rawls, Political Liberalism
(New York: Columbia University Press, 1996) hal xviii, xxvi.
[29] George Crowder, ibid, hal 2-4, 45-56.
[30] Isaiah Berlin,
ibid, hal 293. Crowder, ibid, hal 4-5, 65, 69.
[31] Isaiah Berlin,
Ibid, hal, 294.
[32] George Crowder, Pluralism, Relativism and Liberalism in Isaiah Berlin, (Makalah yang dipresentasikan pada Konferensi
Asosiasi Ilmuan Politik Australia di Universitas Tasmania,
Hobart, 29
Sepetember-1 Oktober 2005).
[33] Paul Knitter, Satu Bumi Banyak Agama, Dialog Multi-Agama dan
Tanggungjawab Global, terj. Nico A. Likumahua ( Jakarta: PBK Gunung Mulia, Cet. 3 2006) hal
3-10, 35-51.
[34] George Crowder, Liberlism…ibid, hal 135.
[35] John Rawls, Political Liberalism, ibid, hal xliv.
[36] John Rawls, Political Liberalism, ibid, hal, 133-173.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar