oleh : Azyumardi Azra
K
|
etika
ingat HMI Cabang Ciputat, banyak orang ingat almarhum Cak Nur, yang pernah
menjadi Ketua Umum di Ciputat sebelum akhirnya menjadi Ketua Umum PB HMI. Cak
Nur agaknya adalah sebuah prototype ideal intelektualisme
keislaman-keindonesian HMI, yang mempengaruhi perjalanan dan dinamika
umat-bangsa. Cak Nur tidak pernah tergantikan, baik di lingkungan HMI Cabang
Ciputat, PB HMI dan dunia negara-bangsa Indonesia.
Secara restropektif, saya beruntung masuk ke dalam komunitas
intelektual yang memiliki kontribusi sangat penting dalam karir intelektualisme
keislaman-keindonesiaan Cak Nur. Banyak sekali utang sosial-intelektual saya
kepada komunitas HMI Cabang Ciputat; utang yang tidak bakal pernah terbayarkan.
Tidak
Lengkap
Saya datang ke Ciputat pada akhir 1975, masuk Jurusan Bahasa
Arab, Fakultas Tarbiyah, tanpa tes, karena saya lulus dengan nilai terbaik PGAN
6 Tahun Padang. Ada yang bilang, saya memperoleh nilai terbaik bahkan untuk
seluruh PGAN Sumatera Barat. Saya tidak tahu pasti. Tapi yang jelas, saya
senang masuk ke IAIN Ciputat, setelah keinginan saya untuk masuk IKIP Padang
ditolak kedua orangtua. Bargaining-nya, oke masuk IAIN, tapi di Jakarta.
Datang ke Jakarta, saya menumpang di rumah paman, Drs.
Alimurni Chatib di Gang Mas, Karet Tengsin Bendungan Hilir; dari mana saya
bolak balik ke Ciputat dengan bis kota, yang dari Blok M bisa naik Ajiwirya
atau Gamadi. Jalanan masih relatif lengang—meski
sering harus berdiri juga di atas bis pergi pulang. Di Ciputat sendiri, saya pertama kali sowan ke Drs. Salman Harun, yang
kebetulan mempunyai kaitan perbesanan dengan salah seorang kakak sepupu saya
yang sudah almarhum sekitar tiga dasawarsa silam. Salman Harun, dosen Jurusan
Bahasa Arab yang juga aktivis Pemuda Muhammadiyah, membantu saya dalam
urusan-urusan berkenaan dengan IAIN.
Semasa Pekan Orientasi Mahasiswa sekitar Agustus 1976,
saya kembali banyak ngumpul dengan kawan-kawan mahasiswa baru asal Minang; ada
Firmansyah (almarhum), Guspardi Gaus, Zulbahri (almarhum), Syafnil AU, [Buya]
Nawazir Mukhtar dan Rusydy Zakaria. Satu hari dalam masa Posma ini, seorang senior asal Minang,
Risman Katialo, mengajak saya masuk IMM. Alasannya; kebanyakan mahasiswa Minang
masuk organisasi ini. “Kalau ada apa-apa dengan waang [kamu], siapa yang
akan membela, kalau bukan kami-kami ini”, katanya.“Saya datang ke Ciputat untuk
belajar, bukan untuk bikin apa-apa, apalagi bacakak –berkelahi”, saya menjawab singkat.
Begitulah. Saya tidak ingat lagi siapa yang sebenarnya
mengajak saya masuk HMI. Sebelumnya saya tidak banyak mengenal HMI. Waktu
sekolah di PGAN 6 Tahun Padang memang saya aktivis organisasi intra; dan juga
ikut dalam Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM). Tapi, ketika datang ke Ciputat,
saya tidak membayangkan HMI, atau juga organisasi mahasiswa lainnya.
Tapi jalan hidup memang tidak pernah bisa diduga. Yang
pasti saya kemudian ikut Maperca HMI Cabang Ciputat bersama beberapa teman asal
Minang lain; Zulbahri, Syafnil AU dan Nawazir Muchtar –yang kemudian sama tinggal di rumah kos Haji Jaya (belakang saya tahu
adalah ayah mertua Amsal Bachtiar) di turunan Legoso menuju Pondok Cabe. Saya ikut Maperca yang diselenggarakan di halaman SD Legoso,
tapi hanya pembukaan dan beberapa sesi, karena saya harus bolak balik ke
Bendungan Hilir. Meski demikian saya lulus Maperca tersebut.
Soal training HMI, saya tidak lengkap mengikutinya.
Setelah Maperca, satu-satunya training yang saya ikuti hanyalah
Intermediate Training, yang diselenggarakan di Nagrek, Cianjur, yang saya ikuti
sepenuhnya. Saya tidak mengikuti Basic Training –langsung loncat ke tengah; dan
juga tidak pernah mengikuti Advanced Training, atau yang semacamnya. Saya
kemudian terlanjur menjadi salah satu narasumber dalam acara Maperca dan Basic
Training. Meski demikian, tidak ada yang mempertanyakan ke-HMI-an saya; dan
bahkan saya dipercaya menjadi Ketua Panitia Maperca 1977.
Kawah Candradimuka
Karir saya di HMI Cabang Ciputat boleh dipandang cukup
‘meroket’ dibanding teman-teman lain. Sukses menjalankan Maperca, saya diangkat
Ketua Umum, Hari Zamharir duduk pada Departemen Penerangan, yang dipimpin
senior saya setahun, Iqbal Abdurrauf Saimima (almarhum), yang kemudian menjadi
salah satu konco saya di majalah Panji
Masyarakat pimpinan Buya Hamka. Kami ke Panjimas diajak oleh senior
lain, Fachry Ali yang memang pada waktu itu sudah terkenal sebagai penulis
artikel dan kolom di berbagai media massa nasional.
Bersama Iqbal, saya menerbitkan kembali buletin Pemersatu,
yang dicetak stensilan. Karena mesin stensilan di kantor Cabang sering rusak,
kami sering menstensilnya di Fakultas Tarbiyah; membayar sewa, tapi
menstensilnya sendiri. Jadi, kami menggotong kertas-kertas dari Ibnu III/68 ke
kampus selama beberapa penerbitan. Dan, saya sendiri memformat Pemersatu dalam gaya bahasa Salemba, tabloid
mahasiswa UI yang kristis terhadap rejim Presiden Soeharto.
Terus terang, saya banyak memanfaatkan Pemersatu
untuk latihan menulis, baik esei maupun sastra. Saya menulis berbagai artikel
dan laporan kegiatan; dan juga sajak-sajak, yang umumnya kritis terhadap
pemerintahan Soeharto. Saya tidak mau hanya sekedar ‘tukang’ dengan tugas
mencetak; lebih dari itu juga mengembangkan intelektualisme sendiri.
Masa kepemimpinan Hari Zamharir adalah masa sulit –periode
di mana gerakan mahasiswa mencapai puncaknya. Di IAIN Jakarta, Pipip Ahmad
Rifa’i, saya dan beberapa teman lain menjadi motor demonstrasi mahasiswa
menentang masuknya Aliran Kepercayaan ke dalam GBHN 1978. Pagi-pagi kami sudah menyiapkan berbagai poster, yang diam-diam dibawa ke
kampus. Habis jam kuliah pertama, sekitar pukul 9an, demontrasi mulai secara
kecil-kecilan; tetapi dengan segera menjadi ramai. Jalanan Ciputat Raya di
depan kampus dipenuhi mahasiswa dan masyarakat yang menonton dari pinggir
jalan.
Menjelang siang demo diserbu banyak tentara –yang konon dari Kodam Diponegoro– dan aparat keamanan lainnya yang anarkis; tentara ini umumnya muda-muda dan sangat bengis. Dengan beberapa panser
dan senjata-senjata otomatis menyerbu kampus, merubuhkan pagar tengah dan
selatan kampus. Mereka memukuli mahasiswa dan dosen yang mereka temui di teras
gedung dan bahkan di kelas-kelas di lantai satu dan lantai dua; dan juga di
perpustakaan, sehingga menimbulkan banyak korban luka-luka, yang kemudian dibawa ke Rumahsakit Fatmawati, Pertamina, Klinik
IAIN dan lainnya. Rektor IAIN, Prof Harun Nasution pun diciduk tentara,
dinaikkan ke atas truk. Dan, kampus IAIN banjir
darah, berbau sangat amis berminggu-minggu.
Saya lolos dari kekerasan aparat. Dan langsung menghadap
Mas Hari Zamharir di kantor cabang. Ia tak marah atas ‘kelakuan’ kawan-kawan dan
saya yang membuat IAIN menderita, dan juga banyak bicara, dan hanya menyuruh saya segera pergi jauh-jauh, karena sedang dicari-cari intel, supaya kantor cabang tidak
pula menjadi sasaran kebuasan mereka nanti. Dan memang sebelumnya beberapa intel sudah mendatangi
sekretariat dan menanyakan beberapa aktivis HMI.
Akhirnya, saya berjalan kaki lewat belakang kampus dan
keluar di Kebayoran lama dan terus kembali ke
rumah pak Alimurni Chatib di Bendungan Hilir, yang kemudian langsung ‘menyembunyikan’ saya di rumah apak Lukman Hakim (salah seorang Direktur PT National Gobel) dan elok Im di
Rawamangun. Saya kemudian menderita semacam sakit
kulit yang sangat perih, dan sempat beberapa hari dirawat di RSCM; kata dokter
karena stress berat. Setelah keluar dari sumahsakit, berkat pertolongan Kapendam V Jaya, Kol Anas Malik yang dihubungi pak Alimurni Chatib, saya ‘hanya’
terkena wajib lapor setiap Senin dan Kamis selama tiga bulan di Markas POM
ABRI, Guntur, Pasar Rumput, Jakarta Pusat.
Lalu, ketika kampus IAIN kembali normal dan pengurusan HMI
Cabang Ciputat berganti; pada masa Ketua Umum, Kurniawan Zulkarnain (1979-80), saya diangkat sebagai Ketua III yang
menangani urusan kemahasiswaan.
Pergulatan Ekstra-Intra Kampus
Periode kepemimpinan Kurniawan juga sangat sulit.
Menghadapi gerakan mahasiswa, Mendiknas Daoed Joesoef memaksakan konsep
Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Kordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK). BKK
dipimpin PR III Drs. M. Hisyam Zaini (almarhum) yang dilengkapi wakil-wakil
mahasiswa. Juga ada Badan Pertimbangan Mahasiswa (BPM) yang ketuanya adalah
senior saya setahun Abuddin Nata. Dengan pemberlakuan konsep ini, ia
membubarkan Dewan Mahasiswa, dan hanya menyisakan Senat Mahasiswa. Saya
kemudian terpilih sebagai Ketua Umum Senat Mahasiswa Fakultas Tarbiyah
(1980-1983) dengan Sekjen Rusydy Zakaria; di antara beberapa Ketua adalah Surya
Dharma Ali yang kemudian menjadi Ketua Umum PMII Cabang Ciputat –yang kini adalah Ketua Umum PPP dan Menteri Agama RI (Kabinet
SBY-Beoediono).
Tidak banyak hal yang bisa saya lakukan di organisasi
intra. Rektor Prof Harun Nasution sendiri berusaha keras memulihkan kembali
kehidupan kampus –menghilangkan kecurigaan rejim Orba.
Kampus ini masa itu dipandang sebagai pusat aktivisme mahasiswa anti-Soeharto,
dan bahkan juga menyimpan elemen yang mereka sebut sebagai ‘Komando Jihad’. Dua
dosen Fakultas Syariah, Drs Fatah dan Sulaiman (suami Ibu Halimah, aktivis HMI
yang kemudian menjadi Kepala Perpustakaan IAIN) pernah diciduk dan ditahan
untuk beberapa lama dengan terlibat ‘Komando Jihad’.
Pak Harun sendiri sering memanggil saya dan pimpinan
mahasiswa lain untuk memberikan pengertian tentang pentingnya memelihara IAIN.
“IAIN kita ini adalah masa depan umat dan bangsa. Saya minta kalian bisa
mengendalikan diri, sehingga IAIN kita bisa selamat dalam mendidik generasi
muda bangsa”. Mendengar permintaan Pak Harun ini, kita tidak bisa lain, kecuali
mengikuti harapannya.
Lalu datanglah musim Konperca 1980. Pipip Ahmad Rifa’i,
yang Ketua I, dan saya Ketua III ikut mencalonkan diri. Hasilnya, Pipip yang
dikenal sebagai kiyai-nya HMI waktu itu mengalahkan saya yang sering ‘nakal’.
“Pip, anda yang pimpin ya, saya tidak usah masuk kepengurusan anda, saya bantu
dari luar”.
Jabatan apapun memang tidak lari ke mana-mana; ini seolah
sudah takdir. Konperca berikutnya, saya didorong banyak teman untuk maju dan
terpilih sebagai Ketua Cabang 1981-82; kemudian sekretaris umumnya adalah Ending
Bahruddin, yang kemudian pernah menjadi Dekan dan Sekretaris Program Pasca Sarjana UIKA Bogor.
Saya juga masih memegang posisi Ketua Umum SMFT. Selain
mendorong proses kaderisasi, hal penting yang dilakukan adalah membangun
kembali asrama di Situkuru yang sudah reot dan juga kecil; ketika selesai
dikenal sebagai “Aula Insan Cita” –nama yang juga kemudian dipakai oleh KAHMI Pusat ketika membangun kompleks
di Depok. Selain itu, juga diletakkan fondasi asrama KOHATI di sebelah utara;
maksudnya tidak lain agar tanahnya tidak diserobot. Karena dalam sejarah HMI
Ciputat juga ada alumni yang tega menyerobot tanah
pengairan yang sudah dikuasakan Dinas Pengairan untuk dimanfaatkan HMI.
Dalam pada itu, para senior yang aktif dalam dunia
penelitian, khususnya LP3ES seperti Fachry Ali, Hadimulyo, dan Hari Zamharir
bersama kawan-kawan lebih muda seperti Pipip, Tarjono, Badri Yatim (almarhum), dan saya sendiri mendirikan Himpunan untuk Penelitian dan Pengembangan
Masyarakat (HP2M). LSM ini dimaksudkan untuk memfasilitasi alumni HMI muda –pasca tamat dari IAIN. HP2M pernah malang melintang dalam berbagai
kegiatan pengembangan masyarakat, dan memiliki jaringan nasional.
Semasa aktif sebagai Ketua Umum Cabang dan SMFT saya
menyewa kamar di Situkuru, yang ditempati bersama dua teman lain, Tarjono yang
kemudian bekerja di LP3ES sebagai ahli pengairan; dan AM. Fachir (Ketua LSMI yang memang seniman) yang kemudian berkarir sebagai
diplomat di Deplu sampai akhirnya menjadi Dubes RI di Kairo (2008-2011).
Ketika menjadi Ketua Umum Cabang, saya lebih banyak tinggal
di Sekretariat bersama Ending Bahruddin yang kiyai dan Badri yatim yang harus
dibangunkan setiap pagi. Setiap malam Jumat kami ngadakan pengajian Qur’an dan
‘tahlilalan –alasannya juga termasuk karena ada di antara kawan-kawan
yang tidur atau begadang di sekretariat bertemu dengan bayangan almarhum
Abu Bakar yang meninggal dalam kecelakaan motor di Puncak, Bogor. Konon, S.
Hamdani, filosof HMI asal Fakultas Ushuluddin, pernah beberapa kali dielus-elus
janggotnya oleh almarhum. Saya sendiri tidak pernah ‘diganggu’ almarhum; juga
tidak oleh ‘jin’ ketika saya dan keluarga tinggal di rumah jabatan Rektor IAIN
(1999-2002). Padahal, mantan Rektor sebelumnya, Prof. Quraish Shihab bercerita,
perhiasan istrinya sering dipindah-pindahkan jin tersebut.
Saya menjadi Ketua Umum Senat Mahasiswa dan Cabang ketika
munaqasyah untuk mendapatkan gelar ‘Drs’ pada 1982. Penggembira yang datang
pada waktu munaqasyah itu sangat ramai; ujian sangat seru, karena salah satu
pembimbing saya, Drs. Sabuki (almarhum) sangat gencar mengajukan pertanyaan
yang cenderung menyudutkan. Hasilnya, saya lulus dengan yudisium pas-pasan;
pertama kali bekerja di LRKN LIPI (1983-85) untuk kemudian keluar karena
berselisih paham dengan Direkturnya, Dr. Alfian (almarhum). Akhirnya ‘punai’
kembali ke sangkarnya –saya ditarik Prof. Harun Nasution untuk menjadi dosen di
Fakultas Tarbiyah.
Mendapatkan gelar ‘de-er-es’, saya
pindah ke Pisangan Barat, setelah membeli tanah seluas 360 meter. Masih jalan
tanah dan tanpa listrik, saya tinggal di rumah bilik dan triplek bersama Ending
Bahruddin dan Tarjono. Adalah Tarjono yang menganjurkan keras kepada saya untuk
membeli tanah itu. “Dari pada kamu hambur-hamburkan uangmu hanya untuk
mentraktri cewek-cewek KOHATI dan lain-lain makan-makan dan nonton-nonton,
lebih baik pula belikan tanah”. Tak terbayangkan. Akhirnya saya beli juga,
sebagian dana pinjaman dari Panjimas, yang kemudian saya cicil
membayarnya tanpa bunga. Selanjutnya, itulah rumah tumbuh yang saya miliki
sampai sekarang.
Penutup
Hari-hari HMI Ciputat memang relatif
singkat; tapi punya banyak dampak dan makna. Selesai pengabdian di HMI Ciputat,
saya memutuskan untuk berkonsentrasi ke dalam agenda-agenda lain –pencarian
intelektual yang tidak pernah henti. Episode HMI Ciputat merupakan mata rantai
yang tidak bisa terpisahkan. Memori ini hanya sepenggal dari banyak cerita dan
duka dalam pergumulan haari-hari HMI.
HMI penuh tantangan; tapi juga
memberikan celah-celah peluang. Tergantung pada setiap anak HMI untuk dapat
merebut peluang itu untuk –insya Allah– masa depan lebih cemerlang. Wallahu
a’lam bish-shawab.
Kampus SPs + Puri Laras
Pisangan Barat, Cirendeu, Ciputat, 1-4
Maret 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar