Rabu, 28 Maret 2012

Ketika Ingat HMI Ciputat


oleh : Azyumardi Azra
K
etika ingat HMI Cabang Ciputat, banyak orang ingat almarhum Cak Nur, yang pernah menjadi Ketua Umum di Ciputat sebelum akhirnya menjadi Ketua Umum PB HMI. Cak Nur agaknya adalah sebuah prototype ideal intelektualisme keislaman-keindonesian HMI, yang mempengaruhi perjalanan dan dinamika umat-bangsa. Cak Nur tidak pernah tergantikan, baik di lingkungan HMI Cabang Ciputat, PB HMI dan dunia negara-bangsa Indonesia.
Secara restropektif, saya beruntung masuk ke dalam komunitas intelektual yang memiliki kontribusi sangat penting dalam karir intelektualisme keislaman-keindonesiaan Cak Nur. Banyak sekali utang sosial-intelektual saya kepada komunitas HMI Cabang Ciputat; utang yang tidak bakal pernah terbayarkan.

Tidak Lengkap
Saya datang ke Ciputat pada akhir 1975, masuk Jurusan Bahasa Arab, Fakultas Tarbiyah, tanpa tes, karena saya lulus dengan nilai terbaik PGAN 6 Tahun Padang. Ada yang bilang, saya memperoleh nilai terbaik bahkan untuk seluruh PGAN Sumatera Barat. Saya tidak tahu pasti. Tapi yang jelas, saya senang masuk ke IAIN Ciputat, setelah keinginan saya untuk masuk IKIP Padang ditolak kedua orangtua. Bargaining-nya, oke masuk IAIN, tapi di Jakarta.
Datang ke Jakarta, saya menumpang di rumah paman, Drs. Alimurni Chatib di Gang Mas, Karet Tengsin Bendungan Hilir; dari mana saya bolak balik ke Ciputat dengan bis kota, yang dari Blok M bisa naik Ajiwirya atau Gamadi. Jalanan masih relatif lengang—meski sering harus berdiri juga di atas bis pergi pulang. Di Ciputat sendiri, saya pertama kali sowan ke Drs. Salman Harun, yang kebetulan mempunyai kaitan perbesanan dengan salah seorang kakak sepupu saya yang sudah almarhum sekitar tiga dasawarsa silam. Salman Harun, dosen Jurusan Bahasa Arab yang juga aktivis Pemuda Muhammadiyah, membantu saya dalam urusan-urusan berkenaan dengan IAIN.
Semasa Pekan Orientasi Mahasiswa sekitar Agustus 1976, saya kembali banyak ngumpul dengan kawan-kawan mahasiswa baru asal Minang; ada Firmansyah (almarhum), Guspardi Gaus, Zulbahri (almarhum), Syafnil AU, [Buya] Nawazir Mukhtar dan Rusydy Zakaria. Satu hari dalam masa Posma ini, seorang senior asal Minang, Risman Katialo, mengajak saya masuk IMM. Alasannya; kebanyakan mahasiswa Minang masuk organisasi ini. “Kalau ada apa-apa dengan waang [kamu], siapa yang akan membela, kalau bukan kami-kami ini”, katanya.“Saya datang ke Ciputat untuk belajar, bukan untuk bikin apa-apa, apalagi  bacakakberkelahi”, saya menjawab singkat.
Begitulah. Saya tidak ingat lagi siapa yang sebenarnya mengajak saya masuk HMI. Sebelumnya saya tidak banyak mengenal HMI. Waktu sekolah di PGAN 6 Tahun Padang memang saya aktivis organisasi intra; dan juga ikut dalam Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM). Tapi, ketika datang ke Ciputat, saya tidak membayangkan HMI, atau juga organisasi mahasiswa lainnya.
Tapi jalan hidup memang tidak pernah bisa diduga. Yang pasti saya kemudian ikut Maperca HMI Cabang Ciputat bersama beberapa teman asal Minang lain; Zulbahri, Syafnil AU dan Nawazir Muchtaryang kemudian sama tinggal di rumah kos Haji Jaya (belakang saya tahu adalah ayah mertua Amsal Bachtiar) di turunan Legoso menuju Pondok Cabe. Saya ikut Maperca yang diselenggarakan di halaman SD Legoso, tapi hanya pembukaan dan beberapa sesi, karena saya harus bolak balik ke Bendungan Hilir. Meski demikian saya lulus Maperca tersebut.
Soal training HMI, saya tidak lengkap mengikutinya. Setelah Maperca, satu-satunya training yang saya ikuti hanyalah Intermediate Training, yang diselenggarakan di Nagrek, Cianjur, yang saya ikuti sepenuhnya. Saya tidak mengikuti Basic Training –langsung loncat ke tengah; dan juga tidak pernah mengikuti Advanced Training, atau yang semacamnya. Saya kemudian terlanjur menjadi salah satu narasumber dalam acara Maperca dan Basic Training. Meski demikian, tidak ada yang mempertanyakan ke-HMI-an saya; dan bahkan saya dipercaya menjadi Ketua Panitia Maperca 1977.

Kawah Candradimuka
Karir saya di HMI Cabang Ciputat boleh dipandang cukup ‘meroket’ dibanding teman-teman lain. Sukses menjalankan Maperca, saya diangkat Ketua Umum, Hari Zamharir duduk pada Departemen Penerangan, yang dipimpin senior saya setahun, Iqbal Abdurrauf Saimima (almarhum), yang kemudian menjadi salah satu konco  saya di majalah Panji Masyarakat pimpinan Buya Hamka. Kami ke Panjimas diajak oleh senior lain, Fachry Ali yang memang pada waktu itu sudah terkenal sebagai penulis artikel dan kolom di berbagai media massa nasional.
Bersama Iqbal, saya menerbitkan kembali buletin Pemersatu, yang dicetak stensilan. Karena mesin stensilan di kantor Cabang sering rusak, kami sering menstensilnya di Fakultas Tarbiyah; membayar sewa, tapi menstensilnya sendiri. Jadi, kami menggotong kertas-kertas dari Ibnu III/68 ke kampus selama beberapa penerbitan. Dan, saya sendiri memformat Pemersatu  dalam gaya bahasa Salemba, tabloid mahasiswa UI yang kristis terhadap rejim Presiden Soeharto.
Terus terang, saya banyak memanfaatkan Pemersatu untuk latihan menulis, baik esei maupun sastra. Saya menulis berbagai artikel dan laporan kegiatan; dan juga sajak-sajak, yang umumnya kritis terhadap pemerintahan Soeharto. Saya tidak mau hanya sekedar ‘tukang’ dengan tugas mencetak; lebih dari itu juga mengembangkan intelektualisme sendiri.
Masa kepemimpinan Hari Zamharir adalah masa sulit –periode di mana gerakan mahasiswa mencapai puncaknya. Di IAIN Jakarta, Pipip Ahmad Rifa’i, saya dan beberapa teman lain menjadi motor demonstrasi mahasiswa menentang masuknya Aliran Kepercayaan ke dalam GBHN 1978. Pagi-pagi kami sudah menyiapkan berbagai poster, yang diam-diam dibawa ke kampus. Habis jam kuliah pertama, sekitar pukul 9an, demontrasi mulai secara kecil-kecilan; tetapi dengan segera menjadi ramai. Jalanan Ciputat Raya di depan kampus dipenuhi mahasiswa dan masyarakat yang menonton dari pinggir jalan.
Menjelang siang demo diserbu banyak tentarayang konon dari Kodam Diponegorodan aparat keamanan lainnya yang anarkis; tentara ini umumnya muda-muda dan sangat bengis. Dengan beberapa panser dan senjata-senjata otomatis menyerbu kampus, merubuhkan pagar tengah dan selatan kampus. Mereka memukuli mahasiswa dan dosen yang mereka temui di teras gedung dan bahkan di kelas-kelas di lantai satu dan lantai dua; dan juga di perpustakaan, sehingga menimbulkan banyak korban luka-luka, yang kemudian dibawa ke Rumahsakit Fatmawati, Pertamina, Klinik IAIN dan lainnya. Rektor IAIN, Prof Harun Nasution pun diciduk tentara, dinaikkan ke atas truk. Dan, kampus IAIN banjir darah, berbau sangat amis berminggu-minggu.
Saya lolos dari kekerasan aparat. Dan langsung menghadap Mas Hari Zamharir di kantor cabang. Ia tak marah atas ‘kelakuan’ kawan-kawan dan saya yang membuat IAIN menderita, dan juga banyak bicara, dan hanya menyuruh saya segera pergi jauh-jauh, karena sedang dicari-cari intel, supaya kantor cabang tidak pula menjadi sasaran kebuasan mereka nanti. Dan memang sebelumnya beberapa intel sudah mendatangi sekretariat dan menanyakan beberapa aktivis HMI.
Akhirnya, saya berjalan kaki lewat belakang kampus dan keluar di Kebayoran lama dan terus kembali ke rumah pak Alimurni Chatib di Bendungan Hilir, yang kemudian langsung ‘menyembunyikan’ saya di rumah apak Lukman Hakim (salah seorang Direktur PT National Gobel) dan elok Im di Rawamangun. Saya kemudian menderita semacam sakit kulit yang sangat perih, dan sempat beberapa hari dirawat di RSCM; kata dokter karena stress berat. Setelah keluar dari sumahsakit, berkat pertolongan Kapendam V Jaya, Kol Anas Malik yang dihubungi pak Alimurni Chatib, saya ‘hanya’ terkena wajib lapor setiap Senin dan Kamis selama tiga bulan di Markas POM ABRI, Guntur, Pasar Rumput, Jakarta Pusat.
Lalu, ketika kampus IAIN kembali normal dan pengurusan HMI Cabang Ciputat berganti; pada masa Ketua Umum, Kurniawan Zulkarnain (1979-80), saya diangkat sebagai Ketua III yang menangani urusan kemahasiswaan.
Pergulatan Ekstra-Intra Kampus
Periode kepemimpinan Kurniawan juga sangat sulit. Menghadapi gerakan mahasiswa, Mendiknas Daoed Joesoef memaksakan konsep Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Kordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK). BKK dipimpin PR III Drs. M. Hisyam Zaini (almarhum) yang dilengkapi wakil-wakil mahasiswa. Juga ada Badan Pertimbangan Mahasiswa (BPM) yang ketuanya adalah senior saya setahun Abuddin Nata. Dengan pemberlakuan konsep ini, ia membubarkan Dewan Mahasiswa, dan hanya menyisakan Senat Mahasiswa. Saya kemudian terpilih sebagai Ketua Umum Senat Mahasiswa Fakultas Tarbiyah (1980-1983) dengan Sekjen Rusydy Zakaria; di antara beberapa Ketua adalah Surya Dharma Ali yang kemudian menjadi Ketua Umum PMII Cabang Ciputatyang kini adalah Ketua Umum PPP dan Menteri Agama RI (Kabinet SBY-Beoediono).
Tidak banyak hal yang bisa saya lakukan di organisasi intra. Rektor Prof Harun Nasution sendiri berusaha keras memulihkan kembali kehidupan kampusmenghilangkan kecurigaan rejim Orba. Kampus ini masa itu dipandang sebagai pusat aktivisme mahasiswa anti-Soeharto, dan bahkan juga menyimpan elemen yang mereka sebut sebagai ‘Komando Jihad’. Dua dosen Fakultas Syariah, Drs Fatah dan Sulaiman (suami Ibu Halimah, aktivis HMI yang kemudian menjadi Kepala Perpustakaan IAIN) pernah diciduk dan ditahan untuk beberapa lama dengan terlibat ‘Komando Jihad’.
Pak Harun sendiri sering memanggil saya dan pimpinan mahasiswa lain untuk memberikan pengertian tentang pentingnya memelihara IAIN. “IAIN kita ini adalah masa depan umat dan bangsa. Saya minta kalian bisa mengendalikan diri, sehingga IAIN kita bisa selamat dalam mendidik generasi muda bangsa”. Mendengar permintaan Pak Harun ini, kita tidak bisa lain, kecuali mengikuti harapannya.
Lalu datanglah musim Konperca 1980. Pipip Ahmad Rifa’i, yang Ketua I, dan saya Ketua III ikut mencalonkan diri. Hasilnya, Pipip yang dikenal sebagai kiyai-nya HMI waktu itu mengalahkan saya yang sering ‘nakal’. “Pip, anda yang pimpin ya, saya tidak usah masuk kepengurusan anda, saya bantu dari luar”.
Jabatan apapun memang tidak lari ke mana-mana; ini seolah sudah takdir. Konperca berikutnya, saya didorong banyak teman untuk maju dan terpilih sebagai Ketua Cabang 1981-82; kemudian sekretaris umumnya adalah Ending Bahruddin, yang kemudian pernah menjadi Dekan dan Sekretaris Program Pasca Sarjana UIKA Bogor.
Saya juga masih memegang posisi Ketua Umum SMFT. Selain mendorong proses kaderisasi, hal penting yang dilakukan adalah membangun kembali asrama di Situkuru yang sudah reot dan juga kecil; ketika selesai dikenal sebagai Aula Insan Cita”nama yang juga kemudian dipakai oleh KAHMI Pusat ketika membangun kompleks di Depok. Selain itu, juga diletakkan fondasi asrama KOHATI di sebelah utara; maksudnya tidak lain agar tanahnya tidak diserobot. Karena dalam sejarah HMI Ciputat juga ada alumni yang tega menyerobot tanah pengairan yang sudah dikuasakan Dinas Pengairan untuk dimanfaatkan HMI.
Dalam pada itu, para senior yang aktif dalam dunia penelitian, khususnya LP3ES seperti Fachry Ali, Hadimulyo, dan Hari Zamharir bersama kawan-kawan lebih muda seperti Pipip, Tarjono, Badri Yatim (almarhum), dan saya sendiri mendirikan Himpunan untuk Penelitian dan Pengembangan Masyarakat (HP2M). LSM ini dimaksudkan untuk memfasilitasi alumni HMI mudapasca tamat dari IAIN. HP2M pernah malang melintang dalam berbagai kegiatan pengembangan masyarakat, dan memiliki jaringan nasional.
Semasa aktif sebagai Ketua Umum Cabang dan SMFT saya menyewa kamar di Situkuru, yang ditempati bersama dua teman lain, Tarjono yang kemudian bekerja di LP3ES sebagai ahli pengairan; dan AM. Fachir (Ketua LSMI yang memang seniman) yang kemudian berkarir sebagai diplomat di Deplu sampai akhirnya menjadi Dubes RI di Kairo (2008-2011).
Ketika menjadi Ketua Umum Cabang, saya lebih banyak tinggal di Sekretariat bersama Ending Bahruddin yang kiyai dan Badri yatim yang harus dibangunkan setiap pagi. Setiap malam Jumat kami ngadakan pengajian Qur’an dan ‘tahlilalan –alasannya juga termasuk karena ada di antara kawan-kawan yang tidur atau begadang di sekretariat bertemu dengan bayangan almarhum Abu Bakar yang meninggal dalam kecelakaan motor di Puncak, Bogor. Konon, S. Hamdani, filosof HMI asal Fakultas Ushuluddin, pernah beberapa kali dielus-elus janggotnya oleh almarhum. Saya sendiri tidak pernah ‘diganggu’ almarhum; juga tidak oleh ‘jin’ ketika saya dan keluarga tinggal di rumah jabatan Rektor IAIN (1999-2002). Padahal, mantan Rektor sebelumnya, Prof. Quraish Shihab bercerita, perhiasan istrinya sering dipindah-pindahkan jin tersebut.
Saya menjadi Ketua Umum Senat Mahasiswa dan Cabang ketika munaqasyah untuk mendapatkan gelar ‘Drs’ pada 1982. Penggembira yang datang pada waktu munaqasyah itu sangat ramai; ujian sangat seru, karena salah satu pembimbing saya, Drs. Sabuki (almarhum) sangat gencar mengajukan pertanyaan yang cenderung menyudutkan. Hasilnya, saya lulus dengan yudisium pas-pasan; pertama kali bekerja di LRKN LIPI (1983-85) untuk kemudian keluar karena berselisih paham dengan Direkturnya, Dr. Alfian (almarhum). Akhirnya ‘punai’ kembali ke sangkarnya –saya ditarik Prof. Harun Nasution untuk menjadi dosen di Fakultas Tarbiyah.
Mendapatkan gelar ‘de-er-es’, saya pindah ke Pisangan Barat, setelah membeli tanah seluas 360 meter. Masih jalan tanah dan tanpa listrik, saya tinggal di rumah bilik dan triplek bersama Ending Bahruddin dan Tarjono. Adalah Tarjono yang menganjurkan keras kepada saya untuk membeli tanah itu. “Dari pada kamu hambur-hamburkan uangmu hanya untuk mentraktri cewek-cewek KOHATI dan lain-lain makan-makan dan nonton-nonton, lebih baik pula belikan tanah”. Tak terbayangkan. Akhirnya saya beli juga, sebagian dana pinjaman dari Panjimas, yang kemudian saya cicil membayarnya tanpa bunga. Selanjutnya, itulah rumah tumbuh yang saya miliki sampai sekarang.

Penutup
Hari-hari HMI Ciputat memang relatif singkat; tapi punya banyak dampak dan makna. Selesai pengabdian di HMI Ciputat, saya memutuskan untuk berkonsentrasi ke dalam agenda-agenda lain –pencarian intelektual yang tidak pernah henti. Episode HMI Ciputat merupakan mata rantai yang tidak bisa terpisahkan. Memori ini hanya sepenggal dari banyak cerita dan duka dalam pergumulan haari-hari HMI.
HMI penuh tantangan; tapi juga memberikan celah-celah peluang. Tergantung pada setiap anak HMI untuk dapat merebut peluang itu untuk –insya Allah– masa depan lebih cemerlang. Wallahu a’lam bish-shawab.

Kampus SPs + Puri Laras
Pisangan Barat, Cirendeu, Ciputat, 1-4 Maret 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar