Bukan tahun ini saja pemerintahan Presiden SUsilo Bambang Yudhoyono
(SBY) mengeluarkan kebijakan penyesuaian harga Bahan Bakar Minyak (BBM)
bersubsidi, baik kenaikan maupun penurunan harga. Sejak didaulat menjadi
orang nomer satu di negeri ini, SBY tiga kali menaikkan harga BBM
bersubsidi, dan tiga kali pula SBY menurunkan harga BBM bersubsidi.
Namun, kondisinya kali ini berbeda. Rencana kenaikan harga BBM
bersubsidi tahun ini harus melalui persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR). Padahal, beberapa kali kebijakan penyesuaian harga, tidak perlu
mendapat izin dari parlemen. Persetujuan dari DPR ini yang tengah
dikejar pemerintah jika kebijakan ini ingin direalisasikan sesuai
rencana awal yakni per 1 April 2012.
Dari senayan, DPR belum sepenuhnya memberikan lampu hijau kepada
pemerintah. Setidaknya, beberapa fraksi secara tegas menolak rencana
pemerintah tersebut. Tidak heran jika pembahasan perubahan atas Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2012 berlangsung alot. Lobi
pemerintah ke fraksi-fraksi dan pimpinan DPR pun belum membuahkan hasil.
Yang menarik adalah, kenapa kenaikan harga BBM kali ini harus
mendapat persetujuan DPR? kuncinya terletak pada salah satu pasal dalam
UU APBN 2012. Pasal 7 ayat 6 dalam UU tersebut menyebutkan bahwa, dalam
upaya menekan konsumsi BBM bersubsidi, pemerintah akan menjalankan
kebijakan pembatasan konsumsi BBM bersubsidi dengan pengalihan dari
Premium ke Pertamax. Dalam pasal tersebut juga disebutkan bahwa harga
jual eceran untuk BBM bersubsidi tidak mengalami perubahan.
“Waktu saya jadi ketua badan anggaran, tidak ada pasal yang mengunci
seperti itu,” ujar Wakil Ketua Komisi XI DPR Harry Azhar Azis kepada
merdeka.com, Jumat (30/3).
Namun, baru dua bulan tahun anggaran berjalan, pemerintah memutuskan
untuk mempercepat proses pembahasan APBN-P 2012 yang biasanya baru
dibahas pada pertengahan tahun anggaran. Alasannya, gejolak harga minyak
dunia yang mempengaruhi harga minyak Indonesia (Indonesia Crude
Price/ICP) yang terdorong naik. Pemerintah mengaku kesulitan jika tetap
mempertahankan asumsi yang ada dalam postur APBN 2012. Asumsi-asumsi
tersebut diakui sudah tidak lagi relevan dengan kondisi saat ini.
Dalam pembahasan dengan Komisi VII dan Badan Anggaran, pemerintah
meminta pasal 7 tersebut dicabut karena tidak lagi relevan dengan
kondisi saat ini. Namun, DPR tidak sepenuhnya setuju. Tidak mau kalah
begitu saja, pemerintah memasukkan pasal tambahan dalam RUU APBN-P 2012
dalam Pasal 7 ayat 6A yang berbunyi “Dalam hal harga rata-rata minyak
Indonesia (Indonesia Crude Oil Price/ICP) dalam kurun waktu berjalan
mengalami kenaikan atau penurunan lebih dari 5 persen dari harga minyak
internasional yang diasumsikan dalam APBN-P Tahun Anggaran 2012,
pemerintah berwenang untuk melakukan penyesuaian harga BBM bersubsidi
dan kebijakan pendukung.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar