oleh :
AM. Fatwa
D
|
ebut awal saya dalam kegiatan beorganisasi, sekaligus mengenal dunia
politik adalah ketika saya menjadi Ketua Umum PII (Pelajar Islam Indonesia) di
Sumbawa Besar (1958). Di Sumbawa saya juga aktif dalam BKSPM (Badan Kerja Sama
Pemuda Militer) yang sering berhadapan dengan Pemuda Rakyat onderbouw PKI. Di sini pula saya pertama
kali berurusan dengan aparat (diintrogasi dan diteror), karena pernyataan saya
yang sering menyerang Pemuda Rakyat.
Setelah dua tahun lebih di Sumbawa, dan setahun
lebih di Lombok pada 1960, saya merantau ke Jakarta. Semula masuk Fakultas
Agama Islam Universitas Ibnu Khaldun salah satu universitas yang didirikan
tokoh-tokoh Masyumi, kemudian mengikuti tugas belajar di Jurusan Khusus Imam
Tentara Fakultas Tarbiyah IAIN Jakarta.
Selanjutnya saya mengambil Jurusan Dakwah Fakultas Ushuluddin IAIN
Jakarta. Dalam aktivitas mahasiswa, saya yang sebelumnya pernah menjadi Ketua
Cabang PII, selanjutnya mengikuti juga “perpeloncoan” mahasiswa di Universitas
Ibnu Khaldun, selanjutnyaa perpeloncoan di HMI, dan dipelonco lagi sebagai
mahasiswa di IAIN. Saya tidak sempat menyelesaikan kuliah saya di IAIN, namun
kemudian melanjutkan ke Jurusan Publistik di Universitas Ibnu Khaldun.
Ketika kuliah di IAIN Jakrata, saat itu Ciputat
masih merupakan deerah kecil, kalau berjalan ke Kampung Utan termasuk ke kampus
(saat itu dengan gedung-gedung yang
masih sedikit dan sederhana) kerap kali kita harus “mengangkat sepatu” karena
jalan yang dilewati masih berlumpur. Sebagai mahasiswa yang sudah mengikuti
“perpeloncoan” HMI di Jakarta, waktu itu di kantor Diponegoro 16 yang menjadi
pusat kegiatan HMI, ketika di Ciputat saya berkenalan dengan Abu Bakar dan
Komaruddin yang sebelumnya juga telah mengikuti perpeloncoan HMI. Para
mahasiswa IAIN pada waktu itu, rata-rata adalah mahasiswa tugas belajar di ADIA
yang secara usia rata-rata lebih tua dan sebagian sudah berkeluarga. Karena
perbedaan usia ini pula lah yang kemudian, membuat saya lebih dekat dan akrab
dengan Salim Umar, seorang mahasiswa yang juga aktif di Dewan Mahasiwa,
meskipun ia juga tergolong mahasiswa ADIA namun dari segi usia terhitung lebih
muda dibandingkan yang lainnya. Kerena pada masa itu transfortasi masih sangat
terbatas, sehingga saya yang kebetulan tinggal di Jakarta, di antara
kawan-kawan HMI, saya dianggap sebagai pengubung antara Ciputat-Jakarta.
Peran sebagai penghubung, membawa berita dan perkembangan situasi Nasional yang
terjadi di Jakarta ke Ciputat inilahyang kemudian mendorong kami berempat, saya
bersama Abu Bakar, Salim Umar, Komaruddin, sepakat untuk mendirikan Komisariat
HMI di Ciputat. Dalam mengkonsolidasikan HMI di kalangan mahasiswa, Abu Bakar
yang memang lebih senior yang kemudian lebih banyak mengkomunikasikan HMI ke
mahasiswa-mahasiwa senior, Salim Umar sebagai penghubung antara angkatan senior
dengan para mahasiswa yang lebih muda dan tidak tergolong sebagai mahasiwa
tugas belajar (mahasiswa murni), sementara saya mengurus persoalan komunikasi
dan informasi dari Ciputat ke Jakarta. Sekitar pertengahan tahun 1960-an, yaitu
sekitar bulan-bulan awal perkuliahan mahasiswa baru di IAIN, terbentuk dan
ditetapkan HMI Komisariat Ciputat yang berpusat di kampus IAIN Jakarta.
Komisariat Ciputat, masuk sebagai salah satu Komisariat dalam lingkungan HMI
Cabang Jakarta yang pada waktu saat itu di bawah kepemimpinan Alwi al-Jawasi
sebagai Ketua Umum.
Kepengurusan awal HMI Komisariat Ciputat, antara
lain kami sepakat menunjuk Abu Bakar yang lebih senior sebagai Ketua Umum,
Salim Umar Ketua I, saya sendiri Ketua II, dan Komarudin sebagai bendahara,
bersama beberapa pengurus yang lain. Pada saat itu, dikalangan mahasiswa memang
dominan golongan Islam modernis
(Muhammadiyah), sehingga para mahasiswa ADIA meskipun sebagian sudah ada
yang berkeluarga sangat cukup antusias bergabung dengan HMI. Namun karena
psikologis lingkungan para mahasiswa senior ADIA ini, kami harus memberikan
“toleransi” kepada mereka diperbolehkan untuk tidak mengikuti “perpeloncoan”,
kecuali bagi para mahasiswa murni IAIN, antara lain seperti Nurcholish Madjid
dan Mustoha, mereka diwajibkan mengikuti perpeloncoan untuk menjadi anggota
HMI.
Setelah berjalan beberapa waktu, kemudian saya
mendorong kawan-kawan pengurus untuk “memaksakan” Komisariat Ciputat menjadi
Cabang. Setelah proses adminstrasi
organisasi telah diurus dan diselesaikan, dalam waktu yang tidak terlalu lama,
sekitar akhir 1960 dan awal 1961, Komisariat Ciputat ditetapkan sebagai HMI
Cabang Ciputat. Dalam pemilihan tim formatur, teplih sesuai urutan Abu Bakar,
Salim Umar, dan saya dalam urutan ketiga setelah dilakukan pemilihan ulang
karena terdapat perolehan suara imbang sampai kemudian terpilihlah saya.
Sebagai tim formatur, mengusulkan dan mendorong agar Nurcholish dimasukkan
sebagai pengurus HMI sebagai sekretaris umum, karena saya mengenal dengan baik
dan sangat respek dengan kecerdasan intelektual alumni Pesantren Gontor yang
pendiam ini. Seperti juga sering diutarakan oleh Nurcholish sendiri, dia sudah
lama mengenal saya sejak menjadi anggota PII di Pesantren Gontor, saya saat itu
sudah menjadi pengurus Cabang PII, dan ketika kuliah di IAIN Nurcholish mencari
saya yang dia yakini memiliki hubungan dekat dengan tokoh-tokoh Masyumi.
Sehingga ketika saya diminta Prawoto Mangkusmito Ketua Umum Masyumi terakhir
sebelum di bubarkan, meminta saya menempati rumahnya di daerah Kebayoran Baru,
saya mengajak serta Nurcholish untuk tinggal di sana bersama beberapa teman
antara lain Ramli Hasibuan dan Suaib Misdar. Pelantikan Pengurus HMI Cabang
Ciputat tergolong sitimewa karena dilantik oleh Ismail Hasan Metareum Ketua Umum
PB HMI, memang sebelumnya telah terjalin hubungan yang cukup akrab antara saya
dan tokoh ini.
Saat menjadi pengurus HMI Cabang Ciputat ini,
pada 1961, saya sempat memimpin demontrasi mengingatkan kebijakan Menteri
Pendidikan dan Pangajaran (Prof. Priyono) di Jalan Cilacap Jakarta, kerena
pemikiran dan kebijakan-kebijakannya kita nilai banyak dipengaruhi oleh PKI.
Demonstrasi itu dibidani kader-kader HMI yang dimotori oleh Mari’ei Muhammad
dari Fakultas Ekonomi UI, namun karena saya mengenal baik Mari’ei dan
menjagokannya sebagai calon pimpinan HMI pada waktu itu, demi menjaga
kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi akibat demonstrasi tersebut, saya
kemudian yang mengambil alih memimpin demonstrasi di lapangan bersama Suwarta
Mukallam, sehingga kami berdua lah yang dikejar-kejar aparat dan harus
berurusan dengan pihak yang berwajib.
Pada Kongres ke-7 HMI pada tanggal 8 s.d. 13
September 1963 bertempat di Masjid Agung al-Azhar Kebayoran Baru Jakarta, saat
itu Ketua Umum PB HMI dijabat oleh Oman Komaruddin. Ketua Kongres Sulatomo yang juga terpilih dan ditetapkan
sebagai Ketua Umum PB HMI periode 1963-1965, dalam beberapa hal faktor ini yang
kemudian membuat saya dipercaya sebagai
Ketua Pelaksana Harian Panitia Kongres waktu itu. Pada Kongres inilahNurcholish
sebagai Sekretaris Umum tampil menjadi jurubicara mewakili HMI Cabang
Ciputat, dalam pidato yang ia sampaikan
Nurcholish menentang keras kebijakan PB HMI tentang “adaptasi nasional” sebagai
upaya menyelamatkan HMI dari ancaman
akan dibubarkan karena tudingan kontra revolusi oleh PKI ke HMI. Saat itu lah
saya langsung menegor Nurcholish, karena sebagai beleid PB HMI, kebijakan tersebut harus diikuti oleh cabang-cabang
HMI, belum lagi saat itu selain sebagai Ketua HMI Cabang Ciputat, saya sebagai
Ketua Panitia Pelaksana Harian Kongres secara tidak langsung juga berfungsi
“menghendel” pengamanan PB HMI selama kongres berlangsung.
Pengurus PB HMI Periode 1963-1965 saya masuk
sebagai salah satu pengurus di Departemen Pendidikan/Dakwah. Namun bersamaan dengan itu, terjadi dualisme
kepemimpinan di tubuh Pemuda Islam Indonesia (PII); antara PII yang berkantor
di Jalan Bunga dan PII yang berkantor Menteng Raya. Karena beberapa tokoh HMI
sebelumnya juga adalah aktivis PII, sehingga hubungan ideologis ini kemudian,
yang menumbuhkan inisiatif di antara mereka untuk melakukan langkah-langkah
strategis untuk menyelamatkan PII. Saya bersama Oman Komaruddin mantan Ketua
Umum PB HMI Periode 1960-1963, pasca kongres HMI tersebut, terlibat dalam “misi
penyelamatan” ini. Faktor ini yang membuat saya melepaskan jabatan sebagai
pengurus PB HMI karena saya terpilih sebagai Sekretaris Jendral PII, sementara
Oman Komaruddin terpilih sebagai Ketua Umum.
Pada Oktober 1963, terjadi demonstrasi di IAIN
saat itu mahasiswa mengoreksi kebijakan Menteri Agama. Selain di Jakarta,
demonstrasi serupa juga terjadi di IAIN
Yogyakarta. Di Ciputat, demonsntrasi ini
dipimpin oleh Saifuddin Faturisi seorang mahasiswa Jurusan Khusus Imam Tentara
yang berasal dari Bugis, sementara Abdullah Syukri (sekarang Kiai Pimpinan
Pesantren Gontor) adalah tokoh yang aktif penyebarkan dan menempel pamplet
demo, bersama beberapa mahasiswa dari aktivis Dewan Mahasiswa dan HMI lainnya.
Penyebab utama terjadinya demonstrasi ini, karena Departemen Agama dalam pandangan
mahasiswa waktu itu “dianggap” terbukti dan ditemukan banyak indikasi terlalu
didominasi oleh golongan NU. Karena waktu itu belum ada organisasi mahasiswa
semacam IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah) yang berafiliasi selain NU,
sehingga muncul semacam kesepakatan di kalangan mahasiswa non-NU yang merasa
termarjinalkan atas kebijakan tersebut, menjadikan HMI sebagai tumpuan harapan
yang dapat menampung dan menyuarakan aspirasi mereka belum lagi demonstrasi ini
kemudian didukung oleh aktivis-aktivis Senat Mahasiswa.
Terkait situasi nasional pada waktu itu, karena
sejumlah elit politik banyak yang dipengaruhi oleh PKI, sehingga demosntrasi di
IAIN Yogyakarta dan IAIN Jakarta ini kemudian dijadikan issu politik sebagai
gerakan yang merongrong kewibawaan Pemimpin Besar Revolusi. Akibatnya, tidak
saja mahasiswa yang terseret ke balik jeruji besi, termasuk para dosen seperti
Kafrawi Ridwan, Zarkowi Soejoeti, Ahmad Ludjito, Prof. Mahmud Yunus (mantan
Rektor IAIN) dan Ahmad Syadali (Rektor IAIN Jakarta saat itu) ikut juga
mendekam di penjara. Sebenarnya, ketika berdemonstrasi di IAIN, saya sendiri
tidak terlibat langsung, tapi hampir semua aktivis HMI dan dosen yang dianggap
condong berpihak pada HMI juga ikut ditahan. Akibat peristiwa ini, saya sempat
ditahan dalam satu ruangan dengan Prof. Mahmud Yunus di Polres Tangerang,
sebelum kemudian diproses di MABAD (Markas Besar Angkatan Darat). Saya bersama
Jalaluddin Suyuti dan Saifudin Faturusi kemudian dipindahkan ke Sukabumi
kemudian dipindahkan lagi ke Surakarta. Dalam penahan di Surakarta ini, agar
kami bertiga tidak pernah saling bertemu, dengan bergantian kami ditempatkan
secara acak antara Solo, Karanganyer, dan Tawangmangu. Saya menjalani proses
penahanan selama kurang lebih enam bulan, setelah itu dikembalikan ke Jakarta
dan menjalani tahanan rumah. Karena penahan ini lah, kemudia kami rata-rata
bertekad untuk masuk militer, saya sendiri masuk Sekolah Dasar Perwira Komado
KKO-AL (sekarang Marinir), meskipun saya sendiri tidak melanjutkan karir militer
ini.
Selain penangkapan dan penahan akibat peristiwa
di IAIN, dalam waktu hampir bersama, banyak tokoh nasional yang juga ditahan,
antara lain Buya Hamka, Yusuf Wibisono, Kasman Singodimedjo, dan masih banyak
yang lainnya. Tentu saja beberapa di antaranya dalam kasus yang berbeda, tapi
secara umum mereka yang ditahan dianggap telah merongrong kewibawaan Pemimpin
Besar Revolusi, seklaigus terjerat Undang-Undang tentang antisubversi (PNS
11/1963).
Karena peristiwa demonstrasi di IAIN Ciputat, HMI
Cabang Ciputat dibekukan oleh PB HMI, selanjutnya ditunjuklah Syarifuddin
Harahap dari Pengurus PB HMI sebagai PLT (caretaker PB HMI untuk Ciputat).
Syarifuddin Harahap yang memang orang di luar Ciputat, sudah barang tentu
mengalami kesulitan psikologis dalam menghadapi dan memahami situasi dan
kondisi HMI di Ciputat, belum lagi “pembekuan” ini jelas akan berdampak
psikologis pula di kalangan kader-kader HMI Ciputat. Untuk memudahkan dan
membantu menjalin komunikasi dengan kader-kader HMI Ciputat, Syarufuddin meminta
saya untuk mendampinginya selama menajalankan tugas sebagai caretaker PB HMI di
Ciputat.
Demikianlah, sekilas masa-masa merintis di HMI
Cabang Ciputat, dalam perjalanannya Ciputat telah melahirkan kader-kader
terbaik dan memantrikan dirinya sebagai pusat perkaderan “terkemuka” di
lingkungan HMI. Semoga ikhtiar penerbitan buku ini sebagai pelacakan jejak
sejarah perkembangan HMI Cabang Ciputat yang memberikan hikmah bagi generasi
penerus serta menjadi spirit untuk mengemban misi keumatan dan kebangsaan di
masa mendatang.
Disarikan dari wawancara dengan AM. Fatwa,
Pejaten, pertengahan Maret 2011
saya putra dari Alm. Saifuddin Paturusi (dalam tulisan ini disebut Saifuddin Faturisi). Terima kasih sudah berbagi kisah, sehingga saya bisa merangkai puzzle, peristiwa yang dialami Ayah. Sebelumnya, Ayah cuma cerita sekilas kisahnya, tapi tidak latar belakangnya.
BalasHapus